DIANGGEP bener tidak selalu karena telah berbuat benar.
Dianggep salah juga tidak melulu karena telah bertindak keliru. Selalu berusaha
berbuat bener bisa saja ujungnya selalu ora kepeneran. Bener dianggep keliru,
luput dianggep bener pun makin jamak terjadi.
Dalam kisah pewayangan, apa yang salah ketika Sukasrana
menyusul kakaknya, Sumantri, yang hendak menjadi urban di Kotapraja Maespati?
Apa salah si buruk rupa namun berhati berlian itu ketika merasa tak bisa
ginggang sarambut pinara sasra dari sang kakak yang tampan rupawan?
Pastilah, dalam ukuran kewajaran, tidak ada yang salah.
Mencintai saudara dengan sepenuh jiwa dan ingin selalu bersama dengannya
pastilah sikap mulia. Lebih-lebih ketika menyediakan diri untuk selalu
memanggul setiap bot-repot yang dipikul sang kakak.
Namun ukuran kewajaran itu tidak begitu berlaku bagi
Sumantri. Ambisi untuk bisa tampil hero seorang diri di hadapan banyak orang,
terutama atasan, telah membutakan mata hati untuk melihat setiap kemuliaan yang
didermakan dengan tulus oleh Sukasrana.
Sukasrana selalu dianggap sebagai klilip, kalau bukan malah
rintangan yang hanya nyandhung-nyrimpeti. Karena itu, setiap sumbang sih-nya
akan selalu dipandang ora pener.
Puncaknya ketika Sukasrana menyembul di antara perdu Taman
Sriwedari, buah karyanya sendiri. Sumantri merasa penampakan Sukasrana adalah
sebuah aib di tengah serbagemerlap kuasa negeri Maespati. Sumantri panik.
Sumantri cemas citra sempurna yang telah ia bangun bakal sirna oleh kehadiran
Sukasrana si buruk rupa.
Sumantri lupa bahwa adiknyalah yang telah memutar taman itu
hingga ia dapat memenuhi titah sang raja. Namun segala jasa Sukasrana terkubur
dalam-dalam oleh anggapan yang dibangun di atas ambisi akan kekuasaan yang
hendak ia amankan. Sumantri menghunus keris dan mengarahkan ujungnya ke tubuh
Sukasrana. Para dalang kerap kali menyebut Sumantri sekadar ngagak-agaki,
meden-medeni, menakut-nakuti agar Sukasrana pergi.
Toh, Sukasrana tetap bergeming. Tajamnya keris tak
menghalanginya untuk merapat dan dekat dengan sang kakak. Justru pada ujung
keris itulah Sukasrana mengabarkan kepada semua bahwa cinta dan
keterusterangannya bakal menjelma jadi keabadian.
Dusta Nagagini;
Soal kebenaran yang dipersalahkan, kesalahan yang dicarikan
pembenaran, kisah Anglingdarma bisa menjadi cerminnya. Tatkala lelana brata
masuk di hutan belantara, dia justru mendapati Nagagini, istri Nagaraja
sahabatnya, tengah memadu kasih dengan Ula Tampar.
Melihat perselingkuhan itu, dia merasa tak bisa berdiam
diri. Dijemparinglah sang pecundang Ula Tampar hingga mengenai bagian buntut.
Upaya itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mengingatkan Nagagini sekaligus
menghukum Ula Tampar yang telah ngrusak pager ayu.
Namun tindakan Anglingdarma bukannya membuat Nagagini sadar,
melainkan justru mendorongnya wadul
kepada sang suami. Dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang;
hitam dikatakan putih, sebaliknya putih dikatakan hitam.
Kepada suaminya, Nagagini berkata bahwa Anglingdarma berniat
menjamahnya. Adapun Ula Tapar yang hendak mengingatkan, justru dijemparing oleh
Raja Malawapati itu.
Tentu saja sikap Nagagini membuat Anglingdarma berkecil
hati. Ia tidak membayangkan jika Nagaraja yang telah direngkuh sebagai kakaknya
itu murka, pastilah dia akan lebur tanpa dadi.
Karena itu, di tamansari Malawapati, kepada Setyawati
permaisurinya, Anglingdarma bercerita tentang hal yang sebenarnya, sekaligus
berpamitan karena marasa tak lama akan menemui ajal. Sementara di luar
terdengar suara keras Nagaraja memanggil-manggil agar Anglingdarma segera
keluar menemui.
Setelah beberapa saaat, dengan segenap keputusasaan,
keluarlah Anglingdarma dari tamansari guna menemui Nagaraja. Namun di luar
dugaan, Nagaraja justru menyambut adiknya itu dengan pelukan hangat. Kepada
Anglingdarma, Nagaraja malahan menganugerahkan Aji Gineng, yakni ajian yang
membuat pemiliknya bisa memahami bahasa segala binatang.
Ternyata sebelum memanggil-manggil, dengan menyamar sebagai
ular picis, Nagaraja telah menyadap pembicaraan Anglingdarma dengan Setyawati.
Dari situlah ia tahu, apa yang dikatakan oleh istrinya dusta belaka.
Persekongkolan;
Pemutarbalikan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh
Nagagini, kerapkali tidak hanya
dilakukan oleh seorang diri. Ada yang menjadi perancang skenario, ada yang
kemudian menjalankannya.
Pada lakon ketoprak Bayi Lair Sajroning Kubur yang dimainkan
oleh grup Sapta Mandala Yogyakarta kiranya menandaskan hal itu. Jayengkusuma,
putra mending Prabu Ranggajaya dari prameswari yang telah meninggal dan
Jayengrasa, putra garwa prameswari sambungan (Asmarawati), terlibat dalam
kompetisi untuk memegang tampuk pemerintahan Jenggala. Syaratnya, bisa
mempersembahkan Keris Nagarunting Luk Sanga.
Keris itu berada di Pertapan Tegalwening. Jayengrasa
terlebih dahulu sampai di situ, bertemu dengan Retnasih, anak pertapa pemilik
keris sakti itu. Malahan Jayengrasa jatuh cinta pada Retnasih, namun endang
pertapan itu menolak halus.
Selang beberapa saat datanglah Jayengkusuma, bertemu sang
pertapa dan mendapatkan Keris Nagarunting serta mempersunting Retnasih.
Jayengkusuma pun bertakhta dan menjadikan Retnasih sebagai permaisuri.
Tak lama setelah bertakhta, datanglah pasukan Prabu Gajah
Angun-angun yang hendak menaklukkan Jenggala. Prabu Jayengkusuma berangkat ke
medan laga dan meninggalkan Retnasih di keraton.
Itulah saat yang ditunggu oleh Asmarawati dan Jayengrasa
yang merasa cintanya ditolak oleh Retnasih. Mereka menyiksa Retnasih yang
sedang mengandung. Ujung-ujungnya Retnasih meninggal. Jasadnya dikubur di
sebuah pemakaman jauh dari keraton.
Ketika Jayengkusuma pulang dari medan laga, tentu saja
Asmarawati yang ditopang oleh Patih Basunanda memutarbalikkan fakta yang
sebenarnya. Namun dengan kemunculan bayi yang lahir dalam kuburan, akhirnya
terkuaklah persekongkolan itu.
Ya, siapa pun meski selalu gandrung pada kebenaran, bisa
kena awu anget sebagaimana yang dialami oleh Anglingdarma ataupun Retnasih.
Namun dalam sungsang bawana balik kebenaran macam apa pun, tetap saja berlaku
hukum ”becik kettitik ala ketara”, ”sapa salah seleh”, dan ”tekuk runtut
janaloka, sapa wani luput bakal ketiban pidana”. ... He he he . . . Edan Tenan.
Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar