(HUKUM SEBAB AKIBAT “KARMA”)
Di Tulis oleh: Wong Edan Bagu:
Dari Pengetahuan al-kitab dan agama yang disesuai dengan Pembuktian
dari Pengalaman pribadi Wong Edan Bagu:
Sering kita mendengar orang mengatakan ‘itu adalah karma’
atas suatu musibah yang menimpa seseorang atau pada dirinya sendiri. Kebanyakan orang mengatakan karma itu dalam
Islam disebut hukum sebab akibat; Tetapi
jika kita pelajari hukum karma maka sangat jauh perbedaanya. Dalam fisika
dikenal:”Hukum Sebab Akibat Newton“; Dalam matematik dikenal: “Kausal Kalkulus”;
Dalam manajemen dikenal: “Diagram Ishikawa/ Matrix Sebab dan Akibat”, dsb.
Dibawah inilah: Pengetahuan dan Pengertian tentang Hukum
Sebab Akibat (KARMA), Menurut Pengalaman Pribadi saya, selama
nglakoni/menjalani. Wejangan Ilmu Idep Tetep Madep Mantep. Tlaten. Titen.
Niteni dan Tata. Titi. surti ngati-ati (Iqro’). Semoga Bermanfa’at bagi anak2
didik saya kususnya dan bagi siapapun yang memang sedang mencari-cari bab soal dan
tentang hal ini.
SEKILAS MENGENAI Sebab Akibat (KARMA):
0.
Adakah Karma Di Dalam Islam?
Karma berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti amalan.
Hakikat karma adalah setiap amalan yang dilakukan seorang manusia baik berupa
perkataan, perbuatan ataupun amalan. Karma memiliki sebab dan memiliki akibat
(buah). Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan karma yang
jelek akan datang dengan akibat yang jelek pula. kejelekan ataupun kebaikan
yang kita dapatkan adalah sebab akibat
perbuatan kita di kehidupan yang lalu.
Karma adalah filsafat Hindu, Budha, Jain dan Sikh; Konsep
Karma “Semua yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa
lalu dan sekarang; Segala tindakan/perilaku baik maupun buruk seseorang saat
ini akan membentuk karma seseorang dikehidupan berikutnya”. Sedangkan di dalam Islam di sebut hukum sebab
akibat, seperti tertulis dalam surat Al Zalzalah 7-8
Al Zalzalah 7: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya”
Al Zalzalah 8: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan
seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”
Surat Az-Zalzalah menerangkan tanda-tanda permulaan hari
kiamat dan pada hari itu manusia akan melihat sendiri hasil perbuatan mereka,
baik ataupun buruk, meskipun sebesar zarah.
Dalam kitab Majma’uz Zawaid, Imam al Haitsami menyebutkan
sebuah kisah tentang wafatnya al Husain bin Ali. Disebutkan ada seorang lelaki
bernama Zur’ah yang ikut andil dalam pembunuhan Husain bin Ali dengan panahnya.
Saat al Husain mendekati ajal, Beliau meminta air. Akan tetapi para penjahat
itu, termasuk Zur’ah tak mengijinkan seorangpun memberinya minum. Singkat
cerita, al Husain wafat. Dan manakala Zur’ah mendekati ajalnya, dia dihukum
dengan deraan rasa haus yang tak kunjung terpuaskan meski telah minum hingga
kembung. Akhirnya dia pun tewas karena kehausan. (Disebutkan juga dalam
Nihayatuzh Zhalimin:3/88)
Membaca kisah di atas, kita jadi teringat satu hal; hukum
karma. Kejahatan seseorang akan membuahkan keburukan serupa atas dirinya.
Namun, benarkah hukum karma itu ada? Dan apakah Islam juga mengakui hukum
karma? Mari kita cermati persoalan ini.
Karma menurut bahasa Sanksekerta artinya berbuat. Secara
istilah, karma dipahami sebagai hukum sebab akibat atau “samsara”. Konsep ini diakui dalam filsafat
Hindu, Sikh dan Budhisme. Hasil atau buah dari perbuatan disebut karma-phala.
Ini bukan hanya berlaku untuk hal buruk, yang baik juga demikian. Hanya saja
konotasi makna karma atas perbuatan buruk lebih masyhur.
Dalam filsafat Jawa, konsep karma juga diyakini
keberadaaanya sebagai hukum sebab akibat. Pepatah Jawa mengatakan “ngunduh
wohing pakarti” (seseorang akan memetik buah dari perbuatannya). Yaitu bahwa perbuatan seseorang akan secara
aktif berperan membentuk dan memengaruhi masa yang akan datang. Sesuatu yang
positif akan membuahkan hasil positif dan yang negatif akan mendatangkan hal
negatif. Banyak peribahasa mengibaratkan hal ini, misalnya: Siapa menanam akan
mengetam, siapa menebar angin akan menuai badai atau menepuk air di dulang,
terpercik muka sendiri. Orang Eropa menyebutnya dengan hukum kausalitas.
Bagaimana dengan Islam?
Sebenarnya konsep sebab akibat merupakan sunah kauniyah
Allah yang memang bisa diindera dan diambil sebagai “ilmu kehidupan” oleh
manusia. Karenanya, tidak mengherankan jika hal tersebut diakui oleh berbagai
agama dan ajaran. Semua orang tentu mengerti bahwa perbuatan jahat seperti
mencuri, menyakiti atau membunuh pasti akan menyebabkan munculnya keburukan;
dibenci orang, balas disakiti atau bahkan dibunuh. Demikian pula sebaliknya,
yang berbuat baik akan menuai buah kebaikannya. Hanya saja, pada masing-masing
agama pasti ada perbedaan dalam beberapa sisinya karena perbedaan keyakinan.
Di dalam Islam, konsep jaza’ (balasan atas perbuatan)
merupakan bagian penting dalam ajarannya.
Pepatah mengatakan “kama tadinu tudanu”, bagaimana kamu memperlakukan,
seperti itulah kamu akan diperlakukan. Ini bukan hadits, tapi menurut sebuah
riwayat pepatah ini adalah nasihat bijak Abu Darda’, yang diriwayatkan secara
mauquf oleh Abu Qilabah. Lengkapnya;
البِرُّ
لاَ يَبْلَى وَالذَّنْبُ لاَ
يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ، اعْمَلْ
مَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ
تُدَانُ
“Kebajikan itu tak akan pernah
usang, dosa tak akan pernah dilupakan, sedangkan Allah Maha Pembalas tak akan
mati. Lakukanlah apa yang engkau suka. Karena sebagaimana engkau memperlakukan,
seperti itulah kau akan diperlakukan.” (Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As
Suyuthi, 11/169, Asy Syamilah.)
Hanya saja, tentunya Islam tidak mengenal istilah karma. Di
dalam Islam kita meyakini bahwa Allah Ta’ala membalas perbuatan baik dan
mengganjar perbuatan buruk. Balasan itu bisa di dunia, bisa pula di akhirat
atau bahkan dunia dan akhirat. Dan setiap balasan yang Allah berikan pasti akan
setimpal dengan kadar perbuatan yang menyebabkannya, sesuai kebijaksanaan-Nya.
Perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan, sedang perbuatan buruk akan
mendatangkan keburukan pula. Dan Allah sedikitpun tidak pernah zhalim atas
hamba-Nya. Sebagian salaf mengatakan;
فَإِنَّ
جَزَاءَ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا كَمَا أَنَّ ثَوَابَ
الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا
“Sesungguhnya balasan keburukan
adalah muculnya keburukan setelahnya sebagaimana balasan kebaikan adalah
diperolehnya kebaikan sesudahnya.”(disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir,
II/498).
Yang membedakan Islam dengan ajaran lain adalah keyakinan
mengenai siapa yang menjalankan hukum ini. Seoang muslim meyakini, Allahlah
yang punya hak mutlak untuk membalas dan menghukum perbuatan manusia. Sifatnya
sangat rahasia dan sesuai kehendak-Nya. Dan karenanyalah balasan atas suatu perbuatan
manusia tidak semuanya bisa diterka. Bahwa kalau berbuat begini, besok pasti
akan diperlakukan persis seperti dulu dia berbuat. Ada banyak aspek yang –atas
izin-Nya- turut memengaruhi. Hal itu menjadi sesuatu yang rumit, kompleks dan
tidak terduga. Bisa jadi seseorang memang dibalas persis seperti perbuatannya,
atau seperti yang sudah diancamkan dalam nash.
Tapi bisa jadi pula dalam bentuk lain, atau tidak menutup kemungkinan
tidak ada balasan sama sekali karena kasih sayang Allah atasnya. Semua in berjalan
atas kekuasaan Allah.
Sebagian kekuasaan itu diwujudkan dalam aturan syariat yang
harus dijalankan manusia. Misalnya, hukuman bagi pembunuh yang disengaja adalah
hukuman mati, tentunya setelah melalui keputusan hakim yang berwenang. Dan
sebagian besar lain merupakan hukuman yang sifatnya ghaib. Artinya hanya Allah
sajalah yang tahu, apa, kapan dan bagaimana hukuman itu akan diberlakukan.
Hal lain yang membedakan adalah cara untuk menghindarkan
diri dari efek negatif perbuatan buruk yang dilakukan, tentunya juga harus
mengacu pada tuntunan-Nya. Yakni dengan taubat nashuha, memohon keridhoan dari
yang dizhalimi dan mengembalikan haknya. Setelah itu berusaha memperbaiki diri
dengan ketatan kepada-Nya dan menjauhi perbuatan zhalim yang lain. Sedang agama
lain mungkin menyaratkan penebusan, sesaji, ritual tertentu yang semuanya tidak
akan menyelesaikan masalah karena tidak berada di bawah bimbingan-Nya.
1.
Teori Sebab Akibat (Kausalitas) Secara Umum:
Teori Sebab Akibat (Kausalitas) pada dasarnya telah muncul
seumur dengan peradaban manusia, bahkan seusia dengan alam ini dan realitas
eksistensi itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang berakal berupaya mencari
sebab-sebab dari setiap kejadian. Dengan mengetahui sebabnya berarti memahami
akar permasalahan dan sumber akibat atau kejadiannya.
Dalam literatur disebutkan bahwa sebuah hukum dasar
kehidupan pertama kali dikemukakan oleh Socrates lebih dari 400 tahun sebelum
masehi yang disebut Kausalitas atau Hukum Sebab Akibat. Hukum kausalitas
menyatakan bahwa “Setiap akibat dalam hidup ada penyebabnya”
Mengacu pada ilmu logika bahwa proposisi tersusun dari
premis minor dan premis mayor. Misalnya A dari B (premis minor) dan B dari C
(premis mayor), maka A dari C. Jika menolak prinsip kausalitas, maka mustahil
melahirkan silogisme dari proposisi itu, yaitu A dari C. Menolak kausalitas
artinya ragu B dari A dan juga ragu B dari C, akhirnya mustahil menyimpulkan A
dari C. Jadi, silogisme A dari C hasil dari adanya hubungan keniscayaan dari
dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan
kausalitas atau hubungan sebab akibat.
Prinsip kausalitas adalah melihat fenomena hubungan sebab
akibat antara yang satu dengan yang lainnya (‘jika ‘a’, maka ‘b’) dan bersifat
pasti. Pada alam, misalnya dapat dipahami sebagai rangkaian gerak sebab
akibat/kausalitas dan bukan sebagai gerak tanpa arah yang jelas, yang tidak
bisa di prediksi. Dapat dikatakan bahwa peranan hukum sebab akibat dalam
realitas alam, yaitu alam fisik dikendalikan oleh hukum sebab akibat alami.
Beberapa filsuf mendefinisikan kausalitas sebagai berikut:
1. Al-Farabi berkata, “Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada
dan hadir bersama dengan akibat”
2. Ibnu Sina menyatakan, “Sebab adalah sesuatu yang
meniscayakan sesuatu yang lain, dan akibat mesti aktual karena keaktualan
sebabnya“
3. Mulla Sadra menyatakan, “Sebab memiliki dua pengertian.
Pertama, sebab adalah wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang
lain dan ketiadaan sebab berefek pada ketiadaan realitas itu. Kedua, sebab
adalah wujud yang meniscayakan kebergantungan hakiki realitas lain, dan
ketiadaan akibat karena ketiadaan sebabnya”
4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, “Maksud sebab adalah
sesuatu yang keberadaannya meniscayakan sesuatu yang lain dan memustahilkan kejamakan
sebab“.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
sebab merupakan realitas wujud yang meniscayakan kebergantungan mutlak dan
hakiki segala eksistensi eksternal lainnya. Contohnya, secara hakiki api dan
panas memiliki hubungan khusus yang disebut kausalitas atau hubungan sebab
akibat. Dengan kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas
dengan realitas lain serta menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas
tersebut.
Jadi sebab, akibat dan hubungan sebab akibat (kausalitas)
memiliki realitas yang tak terpungkiri. Dalam perspektif filsafat Islam,
prinsip dan hubungan kausalitas bersifat universal dan tak terbatas pada alam
tertentu, tapi terterapkan pada semua alam baik alam materi maupun alam non-
materi. Hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan penginderaan lahiriah
tapi berkaitan dengan persepsi akal dan dibuktikan lewat pengkajian-pengkajian
rasional.
Dalam pandangan para filosof, pandangan terhadap objek
sebagai kajian filsafat tentunya terdapat pertentangan, perdebatan atau
keberterimaan. Demikian halnya pandangan terhadap teori sebab akibat juga
diwarnai dengan adanya penolakan. Sebagian filosof barat beraliran empiris
seperti David Hume menolak hubungan kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa
yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas bukan hubungan khusus yang
bersifat niscaya (kausalitas).
Segala realitas yang mustahil terempiriskan tidak
dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Hubungan kausalitas itu mustahil
terempiriskan maka tak berwujud. Selanjutnya dikatakan bahwa segala pengetahuan
manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Menurutnya, jika terdapat
“keberhubungan” antara satu realitas dengan realitas lain, hubungan ini hanya
bersifat kebetulan, bukan karena adanya hubungan kausalitas. “Keberhubungan”
dua realitas itu senantiasa terjadi, keberadaan api memunculkan panas, maka
“hubungan kausalitas” antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran”.
Immanuel Kant, filosof besar asal Jerman mengambil jalan lain dalam menyikapi
hubungan kausalitas itu. Menurutnya kausalitas atau hubungan hakiki sebab
akibat hanya terwujud di alam pikiran dan bukan di alam eksternal. Hubungan itu
dikatakan ada di alam eksternal jika bisa diaplikasikan kedalam fenomena
ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu tak bermanfaat jika
mustahil terterapkan dalam koridor ruang waktu. Kant dan Hume sepakat bahwa
pengetahuan berasal dari realitas empiris. Hume berbeda pendapat dengan Kant
dalam hal bahwa walaupun pengetahuan kita di peroleh dari realitas-realitas
empiris, ini bukan berarti semua pengetahuan berasal dari realitas empiris.
Dalam pendekatan sejarah dijelaskan berbagai peristiwa
(masalah) dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis hubungan kausalitas
sebagai akibat (cause-effect) sehingga setiap fenomena merupakan akibat
(consequence) dari sebab sebelumnya (antecendent cause). Masalah kausalitas
merupakan bagian dari masalah eksplanasi sejarah yang luas dan mendalam serta
merupakan masalah metodologis. Peristiwa yang terjadi hampir merupakan aksioma
bahwa segala sesuatu mempunyai sebab-sebab. Kausalitas adalah suatu rangkaian
peristiwa yang mendahului dan peristiwa yang menyusul.
2.
Aplikasi Teori Sebab Akibat dalam Kajian Agama
dan Kesehatan:
Teori sebab akibat dalam kajian agama diantaranya adalah
pemikiran tentang Tuhan. Filosof Al Kindi dan Al Farabi berkesimpulan bahwa
Tuhan adalah sebab pertama (first cause). Filosof termahsyur, seperti
Aristoteles dan Thomas Aquinas menyebut sebagai penyebab tanpa penyebab, causa
prima, penyebab pertama, atau bahkan penggerak pertama. Hubungan hakiki antara eksistensi
dan Tuhan disebut niscaya artinya eksistensi dan Tuhan adalah dua hal yang
mustahil terpisahkan yaitu wujud Tuhan pasti ada, mustahil tiada, niscaya dan
senantiasa ada. Wujud Tuhan, dalam istilah filsafat, disebut Wujud Wajib (wâjib
al-wujud). Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa,
akal, jasmani, harta, dan keturunan bagi umat manusia. Anggota badan manusia
pada hakekatnya adalah milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, bukan untuk disalah gunakan. Dari keberadaan-tuhan.
Al-quran menjawab: kesimpulan-mengingkari premis Keberadaan
Tuhan.
1. Al-Dzanb: Artinya akibat, karena setiap amal-salah
mempunyai akibatnya sebagai balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Kata ini
muncul 35 kali dalam Al-Qur'an.
2. Jurm: Arti harfiahnya memetik (melepaskan) buah dari
pohonnya, atau berarti rendah. Kata jarimah atau jara'im berasal dari kata ini.
Jurm adalah perbuatan yang melepaskan atau menjatuhkan manusia dari tujuan,
proses penyempurnaan, kebenaran dan kebahagiaan. Kata ini tercantum 61 kali
dalam Al-Qur'an.
3. Khathi'ah: Kebanyakan berarti dosa yang tidak disengaja.
Kadang-kadang juga digunakan untuk dosa besar, seperti dalam surah Al- Baqarah
ayat 81 dan surah Al-Haqqah 37. Kata ini pada mulanya berarti keadaan yang
menimpa manusia setelah ia melakukan dosa. atau perasaan yang timbul akibat
dosa tersebut, dan yang membuat ia terlepas dari pertolongan, dan yang menutup
pintu masuk cahaya hidayah ke kalbu manusia. Kata ini disebut 22 kali dalam
Al-Qur'an.
4. Munkar: Berasal dari kata inkar yang berarti tidak kenal
atau ditolak, karena dosa ditolak oleh fitrah dan akal sehat. Akal dan fitrah
menganggapnya asing dan jelek. Kata ini disebut sebanyak 16 kali dalam
Al-Qur'an dan kebanyakan dipaparkan dalam bagian Nahy 'an almunkar.
Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, dapat tarik
sebuah korelasi (hubungan) bahwa Islam sangat menekankan tentang kebersihan,
baik kebersihan jasmani maupun rohani. Di satu sisi Allah memerintahkan untuk
menjaga kesehatan dan kebersihan fisik, di sisi yang lain Allah juga
memerintahkan untuk menjaga kesehatan mental dan jiwa (rohani). Kesehatan
manusia dapat diwujudkan dalam beberapa dimensi, yaitu jasmaniah material yang
disembuhkan oleh keseimbangan nutrisi, kesehatan fungsional organ yang
disembuhkan oleh energi aktivitas jasmaniah, kesehatan pola sikap yang
dikendalikan oleh pikiran, dan kesehatan emosi-ruhaniah yang disembuhkan oleh
aspek spiritual keagamaan.
Dalam konsep umum dan realitas tentang kesehatan
sesungguhnya banyak yang sejalan dengan teori sebab akibat atau karma. Status
kesehatan seseorang maupun masyarakat sebagai akibat dipengaruhi oleh banyak
faktor yang merupakan sebab. Sebagai contoh adalah ketika seseorang melaksanakan
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), maka kecenderungan ia akan dalam
kondisi kesehatan yang baik. Demikian juga berlaku sebaliknya. Contoh lain
adalah kejadian kecelakaan yang banyak disebabkan oleh faktor manusia, dan masih
banyak lagi kejadian atau teori-teori dalam kesehatan yang intinya adalah
perwujudan dari teori sebab akibat atau karma.
Secara ilmiah, penyakit (disease) dapat diartikan sebagai
gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi
atau tekanan dari lingkungan. Dengan demikian penyakit itu bersifat obyektif.
Sedangkan sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman
menderita suatu penyakit dan bersifat subyektif. Fenomena subyektif ditandai
dengan perasaan yang tidak enak. Konsep “Kesehatan untuk Semua” dapat diartikan
sebagai kesehatan merupakan kebutuhan setiap individu, baik orang yang sakit
maupun yang sehat, kesehatan juga merupakan kebutuhan manusia dari berbagai
kelangan baik dilihat dari ekonomi (kaya-miskin), sosial (kalangan elit atau wong
alit), geografik (desakota), psikologi perkembangan (bayi, anak, remaja,
dewasa, atau manula) maupun status kesehatan (sakit/sehat), orang sakit membutuhkan
penyembuhan (kuratif) dan orang sehat membutuhkan adanya promotif
(peningkatan), preventif (pencegahan), rehabilitatif (perbaikan), dan
konservatif (pemeliharaan).
Seluruh aktivitas manusia dari bangun pagi, aktivitas, tidur,
hingga bangun kembali di waktu berikutnya terkait dan berpengaruh terhadap
kesehatan. Alat kerja filsafat yaitu berfikir berpengaruh jiwa. Dengan berfikir
yang sehat, maka akan menumbuhkan jiwa sehat pula. Kesalahan dalam melakukan manajemen
aktivitas dapat menyebabkan terganggunya kesehatan, seperti salah tidur, salah
makan, salah cara membaca, salah berpakaian, salah berdandan, dan sejenisnya
dapat menyebabkan terganggunya kesehatan. Berbicara mengenai penyebab penyakit
dikenal adanya multi cause. Artinya bahwa satu jenis penyakit yang timbul dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Selain bahwa ada yang disebut sebagai penyebab
utama atau agent tunggal untuk beberapa jenis penyakit tertentu, yang biasanya
adalah penyakit-penyakit infeksius. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan yang ada, termasuk daya tahan tubuh, kekebalan, suhu lingkungan dan
lain-lain.
Demikian juga pada penyembuhan penyakit. Satu jenis penyakit
kadang tidak cukup disembuhkan oleh satu jenis obat. Misalnya, seorang dokter
kadang menggunakan teknik polifarmasi, yaitu memberikan obat lebih dari 1 jenis
dengan tujuan menyembuhkan 1 jenis penyakit. Sebuah penyakit bisa ditandai
dengan adanya beberapa yang tampak. Pada pemaknaan sebuah perilaku, sebuah
tindakan manusia dapat memiliki makna lebih dari 1 sehingga tindakan manusia
tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat relatif dan kontekstual. Untuk
perilaku sosial dapat lebih bersifat relatif dan kontekstual, maka pola yang
berkembang bisa berupa satu sebab melahirkan satu akibat, satu sebab melahirkan
lebih dari 1 akibat, banyak penyebab, melahirkan satu akibat, banyak penyebab
melahirkan banyak akibat, variasi penyakit dan teknik pengobatan, satu sebab
melahirkan satu akibat.
Aplikasi atau perwujudan kausalitas tersebut, diantaranya
adalah kulit yang tergores oleh senjata tajam menyebabkan luka berdarah,
seseorang menderita sakit gigi kerap kali merasakan berbagai rasa sakit yang
lain misalnya saja pusing, reaksi emosional yang tinggi dan tidak saat makan.
Orang yang terkena hujan, perut kosong, jarang olahraga, kemudian dia menderita
sakit demam. Kemudian orang yang terlalu capai dan tidak disiplin dalam akut
makan bisa terkena sakit maag yang menyebabkan komplikasi penyakit tifus. Dalam
“hukum alam Sebab akibat” penyakit seseorang ini di lingkungan kedokteran pun
diakui tentang tidak adanya hukum kausalitas yang monoliti (satu sebab dengan
satu akibat).
3. Kesimpulan:
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
secara umum, Hukum Kausalitas berbunyi, “Setiap Akibat Membutuhkan Sebab”. Hal
penting dalam teori sebab akibat, mencakup diantaranya Prinsip Kausalitas,
Gamblangnya Teori Kausalitas, Hakikat Kausalitas, Keidentikan Sebab dan Akibat,
Hubungan Keniscayaan Sebab dan Akibat, Kebersamaan Hakiki Sebab dan Akibat,
serta Hubungan Sebab Akibat Hanya Pada Wujud. Agama dan kesehatan memiliki
asosiasi yang timbal balik. Mengacu pada teori sebab akibat bahwa setiap akibat
ada penyebabnya, maka setiap penyakit ada penyebabnya. Demikian juga akibat
berupa sehat juga ada penyebabnya, misalnya saja perilaku hidup yang bersih dan
sehat. Hal yang sama pada penyakit, baik secara agama maupun non agama, kesehatan
diharapkan untuk dilakukan pengobatan karena menurut agama setiap penyakit ada
obatnya. Selain mengobati, hal penting lainnya adalah melakukan promosi, proteksi
dan pencegahan terhadap gangguan kesehatan dan keagamaan secara parsial maupun
menyeluruh.
NAH... APAKAH HARI INI ANDA BARUSAN MENCUBIT/MENJEWER ATAU
MEMUKUL/MENENDANG TEMAN ANDA? ATAU MENGGUNJING, MENFITNAH SAHABAT ANDA? ATAU
HABIS MENGADU DOMBA TETANGGA ANDA? ATAU MUNGKIN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG
LAIN, MEMBENCI, MENDEBAT, MENYANGKAL, MENKRITIK, MENJELEK-JELEKAN, MENCEMOH,
MENGHINA, MENJATUHKAN DLL, ATAU MELUPAKAN KEBAIKAN ORANG LAIN WALAU ITU HANYA
SECUIL...?! Jika iya... Maka Beriaplah
untuk Menyambut dan Menerima Hukum Sebab Akibat dari KARMA Anda Sendiri... Entah
Besok atau lusa atau beberapa hari, minggu, bulan dan Tahun yang akan datang.
Itu Pasti akan kita panen, hasil dari yang sudah kita tanam. Jika bukan kita,
maka anak cucu kita nantinya.
He he he . . . Edan Tenan... Salam Rahayu kanti Teguh Slamet
Berkah Selalu Lurr... Semoga Pelajaran ini Berguna dan Bermanfa’at Serta
membuat kita mengerti:... Kususnya anak-anak didik saya... Amiin.
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan