http://wongedanbagu.blogspot.com
Sahabat Ayo Nikah,
setiap keluarga tentu mempunyai permasalahan yangberagam, baik suami istri
maupun tentang anak-anak dan keluarga besar lainnya.
Mari mencoba sedikit membahas salah satunya, seputar suami istri khususnya saat
sang istri tengah berbadan dua ( Hamil ). Simak pertanyaan dan jawaban yang
ada. Semoga bermanfaat.
Pertanyaan
Berikut pertanyaan rubrik konsultasi keluarga majalah LAZIS Jateng.
- Ustadz apa saja kewajiban suami
saat istri sedang hamil?
- Apakah istri dianggap dzolim
ketika suami membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menjadi
tanggung jawab istri tanpa dasar paksaan?
- Bagaimana hukum uang gaji
seorang istri yang diberikan kepada suaminya untuk membantu keuangan
keluarganya?
- Apakah semua kewajiban suami
yang sedang sakit berbulan-bulan otomatis beralih ke istri?
- Bagaimana cara agar rasa saling
memahami bisa tumbuh subur dalam keluarga?
jazakumullah
khoiron katsir atas kerjasama ustadz. Kami tunggu jawaban segera dari ustadz,
Wassalamu`alaikum wr wb
Jawaban :
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh.
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya yang begitu mendetil, menunjukkan
semangat dalam mencari ilmu dan mengamalkannya. Lika-liku kehidupan keluarga
memang senantiasa menyisakan permasalahan dan pertanyaan. Mari mencoba
menelisiknya dengan sederhana sesuai kemampuan saya yang terbatas.
Pertama
tentang kewajiban suami saat istri sedang hamil.
Secara umum suami istri dalam kondisi apapun haruslah berfungsi sebagai pakaian
satu sama lainnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman : “ mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqoroh 187).
Pakaian mempunyai fungsi perlindungan fisik maupun psikis. Tanpa pakaian
seseorang akan kedinginan, dan lebih dari itu tentu malu bukan kepalang. Begitu
pula seorang suami, memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada suaminya.
Terlebih dimasa hamil yang bagi seorang perempuan bukan hanya menderita secara
fisik, tetapi juga psikis. Selain kepayahan, terkadang para ibu hamil merasa
‘jelek’ secara penampilan.
Maka inilah
tugas para suami, memastikan agar kondisi istri tetap fit dan sehat dalam
menghadapi persalinan. Upaya sederhananya dari mulai mengontrol kesehatan
secara teratur di dokter dan bidan, ataupun menemani sang istri jalan-jalan di
pagi hari. Secara psikis, sang suami berkewajiban membesarkan hati sang istri
agak lebih siap menghadapi persalinan, selain tentu saja dengan mengingatkan
untuk tetap mendekatkan diri dan tawakkal kepada Allah SWT.
Kedua,
anggapan istri dianggap dzolim saat suami membantu pekerjaan rumah
Anggapan diatas salah dan memalukan. Islam tidak pernah sama sekali mengajarkan
bahwa para suami adalah raja yang senantiasa ongkang-ongkang dalam rumah
tangga. Bahkan Rasulullah SAW sendiri saat dirumah melakukan banyak hal
sebagaimana orang lainnya.
Suatu hari
Aisyah pernah ditanya, apa yg dikerjakan Rasulullah di rumah? Dijawabnya ”
seperti layaknya manusia biasa. Beliau menambal bajunya sendiri, memerah susu
kambingnya sendiri,dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya” (HR Ahmad dan
Tirmidzi).
Rasulullah SAW
manusia yang paling mulia dengan kesibukan dakwah yang luar biasa, ternyata
juga melakukan banyak hal-hal teknis dan sederhananya di rumahnya. Jadi tidak
ada alasan sibuk bagi para suami sehingga enggan membantu istrinya di
rumah. Lebih baik lagi, jika pekerjaan itu dilakukan bersama –pada waktu
liburan misalnya- maka insya Allah akan bertambah kecintaan antara mereka
berdua.
Ketiga,
hukum uang gaji seorang istri yang diberikan kepada suaminya untuk membantu
keuangan keluarganya?
Hukumnya boleh dan itu menunjukkan kemuliaan dan kemurahan hati sang istri.
Suami bukan termasuk tanggungan nafkah bagi sang istri, karenanya boleh sedekah
– bahkan zakat sekalipun- kepada suami. Diriwayatkan bahwa seorang shohabiyah
Zaenab bertanya : “Wahai Rosululloh, engkau tadi memerintahkan untuk
bershodaqoh, sedangkan saya memiliki perhiasan , dan saya kepingin
menshodaqohkannya, namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengatakan bahwa dia dan anaknya
lebih berhak untuk diberi harta shodaqoh tersebut.”Maka Rasululloh bersabda : “
Ibnu Mas’ud benar, suami dan anakmu lebih berhak engkau beri shodaqoh.” (HR.
Bukhori).
Namun yang
menjadi catatan penting, bahwa istri juga harus terus memotivasi sang suami
untuk bekerja lebih keras dan sungguh agar mampu menopang kebutuhan keluarga,
tanpa bergantung dari sedekah sang istri.
Keempat :
Apakah semua kewajiban suami yang sedang sakit berbulan-bulan otomatis beralih
ke istri?
Hubungan keluarga semestinya tidak dilihat secara hitam dan putih, yaitu
membedakan secara garis tegas antara kewajiban dan hak baik suami dan istri.
Ini adalah sebuah hubungan mistaqon gholidzo yang tidak terbatasi dengan
aturan-aturan yang saklek, tapi mempertimbangkan sisi psikologis, perasaan,
ketenangan dan juga saling ketergantungan. Jadi, jika ada suami yang sakit berbulan-bulan
sekalipun, rasa cinta dan kasih sayang seorang istri pasti akan menuntunnya
untuk mencari solusi yang tepat bagi suami dan anak-anaknya. Ia bisa jadi
bekerja, berhutang, berdagang atau apapun dan itu dilakukan dengan sepenuh
cinta dan pengharapan atas kesembuhan suaminya, bukan sekedar embel-embel
‘kewajiban’ dan tanggung jawab semata. Jadi mari kita lihat dari kacamata yang
lebih manusiawi. Ini dalam konteks suami istri, sementara secara umum
antara kaum muslimin dan mukminat juga senantiasa diminta untuk bahu membahu
bukan ?
Firman Allah SWT : “ dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain (QS
At-Taubah : 71)
Kelima,
Bagaimana cara agar rasa saling memahami bisa tumbuh subur dalam keluarga?
Pertanyaan yang singkat tapi membutuhkan jawaban yang bisa sangat panjang.
Untuk memahami karakter seseorang, dalam logika Umar bin Khotob bisa melalui
tiga hal : yaitu bepergian bersama, mabit atau menginap bersama, dan ketiga
melakukan transaksi bersama. Dari tiga hal ini seseorang akan muncul watak
aslinya, sehingga bisa menjadi bahan untuk saling memahami dan mengenal lebih
mendalam.
Dalam kaitan
suami istri, sebenarnya saling memahami semestinya akan muncul begitu saja
sesuai dengan berjalannya waktu. Hari demi hari akan muncul hal-hal dan watak
asli sang suami maupun istri, baik yang baik maupun yang buruk. Disinilah perlu
permakluman dan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan setiap orang. Tidak
sombong mengakui jika bersalah, dan juga tidak pelit untuk memuji kelebihan
pasangannya.
Satu langkah
efektif untuk saling memahami adalah dengan memperlebar jalur komunikasi antar
suami istri, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan berterus terang
mengemukakan apa ganjalan di hati, maka ancaman ‘gagal komunikasi’ akan semakin
bisa kita jauhi. Cari peluang dan kesempatan untuk terus membina komunikasi
yang super antara suami istri. Semoga sukses. Wallahu a’lam bisshowab