LELUHUR di Jawa sudah paring pepeling. Hati-hatilah
menghadapi owah gingsire zaman, dan silang sengkarut permasalahan duniawi.
Maka, ketika ada tamu pamit, atau sanak
kerabat akan pergi jauh, pesannya selalu: ”Nyangoni slamet. Sing
ngati-ati...” Soalnya: ”kesandhung ing
rata, kebentus ing tawang, dalane ora mung siji”. Sejak masa lalu pun: ”bener durung mesthi
pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik.”
Mulai kisah Ramayana, salang-tunjang antara anggapan,
pendapat, dan perilaku, sudah tumpuk-undhung. Contohnya, kasus Resi Wisrawa.
Begitu putranya, Wisrawana, menggantikan sebagai raja di Lokapala bergelar
Prabu Danapati, dia memilih hidup sebagai pendeta yang harusnya sudah mungkur
dari keduniawian. Ternyata tidak. Ketika Dewi Sukesi bikin sayembara dan
Danapati ingin mengikuti, Resi Wisrawa membuat keputusan aneh. Ia melarang
anaknya memasuki sayembara karena tidak mungkin menang. Dirinya saja yang ikut.
Nanti kalau berhasil Dewi Sukesi akan diberikan pada Danapati.
Celakanya, Resi Wisrawa berhasil. Ia mampu mengubah Dewi
Sukesi dari raksesi menjadi dewi cantik dengan mantram Sastra Jendra Yuningrat
Pangruwating Diyu. Namun, ketika mau diboyong ke Lokapala dijodohkan dengan
Danapati, Dewi Sukesi menolak mentah-mentah. Karena dulu sumpahnya hanya akan
mengabdi kepada orang yang dapat mengubah dirinya jadi perempuan biasa. Dan
orang itu adalah Resi Wisrawa, bukan Danapati. Penolakan itu pun wajar, karena
(mungkin) Dewi Sukesi merasa dirinya bukan barang yang dapat diberikan kepada
siapa saja dengan gampang.
Di sini seharusnya Resi Wisrawa berhenti, karena niat awal
mendapatkan Dewi Sukesi semata-mata demi anak. Ternyata dia berbelok dari
fungsinya sebagai ”bapa”. Dia justru ingkar janji, dan memilih menikahi Dewi
Sukesi demi tanggung jawab pribadinya sebagai ”laki-laki”. Kejadian itu membuat
Jambumangli, sepupu Dewi Sukesi yang juga raksasa dan diam-diam menyintainya,
frustrasi berat. Cita-citanya bakal wurung gara-gara Wisrawa. Maka, Jambumangli
pun menantang perang tanding untuk memperebutkan Dewi Sukesi.
Sekali lagi, Resi Wisrawa harus melayani kehendak orang lain
yang bertentangan dengan nuraninya. Tidak membayangkan pula bahwa dalam perang
tanding Jambumangli terus menghamburkan sumpah serapah dan cacian kotor.
Awalnya, Resi Wisrawa masih menahan diri, namun lama-lama hatinya terbakar
juga. Amarahnya mulai tersulut dan menghanguskan kesadaran serta kendali diri.
Jambumangli disiksa, dijuwing-juwing sampai mati. Sebelum menghembuskan napas
penghabisan, Jambumangli sempat mengutuknya. Nanti, akan ada keturunan Resi
Wisrawa yang mati mengenaskan seperti dirinya. Ternyata kutuk tadi numusi.
Putra kedua Resi Wisrawa, Kumbokarna, tewas dengan tubuh cerai-berai seperti
Jambumangli oleh panah Sri Rama dan Raden Leksmana dalam perang besar merebut
Dewi Sinta di Alengkadiraja.
Mendengar Dewi Sukesi dinikahi ayahnya, Prabu Danapati
segera menemui Resi Wisrawa. Perdebatan sengit pun terjadi. Dan karena keduanya
kukuh mempertahankan kebenaran sikap masing-masing, terjadilah perang tanding
yang sangat memalukan antara anak dan ayah. Keduanya baru dapat dilerai oleh
kedatangan Batara Narada yang menyampaikan bahwa Dewi Sukesi memang ditakdirkan
jadi isteri Resi Wisrawa.
Jika ditelisik, semua tokoh di sini telah berbuat bener
nanging ora pener (benar tapi tidak tepat). Contohnya, Wisrawa. Memenuhi
keinginan Danapati adalah benar, karena dia sayang kepada anak. Tetapi, menjadi
salah (tidak tepat) ketika dia mewakili si anak ikut sayembara. Tahu Danapati
tidak mungkin menang seharusnya dia melarang ikut bukan malah mewakilinya.
Menurut Dewi Sukesi, Resi Wisrawa menikahi dirinya adalah benar. Namun, salah
menurut Danapati, dan menyakitkan bagi Jambumangli. Sebagai manusia, wajar Resi
Wisrawa naik darah dicaci-maki sehingga menurunkan tangan jahat kepada
Jambumangli. Namun, perbuatan itu tidak tepat (salah) karena dia seorang
pendeta (resi) yang tahu bahwa menyiksa manusia dan hewan sampai mati adalah
dosa besar di dunia.
Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah
hanya berlandaskan baik-buruknya saja. Padahal, di samping baik buruk, terdapat
juga: benar-salah, menang-kalah, tepat-tidak tepat, untung-rugi, pantas-tidak
pantas, jujur-tidak jujur, dan sederet panjang tolok ukur lain yang antri.
Jadi, benar Danapati protes.
Tetapi, perang tanding antara anak dan ayah adalah salah,
dan akhirnya dia juga harus kalah karena Resi Wisrawa dan Desi Sukesi takdirnya
memang harus jadi suami istri.
Dimensi kehidupan memang campur aduk, tumpang tindih, dan
saling memengaruhi. Akibatnya, manusia
dalam kehidupan sosial jadi mirip batang-batang bambu dalam rumpunnya. Semua
”melengkung”. Kapan menjadi lurus? Ambil sebatang. Semelengkung apa pun setelah
dibelah-belah dan dipasang jadi reng atau pagar, masing-masing bilah akan
menemukan kelurusan ketika ”sendiri” dan ”berfungsi” dengan tepat dalam
kehidupan. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet
Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar