Dilihat dari budaya dan sejarahnya:
Oleh: Wong Edan Bagu.
(PRTP)
Jakarta selasa tgl 26 Agust 2014
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk
manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka
bumi ini. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mempunyai persamaan visi
dan misi baik bahasa, ciri khas, budaya, yang terkumpul dalam sebuah wadah.
Kebudayaan merupakan sebuah tradisi yang lahir dari pola
pikir dan embrio dari pemaknaan manusia melihat sebuah fenomena yang terjadi
dalam masyarakat yang kemudian menjadi ciri khas dan karakter sebuah masyarakat
agar selalu dapat dilestarikan kepada anak dan cucu. Terkadang sebuah budaya
diwujudkan dengan adanya sebuah prosesi ritual yang menyangkutkan masyarakat
Ritual Rebo Pungkasan merupakan sebuah ritual tradisi
yang berada di daerah Yogyakarta, Persisnya di daerah Wonokromo, Pleret,
Bantul, Yogyakarta. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali. Rabu Pungkasan
merupakan salah satu aset dari nenek moyang yang diturunkan secara turun
temurun dan mengalami perubahan sampai sekarang. Banyak makna dan sejarah yang
terkandung dalam upacara tradisi tersebut.
Kajian Teori;
Antropolinguistik adalah ilmu yang memadukan antara
antropologi dan linguistik. Yang mana keduanya memiliki perbedaan cukup unik
dimana saling berbeda ranah kajiannya namun memiliki persamaan yaitu objeknya
pada masyarakat atau manusia. Bahasa dan budaya yang ada dimasyarakat yang
dikaji dalam Antropolinguistik ini, dimana makna dari sebuah tradisi kebudayaan
di masyarakat dikaji dari segi makna, fungsi, tujuan, manfaat dan latar belakang
dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan bahasa dan budaya yang ada.
Pembahasan:
Menurut Sumber Pertama ;
Sejarahipun inggih rikala Sultan Agung semedi sak
pinggiripun tempuran, panjenenganipun dipun rawuhi kalih kanjeng Ratu Kidul
ngagem jaran sembrani ingkang tipak padalan tapal jaranipun kito pindah wonten
sak wetanipun kali. Sakmenika padalipun taksih, ngapunten bener nopo mbtenipun
ning ceriosipun simbah kula ngoten wau. Salajengipun, gegandengan kanjeng Ratu
kidul mboten purun pakean ingkang dipun agem teles, panjenenganipun ratu kidul
cincing-cincing agemanipun dugi ketingalan janmonipun kanjeng ratu kidul.
Langgih jelas to mas Kanjeng Sultan Agung lajeng medal janmo kakungipun utawi
birahinipun lan saklajengipun nggih niku wau kumpul kasmaran wonten ing papan
menika.
Mila rumiyin upacara dipun lakoni niru Sultan Agung lan
Ratu Kidul. Inggih tiyang putri nglewati kali tempuran kang mboten jerem
sontenipun sakderengipun upacara inti kawiwitan. Lan ten kali tempuran tiyang
putri ingkang nyabrang ampun ngantos duka menawi dipun godani kaliyan tiyang
kakung kang mersani tiyang-tiyang putri nyabrang tempuran. Lan kathah
pangucapan- pangucapan ingkang mboten seronok wonten ing prosesi menika, mila
menawi tiyang putri sami rawuh wonten ing upacara menika ampun nesu lan mangkel
menawi dipun bajuli kaliyan tiyang-tiyang kakung amergi niku sampun dados
tradisi wonten ing upacara Rebo Pungkasan.
Menurut Sumber Kedua;
Rebo pungkasan menika inggih upocoro kagem nyambut wulan
mulud ingkang sakmenika dawah ing dinten rebo awal wulan mulud. Kagem mengeti
kelairan kanjeng nabi Muhammad. Sak derengipun dipun mengeti dipun milai dipun
adani pasar malem supados masyarakat pleret lan sak jawinipun rawuh tumplek
blek wonten sak jeroning upacara samangke. Pancen kala rumiyin upacara
kawiwitan wonten ing tempuran kagem ngleksanakaken wasiatipun kyai Fakih kagem
mengeti crito Sultan Agung kang kempal kalih Ratu Kidul wonten ing tempuran.
Nanging amergi jaman ingkang ngraosi supados dipun alihaken pengetanipun,
sakniki dipun pindah prosesinipun wonten mergi imogiri dugi balai wonokromo
ngagem lemper. Pancen rekaos kathah menawi dipun wontenaken upacara Rebo
Pungkasan. Menapa ngagem lemper??, mergi makna lemper menika iggih guyup,
makmur lan sentosa. Isi lemper kang iwak utawi ati nggadahi makna makmur lan
sentosa, menawi bungkus lan sodonipun menika nggambaraken persatuan sedaya
masyarakat pleret wonten upacara lan gathuking kali opak lan gajah wong ing
tempuran. Menawi ngrawuhi prosesi upacara menika kalian tiyang ingkang dipun
senengi, insya Allah saged langgeng menawi donga ingkang dipun paringi kaian
kiai Fakih kang mboten saben uwong mangertos, namung ngagem tirakatan rumiyin.
Mekaten dongane :.........
Terjemahan dan Pembahasan yang lebih terperinci:
Pada awalnya Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan, merupakan
upacara tradisionil yang terjadi di suatu tempat yang disebut tempuran, yaitu
tempat bertemunya Sungai Gadjah Wong dengan Sungai Opak. Tempuran tersebut
terletak kira-kira 2 km sebelah timur Balai Desa Wonokromo. Di sekitar tempuran
tersebut terdapat beberapa tempat atau peninggalan yang sering dihubungkan
dengan legenda yang pernah terjadi di tempat itu. Kondisi tempuran itu sendiri
sudah berubah karena tempat tersebut sudah dibangun bendungan sehingga mengubah
upacara tradisional yang dilakukan masyarakat. Tradisi ini bermula dari adanya
kebiasaan Sultan Agung yang sering mengunjungi Pleret dan melakukan
"nenepi" atau semedi di tempuran Wonokromo. Dalam bersemedi, Sultan
Agung mengambil tempat di salah satu tepi tempuran atau sungai. Kebiasaan yang
dilakukan oleh Sultan Agung tersebut memang sesuai dengan kebiasaan Raja-raja
Jawa dan masyarakat Jawa pada umumnya. Pada saat-saat tertentu, orang Jawa
melakukan tirakatan, nenepi atau semedi untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar diberi perlindungan, diberi keselamatan, murah rejeki, memperoleh
kedudukan dan lain-lainnya. Untuk melakukan kebiasaan tersebut, biasanya akan
menghadapi banyak gangguan, kendala dan hambatan macam-macam.
Karena itu kebiasaan Sultan Agung tersebut juga dikaitkan
dengan cerita rakyat dan dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat Yogyakarta
tentang penguasa Laut Selatan yaitu Ratu Kidul. Bahkan dipercaya Raja-raja
Yogyakarta selalu menjalin hubungan khusus dengan Kraton Laut Selatan yang
dipimpin oleh Ratu Kidul tersebut.
ketika Sultan
Agung tengah bersemedi, tiba-tiba diganggu kedatangan Ratu Kidul yang menaiki
Kuda Sembarani. Di sekitar lokasi tempuran terdapat benda-benda yang oleh
masyarakat dihubungkan dengan keberadaan Kuda Sembrani. Di situ terdapat batu
dengan lekuk di bagian tengah yang dianggap sebagai tempat minum Kuda Sembrani.
Begitu pula di sekitar tempat itu juga terdapat bekas tapak kuda. Menurut
cerita Ratu Kidul kemudian turun di seberang sungai atau di tampat yang
berseberangan dengan tempat Sultan Agung bersemedi. Karena ingin mendekati
Sultan Agung, maka Ratu Kidul kemudian menyeberangi sungai.
Ketika
menyeberangi sungai agar supaya pakaiannya tidak basah kena air, maka Ratu
Kidul mengangkat kainnya keatas, atau dalam istilah Jawa "cincing"
hingga kelihatan betis dan pahanya. Tentu saja dalam mengangkat kainnya, Ratu
Kidul akan menyesuaikan dengan kedalaman sungai. Sehingga ketika melalui bagian
sungai yang ralatif dalam, makin tinggilah Ratu Kidul dalam mengangkat kainnya.
Penampilan Ratu Kidul yang cantik jelita, dipadu dengan kondisi alam yang
indah. Apalagi ketika itu Ratu Kidul mengangkat kainnya ke atas, membuat Sultan
Agung terkesima, kagum dan terpesona. Karena begitu terpesonanya hingga
mendorong hasrat kelelakiannya. Sesampainya di seberang maka disambutlah Ratu
Kidul oleh Sultan Agung.
Selanjutnya Sultan Agung dan Ratu Kidul larut dalam gelegak asmara. Dari
peristiwa ini kemudian munculah sebutan Wonokromo. Upacara tradisional ini mengikuti dan meniru
tindakan yang pernah dilakukan Ratu Kidul dan Sultan Agung. Walupun peristiwa
yang ditiru tidak sepenuhnya, namun hanya semedi dan menyeberang tempuran.
Karena itu dapat dikatakan kalau upacara tradisional Rebo Pungkasan telah
berlangsung sangat lama. Pada Rabu Wekasan, masyarakat berbondong-bondong ke
tempat tersebut untuk melakukan tirakatan dengan tidak tidur semalam suntuk.
Pada
sore hari hingga petang, sebelum di Tempuran dibangun bendungan, pengunjung
wanita juga melakukan "upacara" meniru Ratu Kidul yaitu menyeberangi
tempuran sambil mengangkat kain mereka. Acara ini diwarnai dengan tingkah para
pengunjung pria mengganggu atau menggoda pengunjung wanita. Selain itu juga
diriuhkan dengan teriakan-teriakan pengunjung pria yang meneriakkan kalu
penyeberang wanita tersebut kurang tinggi dalam mengangkat kainnya. Karena
ejekan dan teriakan tersebut, maka wanita-wanita juga semakin tinggi mengangkat
kainnya sehingga adegan itu menjadi tontonan menarik bagi pengunjung lainnya,
khususnya pengunjung pria. Tentu saja karena banyaknya orang maka ucapan-ucapan
yang keluar sering kurang terkontrol sehingga tidak dapat dilepaskan dari
kata-kata menjurus ke pornografi. Selain itu ada pula, tradisi yang dianggap
berlaku dalam Rebo Pungkasan di Tempuran tersebut, yaitu bahwa wanita yang
berkunjung atau memasuki tempat upacara harus merasa tidak terganggu kalau ucapan
maupun hal-hal lain sepanjang masih wajar, dari pengunjung pria.
Karena semua itu masih merupakan bagian dari tradisi.
Karena sudah mentradisi maka adat tersebut terus dilakukan oleh masyarakat
dengan mendatangi tempuran setiap Rebo Pungkasan. Masyarakat yang berkunjung
bukan hanya dari daerah sekitar, bahkan dari daerah-daerah lain, baik di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta maupun dari luar daerah.
Untuk memeriahkan Rebo Pungkasan maka diselenggarakan
semacam pasar malam selama kurang lebih satu minggu. Pasar malam tersebut
diadakan di lapangan di depan balai Desa Wonokromo. Selain dimeriahkan dengan
bermacam-macam stand seperti makanan dan minuman, serta jualan.
Pada pasar malam itu juga dibuka beberapa stand hiburan
lainnya. Pada puncaknya seluruh rangkaian Rebo Pungkasan diakhiri dengan
prosesi "ngarak lemper" atau membawa lemper besar. Prosesi ngarak
lemper dan pasar malam tersebut juga untuk memberikan wadah yang positif bagi
masyarakat dalam ikut meramaikan Rebo Pungkasan. Disamping itu, masyarakat
Wonokromo saat ini merupakan masyarakat yang agamis. Karena itu perlu dilakukan
upaya-upaya untuk meminimalisir hal-hal yang negatif atau musryk dari tradisi
Rebo Pungakasan dan digantikan dengan hal-hal yang positif, baik dari segi
etika, maupun dari aspek norma agama.
Pada upacara tersebut dibuatlah lemper besar yang
sebenarnya hanya lemper lemperan. Namun demikian dalam acara tersebut diarak
pula lemper besar sungguhan yang kira-kira sebesar kenthongan bambu.
Arak-arakan lemper tersebut diikuti oleh berbagai kelompok kesenian. Biasanya
ada pasukan berkuda, prajurit kraton dan kesenian lainnya. Arak-arakan tersebut
berangkat dari Masjid Wonokromo kemudian menyusuri jalan desa sepanjang kurang
lebih 2 km. dan berakhir di bali Desa Wonokromo. Sebelum berangkat prosesi
diawali dengan doa dan membaca Al Fatihah.
Di sepanjang jalan ribuan pengunjung bergerombol di
kiri-kanan jalan menyaksikan dan memeriahkan acara tersebut. Sesampainya di
Balai Desa, pemimpin prosesi kemudian menyerahkan berbagai uba rampe termasuk
lemper besar kepada Kepala Desa. Setelah ada kata sambutan dan penjelasan
kepada pengunjung maka lemper tersebut kemudian dipotong-potong untuk dibagikan
kepada pengunjung dan undangan.
Kalau menurut pandangan saya, prosesi mengarak lemper bukan
berarti mengkultus individukan makanan rakyat tersebut. Namun sejarahnya,
Panembahan Senopati juga sering mengadakan semedi di Tempuran akan diakhiri
dengan pengajian di Masjid Wonokromo. Salah satu hidangan kesukaan beliau dalam
acara di Masjid tersebut adalah lemper. Oleh karena itu untuk melestarikan dan
mengingat "laku" yang dilakukan Panembahan Senopati. Disamping itu
lemper juga merupakan makanan yang populer di masyarakat. Upacara tradisional
Rebo Pungkasan saat ini semakin berkembang dan menjadi tontonan wisatawan.
Bahkan sering wisatawan asing juga menyaksikan Rebo Pungkasan tersebut. Upacara
tradisional Rebo Pungkasan, dari aspek ekonomi juga dirasa menguntungkan dengan
adanya lapangan pekerjaan yang memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat
setempat.
Saya coba paparkan beberapa cerita tentang Kanjeng Ratu
Kidul berdasarkan pengetahuan saya, hasil share saya dengan beberapa orang dan
dari Internet, lalu saya coba saya
rangkum menjadi sebuah kategori-kategori cerita. Dan semoga ada manfaatnya yang
membawa berkah bagi kita semuanya. Dan Seperti biasa postingan ini saya sajikan
bukan untuk dipuji apalagi dihina namun hanya untuk bisa diketahui oleh
Saudara-saudari terkasih saya, kususnya anak-anak didik saya tercinta, juga
para hobi pembaca yang budiman.
KANJENG RATU KIDUL:
Menurut cerita umum, Kangjeng Ratu Kidul pada masa
mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu
Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi,
cicit Raja Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini kemudian melarikan
diri dari kraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering
nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau
sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk
seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak
mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk
halus. Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu
mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul malahan ada juga yang menyebutnya Nyira
Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata lara
berasal dari rara, yang berarti perawan (tidak kawin).
Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantik tanpa
tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk mengobatinya harus mandi dan
merendam diri di dalam suatu telaga, di pinggir samudera. Konon pada suatu hari, tatkala akan
membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air.
Terkejut karena melihat mukanya yang rusak, sang putri lalu terjun ke laut dan
tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi
mahluk halus.
Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada
yang menamakannya Kangjeng Ratu Angin-angin. Sepanjang penelitian yang pernah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kangjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjad
ratu mahluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir
pantai selatan, mulai dari daerah Yogyakarta sampai dengan Banyuwangi, hanya terpisah
oleh desa Danamulya yang merupakan daerah penduduk Kristen.Camat desa Paga
menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudera
selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur di dalam rumah kecil yang khusus
dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap
tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang
datang,Tuan Welter, seorang warga Belanda yang dahulu menjadi Wakil Ketua Raad
Van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolor di Kepajen,
pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, yang khusus diadakan untuk
Nyai Lara Kidul.
Ditunjukkannya gambar (potret) sebuah rumah kecil dengan
bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai
Lara Kidul. Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan di daerah
Ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur Ngliyep memang masih
terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sampai sekarang. Apakah rumah
ini yang terlukis dalam gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan. seorang
kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tahun 1955 pernah ada serombongan
orang-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan kramat) di pulau
karang kecil, sebelah timur Ngliyep. Seorang di antara mereka adalah gurunya.
Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian terjadi
ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya.
Yang dapat diceritakan ialah bahwa merasa melihat sebuah rumah emas yang
lampunya bersinar-sinar terang sekali.
Di
Pacitan ada keparcayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung
(hijau lembayung), yang erat hubungannya dengan Nyai Lara Kidul. Bila ini
dilanggar orang akan orang akan mendapat bencana. Ini dibuktikan dengan
terjadinya suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta 2
orang anaknya. Mereka bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut, bahkan
mengejek dan mencemoohkan. Pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba
hijau. Terjadilah sesuatu yang mengejutkan, karena tiba-tiba ombak besar datang
dan kembalinya ke laut sambil menyambar tiba-tiba menyambar keempatnya
Seorang dhalang di Blitar menceritakan bahwa di daerahnya
sampai ke gunung Kelud masih ditaati pantangan Kangjeng Ratu Kidul, ialah
memakai baju hijau. Tak ada seorang pun yang berani melanggarnya. Sampai pada
waktu akhir-akhir ini orang masih mengenal apa yang disebit “lampor”, yaitu
suatu hal yang yang dipandang sebagaiperjalanan Kangjeng Ratu Kidul, yang naik
kereta berkuda. Suaranya riuh sekali, gemerincing bunyi genta-genta kecil dan
suara angin meniup pun membuat suasana menjadi seram. Orang lalu berteriak
“Lampor! Lampor! Lampor!”, sambil memukul-mukul apa saja yang dapat dipukul,
dengan maksud agar tidak ada pengiringnya yang ketinggalan singgah di rumahnya,
untuk mengganggu atau merasuki.
Menurut
“penglihatan” seorang pemimoin Teosofi, bangsa Amerika, Kangjeng Ratu Kidul
bukan pria, bukan pula wanita. Dan dikatakannya, bahwa Kangjeng Ratu Kidul
dapat digolongkan sebagai dewi alam. LALU...
BAGAIMANA MENURUT SAUDARA-SAUDARIKU YANG MEMILIKI ILMU PENGALAMA TENTANG HAL
TERSEBUT...? Monggo? Silahkan Share disini..._
Makna Simbol-simbol dalam Upacara Rebo Pungkasan;
Lemper : disisi lain adanya lemper raksasa sebagai budaya
warisan nenek moyang yang melaksanakan upacara rebo pungkasan turun temurun
dank arena konon waktu kanjeng Sultan Agung suka dengan lemper, namun ada beberapa makna yang bisa ditafsirkan dari
lemper sebagai simbol sesaji·
2 sunduk (tusuk bambu yang membungkus lemper)
menyimbolkan makna 2 disini adalah Rukun Islam dan Rukun Iman. Ada juga yang
memaknai bahwa itu adalah sebagai makna 2 sungai yaitu Sungai Opak dan Sungai
Gajah wong. Ada juga yang memaknai bahwa 2 tusuk adalah bertemunya dua insan
yaitu Kanjeng Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul yang mensemakmurkan tanah
jawa yang tidak lain kerajaan mataram·
Bungkus lemper
dimaknai sebagai sebuah pembungkus agar masyarakat pleret selalu dalam keadaan
aman, sejahtera, sentausa. Ada juga yang memaknai adalah bentuk lemper dimaknai
hasil pertemuan Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul yang bercinta dalam
tempuran
Doa.
Setiap Upacara tentunya ada doa-doa dan mantra yang
diucapkan, selain agar prosesi upacara lancer juga doa-doa dipanjatkan kepada
sang pencipta alam yaitu Tuhan yang Maha Esa. Karena dewasa ini, Upacara Rebo
Pungkasan selain diperingati sebagai warisan budaya, namun juga dipakai sebagai
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam upacara Rebo Pungkasan ada beberapa
doa yang wajib dibaca. Antara lain:
Al-Fatihah, wiridan (membaca Lailahailallah
berulang-ulang, takbir, tahmid, istighfar). Membaca Surat Yasin, Ayat Kursy,
doa memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW ditutup doa Sapu Jagad.
KESIMPULAN:
Indonesia akan kaya dengan budaya dan adat istiadat yang
tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai generasi muda wajiblah
mengembangkan, melestarikannya agar masa depan tidak merenggut budaya-budaya
warisan nenek moyang dan hilang ditelan zaman.
Rebo Pungkasan yang menjadi salah satu upacara adat
masyarakat Wonokromo, Pleret,Bantul
dalam realisasinya selalu mengalami pengembangan-pengembangan agar masyarakat
tidak jenuh dan bosan dengan diadakannya Rebo Pungkasan setiap tahunnya.
Majulah budaya Indonesia, Bangunkan generasimu... Kanti
Teguh Rahayu Slamet. GEMAH RIPAH LOH-JINAWI... ... He he he . . . Edan Tenan...
Muga Bermanfa’at dan Berkah.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com