WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Senin, 09 Juni 2014

Bener Ora Pener:

LELUHUR di Jawa sudah paring pepeling. Hati-hatilah menghadapi owah gingsire zaman, dan silang sengkarut permasalahan duniawi. Maka,  ketika ada tamu pamit, atau sanak kerabat akan pergi jauh, pesannya selalu: ”Nyangoni slamet. Sing ngati-ati...”  Soalnya: ”kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane ora mung siji”.  Sejak masa lalu pun: ”bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik.”

Mulai kisah Ramayana, salang-tunjang antara anggapan, pendapat, dan perilaku, sudah tumpuk-undhung. Contohnya, kasus Resi Wisrawa. Begitu putranya, Wisrawana, menggantikan sebagai raja di Lokapala bergelar Prabu Danapati, dia memilih hidup sebagai pendeta yang harusnya sudah mungkur dari keduniawian. Ternyata tidak. Ketika Dewi Sukesi bikin sayembara dan Danapati ingin mengikuti, Resi Wisrawa membuat keputusan aneh. Ia melarang anaknya memasuki sayembara karena tidak mungkin menang. Dirinya saja yang ikut. Nanti kalau berhasil Dewi Sukesi akan diberikan pada Danapati.

Celakanya, Resi Wisrawa berhasil. Ia mampu mengubah Dewi Sukesi dari raksesi menjadi dewi cantik dengan mantram Sastra Jendra Yuningrat Pangruwating Diyu. Namun, ketika mau diboyong ke Lokapala dijodohkan dengan Danapati, Dewi Sukesi menolak mentah-mentah. Karena dulu sumpahnya hanya akan mengabdi kepada orang yang dapat mengubah dirinya jadi perempuan biasa. Dan orang itu adalah Resi Wisrawa, bukan Danapati. Penolakan itu pun wajar, karena (mungkin) Dewi Sukesi merasa dirinya bukan barang yang dapat diberikan kepada siapa saja dengan gampang.

Di sini seharusnya Resi Wisrawa berhenti, karena niat awal mendapatkan Dewi Sukesi semata-mata demi anak. Ternyata dia berbelok dari fungsinya sebagai ”bapa”. Dia justru ingkar janji, dan memilih menikahi Dewi Sukesi demi tanggung jawab pribadinya sebagai ”laki-laki”. Kejadian itu membuat Jambumangli, sepupu Dewi Sukesi yang juga raksasa dan diam-diam menyintainya, frustrasi berat. Cita-citanya bakal wurung gara-gara Wisrawa. Maka, Jambumangli pun menantang perang tanding untuk memperebutkan Dewi Sukesi.

Sekali lagi, Resi Wisrawa harus melayani kehendak orang lain yang bertentangan dengan nuraninya. Tidak membayangkan pula bahwa dalam perang tanding Jambumangli terus menghamburkan sumpah serapah dan cacian kotor. Awalnya, Resi Wisrawa masih menahan diri, namun lama-lama hatinya terbakar juga. Amarahnya mulai tersulut dan menghanguskan kesadaran serta kendali diri. Jambumangli disiksa, dijuwing-juwing sampai mati. Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Jambumangli sempat mengutuknya. Nanti, akan ada keturunan Resi Wisrawa yang mati mengenaskan seperti dirinya. Ternyata kutuk tadi numusi. Putra kedua Resi Wisrawa, Kumbokarna, tewas dengan tubuh cerai-berai seperti Jambumangli oleh panah Sri Rama dan Raden Leksmana dalam perang besar merebut Dewi Sinta di Alengkadiraja.

Mendengar Dewi Sukesi dinikahi ayahnya, Prabu Danapati segera menemui Resi Wisrawa. Perdebatan sengit pun terjadi. Dan karena keduanya kukuh mempertahankan kebenaran sikap masing-masing, terjadilah perang tanding yang sangat memalukan antara anak dan ayah. Keduanya baru dapat dilerai oleh kedatangan Batara Narada yang menyampaikan bahwa Dewi Sukesi memang ditakdirkan jadi isteri Resi Wisrawa.

Jika ditelisik, semua tokoh di sini telah berbuat bener nanging ora pener (benar tapi tidak tepat). Contohnya, Wisrawa. Memenuhi keinginan Danapati adalah benar, karena dia sayang kepada anak. Tetapi, menjadi salah (tidak tepat) ketika dia mewakili si anak ikut sayembara. Tahu Danapati tidak mungkin menang seharusnya dia melarang ikut bukan malah mewakilinya. Menurut Dewi Sukesi, Resi Wisrawa menikahi dirinya adalah benar. Namun, salah menurut Danapati, dan menyakitkan bagi Jambumangli. Sebagai manusia, wajar Resi Wisrawa naik darah dicaci-maki sehingga menurunkan tangan jahat kepada Jambumangli. Namun, perbuatan itu tidak tepat (salah) karena dia seorang pendeta (resi) yang tahu bahwa menyiksa manusia dan hewan sampai mati adalah dosa besar di dunia.

Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah hanya berlandaskan baik-buruknya saja. Padahal, di samping baik buruk, terdapat juga: benar-salah, menang-kalah, tepat-tidak tepat, untung-rugi, pantas-tidak pantas, jujur-tidak jujur, dan sederet panjang tolok ukur lain yang antri. Jadi, benar Danapati protes.

Tetapi, perang tanding antara anak dan ayah adalah salah, dan akhirnya dia juga harus kalah karena Resi Wisrawa dan Desi Sukesi takdirnya memang harus jadi suami istri.

Dimensi kehidupan memang campur aduk, tumpang tindih, dan saling memengaruhi.  Akibatnya, manusia dalam kehidupan sosial jadi mirip batang-batang bambu dalam rumpunnya. Semua ”melengkung”. Kapan menjadi lurus? Ambil sebatang. Semelengkung apa pun setelah dibelah-belah dan dipasang jadi reng atau pagar, masing-masing bilah akan menemukan kelurusan ketika ”sendiri” dan ”berfungsi” dengan tepat dalam kehidupan. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan

Tidak ada komentar: