WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Senin, 09 Juni 2014

Urip (Ora) Mung Mampir Ngguyu: dan Cikal Apupus Limar:

Urip (Ora) Mung Mampir Ngguyu:
BENARKAH urip ini juga mung mampir ngguyu? Jika demikian, haruskah kita memiliki kesanggupan untuk ngguyu pada setiap waktu? Atau, untuk ‘’sekadar’’ ngguyu, juga harus angon wektu dan memerhatikan berbagai pertimbangan lain agar tidak malah digeguyu atau bahkan dianggap subversif?

Pada Mbah Surip, penyanyi lagu ‘’Tak Gendong’’ itu, tawa yang selalu memungkasi ucapannya telah menjelma sebagai ciri khas, di samping model rambut gimbalnya. Pada tokoh Dursasana dalam jagad pewayangan, tawa pun tak pernah lepas setiap kali ksatria golongan Kurawa itu menyudahi kata-kata renyahnya.

Jika hendak diteruskan, tentu masih ada sederetan nama yang telah menjadikan tawa sebagai bagian penting pembangun brand image. Lewat tawa yang diproduksi alat ucapnya, yang ditopang oleh ekspresi wajah dan saraf tawa tentunya, seseorang memang bisa mencitrakan diri sebagai sang periang.

Itulah kenapa, dalam berbagai kesempatan untuk memperebutkan simpati khalayak, orang merasa tidak cukup dengan menebar senyum —apalagi wajah dengan ekspresi datar-datar saja— tetapi juga tawa. Lewat tawa, citra positif diyakini bakal terbangun.

Ada lagi orang yang hidupnya sangat bergantung pada tawa banyak orang. Para pelawak atau dagelan contohnya. Tanpa sambutan tawa para penonton, tak akan bisa dikatakan seorang pelawak berhasil menjalankan pekerjaannya. Tanpa tawa penonton, seorang pelawak lebih pantas untuk meratapi diri sendiri.

Dengan sambutan tawa para penonton setiap kali manggung, bukan hanya bayaran sepadan yang pantas ia harap seusai pentas, tetapi juga tanggapan-tanggapan lainnya setelah itu. Tawa adalah hidup-matinya pelawak.

Pada berbagai tontonan, lebih sering aspek lucu menjadi kekuatan tersendiri kalaulah bukan yang utama. Yang menarik, tak jarang sebuah tontonan ditakar dari kualitas kelucuannya. Itulah kenapa, di tengah-tengah komunitas ketoprak Pati, dikenal jargon ‘’kethoprak sing rame tur akeh lucune’’. Artinya, ketoprak yang menarik bagi para penonton adalah yang ramai oleh perang fisik dan perang kata sekaligus banyak candanya.

Seorang komunikator yang baik, entah pembicara dalam sebuah seminar ataupun guru yang sedang mengajar, kerap kali harus menyisipkan lelucon. Dengan begitu, seberat dan seserius apa pun paparannya, diharapkan para penyimaknya tetap dalam suasana cair.

Sebuah ungkapan klise juga menyebut ‘’tertawa itu sehat’’. Ya, jika ingin sehat, tertawalah. Sekalipun demikian harus segera diimbuhkan bahwa tertawa yang tidak pada tempatnya atau tertawa terus-terusan justru hanya membuat seseorang pantas menghuni rumah sakit jiwa. Edan namanya.

Genetika Guyu;
Memang tertawa atau ngguyu tidak sekadar ngakak, menampakkan barisan gigi, dengan harapan bukan hanya dirinya yang kelihatan senang tetapi juga orang lain ikut bergembira. Ngguyu tidak bisa dilakukan pada setiap waktu, juga tidak di setiap tempat. Ada waktu yang tepat untuk ngguyu ataupun ngguyokake, ada tempat yang pener pula untuk ngguyu dan guyonan. Dengan demikian, ada pula waktu dan tempat yang tidak tepat untuk ngguyu atau gumuyu, apalagi ngguya-ngguyu dhewe.

Ketika akan mengekspresikan diri dengan guyu, orang yang sudah menghayati rasa sudah pasti tidak hanya mempertimbangkan di mana sesungguhnya ia ngguyu dan kapan ia ngguyu, tetapi juga siapa yang (akan) diguyu. Sebab, tidak semua orang suka diguyu, tidak semua orang pantas diguyu atas suatu tindakannya sekalipun mungkin lucu.

Bukan tidak mungkin, sebuah guyu yang pada mulanya hanya sebagai respons atas sebuah kelucuan justru dianggap sebagai tindakan subversif lantaran yang diguyu adalah sebuah kemapanan yang harus dijaga dari segala guyonan.

Karena itu, guyu juga mengenal semacam genetika. Secara umum, guyu selalu dioposisikan dengan tangis. Guyu dianggap sebagai ekspresi kegembiraan, sedangkan tangis sebagai penanda kesedihan. Itu secara umum, sebab tak jarang pula dalam kegembiraan justru sesorang bisa menitikkan air mata, menangis. Sebaliknya, dalam kesedihan yang tak tertanggungkan, orang bisa mengekspresikannya dalam bentuk guyu.
Karena  itu, dalam soal ngguyu, aja waton ngguyu. Jangan asal tertawa. Kenapa?

Bukannya orang lain jadi ikut senang karena guyu kita, tetapi justru sebaliknya. Tragisnya, guyu yang dimaksudkan bisa memantik guyu baru dari orang lain justru hanya digeguyu. Digeguyu, tentu tidak memiliki arti yang berbobot positif, tetapi jelas negatif. Ini sepadan dengan dicibir.

Sebenarnya, bukan hanya guyu yang tidak tepat saja yang potensial untuk digeguyu. Tindakan apa pun yang tergolong gonyak-ganyuk nglelingsemi, yang dilakukan oleh orang yang tidak paham akan esem, semu, dan semon, sudah tentu berhak untuk digeguyu.
Itulah kenapa, sebuah pertunjukan yang mengedepankan aspek guyon tetap saja dilabeli sebagai guyon maton. Maksudnya jelas, agar guyonan yang disajikan itu berdasar, sehingga yang tengah menebarkan guyonannya tidak asal muni. Begitu pula yang disodori guyonan, tidak asal ngguyu, tetapi juga —sebisa mungkin— menggunakan waton tertentu.

Dengan demikian, pada sebuah guyon juga sudah semestinya bersemayam kesungguhan, keseriusan. Dengan begitu pula, setiap guyon juga tidak boleh dianggap sebagai main-main belaka.

Sekalipun demikian, secara umum tetap perlu dimengerti bahwa ngguyu atau gumuyu adalah sebuah semiotika kebahagiaan. Karena itulah, di tengah-tengah derita banyak rakyat yang kian menjadi-jadi, terwujudnya ‘’wong cilik bisa gumuyu’’ menjadi semacam mantra sakti yang menjanjikan. Dalam guyu merekalah kebahagiaan dan ketercukupan itu terpanparkan. 

Ya, boleh jadi urip mung mampir untuk bisa gumuyu. Bukan waton gumuyu, tanpa memedulikan sapa atau apa sing diguyu, kapan olehe ngguyu, dan ing ngendi anggone ngguyu. Sebab, jika itu yang terjadi, justru akan berujung pada urip mung mampir digeguyu. Sungguh tragis! ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan






Cikal Apupus Limar:
HIDUP sederhana selalu menjadi salah satu prinsip penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Itu merupakan bagian dari tatanan paugeraning ngaurip dalam budaya masyarakat agraris, yang harus menjalani dan mengisi hidup dengan cara eling, prasaja lan sakmadia. Ini tidak dapat dilepaskan dari hubungan manusia dengan lingkungan hidup, baik yang berupa persawahan, ladang, semak maupun hutan. Intinya ada ”rasa alam” yang dibudidayakan dan dimanfaatkan. Dasar pertanian masyarakat Jawa ialah budidaya beras dengan irigasi yang dilengkapi pelbagai ladang palawija kering dan pemeliharaan pohon-pohon dan semak-semak hiasan.

Identifikasi penduduk desa dengan sebidang tanah, tidak terbatas pada sebidang tanah yang diolah anggota masyarakat. Secara etnografis, dikenal pola hak milik tanah yang bersifat individual maupun kolektif (termasuk lahan tanah milik desa dan bengkok), yang memungkinkan pemilikan tanah desa berdasarkan persaratan teritorial mengenai pelbagai macam sistem mata pencaharian. Dinamika kehidupan sosial ekonomi petani ditunjukkan melalui panen, termasuk hasil pekarangan, kerajinan dan perdagangan di pasar lokal. Karena itu desa dengan kelompok padhukuhan, secara epigrafis merupakan unit ekonomis dan politis terkecil yang dapat dilihat di dataran-dataran rendah Nusa Jawa.

Dalam kehidupan demikian suatu rumah tangga (somah) harus menjalin hubungan baik dengan tetangga, keluarga-keluarga se-dhukuh dan lain desa. Hubungan dinyatakan dalam cara bergotong royong menurut sopan santun dan kewajiban tertentu, dalam bentuk sambat sinambat, tetulung, layat, jagong, slametan dan lain-lain. Kekerabatan memiliki asas kegunaan dalam pergaulan sosial. Di samping rasa hangat dan keakraban, juga dapat memberikan semacam identitas, yang dapat meninggikan kedudukan sosial dan gengsi, serta pelbagai hal yang berkaitan dengan hak-hak pewarisan.

Karena itu klasifikasi simbolik orang Jawa tentang hidup, menekankan corak kesembangan manusiawi yang melahirkan nilai-nilai keselarasan, kesadaran sosial dan moral yang berpusat pada rasa-pangrasa. Kesadaran yang dikaitkan rasa eling, prasaja lan sakmadia, menurut Serat Wulangreh juga merupakan sarana untuk melatih hati agar lantip ing sasmita, mengingat orang yang hidup berlebihan cenderung mengurangi kaprayitnaning batin.

Tradisi sosial yang paternalistik demikian, menurut Prasasti Canggal (732) merupakan sumber corak hubungan kekuasaan Jawa kuno. Setiap desa yang dipimpin oleh seorang rama, memegang tanggung jawab akan keamanan dan kesejahteraan penduduk. Secara politik mereka bergabung dengan desa sekelilingnya berdasar sistem mancapat-mancalima, yang dipimpin seorang raka. Pola itu yang membangun konsep dasar tentang raja-raja Jawa, dengan asas keratuan untuk menjadi pelindung kehidupan dunia dengan prinsip keadilan. Hormat dan tunduk pada orang tua dan keluarga yang lebih tua, merupakan unsur yang kuat dalam dalam hubungan antara anggota keluarga raja-raja Jawa. Manusia Jawa tunduk pada masyarakat, dan sebaliknya masyarakat tunduk kepada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dan halus, baik secara sosial maupun kosmologi. Sejak dahulu, itu disimbolisasikan denganraja gunung, yang dianggap pusat otoritas spiritual nenek moyang dan merupakan pusat kehidupan alam semesta.

Pola organisasi politik di Jawa mempunyai kecenderungan menjauhkan diri dari pusat (tendensi sentrifugal), dengan sifat memecah dan desentralistik yang diperkuat susunan ekonomi swasembada. Pola tersebut mendorong pangeran dianggap absah karena masih keturunan salah satu keluarga yang dahulu berkuasa, untuk berinisiatif membangun kekuasaan. Itu, jika ia memiliki jumlah pengikut memadai dan dukungan kelompok desa-desa yang setia, dan juga memang memiliki alasan politik kuat.

Itu modal untuk membentuk kekuatan politik teritorial dan suprastruktur Negara yang baru. Dalam sejarah, tokoh pembangun dinasti seperti ini sering disebutrajakula. Hal yang cukup menarik, mereka itu biasanya memembentuk kekuasaan secara deklaratif dengan seremonial lokal di tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan.

Di antara yang menonjol dialami oleh Dyan Wijaya. Setelah mendapatkan dukungan dari penguasa wilayah timur (Madura dan ujung timur Nusa Jawa), meski di bawah kontrol Jayakatwang, ia membangun pengaruh politiknya dari wilayah Hutan Tarik yang sedang mulai dibangun untuk pemukiman baru. Oleh para pengikutnya yang setia, ia ditasbihkan sebagai raja baru di negeri baru yang dinamakan Majapahit, di atas kumpulan dedaunan dan ranting-ranting basah yang telah diurug tanah, sedang di hadapannya yang jauhnya kurang dari 10 meter, masih dipenuhi tumpukan sampah yang menggunung.

Seremonial demikian bukan sekadar bentuk dari pembentukan patronase politik yang baru, juga sebagai corak laku hamemayu hayuning bawana yang diibaratkan cikal apupus limar. Tanaman kelapa muda yang berpucuk daun kelor, sebagai simbolik seorang rajakula yang memperoleh berkah lebih besar dari yang diharapkan. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan 

Tidak ada komentar: