WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Selasa, 25 Maret 2014

BIOGRAFI SEJARAH HIDUP KI DJAKA TOLOS Bagian. 3


12. BAB ; TENTANG WAHYU PANCA GA’IB
Pandangan Masyarakat………

1. Pengantar
Ada beberapa istilah atau sebutan yang dipakai oleh masyarakat, untuk menamakan dukun dengan sebutan: suhu, paranormal, kesepuhan, guru spiritual, dan sebagainya. Hal itu tergantung dari kepentingannya.

Jenis-jenis dukun, ada yang disebut: dukun cabul, dukun palsu, dukun santet, dukun bayi (dukun beranak), dukun sunat, dukun pengantin, dukun sangkal putung dan sebagainya. Hal itu menunjuk pada perilaku dan spesialisasi dari dukun tersebut.

Dengan terang-terangan, sindiran atau cara lain yang rasanya kurang simpatik, dari kelompok tertentu ada yang menganggap bahwa profesi dukun bertentangan dengan ajaran agama. Hal tersebut bisa dengan alasan yang mendasar maupun karena sentimen pribadi.

Sentimen tersebut biasanya hanya diarahkan kepada dukun secara perseorangan atau kelompok dukun secara kecil-kecilan. Artinya bila ada kelompok berkelembagaan besar, yang berperilaku seperti dukun, malah tidak menjadi sorotan atau sasaran dari sentimen tersebut.

Timbul juga dugaan bahwa sentimen tersebut muncul karena adanya kekhawatiran, kalau-kalau menyaingi hakikat dari suatu ajaran agama dalam realita kehidupan. Walaupun dalam hal lain, sentimen berbau kecemburuan kadang menunjukkan bahwa kemampuan menjabarkembangkan suatu paham masih kurang.

Maka tidak menutup kemungkinan, yang bersikap sentimen negatif kepada dukun atau kelembagaan seperti dukun, dia sendiri menjadi dukun atau memanfaatkan jasa perdukunan. Baik disadari atau tidak.

2. Berbagai Istilah
Dukun dengan sebutan suhu, biasanya diarahkan kepada dukun yang kebetulan Warga Keturunan Cina. Namun dengan berkembangnya pergaulan dan pembauran, dukun berlatar belakang pribumi pun disebut atau menyebut dirinya suhu. Walaupun pembauran perilaku lebih penting dari pada pembauran perkataan.
Sebutan dukun sebagai paranormal, dimana kata ini berasal dari serapan bahasa asing, mungkin dimaksudkan agar profesi perdukunan kedengaran lebih keren dan sedikit terangkat dari keterpurukan gara-gara sentimen negatif.

Dukun disebut kesepuhan yang berasal Bahasa Jawa yang artinya tua atau dituakan. Pada era 70-an, kebanyakan para dukun sudah berusia 40 tahun atau lebih. Mungkin ada kekhawatiran bila belum mencapai usia tersebut tidak akan kuat. Dalam arti perilakunya tidak mencerminkan ketuaannya.
Namun karena kemajuan jaman dan berkembangnya wawasan, boleh jadi dalam usia muda bisa saja menjadi dukun. Tentunya setelah melalui proses pembelajaran dan pematangan dari ajaran pedukunan. Dukun dengan sebutan kesepuhan seakan membawa resiko moral dan dapat “terhindar” dari sebutan dukun yang bertentangan dengan ajaran agama.

Meskipun modal dasar untuk menjadi dukun hanyalah mau dan mampu, namun ada tantangan kompetensi didalam meraih pangsa pasar. Dari hal inilah kadang ada dukun yang secara pamer, mempertontonkan kemampuan menyantet didepan kamera televisi. Dimana pamer adalah perilaku yang dianggap tabu oleh orang yang berbudaya timur.

Dukun yang suka pamer itulah yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama. Karena pamer terdorong oleh rasa sombong. Sedangkan sombong adalah biang dari segala dosa. Namun kesombongan sebagai sifat naluri manusia, sulit rasanya dibendung. Karena bersifat naluriah, maka manusia, apapun latar belakangnya, kemungkinan melakukannya. Termasuk juga manusia yang berpredikat Ustad, misalnya berlaku sombong dengan pamer kekuatan.

Pamer kekuatan dengan alasan Jihad Fi Sabilillah untuk membela Allah, atau berjuang di jalan Allah. Manakala ada peristiwa serangan terhadap negara atau kawasan Islam. Dengan berbondong-bondong mendaftar sebagai laskar jihad. Kenapa hal tersebut termasuk sombong? Sebab perilakunya melebihi kemampuannya dan diluar kewenangannya.

Bukankah perang itu operasi militer. Tentunya memakai segala peralatan canggih. Pemilihan perseorangan prajuritnyapun dengan saringan yang ketat. Mana mungkin orang sipil mampu. Kecuali bagi yang pernah memperoleh pendidikan militer dinegara asing secara ilegal.
Bukankah lebih tepat mewujudkan Rahmatan Lil Alamin dengan ikut membantu mencegah, membantu saat terjadi maupun sesudah terjadinya suatu bencana merupakan perjuangan di jalan Allah? Karena membantu para korban bencana adalah perilaku utama yang langsung dapat dirasakan oleh sesama hidup.

Bila ingin terkesan Jihad dengan perang melawan musuh, disekitar kita banyak musuh yang sulit dilawan. Berupa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan. Karena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan merupakan lawan dari sifat rahman dan rahim, maka perang melawan hal-hal tersebut merupakan Jihad yang sejati. Jihad fi Sabilillah Arrahman dan Arrahim.

Kesepuhan yang dimaksud adalah kedewasaan dengan tingkat kematangan jiwa. Namun kedewasaan dalam hal ini tidak sama dengan usia tua. Dewasa asal kata dewa dan rasa. Dewa artinya pancaran cahaya Illahi. Maka bagi yang sudah bisa menerima, merasakan dan mengamalkan pancaran cahaya Illahi itulah yang dimaksud dewasa.
Kedewasaan dalam hal ini dapat dicapai antara lain dengan cara memperbanyak rasa ingat kepada Tuhan. Dan sebaik-baik dari menyebut Nama Tuhan adalah dzikirullah. Dan tidak akan masuk neraka bagi yang menyebut nama Allah.

Ada dukun yang oleh para pasien pelanggannya atau penganutnya, disebut sebagai guru spiritual. Yang bisa dimintai pertolongan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada kaitanya dengan hal-hal kegaiban atau tak kasat mata.

Bila dukun memperlakukan para pasiennya dengan ramah penuh rasa kekeluargaan dan berhasil didalam memberikan pertolongan, tidak menutup kemungkinan akan datang lagi dengan membawa pasien baru. Pada giliranya akan membawa keakraban yang membuat kesan seakan-akan sang dukun sebagai orang tuanya yang kedua. Karena dalam kenyataan sehari-hari banyak orang atau keluarga merasa kehilangan orang tua kedua yang artinya kehilangan tokoh yang dapat diajak komunikasi dengan transparan dalam kepribadian.

Andai ada pelanggan tetap dari dukun, seharusnya dibatasi hanya pada rasa kagum yang wajar saja. Jangan sampai ada rasa memuja-muja secara berlebih-lebihan, seakan mempertuhankan dukun. Karena memuja selain kepada Allah berarti memberhalakan. Sikap memberhalakan memang dilarang oleh agama. Baik memberhalakan dukun, memberhalakan kyai, memberhalakan harta dan juga kedudukan.

Maka kekaguman pada sebatas rasa sebagai anak kepada orang tuanya. Dan etika anak kepada orang tua antara lain adalah bisa mikul dhuwur mendem jero. Artinya bisa memikul setinggi-tingginya kepada apa yang menjadi kebaikanya dan memendam sedalam-dalamnya apa yang menjadi kekurangannya sebagai manusia lumrah.

Hal tersebut bisa dengan cara mengkritik secara sopan dan mengingatkan secara santun, disaat suasana hati sedang tenang, misalnya dengan mengatakan:”… Bapak pernah mengatakan.. pernah memerintahkan,.. pernah melarang.. dsb”

Diantara pasien yang menjadi pelanggan tetap, menganggap si dukun sebagai orang tua yang kedua, kemungkinan ada yang berminat menimba ilmunya. Bila dia berhasil menjadi pewaris ilmunya, bila kelak berhasil didalam memberikan pertolongan kepada pasiennya, dia mendapat satu poin, maka gurunya mendapat dua poin nilai kebaikan dalam kematianya kelak.

Karena Pak Ustadz dan Mbah Kyai pernah mengatakan: “Bila mati anak adam, hilanglah semua amalnya, kecuali amal tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal yang soleh dan sadaqah jariyah.” Dalam hal ini pewaris ilmu mengamalkan ilmu yang bermanfaat, dan si dukun mengajarkan ilmu yang bermanfaat tadi kepada siswanya.
Ilmu yang bermanfaat tidak harus ilmu agama, tetapi tidak boleh bertentangan dengan agama. Meskipun agama sebagai sumber ilmu, bisa juga terpecah-pecah menjadi beberapa madzhab atau sekte yang saling berebut kebenaran aqidah.

Bermanfaat disini karena dapat memberikan pertolongan kepada orang lain. Dan jasa pertolongan tidak akan mendapatkan pasaran manakala tidak bermanfaat. Banyaknya pasien, merupakan bukti, bahwa jasa perdukunan punya pangsa pasar juga. Pangsa pasar untuk barang dan jasa apapun, dibutuhkan kemampuan bersaing dalam kualitas. Dan tak ada peraturan yang melarang dukun berebut pasaran dengan cara berlomba kebaikan.

Tetapi ada dukun yang terkesan alot bila diminta mewariskan ilmunya. Semua itu berujung pada kekhawatiran, bila muridnya lebih pintar, pada gilirannya nanti dapat mengancam pasarannya.
Dukun semacam itu mementingkan diri sendiri, dan akan selalu dihantui kekhawatiran kehilangan citra dan kharisma. Pada hal, ajaran apapun, bila sudah tertumpangi kepentingan pribadi atau kelompok, akan bergeserlah aturan dan norma, disesuaikan dengan pemaksaan kehendaknya, meskipun ajaran agama memesankan bahwa janganlah mengukur (ajaran) agama dengan kehendak pribadi.

Dukun yang tidak ingin kehilangan pasaran, haruslah rajin mengembangkan diri dengan banyak membaca tulisan, membaca suasana hati orang, membaca gejala alam dan juga belajar membaca denah kapal terbang yang hilang dan kapal laut yang tenggelam. Tentang membaca ini sebagaimana diwahyukan kepada Rasulullah dalam Surat Al-Alaq.

Celakalah dukun yang memberikan pertolongan dengan pertimbangan tebal-tipisnya amplop. Juga oknum ustadz yang enggan dipanggil mengaji pada kali kedua, manakala kali pertama honornya tidak sesuai perjanjian, meskipun harusnya selalu mengingatkan kepada para pendengar dakwah, bahwa para Nabi didalam berdakwah tak ada yang menerima rupiah.

3. Jenis-jenis Dukun
Batasan istilah dukun kira-kira artinya, suatu profesi pelayanan masyarakat dengan menggunakan ilmu atau keahlian tertentu, dimana keahlianya itu diperoleh melalui pembelajaran secara tutur tinular antar pribadi.

Dikatakan profesi, karena kesulitan kami dalam memakai kata yang tepat. Pada hal profesi tertentu, sering membentuk kelembagaan dengan mengorganisasikanya. Namun sampai sekarang belum terdengar ada organisasi Persatuan Dukun Indonesia.

Karena proses pembelajaran ilmu perdukunan yang bersifat les prifat, maka belum ada jenjang organisasi persekolahannya. Keadaan semacam ini teralami sejak istilah dukun ini ada sampai dengan makalah ini dibuat.
Laku mirip dengan kegiatan perdukunan, baik yang tidak maupun yang ditayangkan di televisi, tentang misteri alam gaib, pemburu hantu dan sejenisnyapun belum ada Sekolah Dasar Alam Gaib, Sekolah Lanjutan Alam Gaib, Perguruan Tinggi Alam Gaib sampai menghasilkan Sarjana Alam Gaib. Dimana penayangannya di televisi, para penonton tidak tahu pasti, apa yang mereka lakukan itu benar-benar atau hanya sekedar bisnis siaran.

Benar dan tidaknya tayangan tersebut diatas memang tidak diperlukan, bila dilihat dari bisnis siaran, yang sudah barang tentu dirancang agar dapat menarik minat penonton untuk memperhatikannya. Meskipun ada juga penonton yang sempat menyeletuk: “Kalau sekedar jelalatan dan penampakan berupa trik kamera, akupun bisa.”

Memang ada bukti, ketika televisi ramai-ramai menayangkan kesurupan masal, tidak serta merta diikuti kepedulian dari yang punya acara mirip laku pedukungan yang disiarkan itu, ada upaya penyembuhan atas kesurupan masal tadi. Tidakkah kasihan kepada oknum ustadz yang berusaha menolong tetapi malah kesurupan juga.

Secara sinonim, kata dukun artinya kira-kira tukang atau pawang. Dukun cabul artinya tukang mencabuli orang. Dukung santet artinya tukang yang memberikan jasa penyantetan, yang konon korbannya bisa mati mengenaskan, mirip ditayangan sinetron bernafaskan keagamaan itu.

Sinetron semacam itu seakan memberikan gambaran kelak akan terjadi seperti itu. Kelak akan tejadi berarti meramal. Khusus dukun ramal, artinya tukang nujum. Namun bukan berarti pemapar mengatakan bahwa pengarang cerita sinetron yang kabarnya ustadz itu sebagai dukun ramal dengan menggunakan media sinetron. Karena biasanya membicarakan kejelekan pribadi seorang ustadz dapat memulai terpicunya konflik sara. Jangan pula sampai terjadi konflik antara dukun dengan ustadz, apalagi ustadz yang menjadi dukun.

Dukun palsu artinya tukang memalsukan, bukan dukun tetapi memplokamirkan dirinya sebagai dukun. Dukun pijat artinya tukang memijat badan lelah. Tentu saja bukan tukang pijat seperti di panti-panti pijat, dimana pemijatnya konon cewek-cewek cantik, yang terkadang malah “dipijat” oleh tamunya dengan meminta bayaran yang cukup tinggi. Agaknya pasien dipanti pijat itu lelah dan terlalu jenuh dengan keseharianya, yang sibuk mengobok-obok hidung sendiri yang belang.
Dukun sunat artinya tukang melayani permintaan jasa khitanan. Tempo dulu dukun sunat cukup laris. Dengan banyaknya dokter dan perawat yang memberikan jasa penyunatan, kini pemakai jasa dukun sunat hanya orang tradisional saja.

Sudah barang tentu ustadz dan kyai yang mengalami jaman dukun sunat, pernah juga meminta jasa penyunatan kepada dukun. Bila hal ini juga dilarang oleh agama, dimana mengakibatkan hilang ibadah shalatnya selama empat puluh hari, na udzu billahi mindzalik.
Istilah dukun yang dekat pengertiannya dengan kata pawang, yaitu dukun atau pawang ular, buaya, pawang hujan, pawang burung berkicau dan sebagainya. Meskipun pawang burung hanya mampu mengendalikan perilaku hewan burung, dan tidak bisa mencegah dan mengobati flu burung.

Dan berbahagialah, burung-burung piaraan para oknum pejabat, yang memperoleh layanan khusus sehingga dianggap bebas dari flu burung dan bebas pula dari pembantaian massal.
Unggas-unggas yang menjadi penyebab manusia tertular virus yang mematikan itu memang patut bila dibantai. Ini pandangan dari sisi kesehatan. Tetapi bila dilihat dari kepentingan pelestarian alam, perlu penelusuran mendalam tentang kebenarannya.
Pelestarian satwa liar demi keseimbangan alam, perlu disepakati bersama. Jangan sampai terjadi lagi bencana alam dan merebaknya penyakit endemik yang menyebabkan kesengsaraan. Kesengsaraan yang ditimbulkan tidak cukup hanya ditutupi dengan pakaian seragam para pejabat dan jubah para ustadz, yang biasanya digunakan untuk menutupi operasi satwa langka.

Penyakit yang menjangkit secara endemik dari ternak dan hewan piaraan, mungkin berasal dari satwa langka yang seharusnya bebas di habitatnya. Karena dipelihara dengan segala macam layanan hidupnya yang tidak lagi alamiah, maka tidak menutup kemungkinan tingkat ketahanannya menjadi berkurang. Karena perkembangbiakan, ketahanan hidup dan kematiannya adalah alamiah, dengan membentuk rantai makanan sebagaimana adanya.

Bagi yang rendah tingkat ketahanannya pada penyakit dan rendah pula upaya pertahanan hidupnya, akan sakit dan mati karena seleksi habitatnya.

Sakit, kerusakan dan kematian akan memberikan makanan pada koloni tertentu yang akhirnya akan terurai dan menyuburkan hutan. Kesuburan hutan yang pasti akan mencegah banjir dan tanah longsor. Karena pelestarian hewan dan tumbuhan liar erat sekali kaitanya, maka tidak mengheranan apabila ada semacam rentetan waktu antara bencana alam dengan penyakit endemik.

Dan berbahagialah, dukun yang berusaha memperluas wawasan sains. Apalagi yang bisa dihubungkan dengan Kitabullah, yang mengatakan bahwa: Anugerah berasal dari Allah dan musibah berasal dari manusia. Akan tetapi pemapar tidak berani mengatakan, bahwa pemelihara hewan liar adalah biang terjadinya bencana. Apalagi bila yang mengatakan hal tersebut adalah dukun yang berlatar PNS, sedangkan yang terkena kritiknya itu oknum pejabat, bisa terancam karirnya.
Pun juga tidak mengatakan, bahwa apabila kita secara kebetulan ada oknum pemuka agama dan pemuka masyarakat yang memelihara hewan liar itu adalah pemicu bencana dan penyakit. Sebab pemicu, penyebab dan biang antara keduanya, bencana dan penyakit, merupakan perbuatan keji dan mungkar. Yang sudah barang tentu perbuatan keji dan mungkar itu yang menyebabkan orang kehilangan hikmah dari ibadah shalatnya.
Lalu apa yang pemapar maksudkan didalam pernyataan ini? Hanyalah sekedar menanggapi kenyataan yang sedang melanda bangsa dan negara. Barangkali dapat menjadi sebutir pasir, dalam upaya pelestarian alam untuk mencegah bencana alam dan berbagai penyakit. Namun juga bukan berarti pemapar akan memplokamasikan diri, bahwasannya sikap mencintai alam dan lingkungan hidup adalah bagian dari jihad fi sabilillah.

Pemapar hanya ingin berusaha menjalankan apa yang pernah dikhotbahkan oleh para khotib, bahwa, amalkan ilmu bagi orang yang berilmu, amalkan harta bagi yang mampu dan amalkan tenaga bagi yang tidak berilmu dan berharta. Dimana hal itu merupakan kewajiban para hamba kepada khaliknya, tanpa pamrih memperoleh anugerah bagi pribadinya, selain hanya mewujudkan rahmatan lil alamin.

Dalam rangka ikut mewujudkan rahmatan lil alamin, tidak perlu digembar-gemborkan lewat mass media atau loud speaker. Tidak juga dengan cara berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai laskar jihad. Karena pemapar sendiri nyaris menyebabkan ibu pemapar mati sahid saat melahirkan. Dan ibu pemapar juga belum pernah mendaftarkan diri sebagai laskar jihad.

Dari sisi pengertian tentang dukun sunat, dukun pengantin, dukun pijat, pawang hujan, pawang burung dan sebagainya, agaknya bukan termasuk kategori dukun yang dilarang oleh agama. Karena kemungkinan tokoh-tokoh agama ada yang menggunakan jasanya.

Yang dianggap terlarang mungkin dukun yang dapat meramal nasib, meramalkan kejadian yang akan datang, mengerti masa lalu seseorang, terjadi kapan tsunami dan sebagainya. Pada pokok-dukun peramal. Karena konon, ramalan itu bersumber dari rencana Allah yang berhasil disadap oleh setan, dan selanjutnya dukun diberitai (baca diberi berita) oleh setan.

Perihal setan, malaikat, surga, neraka, kiamat dan sebagainya, adalah hal-hal yang bersifat supra natural, dimana manusia biasa tidak bisa menginderanya. Jelasnya, secara awam manusia sulit membedakan antara perilaku setan dan malaikat. Yang diketahui adalah kriteria sifat dari setan dan malaikat. Setan sebagai musuh nyata manusia karena suka menggoda. Sedangkan malaikat sebagai utusan Allah yang bersifat Gaib.

Dalam hal gaib, termasuk didalamnya setan, malaikat, jin, ruh dan alam gaib lainnya, menyatu didalam sifat kegaibannya. Dalam hal ini gaib yang baik dan yang buruk dalam satu keberadaan. Tentang baik dan buruk, selanjutnya diukur dengan rasa nurani.

Manusia hidup terdiri dari jasmani dan ruhani. Ruhani bersifat gaib. Maka apabila manusia mau memberdayakan daya gaib dari ruhnya sendiri, untuk menyingkap misteri gaib, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan mencapai kemampuan “ngerti sakdurunge winarah”, yang merupakan perolehan dari suatu laku, adalah merupakan upaya menggunakan hak kemandiriannya.
Para wali dan tokoh-tokoh legenda masa lalu yang bukan wali, sama-sama mempunyai kemampuan supra natural. Namun pihak tertentu mengatakan yang bukan wali, kemampuannya merupakan ilmu sesat. Walaupun kadang tidak jelas perbedaan antara yang sesat dan yang tidak sesat. Tetapi sebagaimana yang pemapar katakan didepan, seagama tetapi berbeda sekte juga saling tuding kesesatan, apalagi yang tidak seagama. Maka dari hal inilah dapat diketahui, tingkat kedewasaan seseorang dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Keesaan Tuhan.

Pada prinsipnya, shalat merupakan tiang agama. Shalat yang afdol dilakukan tepat waktu, dalam arti, mencegah perbuatan keji dan mungkar jangan ditunda-tunda. Bila sudah nampak kebaikan perilaku dan manfaat bagi orang lain, maka orang lain akan menirunya, tanpa harus digembori. Dan hal inilah yang dapat ditarik hikmah, bahwa sebaik-baik shalat, dilakukan secara berjamaah. Yang sudah datang pertama menempati tempat shalat pada shaf depan. Artinya yang sudah mendahului mencegah perbuatan keji dan mungkar, berada pada barisan terdepan dalam perilaku luhur budi. Yang demikian akan mempercepat dan memperlancar proses menuju rahmatan lil alamin. Menuju dunia yang penuh rahmat Allah, agar terwujud baldatun toyibatun wa robun gofur.

Bencana alam dan penyakit menimbulkan sakit dan derita lainnya. Dan kata para ulama: “Bukan muslim sejati, bagi yang menyakiti (hati) orang dengan lisannya dan menyakiti (jasmani) orang dengan anggota badannya”. Bila hadis tersebut diatas dijadikan tolok ukur, maka dapatlah diukur salah tidaknya bagi muslim yang menyiksa TKI, menyinggung perasaan orang dan berbohong. Apalagi yang melakukan aksi teror. Bila hal tersebut dikerucutkan, kelihatannya keadaan sekarang perlu mensejatikan orang muslim, agar menjadi suri tauladan dalam membangun rahmatan lil alamin. Bukan sekedar alim, alim pulasan. Sebagaimana terkidungkan di Serat Wedatama.
Anggapan bahwa ilmu dukun adalah ilmu setan, kenyataannya bukan hanya dukun saja yang dapat digoda setan. Semua manusia. Semua anak Adam. Apapun latar belakangnya. Tidak terkecuali oknum Menteri Agama, yang berusaha menggali harta karun di seputar Istana Bogor. Walaupun hasilnya hanya menggigit jari dengan resiko malu digelar.

Andai benar ada harta karun disana, berniat untuk mendapatkannya saja sudah berdosa. Hukumnya haram, kata Ulama. Pada hal target terkecil untuk orang yang paling awam dalam ihwal agama, minimal takut dosa dan tahu malu. Dari itulah maka perbuatan diatas tak takut dosa dan tak tahu malu. Takut dosa adalah ihwal habluminallah, sedangkan tahu malu adalah ihwal habluminanas. Tentang kasus upaya menggali harta karun diatas, secara habluminanas, bukan pribadi knum saja yang menanggung malu, tetapi melibatkan instansi yang nota bene Departemen Agama, suatu kelembagaan yang dekat dengan citra Islam.
Bila dukun dapat menasihati kearah kebaikan yang dapat diamalkan oleh murid dan kliennya, dengan sendirinya bukan ajaran setan yang diberikan, dan tidak ada alasan untuk dianggap menghilangkan hikmah shalat seseorang, manakala mendekatinya. Seperti dikemukakan didepan, bahwasanya perbuatan keji dan mungkar dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan monopoli dukun saja. Perbuatan keji dan mungkar biasanya menumpang pada hawa nafsu. Maka terbuktilah kebenarannya, bahwasannya musuh terbesar umat manusia adalah hawa nafsu.

Dikatakan, manakala seorang muslim membaca: “audzubillahi minas syaitanirrajim”, akan terbebas dari godaan setan. Tetapi pengalaman pemapar berjalan bersama teman berlatar belakang ustadz, ditengah malam lewat kuburan yang konon angker, kebetulan malam Jum’at Kliwon. Pemapar sengaja bercerita hal yang seram-seram. Ternyata teman tadi lari tunggang langgang sambil membaca kalimah diatas dengan gemetaran.

Peristiwa kecil itu agaknya menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Maka benarlah sabda Rasul: “Iman dahulu, baru Islam”. Kalau hanya gara-gara melewati kuburan saja, iman seorang ustadz sudah goyah, apalagi godaan yang lebih berat. Misalnya berlama-lama didalam goa untuk melakukan do’a dan ritual lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Goa Hira.
Bila seorang atau sekelompok orang (baca dukun), melakukan ritual ditepi pantai sebagaimana yang dilakukan Nabi Hidlir dan Nabi Musa, dalam rangka berupaya meningkatkan ketahanan iman dan mengagumi ciptaan Tuhan, janganlah dipandang suatu kemusrikan dan kemunafikan, sambil membuktikan lafal “audzubillahi minas syaitanirrajim” sangat mustajab apabila digunakan untuk berdo’a. jangan asal membaca do’a, tetapi dihayati dilubuk hati yang paling dalam dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata orang, berdo’a yang memenuhi syarat kebenaran obyektif adalah dengan menggunakan bahasa hati nurani, tahu makna kata yang tersurat dan memahami hakikat yang tersirat. Bila di sertai penghayatan yang mendalam dengan penuh perasaan dihati yang selalu ingat kepada Tuhan, niscaya akan lebih sambung, ketimbang dengan sejumlah kalimat panjang yang membebani memori pada penalaran. Andai beban tadi merupakan hambatan, maka akan menghalangi kemampuan keheningan rasa. Dari itulah maka secara pengalaman pribadi, dzikirullah dan fikirullah terasa lebih sambung, karen ringannya beban yang harus dihafal.

Bila secara kebetulan ada tokoh yang melarang seseorang untuk meminta pertolongan kepada dukun, mungkin orang itu sedang dalam keadaan lupa, bahwa dirinya ketika sedang lelah meminta pertolongan kepada dukun pijat. Waktu khitan dikerjakan oleh dukun sunat. Jadi pengantin dirias oleh dukun pengantin, dan meminta pertolongan kepada dukun sangkal putung bila sedang terkilir.
Pemahaman sebagian orang awam, mana kala bukan dokter dan bukan paramedis, tetapi memberikan layanan bidang kesehatan, disebut dukun. Dan kenyataannya, dukun bisa berasal dari petani, pedagang, PNS, abangan, priyayi juga santri. Namun yang berasal dari santri lebih suka disebut taabib. Tabib dalam Bahasa Arab yang artinya dukun.


Bila dukun yang bukan berasal dari santri dikonotasikan jelek, maka mungkin anggapan itu lebih bersifat sentimen pribadi atau kelompok, yang berujung pada persaingan.
Dan persaingan semacam itu jugalah yang pada akhirnya membuahkan terpecah-pecahnya agama menjadi beberapa mahdzab. Dimana masing-masing mahdzab bersikukuh bahwa hanya merekalah yang paling benar dan calon penghuni syurga, yang lain akan masuk neraka.

Mungkin tak disadari, bahwa sikap ingin benar sendiri, termasuk mendahului iradah Allah, bahwasannya untuk menentukan siapa-siapa yang bakal masuk surga dan neraka, harus melalui proses “interogasi” oleh Allah. Padahal anggapan mendahului kuasa (iradah) Allah, sering dialamatkan kepada dukun.

4. Sasaran Sentimen
Bahwasannya perilaku seseorang biasanya menganut suatu sumber. Sumber itu diperoleh melalui para penentu kecenderungan. Penentu kecenderungan adalah seseorang atau sekelompok orang yang bisa diteladani. Dimana keteladanannya sudah teruji kebenarannya.

Para penentu kecenderungan tercakup didalam institusi kecenderungan. Contoh institusi sebagai penentu kecenderungan adalah: badan-badan keagamaan, organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Tokoh-tokoh penentu kecenderungan misalnya: para pemuka agama, pejabat pemerintah, para pengurus partai politik, para pengurus organisasi sosial kemasyarakatan dan tokoh yang dituakan di masyarakat. Termasuk didalamnya adalah keberadaan keraton.

Bila para dukun masih berkebiasaan menggunakan pusaka-pusaka seperti keris dan sejenisnya, toh dia sebagai penganut kecenderungan. Sumber kecenderungannya adalah Keraton Yogya, Solo dan Cirebon. Kebiasaan seperti itu, bila dilakukan oleh dukun ada yang menghujat, tetapi bila dilakukan oleh keraton, belum ada yang berani menghujat. Dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, meskipun menganggap kerbau hewan keramat dan disebut kyai.

Bila dukun melakukan ritual di goa, ada yang menganggap jelek, dengan tidak mengingat proses turunnya Surat Al Alaq. Bila dukun melakukan ritual digunung dianggap laku kejelekan, tanpa mengingat bahwa Nabi Musa melihat Cahaya Illahi juga di Gunung Tursina. Bila dukun melakukan ritual di makam keramat, dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa ibadah haji sebagian rukunnya adalah ziarah ke makam para nabi. Bila dukun melakukan ritual dipantai juga dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa pertemuan antara Nabi Musa dengan gurunya (Nabi Khidlir), juga ditepi pantai.
Perilaku dukun seperti tersebut diatas, adalah suatu bentuk perilaku budaya batin. Dimana perilaku budaya pada umumnya ada yang dibolehkan, meskipun nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama. Yaitu pengawetan jenasah Fir’aun di Mesir. Maka dari itulah, dengan perkataan lain, sasaraan sentimen negatif hanya diaarahkan kepada dukun sebagai kelompok kecil. Tetapi bukan berarti pemapar ingin mengatakan bahwa, kelompok penghujat dukun beraninya hanya kepada anak kecil.

5. Kesimpulan
Dukun sebagai pelayan jasa kepada masyarakat, tak dapaat dipertahankan keberadaannya, bila tidak mempunyai nilai guna dimasyarakat.
Dukun bisa berasal dari berbagai latar belakang.
Tidak semua dukun salah dan tidak semua dukun benar.
Sentimen negatif arahkan pada penentu kecenderungan dari perilaku dukun.
Masalah benar dan salah, semua orang bisa mengalami. Dan pernyataan salah atau benar yang adil adalah pernyataan dengan kebenaran yang obytektif dari seluruh aspek.

PANCA GAIB DAN ADIATMA
Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI.

KUNCI ;
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
Tinarbuka rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye sejatine kahanaNe Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka kabeh kang ana ing jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua yang ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya makro kosmos dan mikro kosmos.
Nutup, kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa nepsu kang kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa nutupi ras sesambungan gaib marang Gusti kawula, yang artinya: menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari luapan hawa nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila dilepas bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan hambanya.
Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan tethukulan uga alam saisine, yang artinya: rukun dengan pengertian menyatukan rasa dengan keberadaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan juga alam seisinya. Anggap semua manusia itu saudara, dan anggap hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
Suci, kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak, amarga ati sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang Maha Suci, mula aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang sipate ora suci, artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hati nurani dan seluruh tubuh itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah mudah mengisi dengan segala sesuatu yang sifatnya tidak suci.
Dadi, kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan kang samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine KUNCI, artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang dikehendaki menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa memahami apa yang tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna, artinya apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi kata serta dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang hakekat hidup, disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan perasaan yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang terdalam dari yang tersirat dan tersurat di dalam KUNCI.

Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri denga Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng. Dan khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna, akan menghasilkan:
Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
GUSTI INGKANG MAHA SUCI, yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai tempat berlindung, sebagai asal semua makhluk dan sekaligus sebagai tempat kembalinya semua makhluk.
KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI, artinya: saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai hamba yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon maaf dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosanya.

SIROLAH, artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya berasal dari Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan manusia mempunyai naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini pulalah yang menjembatani hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan Yang Maha Suci, Sirolah adalah unsur terkecil yang sangat halus dan lembut, akan tetapi mempunyai kekuatan yang amat besar.
DATOLAH, artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci, Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka dari itu harus di jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal ini adalah mudah terkena penyakit, mudah terkena musibah dan sebagainya. Maka harus selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini adalah sebagai tempat bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah mengandung unsur atau anasir sarinya: api, air, angin dan tanah, yang semuanya dalam wujud ether. Anasir-anasir yang berwujud ether ini apabila digerakkan menurut susunan molekul dan bentuk medan magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah dengan membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang tekun dan teratur.
Ether dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan hawa nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut sak serik, yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata pak kyai, orang sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan mengendalikan nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang diajarkan agama, dan janganlah atau kurang benar kiranya apabila melakukan puasa diluar perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan yang baik adalah, makanlah pada waktu makan, cobalah tinggalkan makanan pokok dan sekaligus tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal dari unsur hewan. Kebiasaan ini oleh orang jawa dinamakan ngrowot, yang didalam bahasa sanskerta dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan Himsa artinya melakukan kekerasan.

Baik pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah hari lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri mengalami kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan dijalankan. Dan karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh disebut puasa diluar perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap berat dalam melakukan ahimsa adalah tidak boleh marah selama menjalankanya. Apabila terpaksa marah sebaiknya dibatalkan dulu, dan lakukan kali lain. Pantangan terberat kedua adalah tidak boleh membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja. Ini semua karena mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak boleh melakukan kekerasan.

Sedangkan cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan melakukan latihan pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh sembarangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri sebagai kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan melestarikan jenis. Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan memperhatikan waktu dan tempat yang terhormat. Waktu yang tepat untuk itu adalah lewat tengah malam. Karena pada saat itu sudah cukup waktu beristirahat, maka kecil kemungkinan untuk diganggu oleh apa dan siapapun juga. Karena orang yang berbudaya, didalam melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi manakala ada gangguan sedikit saja.
SIPATOLAH, artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar perilaku atau tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci. Apabila Sirolah dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber energi, maka sipatolah berfungsi sebagai alat penggerak dari energi itu, sesuai dengan sifat peralatan yang ada serta dibudidayakan dapat bergerak sesuai dengan medan magnet dan orbit nucleusnya, maka terbentuk penimbunan tenaga dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan supranatural serta membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali, asal mau membudidayakanya.

Karena gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya menyerupai gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana sifat dan bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap orang, sesuai dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada yang menyebutnya daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu pengertian yang disingkat MB.

Apabila MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan yang positif, maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-hal yang positif juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi rendahnya tingkat keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana perilaku orangnya, dalam arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan ketelatenan. Maka kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu ajaran dan satu tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri ini juga dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan supranatural juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya akan timbiul dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran apapun, yakni bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang mendesak, yang karena keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu mendorong seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran, untuk mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat sambil berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam keadaan normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain misalnya seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat dengan setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi kemampuan biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara kebetulan nalurinya mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu penting, ternyata benar, meskipun sebelumnya belum ada pemberitahuan.
Demikianlah sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula oleh hewan. Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila didekatnya ada kepulan asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan tempat mereka hidup, akan terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca suasana hanya dengan kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan nalar dan fikiran, karena memang mereka tidak memilikinya.

KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA, artinya saya sebenarnya satria/wanita yang seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau didalam bahasa jawa disebut: Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan tersurat didalam Kunci.

Disamping itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata Satria. Yang asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam, Tri artinya tiga dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah: eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima. Yang artinya kepada Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang didasari rasa sabar, rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang lebih mendalam akan penulis sampaikan pada tulisan lain.

Sedangkan tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang Maha Esa, Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci. Dan kadang-kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad atau Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi. Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan perintah Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar menjadi manusia yang baik.

Apabila semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat dilaksanakan dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut bisa mencapai tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas nama sang adhiatma. Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya manusia yang hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi didalam rasa dan naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya memperoleh kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu duniawi.

Menurut kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa membias pada orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi Awatara atau titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma tidaklah mudah, karena hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh secara kehendak hati dari yang bersangkutan dan dirinya tak benar-benar memproklamiskanya, dalam arti tidak benar bahwa seseorang adalah titisanNya.

Cirri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu dengan Tuhannya.
Tinggi rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa berguru sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni dan hal itu seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh tuntunan Ilmu Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu akan kalah tingkat rasa Ketuhanannya.
Tidak merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan tetapi sebaliknya selalu meras masih banyak ilmu Ketuhanan yang perlu dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
Banyak dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda dan anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar belakang kehidupan pribadi setiap orang.
Bersedia menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang yang kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua cirri-ciri yang terakhir dan tersendiri adalah:
Ada ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada lidahnya. Dan masih ada cirri-ciri lain yang tak dapat disebutkan disini, dimana atas cirri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya sebelum diberi tahu oleh orang lain.
Dari ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan terakhir, akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain. Maka dari itu pengertian yang menyangkut dari ketujuh cirri-ciri tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.

Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing panggawe”. Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma artinya hukum yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya sendiri. Karma dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan Karma dari peri laku jelek disebut Asubha Karma.

Subha Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati Moksa. Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari belenggu hawa nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan Asubha karma terjelek adalah apabila mati seseorang menitis pada hewan.
Apabila seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut akan terbebas dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia, sebagai manusia lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara yang selanjutnya disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan dunia. Sedangkan Atma dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu kembali kepada Tuhan dan tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh Tuhan.
Sebenarnya semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan memenuhi syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti yang tersurat dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai tataran mati Moksa, semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis untuk merubah peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai dengan tujuh kali peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut:

ADI DAIWA
Yaitu Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun. Mungkin diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-tugas Ketuhanan. Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya yang bersifat langgeng, dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu keajaiban-keajaiban diatas rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran cerita pewayangan, orang tersebut dinamakan Maha Resi.

ADHI BATHARA
Yaitu manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali saja. Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma didalam hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali itu, orang tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-kira setingkat di bawah Maha Resi.

ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah Resi.
ADHI BRAHMANA

Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.

ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin, seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.

ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi Adhi Waisya.

ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.

Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik, kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.

Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup, maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan penitisan paling tinggi.

Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.
Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi akar budaya spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang dianutnya.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno, mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.

Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa, walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri, itupun bagi yang mau saja.

Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu tertentu.

Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.

Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu anggota keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut dengan muka kecut.

Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa yang disombongkanya.
Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu. Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di dengar akan tetapi sulit dibantah.

Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara, sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.

Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin, dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan keluhuran budi pekerti.
KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATIyang artinya untuk dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan Yang Maha Satu.

Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib), yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.

KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUTArtinya saya bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.

Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.

Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.

PAWELING ;
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak, oleh sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan, kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya. Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali, luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo atau sang Guru Sejati.

Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari kata Div yang artinya cahaya.

Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa. Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo yang biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.

Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak, lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai manusia.

Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.

Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-benar kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.

SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya. Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.

Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik , disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan Perayangan.

Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana, dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.

Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi pihak-pihak yang berseteru.

Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat terpuji.

Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti embat-embating catur artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.

Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.

SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA FALSAFAH
Untuk memudahkan menarik kesimpulan secara falsafah, baiklah ditarik pesan-pesan kefilsaftan yang terkandung didalam wayang. Didalam cerita wayang, Semar digambarkan sebagai tiga dewa bersaudara, yakni Dewa Antaga, Dewa Ismaya dan Dewa Manikmaya. Selanjutnya Dewa Antaga menjelma menjadi manusia bernama Togog, yang bertugas yang bertugas sebagai pamomong orang-orang “seberang”. Yang dimaksud seberang adalah orang-orang yang perilakunya menyeberang dari nilai keluhuran budi.

Sedangkan Dewa Ismaya menjelma menjadi Semar, yang bertugas sebagai pamomong para satriya yang berbudi luhur. Dewa Manikmaya selanjutnya bergelar Bathara Guru, yang menjadi raja dari para dewa dan bertahta di Jungring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa atau puncak gunung yang selalu berawan dibukit Himalaya. Hima artinya awan dan laya artinya tempat.
Tiga dewa itu asalnya dari sebutir telur gaib yang mengeluarkan cahaya tapi bukan api. Mungkin semacam bermuatan radiasi, yang melayang-layang diangkasa. Setelah berhasil ditangkap oleh Hyang Wenang, kemudian di”sidikara” maka berubahlah setelah terlebih dahulu tercerai berai. Cangkang telur berubah menjadi Antaga, putih telur menjadi Ismaya dan kuning telur berubah menjadi Manik Maya.

Seterusnya Antaga si sulung, dan Manik Maya si bungsu, sesuai dengan asal muasalnya. Antaga menjadi Togog sebagai pamomong orang-orang yang berwatak kasar, keras dan kuat sesuai dengan sifat cangkang atau kulit telur. Namun demikian selalu dapat dikalahkan oleh para satriya sejati yang selalu diemong oleh Semar, sesuai sifatnya berasal dari putih telur yang bening, tidak mudah dicerna, tidak mudah membusuk, awet dan bersifat melekat. Akan tetapi tidak bisa menjadi embrio.

Maka sifat Semar adalah putih, bening, sulit dicerna, tidak membusuk dan awet. Putih sebagai lambang kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sulit dicerna dalam pengertian sulit diduga, susah dipahami tak gampang dimengerti jalan pikiranya, sebelum sampai pada akhir permasalahan atau akhir suatu cerita. Tak dapat tumbuh menjadi individu baru dalam arti kehadiranya didunia tidak secara wantah atau secara fisik, tetapi hanyalah pancaran sifat-sifat terpuji atas dorongan rasa Ketuhananya, orang yang berjiwa Semar mempunyai sifat dapat ngemong para satriya sejati yang luhur budi pekertinya.

Cara ngemong dengan pelayanan yang sama, baik dalam keadaan sependapat ataupun dalam keadaan bertentangan denganya, dengan tidak memperhitungkn untung dan rugi, tanpa berpikir untuk memperhitungkan upah, karena ia selalu berpikir bahwasanya pamomong hanya mempunyai kewajiban berderma tanpa memperhitungkan hasil dari derma itu. Karena perbuatan baik tidak harus digembar-gemborkan, karena semua itu merupakan urusan penderma dengan Tuhanya. Dan menanamkan kebajikan tidak seharusnya selalu diingt, tetapi sebaiknya, apabila hutang budi janganlah dilupakan.

Demikian dengan serba sedikit dan sangat sederhana, ingin ikut meluruskan kepada kesalah tafsiran didalam usaha membabar jati diri Sang Semar didalam kehidupan sehari-hari maupun didalam ruang lingkup Budaya Spiritual Jawa, yang terkadang terlanjur menganggap bahwa seseorang atau tokoh tertentu dianggap romo dalam arti Roh Ismoyo oleh para penganutnya dengan pengkultusan yang keliru.

Namun juga tidak menutup kemungkinan ada oknum tokoh spiritual yang secara sengaja memproklamirkan dirinya sebagai orang yang kesinungan Ismoyo secara tidak bertanggung jawab dan agar dirinya selalu dianggap orang yang lebih berkharisma dengan kesinungan Ismoyo tadi, yang pada giliranya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi saja, yang tak urung akan menipu bahkan menjerumuskan pencari berkah.

Dari itulah tulisan kecil ini bertujuan untuk membantu para penghayat Budaya Jawa, agar sedikit dapat membedakan, apakah seseorang benar-benar kesinungan Ismoyo atau hanya di Ismoyo-kan oleh para penganutnya atau hanya pura-pura kesinungan Ismoyo.

Kembali ke pokok masalah didalam uraian tentang PAWELING, bahwa satriya sejati yang sudah bisa menghayati atau mengamalkan Isi Kunci, dengan kemampuan anggelar dan anggulungnya, mereka itu pada dasarnya adalah para putra Romo. Putra dalam arti Puput ing Rasa artinya sudah cukup sempurna dalam olah rasa dengan tujuan angudi manunggaling Gusti Kawula, dan selalu berbakti kepada Romo ingkang pinundhi, yaitu sekali lagi Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, atau Roh Mono yang tidak berujud jasad manusia, yang tidak pernah dilahirkan, dan bukan seperti yang digambarkan didalam cerita wayang.
Dimana di dalam wayang kadang kala juga di plesetkan oleh dalangnya dari pakem yang baku, demi untuk memperoleh popularitas, yang tanpa disadarinya sebenarnya pelecehan pakem juga melecehkan diri Sang Dalang itu sendiri, sebagai tokoh yang wasis ngudal piwulang.

Maka sudah barang tentu Semar bukanlah tokoh perseorangan yang berperawakan gemuk pendek, kuncungan, bergigi satu dan bertelanjang dada, seperti digambarkan didalam wayang kulit atau wayang orang itu. Dan banyak orang yang mengetahui bahwasanya wayang adalah gambaran pengejawantahan suatu tokoh, atau penokohan tertentu saja.
Rinasa dayaning sukma
Yang artinya merasakan daya sukmanya sendiri, dalam bentuk getaran atma atau getaran rasa sejati. Dan seseorang yang merasakan getaran sukmanya sendiri, pada tingkatan tertentu, dapat merasakan begitu cepatnya perjalanan sukma itu, sepadan dengan getaran yang diupayakan didalam olah getaran rasa sejati. Seseorang yang sudah mampu melakukan hal tersebut diatas, apabila sedang berkonsentrasi, maka apa saja yang disentuhnya dapat dijadikan sarana, apa yang dikatakan akan menjadi sabda, dalam arti kata-kata tertentunya mengandung kekuatan spiritual dan kelak akan ambabar dumadi, dan apa yang menjadi petunjuknya, apabila dijalankan merupakan suatu laku yang sangat bermanfaat.
Dan apabila orang itu berdekatan dengan orang lain, jadilah saraya, yang artinya dapat mengatasi persoalan yang cukup pelik yang dialami oleh orang yang didekatinya itu. Pendekatan diri orang yang sudah dapat mencapai tataran tertentu didalam olah rasa, orang yang didekatinya itu alamat bakal memperoleh guna, banda wiryo artinya ilmu, harta benda dan kemuliaan.

Didalam berkonsentrasi, orang tersebut, dapat menggunakan sarana apa saja sebagai media komunikasi dengan hal-hal yang bersifat gaib, hal ini sesuai dengan prinsip yang tertera didalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya itu adalah diriku.
Kata demi kata yang terkandung didalam paweling adalah:

Siji-siji, loro-loro, telu telonana, maksudnya, apabila sudah bisa membaca Kunci dalam arti mampu anggelar lan anggulung, serta wis tumata dayaning raga, disebut sudah sampai pada tataran siji. Apabila sudah sampai pada tataran tumata dayaning citpa, dianggap mencapai tataran loro, dan apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, disebut sudah mencapai tataran tiga.
Siji sakti yang artinya kesatu kuat. Hal ini apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning raga, akan menyebabkan atau menimbulkan kekuatan.
Loro dadi artinya dua menjadi, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning cipta, apa yang diangan-angankan akan menjadi kenyataan.
Telu pandita yang artinya tiga pendeta, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, dianggap sudah mulai bisa mendekatkan rasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah mencapai tataran Rinasa Dayaning Sukma sendiri.
Siji wahyu yang artinya kesatu anugerah, didalam mencapai tataran satu, itu merupakan anugerah. Karena sulit dicapai dan tidak sembarang orang dapat melakukanya. Sebab betapa sulitnya mengatur semua bagian-bagian raga agar dapat difungsikan sebagai olah gaib menyatukan diri dengan keberadaan Tuhan.

loro Gat Rahina, yang artinya ketiga pagi ufuk biru. Yang maksudnya adalah, sikap selalu menganggap atas segala sikap yang pernah dialami merupakan gambaran seperti datangnya pagi di ufuk biru, dimana selalu menjanjikan terbitnya matahari kehidupan yang selalu akan lebih baik dimasa yang akan datang dibandingkan masa kini. Dikarenakan pada tataran yang ketiga, yaitu Rinasa Dayaning Sukma, akan selalu terasa tidak ada kebahagiaan kecuali merasakan daya sukmanya sendiri, didalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Suci.
Telo rejeki, yang artinya kedua rejeki. Maksudnya adalah, apabila sudah mencapai tataran yang kedua, akan membawa kewajiban harus kerap kali bersyukur atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan, yang pada giliranya akan memberikan petunjuk kearah perolehan rejeki, yang kadang-kadang diluar dugaan yang diperkirakan. Mungkin perolehan itu relatif besar, dimana selama ini perolehan seperti itu belum pernah didapatkan. Sesuai dengan bunyi doa: nyuwun sandang ingkan dereng nate kaangge, nyuwun pangan ingkan dereng nate katedha. Yang artinya memohon sandang yang belum pernah kita memakainya dan memohon pangan yang belum pernah kita memakanya.


SINGKIR ;
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN, yang artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu muncul pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.

Maka pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa kasih sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha Pengasih. Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang tidak boleh kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi biangnya reruwet dan rubeda adalah hawa nafsu yang ditunggangi setan. Maka titik pusat yang perlu disingkirkan adalah hawa nafsu dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri.
Menurut pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa nafsu merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan yang berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat kurang terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa setan secara wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah hawa nafsu.

Dan apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam mimpi, sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu seseorang mengalami konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-bawa kedalam mimpi.

Konflik kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan secara naluri semua orang mempunyai kecenderungan memaksakan kehendaknya kepada orang lain, sekali lagi atas dorongan hawa nafsu tadi. Disinilah sedikit bukti bahwasanya setan itu adalah hawa nafsu.
Selain itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang dalam, tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya. Itu semua sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa yang dilihat dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan terbentuk rupa bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang ditakutkan. Maka pada saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.

Segala sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila tidak dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan dalam hal ini juga berasal dari hawa nafsu.
Setan yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya, hanya merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya merasa bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk bayangan seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan memukulnya dengan membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal setan dalam hal ini juga dari hawa nafsu.
Demikian seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual Jawa. Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu secara benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru mengaji kepada Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali ditanya secara mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata: “Apabila ingin melihat setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan dirimu…”

Pendek kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara dogmatis, tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini. Akan terapi maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama adalah dogmatis. Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki oknum Ustad tadi pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan membanding-bandingkan, mencari perbedaan dan mempersamakan antara agama dengan Budaya Spiritual Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya agama adalah Wahyu Illahi, sedangkan budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah reruwet dan rubeda, yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila keruwetan dan godaan itu datangnya dari setan, dan setan selalu identik dengan hawa nafsu, maka yang perlu disingkiri adalah hawa nafsu itu sendiri. Yang dimaksud adalah hawa nafsu sendiri yang dikendalikan dengan tepat, termasuk pakarti hawa nafsu yang datang dari luar diri sendiri, seperti dinasehatkan oleh tembang mijil yang dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.

Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang dimaksud Sira (kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain adalah hawa nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi. Seperti kata Pak Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang meminta banyak korban, Nabi berkata bahwa masih ada perang yang melebihi Perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Karena memang nyata benar bahwa hawa nafsu adalah musuh bebuyutan manusia, yang apabila tidak tepat pengendalianya, manusia tidak dapat “padang paningaling sukmane”.

Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane” adalah juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif. Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah orang yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin sedangkan hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh kotoran, sudah barang tentu bayangan menjadi kurang jelas. Menjadikan kita tidak mampu melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi kata Pak Ustad: “apabila masih membawa hawa nafsu, menjadikan kita tidak bisa Makrifatullah”.

Begitulah adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat disingkirkan atau dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati yang selalu bermaksud ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat menyuarakan, menghayati dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI, baik secara gelar maupun secara gulung atau secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING…(asma sejati atau jati diri dari atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak dan berkarya.

Tiga kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam perilaku sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya seseorang dianggap sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang anindakake pakaryane Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo, maka dia boleh dianggap sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga menyandang tugas-tugas spiritual pada saat menjalani masa hidup, sesuai dengan tingkatan tataran, lingkungan dan jamanya.

MIJIL DAN ASMA SEJATI ;
Antara Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati. Yang dimaksud adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan identitas dari roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya memberdayakan secara lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk tujuan-tujuan tertentu yang ada hubunganya dengan peri laku jiwa raga sehubungan dengan upaya anggelar lan anggulung isine Kunci.

Yang jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati dapat dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa sejati, dimulai dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis buang air kecil, atau kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama seperti itu sama seperti bila kita sedang dilanda rasa takut terhadap sesuatu.

Secara anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula dari pusat susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya bergerak atas dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan saraf otak. Namun dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran rasa merinding itu tidak dimulai atas perintah berupa rangsangan dari susunan saraf otak, akan tetapi gerakan itu timbul sebagai akibat adanya konsentrasi atau pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan, dan dorongan itu langsung menuju saraf motorik.

Pada giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan seluruh badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin bergerak, akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan kadang-kadang apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan diri kita dengan sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak mampu mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul begitu saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali diwatek. Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada mulut, menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas kata-katanya.

Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud arsa Beksa Beksanira Pribadhi, yang artinya bermaksud menari tarianya sendiri. Tarian disini lebih tepat dikatakan sebagai tarian sakral atau semacam gerakan yoga yang timbul secara spontan atau timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam tarianmu dimaksudkan atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri. Sebagaimana raga memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati diri dari sukma orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati menjalankan perintah raganya.

Besar kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari banyak sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan mijil tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah frekuensi itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam pemusatan rasa hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat konsentrasi sangat tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik, jumlah pembiasaan, keadaan lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu semua juga kadang-kadang terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi merupakan upaya memperoleh getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jati diri memiliki identitas dan kekhususan tersendiri.

Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa beksa beksanira pribadhi, yang merupakan getaran yang meliputi seluruh tubuh, maka selanjutnya boleh melatih diri dengan gerakan didalam getaran pada tiap bagian-bagian tertentu, dimana gerakan pada bagian-bagian tertentu ini, ada yang menganggap gladen (latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.


SEDIKIT TENTANG TENAGA DALAM ;
Kekuatan tenaga dalam atau sering disebut tenaga murni atau tenaga inti juga kekuatan sejati dan ada juga yang menyebutnya tenaga gaib dan sebagainya itu, berasal dari hasil pembudidayaan dari hasil pembudidayaan dari daya kekuatan dari apa yang disebut Bayu Sejati, dimana semua orang memilikinya. Apa yang disebut bayu sejati, erat kaitanya dengan apa yang dinamakan oleh Penghayat Budaya Jawa sebagai Kadang Papat Kalimane Pancer.

Sesungguhnya kawruh tentang kadang papat lima pancer it hanya suatu perwujudan dari sejenis Ilmu Jiwa (khas) Jawa. Tidak ubahnya tentang kawruh kebudayaan mengenai perhitungan hari baik untuk berkhajat yang sampai sekarang sebagian kalangan masih mepergunakanya. Biasanya disebut perhitungan hari dan pasaran yang masih dianggap erat kaitanya dengan peri kehidupan Orang Jawa.

Kawruh khusus di bidang hari pasaran, selanjutnya bisa dikatakan sebagai bagian dari Ilmu Perbintangan atau Astrologinya Orang Jawa, yang tidak berbeda jauh dengan fungsi ilmu perbintangan atau astrologi dari manca negara yang sering digunakan untuk meramalkan nasib.
Berbicara mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer, yang sebenarnya semacam Ilmu Jiwa Jawa itu, yang menguraikan tentang kebakuan sumber daya manusia di bidang pembagian perwatakan atau temperamen manusia itu memang bisa dikelompokkan menjadi empat hal, sedangkan yang kelimanya sebagai penyempurna. Jelasnya tentang kawruh kadang papat lima pancer itu, merupakan pembagian perwatakan didalam Ilmu Jiwa Jawa.

Semua perilaku manusia dianggap terpengaruh oleh kadang papat lima pncer, yang terdiri dari: kadreng, kuwawa, greget lan bisa. Yang artinya kira-kira: kemauan, kemampuan, semangat dan bisa. Apabila disebut dengan Bahasa Jawa Tengahan sebagai: daya ngumbara, daya purba, daya wasesa lan daya wasis. Dan jika disebut dalam Bahasa Jawa Kuno adalah: daya netra, daya lodra, daya ludira, lan daya grana. Manakala disebut dalam bahasa arab kira-kira: sufiya, luwamah, amarah dan mutma’inah.

Jelasnya kawruh tentang kadang papat lima pancer itu adalah pembagian perwatakan manusia. Dimana semua manusia memiliki, memakai dan merasakan tanpa kecuali. Baik dia Orang Arab, Belanda, Cina maupun Orang Jawa. Dimilikinya hal tersebut diatas juga tanpa mengenal batasan apakah mereka memeluk Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha ataupun Penghayat kepercayaan Kepada Tuhan YME. Tanpa mengingat pula apakah dia cocok atau tidak dengan kawruh tersebut.

Hanya saja yang perlu diingat, watak Orang Jawa itu pada umumnya ramah dengan penuh rasa kekeluargaan, memanusiakan manusia dan menghormati orang lain. Memanusiakan disini yang dimaksud adalah nguwongake. Kadang-kadang bukan manusia saja yang sering diuwongake. Juga walaupun bukan tokoh personal, bukan bangsanya lelembut, bukan dhedhemit, bukan jin peri perayangan, bukan pula arwah gentayangan, semua sering diuwongake.

Karena pada umumnya Orang Jawa sering senang menggunakan gaya bahasa personifikasi, hal-hal yang bukan person seakan-akan dipersonkan. Maka yang disebut hawa nafsu sufiyah, luwamah, mutmainah dan amarah juga dipersonifikasikan. Maka apabila hawa nafsu dinamakan kadang atau saudara disebabkan karena sifat nguwongake tadi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa hawa nafsu tersebut digunakan terus selama hayat dikandung badan.

Malahan gaya personifikasi Orang Jawa diberlakukan pada hewan, tumbuhan dan benda mati. Misalnya kucing diberi nama si manis, anjing dipanggil si bekti, kerbau ada yang bernama trubus dan sebagainya. Benda mati berupa senjata, kereta, gamelan dan sebagainya yang berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta bukan saja diberi nama namun masih ditambah kata sandang Kyai didepan nama tersebut. Namun sudah barang tentu bukan Kyai dibudang agama. Dan ada pula Orang Jawa yang mengatakan “wah Kyaine liwat” manakala melihat harimau sedang berlalu.

Bukan saja manusia yang dimanusiakan, maka kepada manusia yang sebenarnya, lebih-lebih dimanusiakan, walaupun kepada orang yang menganggap laku Orang Jawa sebagai musyrik, munafik dan klenik. Orang tersebut tetap dihormati dan dibuat senang hatinya. Bila perlu apabila kita dimintai pertolongan ya di tolong juga. Demikian itu sikap Njawani.

Lalu bagaimana jelasnya mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer yang sering dihubung-hubungkan dengan adanya kawah, ari-ari, puser lan getih itu? Kesemuanya itu merupakan perwujudan fisik. Orang Jawa bilang blegere dat, yang dianggap mempunyai daya dibalik pisiknya, sebagai sifat. Dikatakan dalam Bahasa Jawa dat anggawa sipat (dzat membawa sifat).
Maka kawah sebagai dat mempunyai sifat purbaari-ari mempunyai sifat wasesaPuser sebagai dat mempunyai sifat wasis dan getih membawa sifat ngumbara. Proses mengenai dat dan sifat ini dipengaruhi oleh daya naluri yang berkembang menjadi nalar, akan membentuk sifat di dalam perilaku.

Dat dan sifat akan membentuk naluri dan perilaku, setelah mengalami proses pralina terlebih dahulu. Pralina artinya sudah tidak berwujud lagi akan tetapi tidak hilang. Proses pralina ini terjadi karena apabila bayi sudah lahir dan sampai dewasa, kadang papat secara fisik sudah tidak dipergunakan lagi. Karena kawah sudah dikumbahgetih wis ngalih, puser wis diunder lan ari-ari wis di rukti atau dibenamkan layaknya perlakuan kepada jenazah.

Menurut teori ilmu alam, berlaku hukum keabadian untuk zat dan energi. Maka segala macam bentuk fisik tak akan hilang walaupun tidak terlihat lagi, karena mengikuti proses siklus didalam berdaur ulang.

Didalam proses pralina, metapisis dari kadang papat terlebih dahulu berubah wujud menjadi ether yang merupakan bentuk halusnya metaphisik. Kata ether didalam Bahasa Jawa disebut Sir. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dat membawa sipat dan semuanya tercakup didalam sir. Maka kemudian ada sebagian Penghayat Kebudayaan Jawa yang sering menyebut-nyebut Sirulah, Datulah dan Sipatulah.

Ada sedikit bukti bahwa dat membawa sipat, yaitu: mengapa seseorang mempunyai sifat kasmaran, tak lain karena dia mempunyai piranti seksual. Seseorang menitikkan air liur karena melihat mangga muda, sebab tubuhnya sangat membutuhkan Vitamin C. manusia dianggap berperasaan karena didalam tubuhnya ada segumpal hati dan sebagainya.

Oleh karena secara ilmu alam, apabila sesuatu zat mengalami perubahan bentuk dan wujud, pasti didalam perubahan itu menimbulkan energi. Maka perubahan kadang papat pada proses pralina, akan menimbulkan energi berupa dorongan naluri perwatakan dan perilaku, yang juga menimbulkan daya lebih bersifat supranatural yang dimiliki oleh semua orang manakala mau membudidayakanya.

Disamping mempunyai kadang papat yang dapat menimbulkan daya kekuatan naluri, manusia masih mempunyai daya yang melebihi daya dari kadang papat yang biasa disebut bayu sejati yang bersifat sebagai sumber energi metapisis manusia. Bayu sejati bersifat Illahiyah karena asli ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang ditiupkan kepada manusia pada saat jabang bayi berada didalam kandungan ibu pada usia seratus hari. Seumpama kadang papat sebagai pakaian, bayu sejati adalah pemakainya. Dan bayu sejati inilah yang disebut lima pancer, yang pernah menjadi kekuatan uwatnya pada saat sang jabang bayi lahir.
Dan sebenarnyalah getaran rasa sejati yang dibangkitkan dengan mijil berasal dari getaran gelombang metapisiknya kadang papat. Selanjutnya getaran yang timbul pada bagian-bagian tubuh, disebut aji, yang artinya terhormat, terpelihara atau rahasia jati diri. Namun janganlah disamakan dengan ajian yang diceritakan di dalam wayang, film ataupun sandiwara radio. Ini semua hanyalah tenaga dalam, yang maksudnya tenaga yang berasal dari dalam dirinya sendiri.

AJIAN ATAU AJI JAYA KAWIJAYAN ;
Seperti telah disinggung didepan, bahwa ajian disini bukanlah semacam ilmu kekebalan, atau sesuatu yang menjanjikan kehebatan dan sebagainya. Kata jaya kawijayan artinya jaya adalah kuat dan kawijayan adalah kekuatan. Kuat dan kekuatan disini dengan tolok ukur seberapa kuat orang tersebut didalam mengendalikan hawa nafsu, yang konon merupakan musuh bebuyutan manusia.

Dan selanjutnya getaran yang timbul dari sumber dayanya kawah akan membentuk aji wijaya mulya, wijaya kusuma, yang berada di telapak tangan kanan dan kiri. Sedangkan antara jempol dan telunjuk tangan yang disebelah kanan akan menimbulkan aji ismu gunting dan yang disebelah kiri disebut aji ismu dhatengAji madiguna berada pada tulang ekor dan sebagainya, ini semua hasil dari pengendalian nafsu supiyah.

Getaran yang berasal dari metapisiknya luwamah, membangkitkan aji braja dhenta, yang menempati kepalan tangan. Aji braja musthi berada pada pusat getaran dikepalan tangan kiri. Aji braja wikalpa berada ditelapak kaki kanan. Aji braja lamatan berada ditelapak kaki kiri. Aji braja sekethi berada ditengah telapak tangan kiri. Aji rah muka dan rah anggana menempati pundak kiri dan kanan. Aji bandung naga sewu berada ditulang belakang, aji candha birawa bertempat ditenggorokan. Aji bandhung budhawasa menempati sekojur kaki kanan dan kiri.

Getaran metapisiknya amarah dapat membangkitkan aji hagni suci yang berada dititik pertemuan pandang kedua bola mata dengan ujung hidung. Aji trinetra berada ditengah-tengah kedua alis mata, dan aji pamungkas yang penempatan dan tata caranya tidak dapat penulis kemukakan disini, karena menurut anggapan penulis, hal ini merupakan salah satu diantara sekian banyak rahasia Ketuhanan.
Namun demikian dapat diajarkan secara lisan dengan persyaratan tertentu.
Getaran metapisiknya mutmainah dapat menimbulkan aji nala wigara, yang pusat getaranya berada ditengkuk. Aji padma sana pusat getaranya berada dikedua lengan tangan dengan sikap cakra krodhaAji gineng berada di pusat atau wudelAji mahondri berada pada semua jari kaki kanan dan kiri. Aji kawastrawam berada dipinggang kiri dengan dikepali dua tangan disertai pandangan muka serong kekanan dengan badan condong kedepan kanan. Aji bajingakiring setempat dengan aji mahondri, akan tetapi bertumpu pada lentingan kedua ujung kaki. Aji rawa rontek pusat getaranya memakai sikap berdiri dengan salah satu kaki berpusing, atau berjingkat dengan berdiri bertumpu dengan salah satu kaki. Kalandana putih adalah aji yang pusat getaranya pada langit-langit mulut, dan masih banyak lagi.

Sedangkan getaran yang ditimbulkan oleh bayu sejati, dapat digunakan antara lain untuk: sambung rasa kepada para insan gaib. Dan sambung rasa sambang yang artinya dapat digunakan untuk menghadiri suatu tempat secara metapisis tanpa menggunakan raga, akan tetapi nampak kehadiranya berupa cahaya berwarna kristal.
Sambung rasa asmara yang dapat dipergunakan untuk memberikan kepuasan asmarawi kepada atau suami tercinta apabila secara kebetulan berada ditempat terpisah yang cukup lama, dengan tehnik pengiriman rasa senggama lewat impian. Dengan daya bayu sejati dapat pula untuk angracut aji bandhung budhawasa yang cara dan fungsinya hampir sama dengan sambung rasa asmara hanya saja tugas yang diemban oleh aji ini untuk menjaga rumah, manakala ditinggal pergi cukup lama. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan yang sengaja tidak penulis paparkan disini, karena akan lebih baik hasilnya apabila diajarkan lewat tatap muka secara langsung.

MAKNA KATA DAN ISTILAH DI DALAM MIJIL ;
Mijil artinya:
Metu lan amiji, artinya keluar dan (tetapi) menyatu. Yang keluar berupa getaran dan yang menyatu dan yang menyatu adalah jiwa dan raga yang terus bersambang dan bersambung rasa. Hal ini hanya mungkin dijalankan manakala seseorang sudah mengenal jati diri rohnya.
Sedya manjing sajroning rasa, yang artinya: kemauan masuk kedalam rasa. Kemauan yang dimaksud adalah semua khajad, niat dan cita-cita penyampaianya harus disalurkan dengan olah rasa perasaan yang halus. Sehingga membentuk suasana yang benar-benar komunikatif, baik untuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.

Sedya rasa manjing jroning raga, yang artinya; kemauan dan rasa menyatu di dalam tubuh. Maksudnya setelah kemauan memasuki rasa untuk dikomunikasikan, selanjutnya diharapkan dapat memperoleh apa saja yang dibutuhkan oleh raga. Baik kebutuhan materi maupun non materi.
Cipta manjing jroning sukma, artinya daya cipta memasuki sukma. Apabila sudah memasuki proses ini, maka daya cipta dapat memberdayakan sukma, yang pada giliranya proses manunggaling Gusti kawula sudah mulai dekat. Karena pada dasarnya hubungan makhluk dengan khaliknya yang paling tepat adalah bentuk hubungan sukmawi.
Dayaning Sukma rinasa ing raga, yang artinya keberadaan dan daya dari kekuatan sukma dapat benar-benar dirasakan oleh raga. Apabila proses pernah dilalui, orang akan benar-benar merasakan daya sukma itu, yang bersifat tahan benturan, tahan api, tahan angin dan juga tahan akan segala senjata. Pernah seseorang membuktikan, suatu ketika sedang gladian olah getaran, ada yang membentur batu karang pas bagian kepalanya akan tetapi tidak terluka ataupun merasakan sakit.

Rasa angagem kuwasane sukma sejati, yang artinya rasa perasaan dan rasa naluri sudah memakai kekuatan sukma sejati. Apabila sudah mencapai proses ini, apa yang menjadi angan-angan, kata-kata, maupun cita-cita sering gampang menjadi kenyataan. Dan diharapkan jangan sembarang bicara yang jelek atau menyumpahi orang. Karena kemungkinan akan fatal akibatnya. Dari itulah kenapa ada pantangan tidak boleh “nyepatani”.

Sukma Sejati sambung rasa marang Sukma Kawekas, artinya Sukma Sejati berhubungan secara rasa dengan Sang Maha Hidup. Pada tataran ini proses manunggaling Gusti Kawula sudah semakin dekat. Orang dapat merasakan kehadiran insan gaib secara wantah atau biasa pada alam nyata.

Sukma Kawekas Sambang Rasa marang Sukma Sejati, artinya Sang Maha Hidup memberi perlindungan kepada Sang Sukma Sejati. Apabila sudah sampai pada tataran ini seseorang sering memperoleh bukti yang benar-benar nyata atau suatu kejadian yang apabila tanpa perlindunganya, tak mungkin tertolong. Misalnya; bersepeda motor tertabrak mobil, mobilnya peok, penumpangnya terluka, akan tetapi sepeda motor dan pengendaranya baik-baik saja.

Sukma Sejati angobahake rasa tumuju marang paraning sedya, artinya Sang Hidup menggerakkan raga dengan menggunakan rasa mengarah kepada tujuan hidup. Pada proses ini sering dialami oleh seseorang, manakala suatu hari dalam keadaan payah karena benturan ekonomi, tiba-tiba ada getaran sulit dikendalikan pada kaki dan perasaan ingin menuju kesuatu tempat. Begitu kuatnya keinginan itu sehingga tidak dapat dicegah. Ternyata setelah sampai pada tempat tujuan bertemu dengan kenalan yang dapat mengarahkan ke dunia bisnis, dan akhirnya berhasil.

LAIN-LAIN ;
Angagem aji atau memakai ajian berarti memakai daya sukmanya sendiri yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Bahasa Jawa dikatakan angagem dayaning Sukma asal saka Gusti.
Singkir mijil yaiku ambalekake kaya asal kamulane. Yangartinya mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Lan angilangake kahanan ala saka jiwa raga pribadhi, artinya menghilangkan keadaan jelek dari diri pribadi.

Upacara Hagni Suci adalah adalah suatu kegiatan pengakuan dosa dan upaya penyuciannya dengan cara penghayalan seakan akan diri ini sedang dibakar api yang sangat besar, dengan upacara dan doa khusus yang menggunakan sarana kembang sepatu.
Nawala Tirta adalah suatu upacara ritual dalam upaya pengiriman berita insan gaib atau yang tergolong dengan Utusan Langgeng yang tataranya dibawah Ismoyo, dengan maksud melaporkan hasil perolehan atau suatu lelaku yang pernah dilaksanakan atas suatu “Dhawuh”. Untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut. Dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, diapungkan dilaut.
Walik mijil, adalah upacara ritual, dimana seseorang seakan-akan dilahirkan kembali (renatal), dengan cara dalam upacara ritual yang mengharuskan seseorang dilangkahi oleh ibu kandungnya sendiri. Apabila sudah meninggal, boleh diwakili saudara tua perempuan yang sedarah dengan almarhum ibunya.

KESIMPULAN:
Dari itu semua sebenarnya yang namanya Asma Sejati itu tidak lain adalah jati diri dari roh orang yang bersangkutan, yang diberikan oleh sesepuh atau kesepuhan yang dianggap sudah mumpuni atau menguasai olah spiritual sehubungan dengan gelar dan gulungnya Kunci, Paweling, Singkir lan Mijil.

Pada waktu manusia berada didalam kandungan ibu kira-kira usia seratus hari, kepada calon jabang bayi itu diberikan roh oleh Tuhan, dengan satu macam roh untuk semua manusia di bumi ini. Intinya semua orang diberikan roh yang hanya satu oleh Tuhan Yang Maha Satu.
Maka Asma Sejati disini dipergunakan untuk identitas atau jati diri yang membedakan antara si A dengan si B, si C dan seterusnya. Atau dengan perkataan lain untuk membedakan roh atau atma pada diri setiap orang itulah maka diperlukan Asma Sejati, yang apabila di Mijilkan akan berhubungan dengan dengan benar-benar menyatu antara raga dan jiwa.

Dari kedua pengertian tentang mijil dan satu pengertian tentang Asma Sejati, maka pengertian Mijil ing Asma Sejati adalah ngetokake daya rasa pracaya marang Ingkang Maha Tunggal kanthi nyawiji migunakake kekuatan atmane dhewe. Yang artinya mengeluarkan daya dari rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Satu dengan cara menyatu menggunakan kekuatan atmanya sendiri.

Demikian sekilas dan serba sedikit uraian tentang pengertian Kunci, Mijil, Asma Sejati, Paweling dan Singkir yang juga disebut Panca Gaib yang dapat penulis sajikan sebatas kemampuan dengan maksud dapatlah yang sedikit ini dijadikan pedoman seadanya dengan maksud untuk memberi jawaban atas pertanyaan dari berbagai kalangan dan kadang yang sampai tulisan ini dibuat belum ada yang sudi memberikan jawaban.

Sudah barang tentu jawaban ala kadarnya ini masih jauh dari makna dan pengertian yang terkandung didalam Panca Gaib yang memang sangat sulit, rumit dan serba luas, penuh kerahasiaan, halus serta tidak terukur oleh dimensi waktu maupun ruang.
Namun demikian penulis yang belum tahu apa-apa ini dengan sangat terpaksa memberanikan diri membuat uraian ini. Maka sudah barang tentu masih banyak kekurangan yang perlu penyempurnaan. Walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, begitupun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan, Rahayu.

Srandil
MANDHALA GIRI ;
Mandhala Giri berasal dari kata di dalam Bahasa Sansekerta, Mandhara dan Giri. Mandhara artinya dua buah berjajar hampir sama besar dan berdekatan sedangkan Giri artinya Gunung. Sedangkan kata Srandil berasal dari kata didalam Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih gunung tumpul yang puncaknya tampak seperti patah, sehingga hampir sama luasnya antara kaki dan puncaknya. Maka sebutan Gunung Srandil tidak hanya ada di Desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap saja, yang konon diceritakan ada pertapan, yang merupakan petilasan para leluhur Tanah Jawa.

Yang dimaksud para leluhur Tanah Jawa itu antara lain, disebutkan beberapa tokoh legenda, yaitu:


Di lingkungan Beteng
HYANG AGUNG HERU CAKRA
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA
IBU RATU RETNO DUMILAH

HYANG LANGLANG BUWANA (yang petilasan pertapaanya di puncak Gunung Srandil)
Di luar lingkungan Beteng
HYANG SUKMA SEJATI
HYANG WURUNG GALIH
HYANG KUMALA YEKTI (yang juga disebut KI SALINGSING, yang petilasanya berada agak jauh dari Gunung Srandil yaitu di tepi Pantai Selatan. Berupa makam ?)
Di sebelah barat Gunung Srandil, terletak sejajar seakan akan saudara kembar dari Gunung Srandil, ada Gunung Selok, yang konon di puncak gunung itu ada dua pertapaan yaitu Pertapaan Jambe Lima dan Pertapaan Jambe Pitu.
Pertapaan Jambe Lima merupakan sebuah petilasan, yang berada di dalam bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG CAKRA WANGSA
HYANG SUKMAYA RENGGA
Dan yang berada di luar bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG SABDA PALON
HYANG NAYA GENGGONG
Pertapan Jambe Pitu merupakan petilasan yang dipercaya sebagai Singgasana Gaibnya:
HYANG LENGKUNG KUSUMA
HYANG LENGKUNG SWIRI
HYANG WISNU MURTI
Lalu diluar lingkungan bangunan pertapaan ada petilasan HYANG JAPEN.
Di pantai curan Laut Selatan ada beberapa goa, satu diantaranya merupakan petilasan IBU SUCI RAHAYU dan IBU RATU SRI KENCANA WATI, yang terletak di Goa Suci Rahayu, kira-kira letaknya di bawah Jambe Pitu.

Sepertinya sudah menjadi naluri adat yang mendarah daging bagi sebagian Orang Jawa, mempunyai perilaku wayang sentries, yaitu berupa kebiasaan sikap hidupnya berkiblat kepada keberadaan wayang. Serta sebagian menganggap bahwa wayang mempunyai kekuatan magis tertentu. Di samping sebagai peninggalan hasil cipta, rasa, karsa dan karya para leluhur yang benar-benar adiluhung.

Salah satu contoh kebiasaan sikap yang nyata-nyata berkiblat kepada wayang misalnya: salah satu KOREM di beri nama MAKUTHA RAMA. Dimana Makutha Rama adalah “WAHYU KEPRABON” yang diberikan oleh para dewa kepada Sang Arjuna sebagai yang “BINELAH PANITISE” dari Dewa Wisnu yang juga menitis kepada Prabu Bathara Kresna.

Senjata Cakra milik Bathara Wisnu yang di anugerahkan kepada Bathara Kresna, dijadikan salah satu symbol kesatuan tentara, lalu candi-candi di Dieng dan petilasan-petilasan di Rahtawu Jawa Tengah, hampir semua tokoh legendanya diambil dari nama tokoh wayang. Juga Pulau Madura, dianggap sebagai Negara Mandura dan Gunung Semeru seakan-akan sebagai Gunung Mahameru di India sebagai negara yang menjadi asal-muasalnya Wira Carita dari wayang.
Disamping itu, sebagai Orang Jawa juga sering mempersamakan rupa dan perilaku seseorang pada tokoh wayang, misalnya ketampananya seperti Arjuna, Cantiknya Seperti Subadra, kumisnya tebal melintang seperti Gatotkaca, tinggi besar dan gagah seperti Bima, gemuk sekali seperti Limbuk, kurus sekali seperti Cangik, berambut panjang terurai tak karuan seperti Burisrawa, tukang Hasut seperti Sakuni. Arif dan bijaksana seperti Prabu Krisna, berlagak gagah seperti Dursasana, pemberang seperti Baladewa, sewenang-wenang dan serakah seperti Dasamuka, kembar mirip sekali seperti Nakula dan Sadewa dan sebagainya.

Buku Wira Carita yang bersumber dari salah satu bagian dari Kitab Weda yang berasal dari India, direka-reka seakan tempat, waktu dan tokoh ceritanya berasal dari Jawa. Disadari atau tidak perilaku seperti itu sudah berurat akar didalam perilaku sebagian Orang Jawa.

Dengan demikian, keberadaan beberapa pertapan di Srandil juga dianggap ada hubunganya dengan wayang. Intinya menyadur dari Kitap Wira Carita MAHABARATA yang diturunkan lagi dari Kitab PURWA CARITA dengan mengambil salah satu episode atau lakon SAMODRA MANTANA, yang menceritakan bahwa para dewa akan mengupayakan “TIRTA AMRITA” yang biasa disebut dalam wayang sebagai “TIRTA AMERTA” yang artinya Air Kehidupan, atau Air Pembawa Hidup dan juga disebut Air Penyebab Hidup.

Di ceritakan di dalam kitab tersebut, di Kahyangan Suralaya atau tempat bertahtanya para dewa. Ada dua buah gunung yang letaknya sejajar yang keduanya itu bernama Mandhara Giri. Hyang Jagad Giri Nata yang merupakan Raja dari para dewa memerintahkan kepada Dewa Wisnu untuk melakukan tiwikrama merubah jasad dirinya menjadi Hyang “AKUPA” yaitu sebangsa Penyu Raksasa yang mampu menggendong dua buah Gunung Mandhara Giri tadi, untuk di bawa menyelam sampai di bawah dasar Samodra Selatan dan meletakkanya dengan pucuk di bawah dan kaki gunung di atas. Dengan letak menungging tersebut akan dijadikan sebagai mata bor untuk melubangi dasar Samodra Selatan.

Sebagai tali pemutarnya, Hyang Jagad Giri Nata memerintahkan agar Hyang Ananta Boga, sebagai dewa dengan wujud Ular Raksasa, untuk melingkarkan dirinya pada dua buah gunung tadi, dengan lingkar yang melintangi kedua gunung tadi dalam bentuk angka delapan.

Sebagai tenaga pemutar di perintahkan kepada Para Sura atau Para Dewa untuk menarik kepala dan Para Asura atau Para Raksasa untuk menarik ekornya. Demikian kepala dan ekor Sang Ananta Boga di tarik-tarik secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga Mandhara Giri berputar bagai bor delapan tahun lamanya.

Setelah lapisan tanah dan batuan dari dasar Samodra Selatan berhasil di bor sampai puncak Mandhara Giri menjadi tumpul, maka akhirnya keluarlah:
NILA ANTAKA
Yaitu sebangsa cairan berbisa yang racunnya dapat menyebabkan Para Dewa bisa mabok sampai meninggal. Untuk mencegah kemungkinan kefatalan itu, maka Hyang Jagad Giri Nata atau Bathara Guru memutuskan untuk menelan NILA ANTAKA tersebut, agar di belakang hari tak lagi terminum oleh para Dewa, manusia, maupun raksasa.

Mungkin sudah kodrat Tuhan Yang Maha Esa, racun itu terhenti hanya sampai ditenggorokan saja, yang menyebabkan leher Hyang Jagad Giri Nata lebam membiru untuk selamanya. Dari kejadian ini lalu Bathara Guru diberi gelar Hyang Nilantaka atau Hyang Nilakanta karena lehernya berwarna Nila. Ini adalah pengorbanan dirinya rela cacat seumur hidup dengan maksud agar para penganutnya tidak menelan sesuatu yang menyebabkan rusaknya moral.

Berangkat dari kisah diatas, maka selanjutnya ada semacam kepercayaan bahwasanya seseorang dapat dianggap benar-benar dan sungguh-sungguh sebagai pembimbing spiritual di pertapaan Mandhara Giri Srandil, manakala bisa meniru sifat rela berkorban seperti Bathara Guru, dan orang tersebut baru dianggap sebagai “Guru Laku”. Bathara Guru di pewayangan di gambarkan bertangan empat dan menaiki Lembu Nandini.

“GURU” dituntut oleh kewajibanya harus bertangan empat. Dua buah tangan untuk mengerjakan keperluan pribadinya dan tangan lainya di gunakan untuk keperluan para “SISWA” nya yang biasanya di sebut para putra wayah yang berguru kepadanya.

Berdiri diatas Lembu Nandini melambangkan selalu berlandaskan kesucian Illahiyah, didalam pikiran, perkataan dan perbuatanya. Berani menelan Nilantaka yang maksudnya harus berani bersumpah di pertapaan Mandhara Giri Srandil “rela mati bila tidak berhasil memuliakan para putra wayahnya”.

Selain itu, yang lebih penting lagi, dalam dia berdiri sebagai pendeta, memang benar-benar atas pilihan kesucian Gaibnya Tuhan. Bila yang dianggap sebagai Guru Laku nyata benar demikian, biasanya, konon kulit dibagian tubuh tertentu ada “TOH” yaitu semacam bercak abadi yang berwarna biru keungu-unguan, dibagian leher atau ketiak kiri kanan, yang sebelumnya tidak di ketahui oleh dirinya sendiri, sebelum diberitahukan oleh orang lain yang secara tidak sengaja melihatnya.

GAJAH AIRA VATA ;
Yang juga bernama Gajah Era Wata yang di dalam pewayangan di sebut Gajah Era Wana. Yaitu gajah yang berasal dari sorga, berkulit putih dan kulitnya bercahaya terang, yang terkadang terlihat kadang tidak oleh penglihatan mata manusia biasa.

Selanjutnya gajah ini di anugerahkan kepada Batara Brama atau Hyang Agni sebagai kendaraan dinas jawatanya. Sewaktu ada lakon Begawan Bala Rama yang tak lain adalah Baladewa, Sang Begawan di anugerahi Gajah Puspadenta oleh Hyang Agni. Konon gajah ini keturunan dari Sang Aira Vata. Untuk meyakinkan kepada Baladewa bahwa gajahnya adalah keturunan dari Aira Vata, kelak bila menjadi Raja Mandura menggantikan Ayahnya, akan berpermaisurikan Dewi Erawati yang namanya berasal dari kata Erawata.

Di dalam lakon ASMARA DAHANA, diceritakan Sang Dewi Uma Parwati permaisuri dari Bathara Guru yang secara kebetulan sedang mendampingi sang suami, untuk memeriksa barisan prajurit Dandara yaitu pasukan dari Para Dewa di Repat Kepanasan atau Alun-alun di Kahyangan Suralaya. Dengan serta merta Dewi Uma Parwati menjerit kuat karena terkejut dan sangat takut melihat Gajah Erawata yang di tuntun oleh Bathara Agni.

Pada hal pada waktu itu secara kebetulan Sang Dewi sedang Hamil. Pada giliranya pada waktu Sang Dewi bersalin, melahirkan seorang bayi yang tidak lumrah sebagaimana bayi-bayi dewa yang lain. Karena bayi itu ternyata berkepala gajah dan berbadan raksasa laki-laki dan diberi nama Bathara Gajayana, yang setelah dewasa mengemban tugas sebagai Dewa Kearifan dan selanjutnya sekarang di pakai sebagai lambang sebuah perguruan tinggi di Bandung.

CUPU LINGGA MANIK ;
Adalah sebuah cawan yang bahanya dari batu permata berwarna ungu tua berbentuk segi delapan. Sebenarnya ada sedikit misteri di dalam kemunculan cupu ini. Karena secara kebetulan secara tiba-tiba saja sudah berada di dalam mulut sang Ananta Boga. Maka oleh Bathara Guru lalu di anugerahkan kepadanya.

Di dalam lakon lahirnya Dewi Sri dan Raden Sadana, Dewa Ananta Boga mendapat perintah dari Bathara Guru untuk bertapa delapan tahun lamanya, karena dia dipersalahkan terkesan tidak rela di dalam menjalankan tugas menjadi tali pemutar Gunung Mandhara. Karena ditengah pengeboran itu timbul rasa sengsara tak terkira, kenapa dia harus menjadi tali pemutar yang di tarik-tarik selama bertahun-tahun. Dia menganggap kodrat Tuhan atas dirinya sebagai dewa berbadan ular adalah ketidak adilan dari para dewa.

Maka bertapalah dia, atas perintah Bathara Guru yang juga sebagai hukuman khas para dewa yang dianggap melanggar, dengan mulut menganga melingkari Arga Kailasa selama satu tahun sehingga Cupu Manik didalam kulumanya terlepas. Dan diterimalah keprihatinan Sang Ananta Boga oleh Tuhan Yang Maha Tunggal. Tutup cawan berubah menjadi seorang ksatria tampan diberi nama Raden Sadana dan bagian wadah cupu menjelma menjadi putri cantik bernama Dewi Sri.

Selanjutnya Raden Sadana dan Dewi Sri diserahkan kepda Bathara Guru, oleh penguasa para dewa itu, Raden Sadana dan Dewi Sri diserahi tugas menjadi petani dan pemelihara padi di bumi. Sebagai anugerah atas keberhasilan tapanya, Ananta Boga diberi anugrah berupa Aji Kawastrawam yang dapat digunakan sebagai sarana untuk merubah wujudnya menjadi ksatria tampan, apabila ajian itu di watek atau diamalkan.

Sesuai kelaziman para dewa, walaupun Aji Kawastrawam adalah milik sah dari Sang Ananta Boga, akan tetapi tidak boleh sembarangan cara menggunakanya. Dalam arti ajian tersebut hanya dapat digunakan untuk sarana di dalam tugas-tugas Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Apabila ajian itu di watek, sebelum menjadi ksatria tampan, terlebih dahulu akan mengeluarkan minyaknya yang disebut LENGA TALA dan bekas kulit ari dari ular yang disebut WLUNGSUNGAN.

Lenga Tala dapat digunakan untuk menyembuhkan luka yang sangat parah dan bahkan dapat menyembuhkan orang mati yang belum waktunya. Sedangkan Wlungsungnya dapat digunakan untuk dapat merambah air tanpa harus tenggelam dan sebagai pelindung perisai diri yang sangat ampuh dalam menghadapi segala benturan.

Sebagaimana diceritakan di dalam lakon Subadra Larung. Diceritakan Sang Subadra yang adik kandung dari Sri Bathara Kresna, meninggal karena ditikam oleh Burisrawa, gara-gara menolak cintanya. Sebagai suaminya, menangis dan berdatang sembahlah Arjuna kepada Bathara Kresna, untuk maminta kesembuhan atas kematian istri tercintanya.
Prabu Kresna Raja Dwarawati yang dikenal sebagai titisan Dewa Wisnu yang memiliki Kembang Cangkok Wijaya Mulya, yang dapat menyembuhkan orang mati sebelum waktunya, atas firasat, yang diterimanya, Prabu Kresna tidak mau menggunakan Kembang tersebut untuk menyembuhkan, walaupun yang mati adalah adik kandungnya sendiri. Karena kembang itu keberadaanya masih ada hubunganya dengan kelaziman para dewa.

Maka selanjutnya di putuskan, bahwa Subadra bisa hidup kembali, tetapi harus dengan syarat mayatnya di larung atau dihanyutkan dengan sampan di lautan. Konon sesampai di tengah laut, di ketemukan oleh Raden Anantareja, putra Dewi Nagagini hasil dari perkawinan dengan Raden Wrekodara, yang karena tugas-tugas kemanusiaanya, terpaksa meninggalkan Nagagini sewaktu sedang hamil. Dan lahirlah Raden Anantareja yang sejak bayi sampai dewasa hanya diasuh oleh ibu dan kakeknya Anantaboga. Saat pun tiba Anantareja ingin melihat dan berbakti kepada ayahnya. Kecuali hal itu kesatria ini agaknya malu karena kakeknya seekor ular raksasa.

Berangkat dari beban rasa dari sang cucu, sebagai seorang dewa, Anantaboga pun menangkap filsafat, bahwasanya pada saat itulah ia harus menggunakan Ajian Kawastrawam. Maka keluarlah Lenga Tala yang berisi dua ajian, yaitu Upas Bento Geni yang berfungsi mematikan lawan manakala bekas pijakan telapak kakinya terjilat oleh pemilik Upas Bento Geni, siapapun orangnya termasuk dewa sekalipun.

Yang kedua Ajian Panglerepan yang berfungsi sebagai penghidup, penyembuh, pengawet muda dan pesona. Namun pada awal pemakaianya ajian ini hanya dapat digunakan sebagai penghidup dan penyembuh hanya satu kali ditelan oleh pasien. Sesudah itu, apabila pasien tadi berhubungan badan dengan seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan daya awet muda, tampan dan sangat mempesona lawan jenis, dan konon bidadaripun akan terpesona penuh kepasrahan manakala pernah bertemu, bersalaman, beramah tamah, apalagi sempat berciuman dengannya.

Kecuali Lenga Tala, terkelupaslah Wlungsungan yang disebut Wasunanda, yang dapat digunakan menyelam didalam tanah sebagaimana meyelam didalam air dan dapat mengambang diatas air sebagaimana berada di daratan. Lenga Tala dan Wasunanda semuanya diberikan kepada cucunda Antareja yang terperangah dalam kebahagiaan dan kebanggaan. Terperangah karena melihat Sang Kakek berujud ksatria, bahagia karena diijinkan mencari ayahnya dan bangga karena diberi bekal ajian tadi.

Berangkatlah Raden Anantareja dari dasar samodra dan kebetulan saja menemukan sosok mayat diatas rakit yang terapung-apung di laut lepas. Karena sebelumnya sudah mendapatkan petunjuk dari sang kakek, lalu digunakanlah Aji Panglerepan untuk menyembuhkan Subadra, yang langsung siuman, berkenalan dan sanggup menghadapkan Anantareja kepada Ayahnya yaitu Bima yang juga kakak ipar Subadra.

Dalam pada itu, Arjuna yang dirundung was-was didalam penantian, sudah hampir putus asa dan bermaksud akan melakukan bunuh diri secara diam-diam denga menelan Kala Wulung yang sedang bertelur. Kala Wulung adalah sebangsa serangga kala hitam yang berbisa sangat mematikan. Apalagi bila sedang bertelur. Akan tetapi sebagai pemilik keris Pusaka kala Nadah, bisa kala itu tidak membuatnya mati, bahkan menjadikan bahan ajian manakala sudah berhubungan badan dengan bekas pasien yang diobati dengan Aji Panglerepan.

Singkat cerita berbahagialah keluarga besar Pandawa atas pulangnya Subadra disertai Anantareja yang langsung dipertemukan dengan ayahnya. Dan setelah Arjuna melakukan hubungan badan dengan istrinya, maka menyatulah Kala Wulung dengan Panglerepan yang selanjutnya dinamakan Ajian Madiguna, yang artinya sperma berilmu.
Sebagai titisan Wisnu, Kresna waspada bahwa kematian sementara dari Subadra akan membawa hikmah dan faedah yang bernilai Ketuhanan, keadilan dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Dan dia tahu, Subadra tidak harus disembuhkan dengan Cangkok Wijaya Mulya miliknya. Karena kelak akan digunakan untuk menyembuhkan Arjuna dari kematian sebagai akibat dari perang tanding melawan Palgunadi dalam lakon Palguna Palgunadi.

Sebenarnya Prabu Palgunadi dari Negara Paranggelung bukanlah siswa resmi Resi Drona, karena perbedaan status social, yakni Prabu Palgunadi hanya raja kecil dari wilayah sempit, tidak boleh berguru kepada Resi Drona yang notabene adalah Guru Besar dari Raja Besar keturunan Bharata. Namun karena besarnya minat untuk berguru kepada Drona yang terkenal piawai didalam ilmu perang dan kanuragan itu, maka pada akhirnya ditempuhlah siasat untuk mencapai maksudnya.

Maka disuruhlah istrinya untuk mengabdi di padepokan Soka Lima tempat Resi Drona mendirikan Kampus Akademi Militer. Didalam mengabdi, Dewi Anggraini yang terkenal sebagai wanita yang sangat tinggi kesetiaan dan pengabdianya kepada sang suami itu, di suruh mengamati dan mencatat semua pelajaran dan kegiatan Soka Lima, dengan menyamar sebagai Sekretaris Rektor Urusan Kemahasiswaan, maka misi itu sangatlah mudah dijalankan.

Semua kegiatan perkuliahaan yang berhasil disadap dengan cermat oleh Anggraini, diberikan kepada Palgunadi yang berupaya belajar sendiri di tengah hutan dengan membuat patung Drona sebagai guru idolanya itu, untuk kemudian dipelajari, dianalisa lalu dipraktekkan dengan tekun dan seksama. Walaupun isi diktat lewat Anggraini hanya disampaikan dengan system tutor semata, akhirnya Palgunadi berhasil menjadi Sarjana Perang yang handal, setingkat lebih tinggi dari Arjuna, mahasiswa terkasih Drona.

Suatu saat, usai Wisuda Sarjana Soka Lima, seluruh insane almamater mengadakan wisata Purna Sarjana, dengan mempraktekkan kepiawaian masing-masing dengan berburu hewan dihutan. Hanya saja secara kebetulan hutan yang digunakan sebagai kawasan praktikum itu, sekawasan dengan kampus “Universitas Terbuka” dengan mahasiswa tunggal yakni Palgunadi. Pada kegiatan itu, sebagai sekretaris rector yang merangkap Kepala Urusa Rumah Tangga dari Universitas Soka Lima, Anggraini ikut pula.

Tidk ketinggalan anjing-anjing pelacak keberadaan hewan liarpun digunakan sebagai sarana. Singkat cerita, betapa terkejutnya Arjuna, yang melihat moncong anjingnya terluka parah karena tertancap lima anak panah sekaligus. Dengan geram Arjuna melacak asal muasal anak panah tersebut.

Dalam pada itu Anggraini cepat tanggap, atas kejadian itu tak urung bila pelacakan Arjuna sampai di kampus Palgunadi bakal terjadi keributan. Maka secara diam-diam Anggraini mengikuti Arjuna dari jauh. Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Anggraini, tanda-tanda keributan mulai nampak.

Apabila berbicara serius disertai senyum pertanda bahwa Arjuna sedang menahan amarah besar kepada Palgunadi. Nampaknya Arjuna cemburu melihat meliht kampus UT Swasta di tengah hutan, yang memperlihatkan kerapian managemennya. Palgunadi mahasiswa tunggal yang menempuh program non gelar itu berbadan kekar, dengan sorot mata yang tajam yang menunjukkan tingkat kematangan ilmunya.

Alat-alat perang tersedia dengan sangat cukup sebagai sarana dan prasarana praktikum. Jadwal kegiatan harian, bulanan dan kalender akademik tertata rapi dan tercantum frekuensi kegiatan yang sangat padat dan efektif, melebihi Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Diktat-diktat dari hasil serapan dan sadapan istrinya, dibukukan, disusun rapi dan lengkap tak ada yang tercecer.
Yang membuat arjuna semakin cemburu ilmu adalah, di kampus UT Swasta itu mempunyai perpustakaan jauh lebih lengkap disbanding Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Apalagi ditambah buku petunjuk praktikum susunan Sang Mahasiswa Tunggal itu jumlahnya cukup banyak dan tidak dimiliki oleh Soka Lima.

Kemarahan karena cemburu ilmu itupun makin menjadi-jadi manakala di halaman Kampus itu terpampang patung Drona sebagai symbol almamater. Yang demikian itu sangat menyinggung perasaan Arjuna sebagai mahasiswa terkasih dari Drona, yang karena dosen tetap dari Perguruan Tinggi Negeri itu cara penyelenggaraan kegiatan belajar terkesan seenaknya, teoritis, monologis, teks book dan dogmatis, dimana hal seperti itu sangat membosankan. Sebagai dampaknya hasil lulusan dari pendidikanyapun hanya layak title tetapi tidak layak pakai.

Disertai luapan amarah itupun dengan setengah menghardik, Arjuna bertanya: “Hai Ki Sanak, kaukah yang melukai anjingku?!” dengan tenang Palgunadi mengangguk. Dalam pada itu Anggraini sudah tiba dan langsung berdiri ditengah-tengah keduanya. “dengan satu persatu atau lima anak panah sekaligus, heh!” Tanya Arjuna ketus. Dengan kesabaran yang menunjukkan kematangan ilmu dan kedewasaanya Palgunadi sembari tersenyum, menjawab dengan isyarat memekarkan lima jari tangannya.

“Dari mana kau menyadap ilmu kami”, Tanya Arjuna sambil menunjuk ruang perpustakaan. Dalam pertanyaan ini sebenarnya Arjuna sangat malu hati. Karena para mahasiswa di Soka Lima enggan membukukan kuliah dari dosennya. Bahkan membuat sinopsispun jarang dilakukan. Membuat karya ilmiah kadang-kadang dengan menyontek dan mengubah judul. Penelitian ilmiahpun dapat didengkul. Dan apabila semua itu disyaratkan untuk mencapai kelulusan satu strata, jalan pintas dengan menyogok dosen yang semakin kaya itupun dilakukan, lebih-lebih oleh Mahasiswa dari Korawa yang notabene anak-anak pejabat tinggi dan sering mendikte dosen.
Dengan ramah Palgunadi menjelaskan, bahwa yang mensuplai diktat dan bertindak sebagai tutor sebenarnya adalah Anggraini, istrinya. Mendengar itu Arjuna berujar kasar: “pantas selama ini Anggraini rajin sebagai peninjau kuliahku…!”. Mendengar ini Palgunadi nampak cemburu berat melihat ketampanan Arjuna yang “nilai jualnya” lebih tinggi darinya.

Maka Palgunadi bertanya kepada Anggraini: “Benarkah apa yang dikatakan Arjuna , hai istriku?” Angrainipun mengangguk takut. Tahu rasanya bila Palgunadi cemburu berat, walaupun kenyataanya belum pernah sengaja atau tidak, ia bercinta dengan Arjuna, yang bintang kampus karena ketampanan dan kesederhanaanya itu. Bagi Anggraini hanya seorang laki-laki yang ia cintai, yaitu suaminya, betapapun nilai jualnya tak lebih tinggi disbanding Arjuna.

Kecemburuan Palgunadi makin membara, manakala ia ingat sewaktu membaca majalah dinding Kampus Soka Lima, yang sering memuat rubrik berisikan kepiawaian Arjuna di dalam bermain cinta, penyandang title sebagai raja cumbu rayu dan sanggup mencintai sejumlah wanita dalam waktu yng sama. Palgunadipun tertegun disertai perasaan dan khayalan yang memicu rasa cemburunya. Dalam pada itu Arjuna mengacak-acak perpustakaan Palgunadi sehingga berantakan tak karuan.

Bagai air bah dari bendunga pecah, kesabaran Palgunadi tak terkendali lagi. Diseretnya Arjuna dan duelpun tak dapat dihindari. Setelah perang tanding cukup seru dan lama, ternyata arjuna berhasil dibunuh oleh Palgunadi. Disitulah akhirnya Kresna menggunakan Kembang Cangkok Wijaya Mulya sebagai penyembuh untuk Arjuna.

Selanjutnya nasib Palgunadi menjalani eksekusi hukuman mati dengan tuduhan membunuh, menyontek ilmu dan melecehkan Guru Besr dengan mematungkannya dimana hal ini sangat menyinggung almamater. Dengan melewati proses peradilan yang penuh rekayasa, akhirnya Anggrainipun bela pati dengan bunuh diri, dan kekayaan kampus UT nya disita untuk negara.

KUDA AUCES RAWAS ;
Atau Kuda Uces Rawas yang juga disebut Kuda Swandana, yaitu kuda sebanyak empat ekor dengan warna kulit yang berbeda satu dengan yang lainya, yaitu merah, hitam, kuning dan putih. Keempat kuda dari surga ini dianugerahkan kepada Bathara Wisnu sebagai penarik kereta kedewaanya, agar menjadi sarana dalam menjalankan tugas sebagai dewa pembagi kebahagiaan.

Dalam Lakon Kresna Gugah keempat kuda itu dianugerahkan oleh Wisnu kepada Kresna, sebagai penarik kereta perang untuk Arjuna di dalam Perang Bharatayuda, yang di kusiri sendiri oleh Prabu Kresna. Dalam lakon itu, kecuali mendapatkan anugerah Kuda Swandana, masih ada partai tambahan untuk Kresna, berupa Kitab Jitab Sara, yang memuat kerahasiaan dan tata aturan di dalam Bharatayuda Jaya Binangun kelak.

Sebagai penyandang title Bhatara, Prabu Kresna yang mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda, juga masih saja terpaksa melakukan KKN. Di dalam Bharatayuda, Prabu Baladewa yang kakak kandung Prabu Kresna, sebagai kekuatan poros tengah yang cenderung memihak kepada Kurawa itu, di dalam Jitab Sara dia harus bertempur melawan Anantareja yang memiliki Ajian Bento Geni, dengan kemampuan dapat membunuh musuh hanya dengan menjilat tanah bekas pijakan telapak kakinya.

Agar Baladewa tidak mati konyol di tangan Anantareja, oleh Prabu Kresna di perintahkan untuk bertapa di Grojokan Sewu, sampai batas waktu yang tidak di tentukan, dengan tujuan agar tidak mendengar berita tentang Bharatayuda.

Anantareja sendiri ditipu oleh Prabu Kresna, dengan disanjung bahwa semua ksatria tidak ada yang mampu membawa Senjata Cakra miliknya, kecuali Anantareja. Namun harus dengan syarat, cara membawanya pada bagian tajamnya di biarkan bergulir di tanah sedang yang dipegang adalah hulunya.

Begitu dilakukan dengan cara tersebut, Cakra yang sangat ampuh itu, roda bergigi delapan bagian tajamnya cakra itupun akhirnya mengenai baying-bayang Anantareja, dan pada saat itu pulalah dia meninggal duni. Karena memang disitu letak kelemahanya, tak dapat dibunuh dengan cara apapun kecuali bila baying-bayang badanya yang kena tikam. Demikian Prabu Kresna melakukan KKN didalam melindungi keluarganya dari kematian, berhubung dia mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda dari Kitab Jitab Sara.

Demikianlah, walaupun Krisna adalah titisan Wisnu, Dewa pembagi kebahagiaan, agaknya tetap saja khilaf dan tergoda untuk melakukan KKN dan melanggar HAM. KKN karena memprioritaskan Baladewa yang kakaknya sendiri agar tetap bertahan hidup sampai usai perang Bharatayuda. Sedang pelanggaran HAM dia lakukan dalam merencanakan kematian Sang Anantareja.

Pelanggaran itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh pemegang Kitab Jitab Sara yang merupakan rahasia Para Dewa. Atas perbuatanya itu Krisna dipersalahkan dan dianggap berdosaoleh para dewa. Dan sebagai hukumanya dia tidak berhak masuk ke Nirwana untuk menuju Moksa didalam kematianya kelak kecuali atas pertolongan Prabu Yudistira titisan Bhatara Dharma, didalam lakon Pandawa Moksa.



TIRTA AMRITA ;
Tirta Amrita berasal dari kata Tirta yang artinya air, A artinya tidak dan Mrita artinya mati. Makna lengkapnya adalah air yang menyebabkan tidak mati atau air kehidupan. Dari mengambil makna ini maka menyebabkan tirta amrita dijadikan rebutan diantara Para Sura dan Asura yang menyebabkan pertempuran mirip tawuran antar kelompok di jaman ini.

Pada akhirnya Tirta Amrita yang didunia pewyangan sering disebut Tirta Amerta, yang keluar paling akhir dari perut bumi melalui dasar Samodra Selatan ini, oleh Batara Guru diambil alih dan disembunyikan disuatu tempat yang tidak diketahui oleh para dewa, raksasa dan manusia. Kecuali oleh seseorang yang nunggak semi atau dapat meniru perilaku Batara Guru didalam menelan Nilantaka yang merupakan bukti sikap rela berkorban demi kepentingan tiga dunia.

Semisal ada seseorang yang karena ketekunanya dan berhasil tahu Tirta Amrita disimpan, belum tentu tahu cara mengambilnya. Dan seumpama dia bisa mengambilnya, belum tentu tahu cara menggunakanya. Karena cara mengambil dan menggunakanya harus menggunakan cara tertentu dan khusus yang mensyaratkan berbagai macam laku, sarana dan prasarana khusus yang harus dipimpim oleh orang yang mempunyai cirri-ciri toh ungu seperti disebutkan terdahulu.

Demikian seklumit tentang hubungan pewayangan dengan pertapaan Mandhara Giri di Gunung Srandil dan Selok yang dianggap sebagai tapak petilasan dari lakon Samodra Mantana. Bila kita menganalisa lakon diatas, serta ditarik hikmah kesimpulanya, maka bagi siapa saja yang bermaksud hendak lelaku di pertapan mana saja khususnya di Srandil, seharusnya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Harus ada Guru Laku atau pembimbing spiritual yang dapat dipercaya dalam arti tidak hanya sekedar mengetahui tempatnya dan nama tokoh-tokoh legenda saja, maaf, sebagaimana juru kunci yang hanya sekedar menjual jasa pelayanan kepada peziarah, dengan bermodalkan anya dapat membaca yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Sedangkan “berdoa” tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Diharapkan sebagai pembimbing spriritual, minimal harus mampu berdoa dan mengetahui hal-hal gaib.
Mematuhi “dhawuh” atau petunjuk Guru Laku. Yang dimaksud adalah petunjuk yang mengandung kebenaran objektif dan bermanfaat bagi para pengikutnya, dalam hal: cara, aturan, etika dan yang lebih baku adalah tentang petunjuk bagaimana seharusnya perilaku di pertapaan yang sesuai dengan nuansa gaib yang baik dan benar, dengan kewaspadaan batin mengetahui mana yang dijalankan dan mana yang tidak.
Jangan open, maksudnya adalah jangan bernafsu memiliki sesuatu yang seharusnya bukan jatahnya. Jangan pula dengki dan konkiren atas apa yang diberikan oleh Guru Laku kepada semua siswanya. Karena sesungguhnya hanya atas petunjuk gaib, Guru Laku memberikan apa-apa kepada siswanya yang satu sedangkn yang lain tidak. Bukan berarti Guru Laku tidak adil. Semua itu disesuaikan menurut jatah masing-masing orang yang mestinya berbeda-beda berdasarkan kepentingan pribadi tiap siswanya, karena setiap orang mempunyai kepentingan, khajad, sifat dan kisah hidup yang berbeda-beda pula.

Maka sebaiknya janganlah meminta apa-apa yang tidak semestinya kepada Guru Laku. Namun demikian, berhubung Guru Laku juga manusia biasa yang tidak lepas dari lupa dan lalai, salah dan lemah maka para siswanya tentu saja boleh mengingatkan manakala Guru Laku kebetulan berkata dan berbuat yang menunjukkan kealpaanya.

Perlu pula diingat, berhubung Guru Laku biasanya besar rasa kasihnya kepada segenap siswanya, maka sering dirundung rasa tidak tega apabila ada siswanya yang merengek meminta sesuatu yang bukan jatahnya. Kadang diberikan begitu saja, meskipun bukan jatahnya atau belum jatuh waktu sang siswa memiliki apa yang di mintanya itu.
Begitulah kelemahanya, apabila seseorang sedang terbelenggu oleh objek cintanya. Dibalik kepintaranya terselip ketololanya dan dibalik kecermatanya akan nampak keteledoranya. Apa yang diberikan dengan cara diatas, karena dipengaruhi oleh ketololan dan keteledoran serta tergesa-gesa dan belum waktunya, lalu yang diberikan itu tidak menganut tatanan gaib. Maka biasanya akan terjadi sesuatu yang kurang baik bagi yang diberi sesuatu oleh Guru Lakunya itu.

Apa yang terjadi seperti dicontohkan diatas, biasanya tingkat kesulitan yang diterima oleh siswa yang menerima pemberian yang bersifat “Anggege Mangsa” itu, kejadianya sebagaimana yang tersirat dalam lakon wayang “Nara Singha”.

Pada waktu itu Kahyangan Suralaya berhasil dikuasai oleh Raja Raksasa Prabu Sumangliawan dan Patihnya Kala Mangli, yang sesungguhny kecuali mereka kakak beradik, kedua raksasa itu seperguruan dan satu pertapaan.

Mereka berdua sangat sakti, bahkan tidak dapat dikalahkan oleh dewa, ksatria maupun raksasa sendiri. Kesaktian itu mereka peroleh berkat keberhasilanya didalam bertapa dan memperoleh anugerah dari Dewa Hagni berupa “Sabda”, tidak dapat dikalahkan oleh dewa, manusia maupun raksasa. Dan agaknya Sabda Sang Hagni kini menjadi bumerang bagi para dewa sendiri, dimana sabda itu tidak mungkin ditarik kembali.

Akibatnya sewaktu mereka berdua melakukan “Demontrasi” dengan aksi pengerahan massa besar-besaran dengan tindakan yang cenderung anarkis di pusat pemerintahan para dewa, Raja para dewapun tidak sanggup untuk mengatasinya. Apabila akan mengatasi dengan cara kekerasan, kubu para dewa memang menang persenjataan dan prasarana. Akan tetapi dari segi jumlah massa dan tingkat kenekatan, kubu Sumangliawan lebih unggul.

Pada akhirnya pemerintahan para dewa mengadakan Sidang Kabinet mendadak dengan agenda tunggal membahas masalah mengatasi kerusuhan yang terkesan terorganisir dan terencana dengan rapi, disertai dukungan kekuatan massa yang sangat besar, yang kebanyakan dari kalangan raksasa, yang sudah barang tentu sangat kasar dan beringas. Mengingat latar belakang mereka memang demikian. Sedang aksi serupa yang dilakukan oleh manusia saja bisa kasar, beringas dan anarkis, apalagi oleh raksasa.

Secara analisis, kerusuhan sebagai akibat dari dua orang tokoh LSM kalangan raksasa itu, berawal dari intimidasi dan penetrasi terselubung oleh para dewa sendiri, terhadap niat mereka berkoalisi, dimana masing-masing dari mereka sebenarnya adalah mempunyai kekuasaan dan kewenangan wilayah sendiri-sendiri, sebagai kekhawatiran terhadap kemungkinan pengerahan massa yang mengarah ke makar. Dan ternyata kekhawatiran para dewa itu kini benar-benar terjadi.

Waktu itu yang ditugasi oleh Batara Guru untuk melakukan penetrasi dan intimidasi terselubung adalah Batara Hagni, yang disuruh memerintahkan kepada kedua raksasa itu untuk bertapa dengan janji imbalan kesaktian seperti tersebut terdahulu, dengan syarat selama bertapa tidak boleh mengadakan hubungan dan pendekatan kepada aparat penguasa para dewa.

Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan para dewa. Karena mereka bertapa dihutan “konsolidasi” yang memungkinkan untuk mengadakan pendekatan dengan arus bawahsecara intensif tanpa dapat dipantau oleh para penguasa. Sebagai akibatnya timbulah gerakan makar yang sangat kuat, bagai jebolnya bendungan besar, yang tak urung merepotkan para dewa sendiri.

Secara strategis, untuk mengatasi masalah ini diserahkan kepada Batara Wisnu, dengan cara melakukan tiwikrama merubah wujud dirinya menjadi Nara Singha, yaitu seorang ksatria berbadan raksasa, berkepala singa dan berperangai dewa. Ini adalah modal yang pertama. Sedang modal lainya berupa Bende atau terompet Panca Jannya dan Senjata Cakra Baskara.
Dengan kepribadianya, Dewa Wisnu yang disertai modal diatas, dapat dipastikan bisa mengatasi masalah. Sebagai Dewa Pembagi Kebahagiaan, Wisnu disenangi oleh semua kalangan, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berseberangan. Dengan tiwikrama, Wisnu mengetahui bahasa kebutuhan masing-masing kelompok yang berbeda.

Dengan Terompet Panca Jannya yang menurut makna kata adalah lima kelompok insan, Wisnu menggunakan tehnik-tehnik tertentu untuk menyampaikan pesan perdamaian, misalnya lewat jalur budaya, adat kebiasaan dan kekhawatiranyang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Senjata cakra yang berupa anak panah dengan bentuk roda bergigi delapan yang semuanya sangat tajam itu, dipergunakan untuk upaya penyelesaian masalah dengan cara berunding yang membutuhkaan ketajaman kata yang diplomatis, dimana hal itu merupakan bakat Sang Wisnu.

Akan tetapi betapa sulitnya hal itu dilakukan, karena ternyata Dewa Wisnu tidak ikut hadir didalam pertandingan itu, ternyata dia sedang bertapa dan tidak seorang dewapun berhasil membangunkanya. Lalu Batara Guru memerintahkan kepada Bidadari Wil Utama dengan diikuti empat puluh bidadari yang lain, untuk menggoda Wisnu agar terbangun dari tapanya, tetapi dengan syarat Wil Utama dalam keadaan apapun tidak sampai tergoda untuk berhubungan badan dengan Sang Wisnu, sebagai dewa yang terkenal tampan dan romantis itu.

Singkat cerita Wil Utama berhasil membangunkan tapa Wisnu, akan tetapi keduanya yang pada masa lalu pernah gagal didalam memadu kasih, akhirnya lupa daratan dan kisah-kasihnya kumat lagi, maka hubungan badanpun tak dapat dihindari. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Setelah usai berasik-masyuk, maka sadarlah Wil Utama bahwa dia telah melanggar pantangan dari Batara Guru.

Karena mendapat laporan tentang perselingkuhan antara Wisnu dan Wil Utama, Batara Gurupun marah besar. Setelah memerintahkan Wisnu untuk maju menghadapi perusuh dan berhasil dengan baik, walaupun nyaris gagal karena kesaktian dua raksasa kakak beradik itu, akhirnya Wil Utama diadili dan mendapat hukuman berupa kutukan dari Raja Para Dewa:”…Hai Wil Utama, yang kau lakukan itu perilaku seekor hewan…” Dan menangislah Wil Utama memelas sekali karena dia kini berubah menjadi kuda sembrani. Walaupun didalam hati Batara Guru iba kepada Wil Utama, namun sabda tak dapat ditarik kembali.
Akhirnya kepada Wil Utama dijanjikan akan diberi “grasi” apabila dia mau bertapa di tepi Sungai Gangga. Besok kelak apabila ada seorang ksatria mendapat kesulitan untuk menyebrang dan kuda sembrani yang jelmaan Wil Utama tadi berhasil menolongnya dengan cara “ditunggangi” oleh ksatria itu sampai keseberang, maka akan pulih wujud kebidadarian Sang Wil Utama.

Namun karena kuda betina yang harus menolong Raden Kombayana dari Atas Angin itu, tidak sekedar ditunggangi saja, tetapi lebih dari itu, maka kuda tungganganpun akhirnya bunting, dan melahirkan bayi manusia yang berkaki kuda, yang diberi nama Raden Haswa Suta Utama yang biasa dipanggil Aswatama. Sejak melahirkan itulah kuda betina berubah menjadi bidadari lagi dan segera kembali lagi untuk menunaikan tugas kebidadarian seperti sedia kala dan tak sempat diperistri oleh Raden Kombayana.

Demikianlah yang tersirat dari lakon ini, bahwasanya bagi siapa saja yang tidak mematuhi dan menurut ajaran Guru Laku dan tidak mau menerima pembagian secara jatah, serta anggege mangsa, akan berakibat kurang baik yang juga berdampak sampai kepada keturunanya.
Jangan mudah mengucapkan supata dan menyumpahi orang, yang maksudnya jangan mudah berkata-kata yang jelek, karena apabila sudah pernah merambah suatu pertapan yang tinggi nilai sakralitasnya, disekujur tubuh seakan-akan diselimuti daya gaib dari pertapaan itu. Akibatnya apa yang dikatakan manjur, sehat sentosa badanya, serta mudah terkabul cita-citanya. Layaknya seperti ada yang mengatur pola hidupnya dan selamat warga dan harta yang dimilikinya. Apabila sudah manjur apa yang dikatakan, pakailah nuansa itu untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Jangan digunakan bersupata dan menyumpahi orang karena akibatnya bisa fatal. Apalagi Pertapaan Mandala Giri Srandil yang konon merupakan petilasan dari Para Dewa Mengebor Tirta Amrita.
Jangan memperhitungkan untung dan rugi didalam penggunaan biaya selama dalam pertapaan, sebab dengan demikian akan terkesan tidak dengan suka rela. Padahal suka rela adalah modal utama dari laku bertapa dan bergaul dengan dunia gaib. Apabila proses gaib terbuka melalui azas sukarela dengan dilandasi rasa percaya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, maka akan terasa dekat kepadaNya. Dengan kedekatan kepada Tuhan, pada giliranya akan mudah terkabul segala doanya, karena semacam ada rasa yang sambung kehadiratNya.
Telaten, rajin dan bersungguh-sungguh, yang maksudnya jangan mudah putus asa apabila belum dapat mencapai apa yang menjadi keinginanya. Selalulah percaya kepada Tuhan yang senantiasa akan memilihkan yang terbaik kepada hambaNya, pada saat yang bertepatan dengan kebutuhan akan dapat mengatasinya atas Karsa Tuhan.
Telaten dalam pengertian jangan menolak rejeki yang hanya sedikit. Sebaliknya apabila mendapat rejeki yang banyak dan mendadak malah bingung cara menggunakanya. Akibatnya yang dibelanjakan hal-hal yang tidak bernilai guna dan mungkin apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Akhirnya apabila tidak tepat didalam pengelolaan rejeki, akan tanpa gunalah didalam menjalani laku pertapaan, ibarat membuang niat, kehabisan syarat tanpa mendapat berkat.
Menjaga tata-susila di pertapaan, baik kepada sesama peziarah maupun kepada sesama rombongan dan keluarga sendiri. Terlebih lagi tata-susila terhadap para leluhur yang akan diziarahi, walaupun hanya berupa suatu tempat yang merupakan petilasan. Tanamkanlah rasa didalam hati seakan-akan kita sedang berhadapan dengan beliau, saat sedang berdoa dengan menempati petilasan itu. Mengeluhlah kepadanya sebagaimana bila kita mengeluh kepada orang tua sendiri, dengan penuh rasa nelangsa yang disisipi cita-cita.
Sebagaimana tercantum didalam rangkaian kata didalam doa: “Bersujud kepada Tuhan Yang Maha Suci, sembah bakti kepada para pepunden sari…Sembah dihaturkan segala derita dan cita-cita, Derita memohon disembuhkan, cita-cita mohon dikabulkan. Mohon berkah perlindungan. Berkah mohon rejeki yang agung dan meyelamatkan, perlindungan mohon selamat di dunia sampai akhirat, meliputi warga dan harta benda kami, amin”.
Namun demikian tidak menutup kemungkinan, apabila doa tadi sudah dikabulkan oleh Tuhan, akan mengundang kecemburuan social dengan timbulnya sangkaan yang bukan-bukan, baik oleh tetangga, kenalan atau bahkan mungkin oleh kerabt dekatnya sendiri yang belum tahu pasti proses yang mendahuluiperolehan berkah itu.

Mungkin mereka akan meyangka kita melakukan KKN atau mendapat rejeki yang tidak halal. Bahkan juga pengalaman teman peziarah yang sudah terkabul cita-citanya, disangka nyupang atau memelihara sebangsa tuyul dan pesugihan lainya. Dan gangguan itu akan berkembang terus manakala peziarah yang sudah berhasil itu kurang peduli terhadap lingkungan dekatnya. Kita dikir memelihara setan dari Srandil. Padahal si pengira tadi belum tentu mengetahui keberadaan Srandil dan belum tentu tahu apa, siapa dan bagaimana setan itu.

Menurut pendapat penulis, tanpa ke Srandilpun seseorang dapat juga digoda setan, lebih-lebih bagi yang tipis imanya dan kurang rasa pasrahnya kepada Tuhan. Padahal dari agama apapun mengajarkan, orang yang tinggi imanya, tak mudah di goda setan. Dan kecenderungan mengumbar hawa nafsu itulah sebenarnya yang merupakan kendaraan setan menuju alam pikiran manusia. Dan seseorang yang selalu merasa dekat kepada Tuhan seharusnya tidak takut kepada setan dalam bentuk apapun, kecuali kepada Tuhan. Maka dimanapun dan kapanpun perilaku seseorang menunjukkan kemantapan dan ketetapan hati yang selalu taat dan percaya kepada Tuhan.

TOKOH LEGENDARIS ;
Sebelum hal ini diuraikan, perlu kiranya dipahami beberapa kata dan istilah yang disandangkan kepada Tokoh Legendaris pada pertapaan, terutama di Pertapaan Mandala Giri Srandil:
Hyang
Berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya kira-kira pemelihara.
Dewa
Berasal dari kata Div yang artinya cahaya Ketuhanan.
Batara
Berasal dari kata Batr yang artinya menemani.
Orang Jawa menyebut Hyang denga kata Eyang, Dewa dengan kata Dewa (baca:Dewo), Batara dengan kata Bathara dan Batr dengan kata Batir.
Berhubung tokoh-tokoh yang dianggap para leluhur di Pertapaan Mandala Giri Srandil tidak tercantum di dalam Buku Sejarah dan buku-buku lainya, maka untuk memudahkan kita meyebutnya tokoh legendaris, yang dipercaya bahwa pada saat hidupnya dahulu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu serta mempunyai keutamaan-keutamaan didalam ilmu Ketuhanan, keluhuran budi pekerti atau sifat lain yang utama, misalnya:

HYANG AGUNG HERU COKRO ;
Menurut kepercayaan, nama itu adalah gelar spiritual dari nama aslinya SULTAN AGUNG HANYOKRO KUSUMO, di mana nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang. Pada waktu menjadi Raja Mataram Islam, beliau bertapa dilingkungan Pertapaan Mandala Giri Srandil, yang pada waktu itu dilingkunganya masih merupakan hutan belantara yang masih rawan dan perawan dan terkenal sangat angker. Konon siapapun yang datang kesana hanya pulang namanya saja dan bahkan hewanpun akan mati apabila memasuki kawasan itu.

Tetapi karena beratnya misi untuk mengusir penjajah Belanda dan berencana akan melakukan penyerbuan ke Batavia, maka sebagai awal-mula dari niatnya itu, beliau perlu memperkuat jiwa dan raganya dengan bertapa di Gunung Srandil, dengan maksud seperti yang tersirat dalam Candra Sengkala “SIRNANING YAKSA KATON GAPURANING RATU”.

Candra Sengkala adalah pernyataan suatu bilangan angka tahun Çaka didalam bentuk perkataan yang disandikan dan mengandung pengertian didalam apa yang menjadi tujuanya. Serta mengandung pesan-pesan kefilsafatan yang sangat dalam maknanya. Dan biasanya hanya orang Jawa yang memahami Sastra Jawa saja yang tahu makna kata-kata dalam Candra Sengkala tersebut.
Apabila Candra Sengkala diatas dibaca dari belakang, maka mengartikan suatu bilangan 1610, yang menunjukkan angka tahun Çaka. Sedangkan makna kata di dalam Candra Sengkala itu merupakan pesan tersembunyi kepada rakyatnya, bahwasanya apabila Bangsa Indonesia ingin mencapai Gemah Ripah Loh Jinawi atau adil makmur dan tenteram, terlebih dahulu harus menyingkirkan angkara murkanya para penjajah Belanda.

Semenjak Pertapaan Mandala Giri Srandil ada, maksudnya sejak jaman purba, kawasanya belum pernah terjamah manusia. Dan Hyang Agung Heru Cokro adalah orang pertama yang berani memasuki pertapaan tersebut. Semenjak itu dan seterusnya, pertapaan itu bisa diziarahi oleh siapa saja dan tidak angker lagi, bahkan dapat melayani para pengalap berkah.

Itu semua karena Hyang Agung Heru Cokro, kecuali dikenal sebagai prajurit yang mempunyai kelebihan dalam olah pertempuran, beliau juga memiliki ilmu yang dapat memilahkan antara Gaib Hakiki dengan Gaib yang Mungkar. Gaib hakiki adalah gaib yang memiliki nilai Ketuhanan, sedangkankan gaib mungkar adalah gaibnya sebangsa setan dan jin. Dengan demikian Hyang Agung Heru Cokro berhasil mewariskan kegunaan Pertapaan Srandil kepada para penerusnya sampai sekarang.

NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI ;
Ini merupakan nama dari gelar pada tokoh yang bernama DEWI NAWANG WULAN sewaktu masih menjabat sebagai bidadari. Diceritakan pada waktu sedang mandi bersama-sama dengan para bidadari yang lain di Sendang Sanjaya, pakaian jabatanya sebagai bidadari berhasil dicuri oleh seorang jejaka dari Tarub, yang lalai akan keluhuran budi pekertinya sehingga mencuri pakaian itu. Namun sebagian kalangan menganggap hal itu merupakan takdir Tuhan, untuk mengukir legenda yang sampai sekarang sebagian orang masih mempercayainya.

Jejaka dari Tarub yang kemudian disebut Jaka Tarub itu kisah legendanya menjadi berkembang dan sebagian masih ada yang menjadikan tradisi dari apa yang dipercaya telah dilakukan oleh Tokoh Jaka Tarub tadi. Di mana Tarub adalah sebuah kata yang artinya tempat persiapan pendirian suatu negara dan pemerintahan.

Dikatakan bahwa Tarub artinya suatu tempat persiapan sehari semalam sebelum didirikan suatu negara. Sehari semalam dalam arti tinggal sat langkah lagi dalam persiapan menuju pelaksanaan. Sudah barang tentu langkah-langkah sebelumnya sudah ditempuh dengan berbagai upaya. Sampai sekarang apabila Orang Jawa akan mengadakan khajatan mantu, sehari semalam sebelum pelaksanaan, dinamakan Tarub Mantri atau Midodareni. Tarub Mantri artinya Petugas atau Pejabat dari Desa Tarub, sedangkan Midodareni artinya kira-kira “membidadarikan” sang calon penganten perempuan.

Berhubung pakaian jabatan bidadari dari Dewi Nawang Wulan itu di sembunyikan oleh Jaka Tarub, maka dengan di paksa oleh kodrat, Dewi Nawang Wulan lalu di peristri oleh Jaka Tarub, yang nantinya Jaka Tarub ini menjadi Raja Mataram Hindu dengan gelar Prabu Sahanjaya yang juga disebut Prabu Sanjaya. Saha artinya disertai, Jaya artinya kekuatan.

Setelah melalui kurun waktu yang cukup lama, saatnya memastikan secara kebetulan Dewi Nawang Wulan menemukan tempat pakaian bidadarinya disembunyikan. Maka dengan serta merta dipakainya dan segera terbang ke alam bidadarinya. Akan tetapi sungguh malang nasibnya, kehadiranya di alam dewa-dewi tidak lagi bisa diterima. Karena sudah pernah berhubungan dengan manusia dengan diperistri oleh Jaka Tarub sampai dikaruniai anak bernama Nawangsih. Atas penolakan itu Sang Dewi bermaksud kembali ke Jaka Tarub, tetapi hal itu tidak mungkin karena penyandang title bidadari tak mungkin hidup didunia manusia. Maka selanjutnya Sang Dewi hanya dapat menempati alam di “antara” alam dewa dan manusia.

Selanjutnya secara legenda dipercaya bahwa Dewi Nawang Wulan diperbolehkan menguasai alam “ANTARA”, An artinya bukan dan Tara artinya makhluk bumi. Yang dimaksud adalah alam yang menjadi perantara atau menjembatani hubungan antara manusia dengan Gaibnya Tuhan. Alam antara luasnya tidak terukur secara dimensi. Sedang dibumi yang memiliki tempat yang sangat luas adalah antariksanya Samodra Selatan. Dari itulah Dewi Nawang Wulan dipercaya menjadi penguasa Samodra Selatan dan selanjutnya digelari nama Ratu Kidul atau Nyi Rara Kidul yang ceritanya menguasai dedemit Samodra Selatan.

Adapun anggapan dan pandangan yang secara kebetulan berbeda dengan anggapan penulis, itu hak masing-masing orang. Malah ada yang mengatakan bahwasanya Ratu Kidul terkadang meminta tumbal berupa manusia pada waktu-waktu tertentu, konon katanya Ratu Kidul sedang mempunyai khajatan dan sebagainya. Akan tetapi seandainya Ratu Kidul dianggap tokoh legenda yang sangar, dahsyat dan jahat karena sering meminta korban manusia yang mati tenggelam di Samodra Selatan, pandangan itu benar adanya. Dalam arti kebenaran secara fisik.

Kecuali dahsyat, kadang nyata sekali jahat dan tidak segan-segan minta korban nyawa manusia. Akan tetapi sudah barang tentu hanya kepada manusia yang kurang hati-hati atau dengan sangat terpaksa nyemplung Laut Kidul yang begitu dahsyat dan jahat gelombang, kedalaman dan badainya, lebih-lebih apabila kebetulan cuaca buruk. Siapa orangnya yang bisa bertahan hidup dengan menantang keganasan Samodra Selatan, apabila tanpa sarana yang memadai untuk turun dilaut itu. Jadi yang penulis maksud dengan pengertiankeganasan secara fisik adalah keganasan Laut Selatan itu sendiri yang memang laut terbesar didunia.
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA ;
Tokoh ini dikisahkan sebagai suami Nini Dewi Tunjung Sekar Sari. Dengan demikian dapatlah diterik kesimpulan bahwa tokoh ini tak lain adalah Jaka Tarub. Nama Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah gelar spiritual dari Jaka Tarub dimasa tuanya saat menjadi pendeta. Oleh karena itu Dewi Nawang Wulan menyesuaikan, lalu mempunyai title spiritual dengan sebutan Nini Dei Tunjung Sekar Sari.
Apabila ditarik makna kata demi kata; Kaki artinya lelaki tua atau dituakan, mempunyai ilmu yang bermanfaat. Ada juga yang menarik makna secara akronim, K artinya kawula A anggayuh, K artinya kagem dan I adalah ing pangreh atau aturan gaib. Dari penarikan makna agar sesuai yang diinginkan. Dianggap demikian juga boleh.

Tunggul artinya puncak atau pemuka, Sabda artinya perkataan yang mengandung kekuatan gaib, Jati artinya yang sesungguhnya, Daya artinya memberi kekuatan, Among artinya memelihara atau momong dalam pengertian sabar, rela dan menerimma didalam laku Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa dan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Adapun Raga artinya jasad ragawi yang memegang teguh sifat terpuji.

Selain itu Among Raga juga mengandung pengertian dapat menata perilaku raganya sendiri, didalam olah Yoga Pranawa. Yoga artinya laku atau ilmu tentang menyatunya insane dengan Khaliknya, sedangkan Pranawa artinya terang hati, didalam proses pengolahan ilmu kemasyarakatan sebagai modal didalam menjalankan tugas among. Ada tokoh pamomong didalam wayang yang disebut Semar, maka dari itulah kadang ada yang menganggap bahwa Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah Semar.

Menurut pemikiran penulis, sebagaimana yang pernah penulis uraikan dalam tulisan lain, bahwa Semar bukanlah tokoh personal, dalam arti bukan perwujudan suatu makhluk sebangsa manusia ataupun makhluk halus yang mempunyai keistimewaan tertentu. Kata atau istilah Semar adalah penokohansuatu predikat untuk seseorang yang mempunyai sifat pamomong. Maka dalam hal ini kecuali makna predikat, Semar juga mengandung makna sifat didalam predikat itu. Dari kedua makna ini maka kapan saja dan dimana saja ada tokoh Semar dalam arti kapan saja dan dimana saja ada tokoh yang mempunyai sifat pamomong.

Maka apabila ada seorang dukun yang pada waktu melayani pasienya lalu tertawa ngakak sambil menuding-nudingkan jarinya seperti layaknya Semar didalam pewayangan, sesungguh hal yang dilakukan itu sesuatu yang menggelikan. Walaupun dukun itu banyak penganutnya dan sebagian ada yang menganggap bahwa dukun itu konon kesinungan Semar, itu hanyalah isapan jempol belaka, apabila mengacu pada uraian diatas. Agaknya Sang Dukun pura-pura kesinungan Semar, dengan maksud untukmenumbuhkan citra dan menambah kharisma.

Apalagi bila kita membaca Kitab Purwa Carita didalam episode atau lakon Lahirnya Ismoyo. Syahdan saat itu di Kahyangan Alan-alang Kumitir tempat bertahtanya Sang Hyang Wenang, ada kejadian yang sangat aneh. Ada sebutir telur besar yang berputar-putar seperti mengelilingi orbit tertentu dan berjalan terus tanpa henti. Kemudian telur itu dapat ditangkap oleh Hyang Wenang selanjutnya dibanting. Maka pecah berantakan telur tersebut.

Namun aneh bin ajaib, telur yang pecah berantakan itu menjelma menjadi tiga Ksatria tampan. Oleh Hyang Wenang, ksatria pertama yang berasal dari cangkang telur, diberi nama Antaga dengan sebutan Hyang, pada waktu berada di alam kedewataan. Setelah turun ke bumi bernama Togog yang bertugas momong para ksatria dari seberang. Yang dimaksud adalah manusia yang sudah menyeberang dari kaidah keTuhanan. Antaga diturunkan kebumi karena dianggap bersalah pada waktu masih dialam kedewataan.

Ksatria kedua yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya. Yang karena kesombonganya berdua dengan Antaga mengadakan sayembara menelan gunung. Antaga yang tadinya tampan karena berupaya menelan gunung, sampai-sampai mulutnya menganga dan nyaris sobek bibirnya sampai kedua pipinya, namun tidak berhasil. Sedang Ismoyo berhasil menelan akan tetapi tidak berhasil memuntahkanya kembali, sesuai dengan aturan main yang disepakati. Akhirnya gunung itupun anjlog sampai kepantat dan berhenti sampai disitu.

Sayembara yang sebelumnya tidak diketahui oleh Hyang Wenang itu hanya atas kesepakatan antara Antaga dan Ismaya saja. Maka setelah mengetahui kesudahan dari kesudahan dari sayembara itu, keduanya dianggap tidak dewasa dalam arti dewa dalam rasa. Maksudnya belum dapat memaki perasaan sebagaimana para dewa. Untuk itu mereka berdua dipersalahkan dan diberi hukuman turun kebumi dan untuk Ismaya diberi nama Semar.

Sedang ksatria ketiga yang berasal dari kuning telur dan dianggap si bungsu diberi nama Manik Maya, yang dinobatkan menjadi Raja Para Dewa yang bertahta di Junggring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa dengan diberi gelar Hyang Jagad Giri Nata yang juga disebut Batara Guru. Disamping itu dikodratkan dapat mempunyai keturunan, sebab memang berasal dari kuning telur yang mengndung zat hidup. Sedangkan Antaga si cangkang dan Ismaya si putih tidak mempunyai keturunan.

Apabila ditarik pesan-pesan kefilsafatan dari lakon lahirnya Ismaya maka dapat dikatakan bahwa oknum dukun yang memproklamirkan dirinya sebagai yang kesinungan Semar, sangatlah tidak mungkin. Sebab secara nalar cerita, Semar tidak pernah dilahirkan, tidak pernah menitis dan yang lebih pentinguntuk diketahui Semar dan tokoh-tokoh pewayangan yang lain, hanyalah gambaran perilaku dan peri kehidupan manusia. Karena wayang artinya baying-bayang atau gambaran yang harus dikaji dan diamalkan isi ajaran yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakonya.

HYANG RATU RETNO DUMILAH ;
Tokoh ii dikisahkan sebagai penjaga “GEDONG CEPUK” yang koon berisi harta benda tak terhitung jumlahnya. Sebagai yang menjabat penunggu dan pembagi harta benda kerajaan, sepertinya tidak mungkin apabila dipilihkan tokoh dari kalangan luar istana. Diduga beliau adalah putrid Prabu Sanjaya dari istri Dewi Nawang Wulan, yang tidak lain adalah Dewi Nawangsih. Dimana sasana gaibnya berada di pojok barat laut di kaki Gunung Srandil, tepatnya pada batu yang tampak terbelah.

Ditempat inilah yang nyata-nyata mempunyai keajaiban secara fisik. Pada tahun delapan puluhan, saat penulis pertama kali ke Gunung Srandil batu belah itu masih sekitar setengah meter tingginya dan besarnya kira-kira seukuran bakul nasi. Akan tetapi sekarang (tahun 2000) tingginya sudah dua meter lebih dan besarnya melebihi gajah dewasa. Jadi batu yang sewajarnya ajeg besarnya, tidak demikian dengan batu belah itu.

Dari kenyataan itu dapat ditarik simpul nalar secara metafisik, sedangkan batu saja bisa tumbuh dan berkembang apalagi kehidupan manusia. Mungkin didalam itu semua mengandung pesan, barangsiapa ingin tumbuh kehidupanya, harus berupaya tanpa henti dan memohon kepada Tuhan untuk memperoleh ridhaNya dengan bersungguh-sungguh dan menumbuhkan daya kreatifitas secara ajeg berusaha.

HYANG LANGLANG BUWANA ;
Menurut perkiraan penulis, tokoh ini adalah Jaka Tarub, dimana pada waktu mempunyai rencana menjadi raja, melakukan pengembaraan keseluruh pelosok negeri dalam rangka konsolidasi dan penggalangan massa. Mulai dari rakyat sampai dengan pejabat semua dihubungi, agar apabila dia berhasil menjadi raja kelak, mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Karena pengembaraannya itulah beliau mendapat gelar Hyang Langlang Buwana. Dan sudah menjadi kebiasaan Orang Jawa, sering mempunyai banyak nama atau alias yang juga disebut Dasa Nama.

HYANG SUKMA SEJATI ;
Tokoh ini juga masih kerabat Prabu Sahanjaya, mungkin masih pamannya yang diberi tugas mengatur tatanan keagamaan dan olah spiritual lainya. Karena memang tokoh ini piawai didalam hal kasuksman atau ketuhanan, baik melalui jalur keagamaan maupun jalur budaya spiritual atau kebatinan.

Beliau terbiasa bertapa dan laku samadi dan terkenal tahan dan kuat di dalam olah tapa dan samadi, maka disebutkan beliau mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tokoh ini juga diserahi merawat benda-benda pusaka dan barang-barang spiritual milik kerajaan. Dan konon tokoh inilah yang mempunyai ilmu Pemecah Jasad. Diceritakan bahwa beliau dapat memecah jasadnya menjadi lima orang, maksudnya apabila dia melakukanya, akan tampaklah lima orang kembar.

HYANG WURUNG GALIH ;
Tokoh ini juga kerabat Kerajaan Mataram yang diserahi tugas menjaga keamanan wilayah ibu kota dan juga bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman keluarga raja, agar pengaruh-pengaruh jelek baik yang bersifat nyata ataupun maya tidak menimpa keluarga raja untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diingini, yang berasal dari wangsa lain, yang diduga akan merebut tahta. Maka boleh dikatakan bahwa tokoh ini ahli di bidang olah kanuragan atau ilmu kekebalan dan ilmu kebatinan yang lain.

Al kisah, Hyang Wurung Galih dikaruniai umur panjang, bahkan dia bisa bertahan hidup sampai jaman wali, dan sempat menjadi guru dali salah satu wali, yaitu Syekh Jakfar Sodiq yang disebut juga Sunan Kudus. Pada waktu menjadi guru dari Sunan Kudus, dia bernama Ki Selingsing yang juga bergelar Ki Ageng Pasir atau Hyang Kumala Yekti, yang konon makam beliau berada di pesisir Laut Kidul, dekat Gunung Srandil.

KI PAKU WAJA ;
Di sebelah selatan kaki Gunung Selok, ada gua kecil di tepi sungai yang bernama Goa Paku Waja. Dikatakan demikian karena merupakan petilasan pertapaan Ki Paku Waja. Tokoh ini tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Prabu Sahanjaya. Akan tetapi berkat kejelian pengamatan mata batin Sang Prabu, yang dapat melihat cahaya gaib yang bersinar kuat yang memancar keluar dari ubun-ubun Ki Paku Waja, yang sedang bersamadi di gua itu. Pancaran cahaya gaib itu adalah pertanda bahwa beliau berilmu tinggi dan mempunyai kewicaksanaan yang linuwih.

Beliau disebut Ki Paku Waja karena memang mempunyai sebuah paku yang terbuat dari baja yang ditancapkan di batu cadas pada goa tersebut sehingga mengeluarkan air yang menetes tiada henti dan mengandung karat.
Air dari cadas itu menetes terus menerus dan tertampung didalam lubang dengan ukuran kurang lebih 700 liter yang disebut Sendang Paku Waja.

Namun nama sebenarnya dari tokoh ini adalah Ki Guwarsa, yang konon berasal dari Hindia Belakang. Datang ke Jawa kira-kira 400 tahun sebelum masehi. Beliau berhasil bertahan hidup sampai menjelang berdirinya Kerajaan Mataram Kuna, karena memang dianugerahi umur panjang dan awet muda. Ceritanya dia bertapa di Goa Paku Waja beratus tahun lamanya.
Menurut kepercayaan, Ki Guwarsa adalah manusia yang mempunyai berbagai macam kelebihan, antara lain ilmu dibidang kenegaraan, hukum, ketuhanan, kesaktian, dan mampu menjadi guru para empu.

Al kisah, Prabu Sahanjaya beserta kerabat calon pejabat kerajaan yang sedang mempersiapkan pendirian Kerajaan Mataram, semuanya berguru kepada Ki Paku Waja. Dan dari dialah jaka Tarub dan rombonganya mendapatkan berbagai ilmu yang dapat digunakan sebagai modal pendirian sebuah kerajaan.
Lalu bagaimana halnya dengan Ki Paku Waja yang dimakamkan di Kaliwungu Kabupaten Kendal? Yang juga merupakan tokoh legendaris diwilayah itu. Mungkin dia ditokohkan sebagai mana Ki Paku Waja Selok, mungkin karena dianggap mempunyai berbagai ilmu linuwih pada jamanya. Hal semacam itu oleh Orang Jawa dinamakan nunggak semi dengan Ki Paku Waja. Yang artinya memiripkan diri dengan tokoh idolanya.

Menurut perhitungan jaman, antara Ki Paku Waja Gunung Selok dengan Ki Paku Waja Kaliwungu, tidak mungkin pernah bertemu, karena Ki Paku Waja Kaliwungu hidup pada jaman terakhir Wali Sanga, yang diperkirakan sekitar abad XVII.

Akan tetapi kemungkinan bisa saja terjadi, dapat bertemu dan berguru dengan Ki Selingsing, sesudah Syekh Jakfar Sadiq, dan nama Paku Waja untuk tokoh legendaris Kaliwungu, diberikan oleh Ki Selingsing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara Para Wali dan tokoh legendaris di Gunung Srandil, masih kalah tua dengan Ki paku Waja. Sampai pun dengan Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga, yang di percaya sebagai tokoh pamomong dengan memiliki sifat-sifat Semar. Karena yang di Srandil disebut sebagai kaki itu sebenarnya adalah Jaka Tarub.

HYANG CAKRA WANGSA atau Pak Cilik Cakra Wangsa
Mungkin tokoh ini paman dari Prabu Sahanjaya yang diberi jabatan sebagai Carik Negara atau menurut istilah sekarang mungkin Menteri Sekretaris Negara. Cakra Wangsa juga mempunyai keahlian memantau keberadan “Wahyu Keprabon” atau Wahyu Kerajaan. Hyang Cakra Wangsa mempunyai adik kandung yang juga mempunyai keahlian yang hampir sama dengan kakaknya, beliau adalah Hyang Sukmaya Rengga.

HYANG SUKMAYA RENGGA ;
Dua orang kakak beradik ini diberi jabatan hampir sama. Kalau Cakra Wangsa adalah Carik Nagara maka Sukmaya Rengga adalah Carik Jero atau kalau jaman sekarang mungkin adalah Menteri Sekretaris Kabinet. Kedua kakak beradik inilah yang paling akrab dengan Sang Prabu Sahanjaya, semenjak masih Jaka Tarub dalam semua kegiatanya. Lebih-lebih didalam mengupayakan serta memperoleh Wahyu Keprabon. Walaupun kedua orang ini sebagai pengikut namun apa yang menjadi petunjuk dan pengarahanya selalu dituruti oleh Jaka Tarub.

Sementara menjadi Carik Negara dan Carik Jero atau Carik Praja, kedua orang ini bernama Ki Sabdo Palon dan Ki Naya Genggong, yang petilasanya terletak di luar Bangunan Pertapan Jambe Lima. Sedang setelah menjadi Carik Negara dan Carik Praja, pada masa tuanya menjadi pendeta dan petilasanya kira-kira berada di Pertapan Jambe Lima.

HYANG LENGKUNG KUSUMA ;
Tokoh ini tak lain adalah putra sulung dari Hyang Sukmaya Rengga. Pada masa hidupnya mempunyai keahlian dibidang tata negara dan seni budaya, serta menguasai ilmu hukum kenegaraan dan terkenal pandai berbicara dan bijaksana.

HYANG LENGKUNG SWIRI ;
Beliau ini adalah adik kandung Hyang Lengkung Kusuma yang berarti anak kedua dari Hyang Sukmaya Rengga. Tokoh ini mempunyai keahlian yang sangat mirip dengan kakak kandungnya.



HYANG WISNU MURTI ;
Tokoh ini adalah anak bungsu dari Hyang Sukmaya Rengga yang juga mempunyai keahlian yang mirip dengan kedua kakaknya. Hanya saja si bungsu ini lebih menonjol dan lebih pintar serta bijak, bila dibandingkan dengan kedua kakaknya. Maka lalu diberi jabatan sebagai Pangarsa atau Ketua Dewan Sapta Prabu atau apabila disebut dengan istilah sekarang mungkin mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung, yang bertugas memberi nasihat kepada raja dan beranggotakan tujuh orang.
Para putra dari Hyang Sukmaya Rengga, ketiga-tiganya menduduki sasana gaib di Pertapan Jambe Pitu, kira-kira letaknya didalam lingkungan pertapaan. Adapun yang menduduki sasana gaib diluar Pertapan Jambe Pitu adalah Hyang Jepen.

HYANG JEPEN ;
Pada masa hidupnya tokoh ini mempunyai keahlian dibidang pertanian, diplomasi dan piawai mencari akal untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Kesukaanya mengembara, maka dari itulah beliau sangat jarang berada di dalam negeri sendiri. dan setelah tua dan menjadi pendeta, digambarkan tempat pertapaanya berada diluar bangunanya. Tepatnya diujung selatan bangunan Pertapan Jambe Pitu.
Selain dikenal sebagai tokoh yang nganeh-anehi atau eksentrik, beliau sering diminta bantuan oleh negara asing untuk mengatasi masalah kenegaraan. Selain itu, beliau sangat piawai menjadi penengah dan pendamai apabila ada beberapa negara yang sedang berselisih.

Mungkin apabila beliau hidup dijaman sekarang, pantas menduduki jabatan di PBB atau forum internasional lainya atau pantas menjadi penasihat antar kedutaan besar. Sebenarnyalah tokoh ini yang pantas menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Sapta Prabu. Akan tetapi karena beliau jarang sekali berada dinegaranya sendiri, maka jabatan itu lalu diserahkan kepada Hyang Wisnu Murti.
Keenam dari tujuh anggota Dewan Sapta Prabu adalah Hyang Wisnu Murti, Hyang Lengkung Swiri, Hyang Lengkung Kusuma, Hyang Sukmaya Rengga, Hyang Cakra Wangsa, Hyang Jepen dan yang ketujuh adalah Ibu Suci Rahayu.

IBU SUCI RAHAYU ;
Yang tidak lain adalah Ibu Suri dan menduduki sasana gaib di Goa Suci Rahayu, tepatnya didepan pintu goa. Karena dari tujuh orang anggota Dewan Sapta Prabu hanya beliau yang berjenis kelamin perempuan, maka dapatlah diduga yang menjadi keahlianya. Beliau adalah wanita sejati yang piawai mencari jalan keluar atas masalah kenegaraan, yang lebih khusus lagi masalah kewanitaan. Sedangkan yang menduduki sasana gaib di dalam Goa Suci Rahayu adalah Ibu Ratu Sri Kencana Wati.

IBU RATU SRI KENCANA WATI ;
Beliau ini tak lain adalah Putri Raja Sanjaya yang dilanda kecewa berat, karena beliau dilahirkan sebagai wanita. Dia kecewa karena merasa terlahir tidak memenuhi harapan ayahandanya, yang senantiasa terlahir anak laki-laki, dengan harapan kelak dapat menggantikan tahta dari ayahnya. Ibu Ratu Sri Kencana Wati ini lahir dari istri raja sebagai permaisuri yang bukan Dewi Nawang Wulan.
Atas kekecewaan dan dianggap sangat mengecewakan ayahnya itulah dia lalu bersumpah akan menjalani tapa tidur sampai mati didalam Goa Suci Rahayu, dengan ditunggui oleh Ibu Suri atau Ibu Suci Rahayu. Sampai sekarang petilasnya dapat diketemukan berupa sebuah batu besar yang bentuknya mirip orang dalam posisi tidur terlentang membujur kearah utara yang terletak didalam Goa Suci Rahayu.

DI PERTAPAAN ADA APANYA ;
Kebanyakan bagi yang sudah pernah berziarah ataupun laku lainya di pertapaan-pertapaan atau petilasan-petilasan, didalam batin mereka ada semacam pertanyaan seperti tertulis pada sub judul diatas. Pertanyaan tersebut sebetulnya wajib deberi jawaban, kalau bisa dengan jawaban yang masuk akal dan jelas apabila tidak bisa paling tidak harus ada keterangan yang mendekati penalaran yang mapan.
Sebab apabila mengikuti kegiatan wisata spiritual, hanya sekedar ikut-ikutan saja, menurut saja dan sekedar mengekor kepada yang sudah pernah kesana atau kepada juru kunci, diawali dengan serta merta saja hanya sekedar tertarik karena cerita orang atau sekedar terpengaruh ajakan teman, kenalan atau famili yang konon sudah berhasil memperoleh ketenangan hidup, itu semua rasanya kurang afdol.

Padahal pertapaan biasanya tempatnya jauh dari tempat tinggal masing-masing maka sudah barang tentu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan menghabiskan waktu serta tenaga. Maka ditengah proses ritual, mengorbankan uang, waktu dan tenaga serta menimbulkan kantuk.
Menurut pengalaman penulis, pertapan, petilasan dan tempat peziarahan lain yang dianggap keramat, biasanya mempunyai nilai lebih, berupa:
Tempatnya Asri
Terkesan agak sepi, udaranya segar mengenakkan dan layak dipergunakan untuk wisata alam maupun budaya. Karena pemandangan alamnya biasanya indah dan alami. Keadaan yang seperti itu biasanya menenangkan hati dan menentramkan batin.
Padahal setiap orang membutuhkan hiburan yang menimbulkan rasa senang, damai dan tentram, agar hilang rasa keruwetan-keruwetan yang melelahkan dalam kegiatan sehari-hari yang membosankan yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan pikiran.
Maka diharapkan setelah melakukan wisata, apalagi wisata spiritual, minimal beban pikiran menjadi lebih ringan. Apabila beban pikiran sudah terasa ringan, pada giliranya dapat memulai segala rencana dan melangkah pada pelbagai kegiatan yang menuntut prakarsa, tenaga dan kesiapan batin, agar dapat membuat prestasi yang selama ini belum bisa diraih, beserta kewajiban yang akan disandang, semua itu harus dilaksanakan dengan penuh semangat dan percaya diri.

Keramah Tamahan
Orang-orang yang mengadakan lelaku dan para peziarah lainya, sikapnya pada sesama peziarah, sepertinya ada semacam pengikat kebersamaan yang erat, yang memberi kesan rasa menyatu didalam laku prihatin, satu didalam niat dan derita hati. Diantara mereka dapat berkomunikasi dengan penuh keakraban bagaikan kenalan yang sudah lama bergaul. Tak segan-segan diantara mereka memberikan petunjuk dan sumbang saran untuk mengatasi kesulitan hidup. Komunikasi dan pembicaraan berlangsung dengan keramah-tamahan yang akrab. Malah didalam kegiatan pertapaan atau semacamnya tidak menutup kemungkinan dapat bertemu kenalan yang dapat memberikan petunjuk mengatasi permasalahan-permasalahan kita ataupun sebaliknya.

Kebanyakan dari orang-orang yang sering merambah pertapaan, jarang ada yang memiliki sikap yang terkesan sangar dan angker. Sebaliknya sikap malah selalu akrab dan bersahabat, sopan, murah senyum, mudah memberikan pertolongan dengan penuh rasa asah, asih dan asuh. Dari rasa asah dapat diperoleh hasil dari tukar pengalaman dan wawasan. Dari rasa asih dpat membuka kodrat kesucian manusia yang cenderung saling mengasihi. Dan dari rasa asuh sama-sama bisa memberi dan menerima rasa aman dan mengamankan sesamanya.

Kesan Sakral dan Spiritual
Kesan sakral dan spiritual selalu dirasakan dan dialami ditempat peziarahan, karena memang kesanya terasa angker dan menakutkan. Dengan demikian cara melakukan kegiatan spiritual sudah barang tentu diperlukan pemaksaan diri dengan khusuk dan hening yang sungguh-sungguh. Sebab sepertinya sudah menjadi kodrat atau kesan psikologis, manakala seseorang dirundung rasa takut dan ngeri, orang tersebut akan patuh dan bersungguh-sungguh dalam menjalani suatu perintah atau tuntunan tertentu.
Dengan kesan sakral dan spiritual pada akhirnya yang dirasakan dihayati hanyalah keberadaan Tuhanlah tempat meminta pertolongan. Suasana demikian itu apabila ditambah dengan keadaan yang sepi dan menentramkan seperti dikatakan diatas, rasa perasaan ini sepertinya selalu dekat dengan Tuhan. Dan dapatlah dipedomani bahwasanya mendekat dan “melihat” keberadaan Tuhan seharusnyalah dengan ketenngan hati yang jauh dari dengki.

Mengurangi Kebiasaan
Dipertapaan tidak seperti di tempat tinggalnya sendiri. bagi yang biasanya dirumah selalu dilayani, dipertapaan terpaksa harus mengurus diri-sendiri. yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berkecukupan, dipertapan fasilitasnya serba terbatas. Yang biasanya selalu ingin cepat dan terburu-buru disitu terpaksa tidak dapat bertindak egois, karena harus menghormati peziarah lain, misalnya diwarung, pelayanan mandi, cuci dan kakus harus antri dan sebagainya. Dengan keadaan demikian diharapkan akan menimbulkan kesadaran bahwasanya manusia sama derajatnya dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kesucian pikiran, perkataan dan perbuatannya kepada Tuhan, sesama dan alam sekitarnya.

Ada Daya Lebih
Daya lebih yang dimaksud apabila disebut dengan bahasa sekarang adalah daya yang berasal dari gelombang getaran elektromagnet dari badan seseorang atau gampangnya dinamakan bio elektrisitet. Getaran gelombang ini timbul karena laku dari para tokoh legenda dimasa lalu, ketika melakukan tapa, samadi dan melakukan ritual lainya, yang menggunakan daya hening cipta tingkat tinggi, hingga mampu mengeluarkan energi gelombang kekuatan prana, dengan menggunakan daya alam beserta daya pribadinya yang saling mengisi, maka terbentuklah kekuatan supranatural yang bersirkulasi secara simultan antara manusia, alam dan gaibnya Tuhan.

Dari proses ini menimbulkan daya berupa getaran energi yang karena proses sirkulasi tadi, kemudian energi tersebut menempel pada tempat dimana kegiatan ritual itu dilakukan. Dan penempelan daya itu tidak akan hilang selamanya, berdasarkan hukum alam bahwasanya zat dan energi tidak dapat dimusnahkan, biasanya hanya bersirkulasi melalui proses sikel dan daur ulang.

Berdasarkan keterangan diatas maka antara pertapaan dan petilasan, kiranya yang banyak mengandung tilas daya lebih adalah petilasan. Namun secara efek psikologis, lebih baik yang berupa makam, karena terkesan disanalah bersemayam jasad dari tokoh legenda. Dari itulah petilasan yang sebenarnya bukanlah suatu makam atas jasad tokoh tertentu, lalu direka-reka sepertinya makam sungguhan. Seperti halnya tokoh Syekh Maulana Maghribi yang makamnya ada dimana-mana.

Pada akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang dapat mengajarkan pembudidayaan getaran rasa sejati berupa perguruan ilmu kontak persilatan tenaga dalam, senam tenaga batin dan sebagainya. Walaupun bobot dan kualitasnya belum tentu dapat menyamai dengan daya yang dihasilkan oleh para tokoh tempo dulu, namun kiranya hal itu dapat dijadikan bukti bahwa getaran rasa sejati dapat dibudidayakan oleh siapa saja yang mau, terlepas untuk apa hal tersebut dimanfaatkan.

Tata Cara Ziarah Ke Makam……………..
Di depan pintu pertapan:

Bismillaahir rohmanir rokhim…..atau …“Hong amit tabik sekalian pasang keparengo marak sowan ing ngarsanipun………….”
Meletakkan sarana (bunga dsb.):
“Keparengo putro caos bekti, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”
Dupa/kemenyan:
Bismillaahir rohmanir rokhim……..atau……..“Hong wilahing jatimas tumono sidam sekaring bawono langgeng prapenku selo petak dupoku dupo mulyo guyuhno kamulyan ingsun, tak jaluk rilamu siro sun obong kukusmu mumbul ngawiyat ing ngarsaning GUSTI INGKANG MOHO SUCI tumurun dumateng……………”

Bakar dupa/kemenyan (sebelum akan dibakar):
Bismillaahir rohmanir rokhim ….atau ….“Hong hagni suci sucekno kamulyan ingsun, mulyakno kasucen ingsun, urupno uriping kawicaksanan ingsun.”

Ngesti:
Bismillaahir rohmanir rokhim………atau…….“Hong sumujud ngarso dalem Gusti Ingkang Moho Suci, sumungkem ngarso dalem……………… Sembah sedoyo panelongso dalah panjangka ingsun nyuwun tambahing berkah pengayoman. Sedoyo panelongso nyuwun usodho, sedoyo panjongko nyuwun sembodo. Berkah nyuwun limintuning rejeki ingkang agung rahayu, pengayoman nyuwun slamet sak rakyat sak bandane. Kerso saking kuasane:”

KUNCI
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito nyuwun wicaksono nyuwun panguwoso kangge tumindake Satrio Sejati. Kulo nyuwun kangge hanyirna’ake tumindak ingkang luput.”

PAWELING
“Siji-siji Loro-loro Telu-telonono,
Siji sekti loro dadi telu pandito,
Siji wahayu loro gat’rahino telu rejeki .”

SINGKIR
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito hananiro hananingsun wujudiro wujudingsun, siro………………(reruwet rubedo) sirno mati dening Satrio/Wanito Sejati ketiban iduku putih sirno layu dening……………(Asma Sejati)”

MIJIL
“………..(Asma Sejati) jeneng siro mijilo, panjenengan ingsun kagungan karso arso…………….(niat pribadi).”

Ngalap berkah:
“Gusti Hyang keparengo putro ngalap berkah (*kangge mberkahi) ngukup pengayoman (*kangge ngayomi).”

*.Tambahan untuk yang telah Hasamun Pinandito
Ngukup dupa:


“Purbaning Gusti wasesaning Sari”
“Purbaning Sari wasesaning Gusti”
“Purbo wasesaning Satrio/Wanito Sejati”

Lalu bacalah kalimah di bawah ini sebagai penutupnya ;

Palungguh :
 (Asma Sejati) lungguho ingka prayugo. Ragane arso tentrem. Sun sangoni basuki. Kalis ing sambikolo. Kanti teguh rahayu selamet.”…..3.x….

Pamit:
“Gusti Hyang cekap atur kawulo berkah kulo tampi pengayoman kulo suwun. Keparengo madal pasilan paduko, nyuwun tansah tinuntun, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”

-ooo-

13. BAB ; Arsip untuk ‘MITOLOGI KANJENG RATU KIDUL’ Kategori.

Mitologi Kanjeng Ratu Kidul.
Mitos Ratu Kidul dadi pancadan paprentahan ing karaton
Kacihna majune teknologi komunikasi lan informasi nuwuhake budaya anyar lan nggawe ”rusake” kabudayan Jawa, ananging wong Jawa tetep ngugemi landhesan urip kang gegayutan kalawan anane titah ora kasat mata.

Landhesan urip kang isih ngugemi anane titah ora kasat mata iki raket gandheng cenenge kalawan kepriye sejatine wong Jawa urip ing donya. Lire, kapercayane wong Jawa ing babagan urip lang panguripan ora bisa uwal saka perangan jagad cilik (mikrokosmos) lan jagad gedhe (makrokosmos), keplase uga gegayutan kalawan alam kasat mata lan alam datan kasat mata. Salah sijine kapercayan kang dikarepake yaiku wong Jawa, mligine kang urip ing tlatah Yogyakarta lan Solo, nganggep lan yakin yen samodra kidul iku awujud karaton kang dikuwasani dening Kangjeng Ratu Kidul. Tumrap wong Jawa kaprah, lire ora duwe pangerten jero babagan filosofi kebatinan Jawa lan uga adoh saka karaton, Kangjeng Ratu Kidul dianggep sawijining titah badan alus kang wujude kayadene manungsa lan nglenggahi dampar keprabon, nyekel pengauwasa ing segara kidul. Lan isih ana panganggep liya kang wusanane mbabar dadi mitos Kangjeng Ratu Kidul.

Ing buku Mitologi Kanjeng Ratu Kidul, anggitane Y Argo Twikromo, weton Nidia Pustaka, 2006, dijlentrehake filosofi-filosofi kang gegayutan kalawan mitos Kangjeng Ratu Kidul. Miturut andharan ing buku iki, mitologi Kangjeng Ratu Kidul pranyata digunakake kanggo pancadan tumrap panguwasa Karaton Kasultanan Ngayogyakarta (lan uga Karaton Surakarta-red) nalika nglakokake paprentahan.

Wong Jawa nganggep manawa donya iku isine ana kang asipat wadag, pisik, bisa didulu mata lan donya kang asipat datan kasat mata, alus, ora bisa didulu mata wantah. Ananging ing donyane wong Jawa, kalorone kang asipat kasat mata lan datan kasat mata iku nyawiji dadi siji. Ing nyawijine ngalam kalorone iku kabeh sesambungan kang asipat antarane siji lan sijine padha-padha mbutuhake lan dibutuhake. Wusanane kabeh nggawe alam dadi tumata. Sesambungane manungsa ing alam kodrati (alam nyata, alam kasat mata) ora dibedakake kalawan titah ing alam adikodrati (alam supranatural, alam datan kasat mata).

Yen dipindeng kanthi srana kaca mata antropologis, mitos Kangjeng Ratu Kidul bisa dianggep minangka cultural universal kang disengkuyung dening sawetara laku budaya utawa cultural activities, kayata labuhan, crita rakyat utawa crita Panembahan Senopati, kegiyatan sosial lan kegiatan lelandhesan keyakinan agama lan maneka laku utawa ritual tradhisi liyane. Babagan iku nuduhake lan aweh tuntunan yen yektine kepriye wong Jawa mindeng mitologi Kangjeng Ratu Kidul ora bisa dipisahake saka laku ritual kang ndhasari utawa dadi panjurunge. Laku-laku kang lelandhesan keyakinan ajaran agama kang gegayutan kalawan Kangjeng Ratu Kidul, mujudake gegambaran alam pikiran lan kapercayane wong Jawa.

Adhedhasar apa kang diugemi wong Jawa, mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang urip ing ngalam pikiran lan kapercayan Jawa, digunakake kanggo sesambungan kalawan alam supranatural. Pangajabe supaya donya iki tetep harmonis, imbang lan tansah kalinton kaslametan lan karahayon. Ing bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ora mung asipat legenda. Tumrap kapercayane saperangan gedhe warga bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ana tenan. Ananging karana anane alam supranatural tumrap wong Jawa ora bisa dijlentrehake, kaprah sinebut suwung awang-awung, ndadekake anane laku-laku kang lelandhesan keyakinan agama kang ancase ngurmati panguwasa alam supranatural, kayadene Kangjeng Ratu Kidul. Ana candhake.

Keyakinan supranatural sarana ngupadi salarase donya saisine
Mitologi Kangjeng Ratu Kidul nuwuhake kapercayan tumrap wong Jawa yen ing segara utawa samodra kidul ana panguwasa kang asipat supranatural, datan kasat mata.

Kapercayan iku bisa didulu saka laku-laku kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni dening Karaton Ngayogyakarta (apadene Karaton Surakarta) kang ditujokake marang Kangjeng Ratu Kidul. Kanthi laku ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang biyasane mapan ing Parangkusuma iku, sacara mistis Karaton bisa mujudake imbang lan tentreme donya. Yektine, tumrap Karaton Ngayogyakarta (lan Karaton Surakarta) ora bakal bisa netepi kuwajibane yen durung bisa mujudake rasa tentrem ing batin tumrap kabeh rakyat. Rasa tentrem ing batin iku bisa kawujud kanthi laku nyedhak marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Kanthi mangkono, maneka rupa laku utawa ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama iku wusanane minangka srana kanggo nggayuh katentreman lan keslametan praja sakrakyate. Ing telenging pikir wong Jawa, raja utawa ratu duwe jejibahan ngayomi rakyate. Karana iku, raja ing Karaton Ngayogyakarta lan Surakarta tansah ngugemi laku kang asipat nyedhak kalawan daya kekuwatan supranatural. Ing bebrayan Jawa, raja iku nyangga godhan yang tanpa wates, mligine kang gegayutan kalawan panguwasane. Sanggan godhan kang asipat tanpa wates iku uga ngandhut tanggung jawab tunggal kang amba kanggo njaga murih donya tetep tumata.

Karana iku, raja kudu pinunjul. Lan tumrap wong Jawa, raja iku dianggep dadi siji-sijine paraga kang bisa mbangun lan njaga sesambungan antarane alam kodrati (kasat mata) lan alam adikodrati (datan kasat mata). Iki kang dadi pawadan ing budaya Jawa raja utawa ratu iku dianggep duwe panguwasa kang tanpa wates lan panguwasane iku ora bisa diatur kanthi cara-cara kang kaprah ing ngalam donya iki. Rakyat dhewe uga duwe pangarep-arep raja utawa ratu bisa ngrampungi sakabehing rubeda kang tuwuh saka alam kanthi srana kekuwatan gaib kang diduweni. Upaya ngugemi mitologi Kangjeng Ratu Kidul iki pranyata ora mung dilakoni dening raja utawa sentana dalem ing Karaton.

Para warga bebrayan ing tlatah Yogyakarta (lan Solo) uga duwe cara dhewe kanggo ngugemi keyakinan babagan Kangjeng Ratu Kidul iki. Mitologi Kangjeng Ratu Kidul dadi sarana kanggo tumindak lan nyawiji marang alam. Iku amarga saperangan gedhe warga bebrayan duwe keyakinan religius kang padha, magepokan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul. Laku lelandhesan keyakinan agama gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang dilakoni warga bebrayan racake ora padha kalawan kang dilakoni pehak Karaton. Ananging kalorone bisa lumaku bareng lan nyawiji kanggo mujudake katentreman ing donya.

Lan ing kabudayane wong Jawa (ing dhudhahan buku iki ateges tlatah Yogyakarta lan Solo-red) Karaton menjila dadi punjere kosmis kang asipat keramat. Sacara mistis dununge Karaton duwe gandheng ceneng rapet kalawan karaton-karaton asipat supranatural kang ana ing sakupenge. Karaton-karaton asipat supranatural iku kayadene Karaton Segara Kidul, Karaton Merapi, Kayangan nDlepih lan Karaton Lawu. Karaton-karaton iku mujudake lima karaton kang asipat keramat lan tansah sesambungan antarane siji lan sijine.

Kalimane bisa nyawiji lan mbangun tatanan donya kang tumata. Sesambungan antarane karaton-karaton iku asipat kayadene kulawarga lan sakabat. Wangunan kapercayan bebrayan Jawa kang bisa uga ditegesi agama Jawa, sejatine luwih ngeboti babagan katentreman batin, jumbuhe ngalam kodrati lan adikodrati lan imbang antarane kabeh isining ngalam. Pawadan iki, laku-laku ritual lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul digunakake kanggo ngupadi rasa tentrem, jumbuh lan salarase kabeh isining ngalam lan imbange donya saisine………





14. BAB ; PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL
Cerita Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam Babad Tanah Jawi (the Story of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang puitis merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung kultur-kultur Islam lokal, pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.

KINANTHI

(1)      Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.

Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.
(2)       Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas,                  mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.

Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.

(3)      Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah,  mungging  kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.

Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.
(4)      Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.

Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.
(5)      Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre (k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,

Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.

(6)      Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.

Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu jamrud.

(7)     De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.

Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran
(8)      Tinon renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.

Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.
(9)       Gapurane geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.

Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah, memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang, siang dan malam menjadi sama.
(10)     Sigeg rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.

Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan Mintuno, mereka saling membuka hati.
(11)    Yen tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.

Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.
(12)    Kadigbyaning warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan,  terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.

Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari, kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.
(13)    Yen sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.

Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal, ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari, seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.

(14)    Lamun bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.

Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari, ketika malam semakin bertambah cantik.
(15)     Lawan sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.

Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk halus, mampu berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.

(16)     Sinten ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.

Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja, mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.
(17)    Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.

Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan Ratu Kuwu semua hadir.
(18)      Wringinpitu Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.

7 Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.
(19)     Wrata kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.

Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan, menghadapi Krendhawahana aji.

(20)     Wuwusen malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman                   keras  myang manis, kang ngladosi pra kenyendah, sangkep busana sarwa di.

Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang melayani para gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.
(21)     Bedhaya sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.

Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring, yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati, bermacam-macam gerakan penari.

(22)    Senapati gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga, wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.

Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai, sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati, sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.

(23)     Tan lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya kawentar,            de sang dyah punjul ing warni, kenyataning waranggana, sorote ngemas sinangling.

Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.
(24)     Wuyunging driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala, wau                   Risang Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.

Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk halus/jin.
(25)    Rianos jroning kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241) nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.

Dalam perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa penasaran, agar berhasil tujuan, (k.241) untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.
(26)     Ngunandika dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.

Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.

(27)   De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan, temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.

Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya, menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba, keangkuhannya menjadi-jadi.

(28)     Wong agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.

Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.
(29)     Duk liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,

Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan, sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,
(30)     Pesareyanta durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”

Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”, Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”

(31)     Wusira gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok ngeksi.

Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,

(32)     Warneng pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya, “Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”

Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang memiliki,”

(33)  Kakung mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.

Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.
(34)     Pepajangan sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.

Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai sekali merangkainya.

(35)     Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.

Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada yang memiliki pria baik
(36)     Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.

Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.
(37)     Dyah merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngrego-(k.243) ni.

Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak sendirian saja, tidak ada yang mengganggu (k.243).
(38)     Eca sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.

Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling, dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum, Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.
(39)     Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.

Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai, apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.
(40)     Jeng Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya, mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.

Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati, selanjutnya berbicara lembut.
(41)     ”Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.

“Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya obat sakit asmara.
(42)     Mider ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.”

Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”
(43)     Sang dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir

Sang Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.
(44)     Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”

Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”
(45)    Wusana dyah matur kakung, “Kirang punapa sang (k.244) pekik, kang pilenggah ing Mataram, lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah galih.

Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.

(46)     Yekti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.

Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja, yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.
(47)     Kang pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.

Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai, jika dibutuhkan secara pasti.

(48)     De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.

Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai terhadap pria, karena terlilit kain.
(49)     Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah, kemanisan dennya angling.

Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.

(50)     Saya tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira, “Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.

Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan saya.
(51)    Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram, mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun runtik.

Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti, meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”, Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.
(52)     Nggon sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun u-(k.245) ning sotyanira”, dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene keksi.

Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau melihat ( k.245) cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.
(53)     Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”

Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta kasih yang pasti.”
(54)    Kakung mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus kagiwang,  mring kakung asihnya kengis, esemnya mranani priya, Senapati trenyuh galih.

Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.
(55)     Narpaning dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa, labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,

Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati, terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.
(56)     Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara, karenan mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.

Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan, seperti boneka golek gadhing.
(57)    Binekta manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa, datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.

Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang, senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.
(58)   Jim prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate (k.246) lalis.

Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena tajam, mengadu merintih (k.246).
(59)    Kagyat katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.

Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau semerbak harum, rusaknya pura samudera.

(60)     Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.

Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang, Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya pelan-pelan, lalu keduanya duduk.

(61)     Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.

Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.

(62)   Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.

Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.
(63)     Kakung nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,

Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah ditunggu-tunggu,
(64)     Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.

Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis sedih, Rembulan menjadi menangis deras.
(65)    Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan,  udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono (k.247) rasanya, wong tresna dentimbangi.

Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai, perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “ Seperti ini lah (k. 247) rasanya mencintai yang dibandingkan.
(66)     Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang retna di.

Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati, atas tangisan sang Ratna.
(67)     Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.

Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil dinyanyikan oleh Senopati.
M I J I L

(1)     “Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger, marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.

“Dhuh emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya, jika lupa kepadamu, dari dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.
(2)      Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya Angger,  ingkang dadi teleng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

Walaupun saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik, besar cintaku tidak lain adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta, hanya dirimu adinda Gusti, kepadamu saya tergila-gila.

(3)             Malawija neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang timbangana Angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,

Kenapa saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan, hanya kakanda pula daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum mendapatkan obat, tidak lain hanya lah kamu emasku,
(4)     Ambirata rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”

Yang bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap menunggu-nunggu, walaupun harus berjalan jauh sampai disini, tidak ingin sembunyi berusaha, tetapi bagaimana dengan rakyatku Dinda.”
(5)      Narpaning dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, (k.248) dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun tumrun.”

Hati Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang manis minta dimengerti, (k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada senopati berkata pelan, “Pangeran saya minta turun.”
(6)     Sing ngembanan wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur mring kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan kakung.

Sang Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk diatas bunga, kembali Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon sungguh-sungguh dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.
(7)    Datan langkung panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras pinangku.

Tidak lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan berubah sampai anak cucu nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung memeluk, Dewi dipangku.
(8)      “Ya mas Mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge, “Nggih Pangeran yen wus mangguh westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.”

“Ya emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan terjadi”, Dewi berbicara lagi kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi sungkan nanti menghadapi perang, segera saya tolong.”

(9)     Magut sang dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng napase, anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.

Kepala Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan, “Sedekapkan tanganmu dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya pasti datang, membawa pasukan mahluk halus.
(10)      Lawan amba atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.

Bersama saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul, Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat pengaruh besar juga, panjang umur pasti, kekuatan tumbuh pesat.
(11)      Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih  sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.

Dengan minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi padaku”, kedua hal itu sudah diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh senopati, bertambah senang hatinya, mendapat sarana untuk perang.
(12)    Malih sang dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep mring  lelembut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.

Kembali sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari keraton (k. 249), yang tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah menerima wangsit, selesainya Dewi memeluk erat Senopati.
(13)    “Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke,          wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.”

“Dhuh Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta jangan cepat-cepat pulang, menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa saya nanti, jika Paduka pulang.”
(14)    Raka ngimur mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe, myang sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.

Kanda Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku yang aku cintai, saya sudah jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit, berpisah dengan mu emas merahku.
(15)    Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,

Jangan sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya pulang ke kerajaan Mataram, tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera ini, menjenguk engkau emasku,
(16)     Saking labet datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni prajeng”, sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami, nggih nuntena wangsul.”

Saya sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan emasku, hanya karena berat beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi kemudian jatuh memeluk pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang kesini.”
(17)     Dugi nggusthi megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure, asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

Sampai akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta, segera Ratu Kidul mengantarkan kepulangannya, saling menggandeng tangan harmonis, sampai di  Srimanganti, Senopati segera melihat sang Dewi penuh rasa kasih.
(18)     “Wus suntrima sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta sihirangger, srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih katresnane kakung.

“Sudah saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar saya, hanya saya minta sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”, Sang Dewi memberi cintanya kepada Senopati.

(19)     Atur gantyan manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit lathine, sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lestantun.

Bergantian memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan, mencium menggigit mesra, Sang Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu, kunjungan selesai.

(20)   Senapati praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.

Senopati telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali menghilang samudera dari penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti memijak tanah, dia berjalan terus.
(21)  Senapati sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.

Senopati sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan waspada kepada seseorang yang berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin bahwa dia adalah Guru Senopati, yaitu Sunan Adilangu.
(22)  Senapati gepah nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.

Senopati segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi hormat tunduk, tangan guru menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda diterimanya bakti sang Senopati, bergeser duduk sopan.
(23)     Sunan Adi gya ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.

Sunan Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur anakku, aku bertemu denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang sebenarnya terjadi dengan perjalananmu.
(24)    Sira sinung digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane, kita ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

Kamu sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya saja tanda samudera yang kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan saja, tetapi ingatlah hatimu jangan angkuh
(25)    Riya kibir sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka tuk sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.

Sombong, riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang Manon, nabi wali Allah juga membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang Widi, diharapkan oleh Hyang tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.
(26)    (k.251) Wong gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.

(k.251) Orang yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang patuh pada larangan Hyang Sukma yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan riya adalah keangkuhan manusia, minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu tidak lah pantas
(27)    Amemadha marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.

Mempersamakan diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu disemayami derajat dari raja-raja yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu yang tidak angkuh, terlihat mempesona, berjalan anggun berwibawa.
(28)     Saksolahe was tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng, Senapati tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu

Semua tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal tentramnya hati saja, banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja, Senopati benar-benar hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya memperumpamakan lagi, yang tidak memiliki ilmu.
(29)     Aja sira pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.

Jangan lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi gunung tinggi, dan samudera semua contoh, ya Kaki pemberian langit, bermacam-macam manusia, mengandalkan yang luhur.
(30)     Bumi kandel jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku dayane,  myang kang gunung digung geng inggil,sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

Tebalnya bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah tidak ada yang melebihi kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan tinggi, dalamnya samudera, gumelarnya ombak,
(31)    Ngendelaken digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.

Mengandalkan kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit dan gunung seperti sifat manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit berbeda dengan manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
(32)     Yen sira yun wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Je- (k.252) beng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma Gung.

Jika kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua orang, jangan berhenti ikhtiarmu (k.252) Nak, berpasrah kepada Kang Murbeng Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu terhadap Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)
(33)   Ginampangan seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.
Secara mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah pada pandangan/tujuanmu, jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja, beribadah lah memeluk agama, selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.
DHANDHANGGULA

(1)        Lawan Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature, “Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”, dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira bukti, yen wisa dadi apa.

Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.

(2)     Temah antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi, sabab nir manungsanya.

Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud manusiamu.

(3)       Maneh Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng (k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.

Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang disulap.
(4)       Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.

(5)       Driya maksih maiben ing galih, Sunan  Adi  ing tyas  wus  waskitha,  Senapati  tyas  sandeyeng,  wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.
(6)      Sakpraptaning jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih   nendra,  nglenggorong langkung agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah legek tan nebda.

Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.
(7)     (k.254) Sunan Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe rengating driya.”

(k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”
(8)       Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira, nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi, wenang sinambat karsa.

Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.
(9)       Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat, sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyektekken srana.

Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).
(10)     Juga juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk  raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur, samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.
(11)      Senapati wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi, pangjanging umur saras.”

Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”
(12)    “Yen wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.

“Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.

(13)    Gya jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.

Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.
(14)    Sunan adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.

Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.
(15)    “Bibi Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

“Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.
(16)     Saksirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”

Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak terlihat.”
(17)      Sunan Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, emongen gustenira.

Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.
(18)   Prayogane Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.

Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.
(19)     Katriya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo glar neng pegungan.

Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.
(20)     Tanpa kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe, karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.

Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.
(21)      Becik nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa  lan  pepagere,  kebo  sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.

Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).
(22)      Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi nata.

Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara selalu dijaga.
(23)     Mengko Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.
(24)     Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen kuthanira.

Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.
(25)    Jebeng rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259) n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.
(26)    Lawan sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun wuntat.

Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.

(27)     Jebeng yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang andarbeni, lestari tanpa kara.

Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.
(28)   Lan diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging (k.260) kalingan padhang.

Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.
(29)    Senapati wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,

Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti………………


-ooo-


15. BAB ; MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNA’AN
Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya bungkusan tsb. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.

A. Tentang Macam Ilmu Manusia.
Adalah suatu yg pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.
Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah kuncinya. Kesungguhanlah yg pasti, itulah yg perlu benar2 engkau mengerti. Jangan takut pd biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta benda. Namun hanya niat ikhlas saja yg diperlukan.

Adapun ilmu manusia itu ada 2, anakku. Yang pertama adalah ilmu kamanungsan yg lahir daru jalan indrawi dan melalui laku kamanungsan. Yang kedua adalah ilmu kasampurnaan yg lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, dilalui dg cara belajar. Sedangkan yg dari dalam, dilalui dg cara menyibukan diri dg jalan bertapa ( bertafakur ).

Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dg belajar secara lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma seorang murid yg mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa sejati.
Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu2 seperti itu tersimpan kuat pada pangkal suksma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut.

Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah daya potensial yg ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar. Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai dan berdekatan dg suksma sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan sbg yg meminta manfaat, murid ibarat bumi atau tanah.

Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh2an. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yg berbuah, atau seperti mutiara yg sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ngelmu dg menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.

Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam2 indra, berarti murid lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yg cair atau dalam bahasa arab dsb nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dg berfikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan oleh suksma yg beku nafs al-jamid.
Jadi, engkau bisa meraih ilmu dg cara belajar, dan bisa juga mendapatkannya dg cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dg tafakur engkau tahu manusia hanya bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.

Banyak ilmu2 mendasar atau yg dsb annazhariyyah dan penemuan2 baru, berhasil dikuak oleh orang2 yg memilki kearifan. Dg kejernihan otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal2 tsb tanpa proses belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan.
Dg bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi . Dg begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga persoalan tidak berlarut2 dan segera tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu.

Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, suksma tidak bisa mempelajari semua yg di inginka, baik yg bersifat sebagian ( juz’i / parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dg cara belajar. Ia harus mempelajari dg induksi, sebagian dg deduksi sebagaimana umumnya manusia dan sebagian lagi dg analogi yg membutuhkan kejernihan berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah2 keilmuan.

Ketahuilah anakku.
Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam bentuk yg merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa mempelajari seluruh unsur obat2an untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala2 umum. Dan setiap orang diobati menurut sifat masing2 Demikian juga para ahli perbintangan, mereka mempelajari hal2 umum yg berkaitan dg bintang, kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum.

Demikian juga halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan karsa yg indah2 berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sbg alat pukul, semacam lidi, sedangkan yg lain menggunakan alat bantu lain untuk merealisasikan.

Anakku jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur dg benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yg diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yg ada dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yg berkelanjutan dan tak mengenal lelah.
B. Memahami Ilmu Kasampurnaan.

Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam,
Pertama, diberikan melalui wahyu.

Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu yg dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu. Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap manfaat serta limpahan cahayaNya.

Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada papan tadi.

Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid. Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa2 yg tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).

Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu mahluk2 yg lain. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari YME tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dg kanjeng Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan dg berbagi cara mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi mahluk yg paling berilmu dan mahluk paling berpengetahuan.

Sementara itu Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak pernah belajar dan berjumpa dg seorang guru. Malaikat bangga dan dg besar hati mereka berkata:” padahal kami Senantisa bertasbih dg memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).

Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh nama2 benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda2 itu jika kamu memang orang2 yg benar” (QS. Al-Baqarah:31).

Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dab besar hati, justru yg ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci Engkau, tidak ada yg kami ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kpd kami” (QS. Al-Baqarah:32).

Maka kepada mereka Adam diberitahukan bbrp bagian ilmu dan hal2 yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu gaib yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu yg diperoleh dg penglihatan langsung.

Ilmu yg diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dg budi pekertinya menjadi baik.
Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.

Ilmu Kasampurnaan yg Kedua,
disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati terhadap suksma manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya. Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh dg wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yg diperoleh dg ilham itulah sejatinya ilmu kewalian.

Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara suksma dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut.
Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari suksma sejati yg terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi
dg menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam.

Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih kuat dari disisi Allah dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk2 lain.
Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana suksma tanpa rasa atau wali tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yg bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali
Ketahuilah, ilmu yg diperoleh dg wahyu hanya khusus bagi para rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan para rasul lain. Itulah yg menbedakan antara risalah dg nubuwwah .

Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan rasionalitas2 oleh suksma yg suci kepada orang2 yg mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu suksma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan oleh sebab2 tertentu.

Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali, sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pd dalil: “Dan yg telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).

Ingatlah ketika khalifah Ali berujar: “Kumasukan lisanku kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yg pada setiap pintu terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran mereka”.

Derajat seperti ini tidak bisa diterima dg melalui ilmu kemanungsa semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg telah mencapai derajat tsb telah dikarunia ilmu kasampurnaan.

Jika Allah menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir atau hijab yg menhalangi dirimu dg suksma yg menjadi papan itu. Dg demikian, sebagian rahasia dari apa2 yg tersembunyi akan ditampakan pdmu. segenap makna yg terkandung didalam rahasia tsb akan terpahat pd suksmamu. Dan suksma itupun mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya..

Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan. Selama engkau belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi seorang arif.

Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi.
Dalilnya : ” Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar2 telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang2 yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).

Hal itu karena orang2 yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan berpayah-payah belajar. Orang yg demikian sedikit belajar, banyak mengajar, sedikit capai, banyak istirahat.

Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih tidak berdasarkan kebutuhan.

Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah ditutup. Pancaran cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena suksma terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut oleh gelombang syahwat.

Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala sesuatu menyusun tingkatan2 supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut kepada hamba2-Nya, memberikan rezeki kepada siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa menggunakan sebaik mungkin.

Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri ) menerawang ke depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan sendiri kata2 yg barusan dibacanya. Digengamnya erat2 lembaran lontar itu, lalu didekapkan didada serasa hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu makna dari nasehat orang suci yg tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali Lanang / Syeh Awallul Islam ( Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia utama………..


-ooo-


16. BAB ; AL FAATIHAH ( BEBUKA )
Surat kaping 1 : 7 ayat
( Tumuruning wahyu ana ing Mekkah, tumurun sawuse surat Al-Muddatstsir )
Bahasa Arab :
1. Bismillahir rahmaanir rahim
2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin
3. Arrahmanir rahiim
4. Maaliki yaumid diin
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in
6. Ihdinash shiraathal mustaqiim
7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘ alaihim waladl dhlaal-liin
Bahasa Jawa :
1. Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih.
2. Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran, Sesembahaning ‘ alam jagad-rat pramudita.
3. Kang Maha Murah Maha Asih.
4. Kang Ngratoni ing dina Piwelas.
5. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ‘ ibadah, saha namung dhumateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong pitulungan.
6. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita sadaya lumampah wonten ing margi ingkang leres.
7. Inggih punika margi, Agaminipun para tetiyang ingkang sampun Paduka paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes ingkang sami sasar.

Isi maksud ingkang wigatos ing Surat Al-Faatihah :
Intisari saking isinipun Al-Quraan punika sampun kaweca pokok-pokok ingkang fundamentil wonten salebeting Surat Al Faatihah, kados kasebut ing ngandhap punika :

1. Bab ‘aqaid utawi kaimanan ; punika kuwajiban ingkang wiwitan kaampil, ingkang dipun da’wahaken dening junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w, makaten ugi dening para andika Rasul saderengipun. Ingkang baku inggih punika ‘ aqidah-tauhid ( memundhi saha mangeran namung dhumateng Panjenanganipun Allah piyambak ) ‘ Aqidah-tauhid wau dados jejering piwucal Agami, sadaya para andika Nabi Utusaning Allah kautus ngampil tugas-pokok mbangun Tauhid ing Allah, sarta ngrebahaken sadaya kamusyrikan, ugi ngajak Ummatipun supados samia ‘ibadah ( manembah ) ing Allah piyambak, lan nilar sadaya brahalanipun.
2. ‘Ibadah ; utawi ngumawula lan manembah ing Allah, ingkang kuwajiban sadaya titah, langkung-langkung manungsa ( sabab manungsa punika makhluk ingkang saged damel kabudayan wonten ing ‘ alam donya ). Ingkang baku wonten sekawan, inggih punika : Shalat, Zakat, Shiyam lan kesah Haji. Saking ingkang baku kasebut, lajeng tuwuh ‘ibadah memuji, ndedonga, dzikir lan tafakkur utawi I’tikaf ing masjid. Saking zakat lajeng tuwuh ‘ ibadah qurban sidqah, weweweh lan tetulung ing sasaminipun, lan saking Shiyam tuwuh watak Wira’I 9 mboten ndremis lan mboten kathah sesambat ) sumingkir saking ingkang nama lelangkungan ( gesang prasaja ). Lajeng saking Haji tuwuh semangat ambelani sarta labuh ing agami.

3. Angger- angger Hukum lan Pernatan- pernatan : maksudipun Syari’at Islam damel angger-angger hukum lan pranatan punika kangge karaharjaning ummat manungsa ing Donya dumugi ing Akheratipun. Pramila ing salebetingQuraan ngemot pinten-pinten norma lan katamtuwan, upami hukum, politik, tatanagari, sosial, ekonomi, perang, dahme, sesambetan internasional, kabudayan sarta kesenian, agami, sesambetaning manungsa kaliyan Allah, lan lingkungan sapiturutipun.
4. Janji sarta ancaman : artosipun supados ngadeg keadilan lan keleresan ingkang saestu, sanajan wonten Donya saged lolos saking hukuman, nanging wonten ngarsaning Allah ing dinten Qiyanat tantu nboten saged lolos malih.
5. Sejarah : maksudipun ingkang saged dados tepa-palupi ing salebeting sesrawungan ummat manungsa, sampun ngantos agawe cidraning liyan..............

WAJIB MA’RIFAT KEPADA ALLAH

Ma’rifat kepada Allah ta’ala diwajibkan setiap manusia,jelasnya yang sudah akel balig,tidak boleh tidak haruskan mengenal kepada Allah ta’ala.


AWALUD  DINI MA’RIFATULLAH TA’ALA

Artinya : permulaan agama itu ma’rifatullah (mengenal kepada allah )mengenal kepada ALLAH,mengenal kepada apanya???Mengenal kepada sifatnya dan af’elnya/perbuatan-Nya.


AWALU WAJIBI ALAL INSANI MA’RIFATULLAHI BI-ISTIQONI

Artinya ; Bermula yang permulaan wajib atas manusia,yaitu ma’rifatullahi dengan yakin.

Sebab kalau sudah mengenal dengan yakin baru kita menjalankan ibadahnya supaya syah diterima amal ibadahnya oleh Allah ta’ala.Itupun amal harus dengan Ilmu???Oleh karena itu tidak dengan Ilmu sesuatu pekerjaan atau perbuatan kita sia-sia,tidak ada manfaatnya untuk akhirat,hanya dapat di dunia saja.


FAKULUMAN BIGHOIRIL ILMI YA’MALU A’MALUHU KARDUDATUN LATUK BALU

Artinya : Barang siapa yang beramal dengan tidak Ilmu maka amalnya  itu dikembalikan kepadanya,ya’ni tidak diterima.

Ilmu artinya tahu,tetapi bukan harus tahu sama syari’atnya dan batalnya atau ibadahnya saja,tetapi harus tahu atau mengenal kepada Allah ta’ala dan Rosululloh,karena Allah dan Rosulnya ibarat tempat atau gudang /rumsh amal ibadah kita semua.

Umpama di dunia amal ibadah kita seperti perabot rumah,kursi,meja,lemari dllnya.
 Kalau Ilmu atau mengenal kepada Allah dan Rosululloh,seperti kita mempunyai sebuah gudang atau rumah kekar lagi besar,maka sudah barang tentu barang-barang yang kita usahakan dengan susah payah harus kita simpan atau taro ditempat yang semestinya ,supaya rapi dilihatnya,kerena barang-barang yang kita punyai itu bagus-bagus dan halus,harganyapun sangat mahal.


 Maka kalau kita tidak mengenal atau ma’rifat kepada Allah dan Rosululloh,berarti kita tidak mempunyai gudang atau rumah ,maka barang-barang itu,dimana harus ditaro atau disimpannya???tentu barang-barang iti ditaro diluar gudang atau diluar ruamah,panas-kepanasan,hujan-kehujanan,sudah pasti lama kelamaan barang-barang itu akan rusak.
 Oleh karena itu,ada ilmu harus ada ma’rifat,baru ada Keni’matan.Karena maksud kita berbuat amal ibadah itu untuk kita bawa pulang ke Negeri akhirat,maka selama di dunia ini kita harus mengenal (ma’rifat ) kepada Allah dan Rosululloh,sebab disanalah tempat kita  pulang.
 Selagi kita hidup di dunia,belum juga kita ma’rifat atau mengenal kepada Alloh dan Rosululloh,atau kita tidak tahgu tempat yang dituju untuk kita pulang,maka sudah barang tentu kita tidak bisa pulang,karena tempatnya kita belum tahu atau kita tidak mengenalnya.
 Apalagi diwaktu syakaratul maut,kita sudah tidak ditanya lagi,dan akal kitapun sudah tidak ada,hanya kita merasakan sakitnya saja.
 Oleh karena itu ,dikarenakan kita tidak bisa pulang kepada Allah dan Rosululloh atau kita tidak tahu tempat asal kita tadi,jadi semua bisa membawa kita,masuk ke siluman atau Iblis ditukar dengan Kekayaan dunia.
 Maka dari itu selagi kita masih hidup di dunia,kita harus ikhtiar atau sedia paying sebalum hujan,jelasnya : Kita harus bisa mati dulu sebentar,kalau kita tidak bisa mati,niscaya kita tidak bisa tahu akhirat.


ANATUL MAUTTU – QOBAL MAUTTU

Artinya : sebelum engkau mati,rasakan mati,
               Hidup didalam mati,mati didalam hidup.
 Jika kita sudah tahu urusan Akherat atau asal kita,maka harus dijalankan supaya jangan sampai kesaasar atau bingung atau tidak tahu jalan.
                           

JALAN – JALAN MA’RIFAT KEPADA ALLAH

Ma’rifat kepada Allah SWT ada dua jalan :
Dari bawah ke atas
Dari atas ke bawah
Jika dari bawa ke atas, kita harus pesantren atau ngaji kitab Qur’an , terus menjalani ibadah rukun yang 5 (lima/perkara : yang begitu dinamai ibadah dan mengenal kepada Allah , tetapi kebanyakan hanya sampai Ma’rifat mengenal pada asmanya atau namanya saja . disebabkan keburu betah dan merasa nikmat pada namanya, lantaran kenikmatan dari petunjuk atau nikmatnya.
Umpama diteruskan ma’rifat /mengenal pada Dzat sifat Allah ta’ala tentu kenikmatanya lebih enak daripada mengenal sama namanya saja/asmanya.
Jika dari atas kebawah kita mengingat kata hadis :


AWALUDDINI MA’RIFATULLAHI TA’ALA
Jalanya tidak pesantren saja tetapi harus membersihkan diri badan yaitu harus bisa tirakat dan ikhtiar untuk menanyakan kepada guru yang mursyid, sebab tidak bisa tahu tanpa guru
Maka dimana saja kita harus cari atau susul karena tiada ada tarekat wali yang tidak disusul / cari

AL ILMU YU’NA WALA YA’TI

Artinya (ilmu di datangi bukan mendatangkan)
Karena bisa ma’rifat kepada sifat-sifat Allah ta’ala yang disebut johar awal itu hakekatnya Muhammad sebab apa tidak ada kelebihan pada kta semua ??????
Demikian para tadi juga wali dengan kuat menjalani puasa maksud untuk dicontoh kepada umat-umatnya Rasulullah supaya bisa pulang kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu selagi kita masih hidup carilash tarekat wali karena kalau tidak ketemu tentu kita tidak bisa pulang kepada Allah ta’ala, sudah pasti nyawa kita nanti jadi markayangan atau nitis manitis, tegasnya balik lagi kea lam dunia.


INNA LILLAHI WAINA ILAIHI ROJI’UN
Artinya : (asal dari Allah akan kembali kepada Allah )

Karena itu kita semua merasa bingung, percaya juga lantaran mengingat firmanNYa, tetapi kita tidak merasa pergi dari sana, turun kea lam dunia yang fana ini, tetapi cepat saja kita mengakui dari Allah, tetapi akuanya hanya di bibir, terpaksa kita mengakui karena kebanyakan  tidak mau disebut kafir /kufur, sebab percaya sama dalil tetapi hatinya tetap saja gelap atau tidak mengerti karena tidak merasa dari Allah ta’ala.
Maka dari itu agar kita percaya dan merasa bahwa kita asalnya dari Allah ta’ala : meNurut keterangan :
Maka dengan adanya itu kita harus selidiki dari bawah ke atas agar kita mengerti dan masuk akal.
Kalau kita mengingat , kita dikeluarkan dari mana ????? supaya di mengerti oleh umum.
Kita asal dari ibu, ibu asal dari nenek, nenek asal dari buyut dan seterusnya sampai ke babu hawa, babu hawa asalnya dari iga burungnya nabi Adam AS. Nabi Adam asalnya dari aci atau sari bumi,air,angin dan api. Dan aci bumi, air, angin, dan api darimana asalnya.
Diterangkan dari hadis asalnya dari Nur Muhammad SAW. Cahaya yang 4 (empat) perkara :
1.   cahaya Hitam hakekatnya bumi
2.   cahaya putih hakekatnya air
3.   cahaya kuning hakekatnya angin
4.   cahaya merah hakekatnta api
Dan Nur Muhammad dari mana asalnya ???. diterangkan hadis asalnya Nur Maha Suci itu JOHAR AWAL sampai disini buntu. Karena tidak diterangkan hadis dan Qur’an.
JOHAR AWAL asalnya dari tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, sampai ke isinya semua . demikianlah dalil dari Allah ta’ala, Johar awal sifatnya terang benderang yaitu cahanya dzat dan sifatnya maha suci begitulah kita ma’rifat kepada Allah.
1.   cahaya merah hakekat jadi lafat Alif
2.   cahaya kuning hakekat jadi lafat lam awal
3.   cahaya putih  hakekat jadi lafat lam akhir
4.   cahaya hitam hakekat jadi lafat ha
5.   johar awal hakekat jadi lafat tasdit
Jadi wujud lafat “ALLAH “ demikian keteranganya jadi cahaya yang disebut di atas “ISMUDZAT”  artinya asma’nya DZAT  LAESA KAMISLIHI  atau asmanya “NUR MAHA SUCI” dan jika ahli tafakur disebut lathifah.
Oleh karena sangat penting , harua diketahui untuk kita pulang kesana,maka carilah tarekatnya atau ilmunya yang bisa membuangatau membuka hijab atau dinding yang menggelapkan kepada Dzat sifatnya Allah ta’ala, agar dapat diterima atau ketemu dengan hakekatnya btasdit Muhammad yang ada diwujud pribadi dan itulah kunci Muhammad yang bisa membongkar kepada Allah.
Umpama dapat bertemu insya Allah tentu kita bisa pegang perkataan MULI KA JATI PULANG KA ASAL baru ada rasa jasmani.
Sekarang kita balik lagi pada rasa tadi, waktu jadi NURULLAH (JOHAR AWAL) dan pulang ke asal yaitu jasmaninya menjadi asalnya yaitu menjadi “ NUR MUHAMMAD” cahaya yang 4 ( empat)
1.   api cahayanya merah
2.   angin cahayanya kuning
3.   air cahanya putih
4.   bumi cahayanya hitam
Pulang ke asal katanya sempurna artinya habis bersih habis rasanya habis jasmaninya.


INNA AKRO MAKUM ‘IN DALLAHT AT QOKUM
Artinya : Yang semulia-mulia kamu di sisi Allah, ialah yang setaqwa taqwa kamu.,

MENCARI ALLAH

MANTHOLABBAL MAULANA BIGOIRI NAPSIHI FAQODDOLA DOLLALAN BAIDA.
Artinya : Siapa siapa manusia berkata Allah ta’ala keluar dari dirinya, maka sesungguhnya orang itu kesasar atau sesat karena didalam hatinya merasa lebih jauh sama Allah ta’ala padahal ada dalilinya

WA NAHNU AQROBU ILAIHI MIN HABBIL WARID
Artinya : Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,
atau Allah sudah tidak ada antaranya lagi sama kamu sekalian. Oleh karena itu manusia lebih dimuliakan oleh Allah ta’ala.


WALAQOD KAROMNA BANI ADAM
Artinya : Allah memuliakan kepada anak cucu adam


LAQOD HOLAQNAL INSANA FI AHSANI TAQWIN
Artinya : Manusia itu kejadianya lain dari pada sesame makhluk Allah ta’ala.
Jika kamu sudah tahu ke adaan dirimu niscaya kamu merasa keanehan yang ada di badanmu.


MAN ‘AROFA NAFSAHU FAQOD ‘AROFA ROBBAHU
Artinya : Barang siapa yang kenal akan dirinya, niscaya kenal dengan tuhanya



WAMAN ‘AROFA ROBBAHU FAQOD JAKILAN  NAFSAHU

Artinya : Dan barang siapa yang sudah kenal pada tuhanya tentu dirinya merasa bodo
Oleh karena jasmani kita tidak bisa berbalik jika tidak di daya upayakan oleh Allah ta’ala. Memang benar jasmania itu seperti tempat untuk menyimpan bahan, maka dari itu kita mengaji jangan ngaji kitab yang bisa rusak saja, tetapi harus mengaji ktab yang langgenghatau kitab yang tentu dan kitab yang ada padkita

IQRO KITABQA BINAFSIKA ALYAUMA ALAIKA HASIBA
Artinya : bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu
kamu harus mengaji kitab yang langgengyang ada di diri kamu sendiri. Maka segera cari qodrat. iradatNya Allah pada diri kamu karena didirimu lebih nyata barang-barangya umpama :
1.   hidupnya Allah didiri kamu
2.   penglihatan Allah didiri kamu
3.   pendengaran Allah didiri kamu
4.   pengucapan Allah didiri kamu

WAUWA MA’AKUM A’ENAMA KUNTUM
Artinya : Allah ta’ala itu bersam kamu, dimana saja kamu berada disanalah waja allah
Bersama oleh Allah ta’ala itu yaitu bersama-sama qodrat , iradat dan ilmunya kapan benar di sifat 20 dirangkap-rangkap.
1.   qodrat dan qodirun = kuasa yang maha kuasa
2.   hayat dan hayun = hidup yang maha hidup
3.   sama’ dan sami’un = dengar yang maha pendengar
4.   basher dan bashirun = lihat yang maha melihat
5.   kalam dan mutakalimun = kata yang maha berkata-kata

QODRAT DAN IRADAT

Qodrat artinya kuasa !!! siapa yang kuasa didiri kamu itu ??? tidak ada lagi selain Ayat artinya hidup. Buktinya bisa bergerak.
Iradat artinya kehendak buktinya yaitu
1.   mata bisa melihat
2.   telinga bisa mendengar
3.   hidung bisa mencium
4.   mulut bisa berkata kata

Itu sungguh-sungguh bukti dan sekarang tinggal mencari barangnya saja
Dengan apa sifatnya qodrat dan sifatnya hayat,itu harus diketemukan agar dapat dimengerti oleh akal. Jangan kita percaya sama kata-kata orang tetapi kita harus yakin pada diri sendiri.


WAFII ANFUSIKUM  AFALAA TUBSHIRUN
Artinya : Dan pada dirimu mengapa tidak kamu perhatikan ????


IMAN DAN MA’RIFAT

IMAN artinya percaya
Ma’rifat artinya mengenal

Bukankah berlainan iman denga Ma’rifat  ???? . Demikianlah kita percaya adanya Allah ta’ala maka kita harus mengenal atau ma’rifat kepadaNya.
Umpama tidak dengan sungguh-sungguh imanya, maka dinamai iman taklid, tapi mengakui atau percaya adaanya Allah ta’ala atau hanya kata orang atau tahu dari kitab saja demikian paham semua.
Iman kepada Allah ta ‘ala batas percaya kepada adanya saj seperti pada perbuatan Nya bumi dan langit maka dari itu sama saja yang memeluk agama islam dengan agama lainya. Karena yang memeluk agama lain pun percaya adanya allah ta’ala apakah bedanya agama islam dengan agama yang lain.
Umpama agama islam ada rukunya seperti syahadat, sholat , puasa, sedangkan agama yang lainpun ada syhadatnya dan sholatnya serta puasanya.  Perbedaanya hanya caranya dan bahasanya saja yang lain tetapi maksudnya saya rasa sama saja.
Padahal agama islam yang semulia-mulianya dari pada agama yang lain

INNADDINA INDALAHIL ISLAM
Artinya : Bahwasanya agama disisi Allah ialah islam
AL  INSANU SIRRI WA’ANA SIRUHU
Rahasia Muhammad itu rahasia Allah
Rahasia Allah itu rahasia Muhammad
Tahu Muhammad itu tahunya Allah
Tahu Allah itu tahunya Muhammad
Illa haqqo bila haqqin
Illa haqqin bila haqqo
Muhammad itu hak Allah, Allah itu hak Muhammad
Maka dari itu agama islam yang disebut semulia-mulianya dan setinggi-tingginya dan juga sedekat-dekatnya kepada Allah ta’ala karena tidak ada Allah kalau tidak ada Muhammad, tidak ada Muhammad kalau tidak akda Allah , tidak ada sifat kalau tidak ada dzat tidak ada dzat kalau tidak ada sifat, maka Rasulullah disebut penghulu rasul-rasul atau babuning roh semua.
Karena agama islam yang setinggi-tingginya disebabkan ada hak ma’rifatnya kepada Allah ta’ala buktinya Nabi Muhammad dapat ma’rifat kepada Allah dan semua umatnya
Oleh karena Syarif Hidayatullah wali kutub Cirebon dapat ma’rifat ketemu sama hakekatnya Nabi Muhammad SAW yaitu yang disebut JOHAR AWAL jelasnya sifat NURMAHA SUCI yang bisa datang kepada wali-wali Allah
Maka sejatinya syahadat yaitu gulunganya Dzat dan sifatnya ya yang maha suci. Jadi kita semua bisa ( dapat ) ketemu dengan hakekatnya Nabi Muhammad SAW. Kalau mau menuntut atau memegang ilmu tarekatnya wali Allah, mudah-mudahan kita dapat diakui menjadi umatnya Rasululla, kalau kita sudah diakui insya Allah nanti semua bisa ditolong keselamatanya dari kesucianya.
Apabila kita belum nyata serta yakin kepada Rasulullah baik pada majajinya maupun pada hakikinya tetap saja tidak syah mengakui jadi umat Rasulullah, disebabkan rukun syahadat syah membacanya.
1.   harus menetapkan Dzat Allah ta’ala
2.   harus menetapkan sifat Allah ta’ala
3.   harus menetapkan af’el Allah ta’ala
4.   harus membenarkan Rasulullah
Nah demikian syah membaca syahadat, harus mengetahui dengan sungguh-sungguh serta yakin kepada Allah dan Rasulullah. Sebab bagaimana bisa mengatakan adanya Allah dan Rasulullah apabila kita belumtahu atau ma’rifat pada sifat-sifatnya, maka untuk menentukan kita harus tahu/kenal pada barang-barangnya yang ditetapkan baru benar-benar kita membacanya.
Sebetulnya kalimah syahadat itu bukan diucap saja, bila diucap saja anak kecil pun juga bisa, maka wajib kita harus tahu/percaya, sebab kalau kita tidak tahu/percaya atau mengenal sama saja kit abaca program bioskop yang ramai, tetapi kita tidak menonton, bagaiman kenikmatanya bagi kita ?? ada lagi yang tdak membaca program tetapi menonton maka mana yang lebih utama
Demikian bab agama atau ilmu, oleh karena itu jangan cepat-cepat mengambil jalan yang lain da jangan cepat-cepat tidak percaya karena ini jaman sudah akhir, pikiran manusia sudah begitu maju tidak mau dibohongkan , karena orang sekarang mau bukti serta yakin.
Dan harus diingat sesungguhnya ilmu Rasulullah itu ada 4(empat) derajat atau pangkat
1.   ilmu syari’at
2.   ilmu tarekat
3.   ilmu hakekat
4.   ilmuma’rifat
tetapi jaman sekarang ilmu ma’rifat yang dikejar-kejar sebab ingin melihat Allah dan Rasulullah.


WA’BUD ROBBAQO HATTA YA’TIYAKAL YAKIN
Artinya : Menyembah ke Allah itu harus sungguh-sungguh serta yakin
Supaya syah dzatnya, syah sifatnya,syah af’elnya dan syah asmanya, seolah-olah kita tidak merasa berpisah pada Allah dan Rasulullah siang maupun malam.
Kalau kita sudah merasai yang demikian itu, maka tidak mungkin kita bertingkah laku jelek seperti sirik pidik, jahil dan aniaya pada sesame mahkluk, karena kita merasa diawasi oleh Allah siang dan malam, tidak bisa disembunyikan segala hal perbuatan apa saja seperti Ujub, ria , takabur karena diri kita  merasa tidak ada kekuatan seperti apes, hina do’if dan bodoh, bisa juga ada rezeki dari pekerjaan itupun dengan pertolongan Nur maha suci yaitu qodrat, iradatnya yang kuasa.
Maka sekarang bisa ditentukan manusia yang masih memakai kelakuan seperti sirik pidik, jahil dan aniaya sesame mahluk Allah baik pada hajinya ataupun pada santrinya kiyainya, masih tidak merasa dekat pad Allah dan Rasulullah, lebih-lebih kelakuanya seperti ujub, Ria, dan takabur dan suka mengaku, saya yang benar orang lain salah, saya pintar orang lain bodoh dan saya islam orang lain kapir maka orang yang demikian seolah-olah mengakui qodrat dan iradatnya sendiri tidak menerima qodrat dan iradatnya Allah jadi orang ini merebut kekuasaan Allah.
Bukankah tidak mengaku islam, hanya untuk tuduh menuduh si anu islam si anu kapir karena islam dan kapir hanya Allah dan Rasulullah yang akan menentukan.


FA’LAMUU AYYUHAL IKHWAN ANNA AL’ADHOLA WAL ASAASA HUWA MA’RIFATUL MA’BUUDI QOBLAL IBAADATI WADZA LIKA HAKIKATO MA’NA SYAHADAT
Artinya : Ketahuilah oleh kamu bahwa asal agama yaitu mengetahui tuhan yang disembah sebelumnya membuat ibadat padanya, dan adalah pengetahuan itu hakekat makna kalimah syahadat adanya

FAKHOLLAQU BI AKHLAQILLAH
Artinya : Tumbuhkanlah dalam diri kamu sifat-sifat Allah.

BAB ISLAM
Islam itu suci besih dari segala kotoran !!! apa yang menjadikan kotoran ???? tidak lain dari hawa nafsu, siapa orangnya yang tidak mempunyai hawa nafsu??? Orang yang berbuat ma’siat, itulah orang-orang yang meNurutkan hawa nafsunya.
Karena di ahli agama juga ditetapkan nafsu yang berupa sirik pidik, ujub, ria, takabur nafsu yang ingin dunia saja juga dinamakan nafsu yang sudah kotor saja.
Demikian keterangnya: islam itu tidak dua tiga melainkan hanya satu, itupun go’ib sifatnya, islam itu Nur yang tidak ditentukan oleh nafsu, sebab tadi juga kita ada di alam Nur maka tidak punya nafsu  ingin apa-apa, maka dari itu islam adalah satu-satunya ialah Rasulullah SAW.
Kalau kita tidak kebagian pangkat islam, hanya kita sampai umatnya saja,itupun yang mendapat pangkat umat tidak 1001 sebab kita harus tahu dulu kepada Rasulullah dan menjalani perintahnya.
Tetapi kebanyakan sok mengaku-ngaku saja, seperti saya tahu kepada Rasulullah dan tahu perintah-perintahnya tetapi banyak yang tidak mejalani perintahnya.
Begitu juga rukun islam yang kelima, kita diwajibkan pergi haji ke mekkah dan ziarah ke madinah ke pekuburan Rasulullah dank e baitullah.
Hakekatnya itu harus terang pada hakekatnya Rasulullah dan keratonya Allah ta’ala yang ada di diri kita.

QULLU UMMATIN WA RASULULLAH
Artinya : Semua umat pada ketentuan Rasulullah rasanya Allah
Maka dari itu kita harus mencari, jangan sampai kita menjadi ragu-ragu untuk mengetahui hakekatnya Rasulullah yang ada pada badan kita, kalau kita pergi ke mekkah dan madinah tentu kita tidak bisa, karena syarat-syaratnya tidak mencukupi.
Maka dari itu pergi haji ada 2 macam
1.   haji majaji
2.   haji hakiki
Haji majaji : yaitu yang sudah tahu atau pergi ke baitullah dank e madinah
Haji hakiki : yaitu yang sudah tahu pada haekatnya baitullah dan Rasulullah pada dirinya sendiri
Karena Rasulullah itu tidak mati, umpama Rasulullah mati alam dunia ini juga tidak ada
Kalau kita ingin ketemu kepada sayidina Syarif Hidayatullah wali kutub cirebon juga bisa, tetapi kita harus memegang ilmu atau tarekat, itupun kalau kita ingin jadi umatnya Rasulullah yang disebut johar awal ilmu tarekat di penghabisan para wali Allah


MENERANGKAN UMAT RASULULLAH
Ummat Rasulullah itu hak-haknya ada 4 yaitu
1.   sahabat Abubakar
2.   Sahabat Umar
3.   Sahabat Usman
4.   Sahabat Ali
Sebab yang empat itu segalang segulung  siang dan malam dengan Rasulullah, apa yang diperintahkannya dikerjakan oleh sahabat atau utusannya Rasulullah.
Tetapi sekarang semua orangjuga sudah tahu atau terang bahwasanya sahabat yang empat itu sudah tidak ada atau mati padahal yang mati adalah majajinya sedangkan hakikinya tidak mati, ada di badan manusia, Rasulullah juga hakekatnya ada di manusia.
1.   hakekatnya abubakar nyatanya penglihatan
2.   hakekatnya umar nyatanya pendengaran
3.   hakekatnya usman nyatanya pengucapan
4.   hakekatnya ali nyatanya penciuman
penglihatan, pendengaran, pengucapan dan penciuman itu go’ib dan semuanya tidak ada rupanya maka itulah hakekatnya sahabat
sahabat yang empat pun harus mengetahui hakekatnya Nabi Muhammad SAW dan harus dapat disatukan agar dapat dirasakan bersama-sama siang dan malam dengan Rasulullah
kadang-kadang sudah tidak terasa berpisah dengan Rasulullah baru kita menjadi umatnya
jika kita sudah menjadi umatnya tentu nanti kita akan disempurnakan atau didatangkan oleh Allah yang maha suci atau oleh asalnya yaitu johar awal
demikian pula kalau sekarang kita tidak tahu atau tidak merasa bersatu denga Rasulullah nanti juga terpisah saja atau berjauh-jauhan saja, nyawa kita sudah tentu balik lagi kea lam dunia jadi markayangan atau jadi jurig setan siluman atau nitis manitis lagi ke manusia atau ke binatang, nyawa yang begini akan celaka , pasti masuk neraka sesudah kiamatnya alam dunia karena nyawa yang begitu tidak bisa pulang kepada Allah dan sekarang ada di alam barjah menanti-nantikan hukuman, tetapi ingat nanti akan ada hukuman yang lebih besar dalam qiamatnya alam dunia.
WAL YAUMIL AKHIR

RUKUN IMAN
WALAQODRI KHOIRIHI WASARRIHI MINALLAHI TA’ALA
Artinya : Untung jelek dan baik, dari Allah sampai disini orang percayanya
Maka dari itu jangan sampai keliru. Kita harus pikirkan yang betul-betul karena Allah itu sifat yang maha suci
Apakah mungkin kepada Allah yang maha suci itu untuk menyiksa dan menghukum mati di akhirat ??? umpama yang suci menyiksa, kalau begitu Allah ta’ala menjadikan manusia mengharapkan paedah. Apakah sucinya Allah ta’ala tidak sempurna??? Tetapi kita harus percaya sama dalilnya dan harus percaya adanya surga dan neraka atau adanya nkmat tidak nikmat di akherat.
Di dunia ini juga sudah ada kenyataanya dan dapat dirasakan adanya nikmat atau tidak nikmat. Sebetulnya sorga dan neraka itu, bukanya di Allah ta’ala, sebaliknya ada pada kita ialah dengan tekat, ucap dan perbuatan kita selagi hidup di alam dunia yang fana ini.
Sebab Allah menjadikan manusia itu, dengan sekali jadi tidak pakai satu-satu hanya sekaligus QUN FAYKUN tergelar cukup sama sekali hanya perabotnya saja apakah perabot yang dikasih oleh Allah ta’ala ???

Yaitu anggota badan seperti : 2 tangan, 2 mata, 2 telinga, 2 kaki, 1 hidung, 1 mulud
Dan dengan nafsu yang empat : 1. Amarah, 2. loamah, 3. mutmainah, 4. sawiyah.
Inilah  keterangan dalilnya Allah ta’ala
Maka dari itu jika kamu ingin ke neraka atau di tempat yang tidak ada nikmatnya, maka kamu berbuat saja dengan tingkah laku yang kurang baik, kapan prabotnya sudah diberikan oleh Allah ta’ala yaitu nafsu yang dinamakan amarah, loamah dan sawiyah, demikian pula jika inginkan surga atau di tempat yang ada nikmatnya, maka kamu perbuat saja  dengan tingkah laku yang baik. Kapan perabotnyasudah diberiksan oleh Allah ta’ala yaitu nafsu yang dinamakan mutmainah dengan adanya itu maka Allah ta’ala adakan surga dan neraka.
Di dunia sama saja dengan di akherat, kalau kamu tidak merasa takut pada hukum  Allah, tentu perbuatan kamu itu banyak yang jahatatau banyak yang ma’siat, kalau kamu takut pada hokum Allah tentu perbuatanmu itu harus yag baik karena dalam perbuatan kamu sehari-hari itu bukan untuk orang lain tetapi untuk kamu sendiri dalam perbuatan kamu itu berlaku di dunia sampai ke akherat.
Oleh karena itu kita semua harus berhati-hati untuk menggunakan perabot yang diberikan oleh Allah ta’ala dan harus dipergunakan denga budi dan kebijaksanaan
Dan jangan selalu dipergunakan prabot nafsu amarah, loamah dan sawiyah gunakanlah nafsu mutmainah. Demikianlah kita harus hati-hati dalam perbuatan sehari-hari karena nanti di akherat hanya Allah yang akan menentukan dalam perbuatan yang dilakukan selama di dunia yang fana ini.

HASIBU QOBDA ANTU HASABU
Artinya : Hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung.
Bagaimana akal agar dapat kita gunakan prabot mutmainah????  Tidak ada jalan lain hanya kita ma’rifat kepada Allahdan Rasulullah, agar kita dapat berhubungan siang malam pada Allah dan Rasulullah, karena kalau sudah dapat berhubungan insya Allah mudah-mudahan kita bisa baik, ibadahnya dan syah dalam perbuatanya
Negara juga tentu aman
1.   annafsu al amorah bisu = nafsu menyeru kejahatan
2.   annafsu al lowamah = nafsu mencela
3.   annafsu al mutmainah = nafsu yang tenang
4.   
PASAL QUR’AN

Pasal Qur’an itu ada epat perkara
1.   Qur’anul  majid/majaji
2.   Qur’anul karim
3.   Qur’anul ‘azhim
4.   Qur’anul hakim
Qur’anul majid yaitu Qur’an yang ada hurufnya, umum dibaca / di uji ke kaum islam se alam dunia
Qur’anul karim yaitu Qur’an yang mulia nyatanya yang itu-itu juga yang ada tulisanya karena itu yang mulia kan ke kaum islam-islam se alam dunia
Qur’anul ‘azhim yaitu Qur’an yang agung, disebutkan barangnya itu-itu saja juga Qur’an yang suka dibaca sebab itu Qur’an yang di agungkan oleh kaum islam se alam dunia
Qur’anul hakim yaitu Qur’an yang suci dan yang langgeng, ditunjuk barangnya itu-itu juga, buktinya Qur’an yang ada tulisanya karena yang suci dan langgeng itu hukumnya dari dunia sampai akherat.
Demikan Qur’an yang empat perkara itu, didalam suratnya ahli sar’i atau ahli inti jadi diborong saja walaupun ada empat tapi barangnya itu-itu juga.
Jadi kalau begitu Qur’an tulisanya dianggap tepekong ????? memang Qur’an itu sesungguhnya di tulis oleh manusia jadi mana yang disebut Qur’an itu yang mulia yang agung yang suci dan langgeng ??? karena sesungguhnya Qur’an yang ada tulisanya dapat rusak, kalau kaum islam teguh dalam tekadnya Qur’an itu tidak ada bedanya dengan agama cina. Karena apa ?? karena cara menyembahnya kepada ketuhananya pada barang yang baru.
Maka dari itu saudara-saudara kaum islam jangan sampai keliru, dengan adanya itu maka saya disini akan menerangkan pasal Qur’an yang empat
1.   Qur’anul majid, itu cocok barangnya ialah Qur’an majaji yang bukti ada hurufnya yang dibaca semua kaum islam.
2.   Qur’anul karim artinya Qur’an yang mulia nyatanya tangan dan jari karena sesungguhnya tulisan itu asal dari tangan dan jari jadi yang mulia itu adalah tangan dan jari karena dialah yang memulai membuat atau menulisnya.
3.   Qur’anul ‘azhim ialah Qur’an yang agung nyatanya mata karena tangan dan jari tidak bisa menulis kalau tidak ada mata maka yang agung itu ialah penglihatan yang pertama yang mengetahui Qur’an.
4.   Qur’anul hakim ialah Qur’an yang suci dan langgeng nyatanya hidup karena tangan  jari dan mata tidak bisa menjadikan kalau tidak ada hidup maka yang suci dan langgeng ialah hidupnya yang pertama dapat atau tahu adanya Qur’an.
Demikian keteranganya kalau kita ingin menguji kesucianya dan kesempurnaannya dari Qur’an yang empat perkara.
Pertama kita harus membaca Qur’anul majiji yang ada hurufnya itu bagia ilmu syari’at sesudah terus di aji supaya mengerti akan maksud-maksunya dan dibaca dengan dikerjakan itu bagian ilmu tarekat sampai terasa karena itu Qur’anul majid/majiji, untuk mengetahui kepada Allah dan Rasulullah jalanya tidak ada lagi melainkan masuk ilmu tarekat yaitu qur;anul karimartinya harus mengaji pekerjaan tangan dan jari, kita akan sampai Allah dan Rasulullah, karena Allah ta’ala memberikan tangan dan jari pada manusia bukan dipakai untuk menjadikan barang dunia yang dapat rusak saja, tetapi harus dipakai petunjuk untuk mengetahui kepada Allah dan Rasulullah supaya tangan dan jari kita Mulia
ASOBI AHUM FI AZANIHIM  MINAS SHOWA IKI HAZAROL MAUT WALLAHU MUHITUM BIL KAFIRIN
Artinya : Kalau tangan dan jari kita tidak dipakai untuk jalan mati, tetap tangan dan jari kita , martabatnya jadi tangan dan jari hewan kafir tentu akan ke neraka.
Dan qur’aul karim harus naik lagi ke Qur’anul ‘azhim itu bagian ilmu hakekat harus mengaji pekerjaan mata kita yang menuju ‘azhim pada barang yang agungyaitu hakekatnya Allah dan Muhammad, karena Allah memberikan awas penglihatan pada manusia bukan bukan dipakai untuk mengawasi barang yang baru yang dapat rusak tapi harus dipakai mengawasi pada hakekatnya Allah dan Rasulullah yaitu yang disebut Qur’anul hakim yang langgeng atau sifatnya hidup bibitnya tujuh bumi dan tujuh langit sekalian isinya semua karena dari sana kita asal usulnya.
Demikian kita ma’rifat kepada Allah yaitu yang sudah tahu dengan hakim pada hakekatnya Allah dan Muhammad, tegasnya johar awal, tetapi jangan keliru, bisa menetapkan johar awal itu pada terangnya matahari yang kelihatan oleh mata itu yang dikatakan johar firid yang disebut bagian sorga loka Dewa tempatnya di gunung Himalaya.
Perkara johar awal yang sejati yaitu yang disebut johar latif tegasnya qo’ib tidak bisa dilihat oleh mata yang ada.


RU’YATULLAHI TA’ALA FIDDUNYA BIL AINIL QOLBI
Artinya : Melihat hakekatnya Allah ta’ala di dunia harus dengan hati.
Tegasnya hakekatnya Rasulullah sifatnya manusia tidak ada yang bisa ma’rifat ke sana,maka manusia Cuma dipakai untuk tempat melihat Rasulullah pada hakekatnya Allah.
Kadang-kadang wujud kita bisa menceritakan atau dipakai tempat melihat Rasulullah pada Allah, tentu jari kita menceritakan atau tahu pada Allah, sebab sudah diberi tahukan oleh Rasulullah jadi kita diberitahu dan diberi nikmat oleh Rasulullah dari dunia sampai ke akherat.

Setelah itu kita tidak ingkar sebab sudah tetap kita merasa jadi umatnya Rasulullah.
Maka dari itu dari sekarang juga kita sudah terasa tidak terpisah dengan Rasulullah sebab wujud kita siang malam dengan Nur suci insya Allah mudah-mudahan tekat denga tingkah laku kita tidak lama juga bisa terbawa suci, setan-setan tidak dekat tetapi inipun yang ma’rifat serta tahuid.
Kalau tidak ada tahuidnya orang itu selalu ingkar sajawalaupun orang itu sudah memegang ilmu tarekat tetapi tidak juga  merasa takut dan malu maka tenang saja dalam perbuatan dengan tingkah laku semau-maunya.

Jadi orang yang demikian disebut ma’rifatnya, ma’rifat mikung maka di dunia tidak dapat syafa’atnya dari Rasulullah karena di duniapun orang itu tidak lepas dari kesusahan dapat murka dari yang maha suci, ibarat lampu dikurung semprong yang kotor, sudah tentu cahaynya menjadi gelap maka dari itu kita harus suci sesucinya . suci isinya suci kulitnya agar di alam dunia tidak lepas lag dari kenikmatannya sampai akherat.

Maka dengan adanya ini saudara-saudara yang sudah ada jalan ke mar’rifatan tekat dan tingkah laku yang kurang baik itu harus dijaga betul-betul jangan sampai asal tahu saja tapi harus dibarengkan dengan tekat dan tingkah laku yang yang baik sebab kalau kita melakukan pekerjaan ma’siat itupun sudah melanggar hukum syariat itupun kita sudah tahu dalam perbuatan kita yang tidak baik atau yang baik.

Maka kalau kita kerjakan perbuatan semacam itu hukumanya lebih besar dari pada yang belum tahu bedanya atau buktinya seperti di dunia orang kampung mencuri ayam paling dihukum tiga bulan atau didenda coba kalau lurah mencuri ayam tentu lebih berat hukumanya karena pangkatnya dicabut dari jabatanya tentu perkaranya dua atau tiga perkara.

Demikian yang sudah tahu kepada Allah dan Rasulullah maka harus ingat perjanjian guru Mursid : IBADAH BERSAMAAN DURHAKA BERPISAHAN

MENERANGKAN M,ARTABAT ALAM TUJUH
1.   ALAM AHADIAT HURUF  A
2.   ALAM WACHDAT HURUF LLAH
3.   ALAM WACHIDIAT HURUF MU
4.   ALAM ARWAH HURUF HA
5.   ALAM AJSAM HURUF MAD
6.   ALAM MISAL HURUF A
7.   ALAM INSAN KAMIL HURUF DAM
Buktinya alam dunia juga isinya Cuma tujuh hari hakekatnya yaitu lelakon Allah, Muhammad, adam, maka dari itu semua wajib mengetahuinya. Umpama kita ingin tahu pada asalnya , kalau tidak diketahui dari sekarang jalan-jalnya atau barang-barangnya sudah pasti kita bisa kesasar,kalau mati bisa balik lagi pada asal sebab kita tidak ketemu sama jalanya sedangkan waktu tadi sudah terang kita turunya dari Akherat ke Alam dunia
Sekarang saya ingin menerangkan martabat alam tujuh serta di ibaratkan atau dibuktkan dengan gambar supaya gampang / mudah di artikan.
Tafsirnya huruf A sampai B-G sesuai denga gambarnya


ALAM AHADIAT = MARTABATNYA YANG MAHA SUCI

DZAT LAESA KAMISLIHI

Dzat yang tidak seumpama
Dasar bagaimana yang tidak bisa diumpamakan ??? apakah dasar yang kuasa ??? apakah dasar yang satu-satunya??? dan apakah dasar yang agung ???
Dengan dasar ke kuasaan di dalam jaman itu belum ada perbuatan, sebab dinamakan kuasa harus ada buktinya dulu yang dibuatnya, karena di dalam alam ahadiat jangankan manusia sedangkan akherat dan alam dunia juga belum ada.
Dengan dasar satu-satunya pada jaman itu belum ada dua tetapi sesudahnya ada yang banyak
Dengan dasar agung belum ada yang hina di dalam alam ahadiat sebab ada bahasa agung yang sesudahnya ada yang hina.
Bagaimana diartikanya ??? supaya dalil DZAT LAESA KAMISLIHIjadi satu ??? maka mufakat alam ahadiat yang disebut pada dalil DZAT LAESA KAMISLIHItegasnya dasar yang suci artinya bersih tidak ada sifat-sifatnya dan tidak ada asmanya
Kalau begitu dengan apa diumpamakanya , kalau tidak ada sifat-sifatnya ??? dengan dalil yang maha suci berbunyi BILLA HAEFFINartinya tidak warna tidak rupa , tidak merah , tidak hitam tidak gelap dan tidak terang. Billa maqonin artinya tidak arah tidak tempat, tidak di barat, tidak di timur, tidak diatas , tidak dibawah demiianlah keterenganya.
Maka dari itu Nur Maha Suci tidak bisa diumpamakan, jangankan ditempat-tempatatau ditunjuk di sini atau di sana karena terburu lainsebab terhalang oleh bukti.


ALAM WACHDAT : MARTABATNYA SIFAT YAG MAHA SUCI
Di alam Wachdat DZAT LAESA KAMISLIHIjadi dzat sifat rupanya terang –benderang yaitu disebut Johar Awal. Johar artinya cahaya , awal artinya permulaan yaitu yang mula-mula sebelum ada bumi dan langit apalagi manusia. Johar awal itu yang disebut hakekatnya hakekatnya Muhammad.

ALAM WACHIDIAT : MARTABATNYA ASMA’ YANG MAHA SUCI
Kejadian dari joha awal . alam wachdat tadi keluar cahaynya jadi empa rupa yaitu :
1.   narun cahaya merah (amarah)
2.   hawaun cahaya kuning ( lau’amah)
3.   ma’un cahaya putih (mutmainah)
4.   turobun cahaya hitam (sauliyah )

cahaya yang empat itu disebut Nur Muhammad,kalau Nur Muhammad, johar awal , barang Muhammad, cahaya yang empat itu disebut hakekat adamyaitu asmanya yang maha suci .
1.   cahaya merah jadi hakekat alif
2.   cahaya kuning jadi hakekat lam awal
3.   cahaya putih jadi hakekat lam akhir
4.   cahaya hitam jadi hakekat ha
5.   cahaya johar awal jadi hakekat tasdit
syari’atnya jadi laffal Allah yaitu cahaya yang disebut diatas yang menjadikan bibittujuh bumi dan tujuh langit dansekalian isinya begitu juga agama asalnya dari sini.
Sesungguhnya semua juga dari asma’nya Allah hakekatnya ialah Muhammad  (Nur) cahaya yag empatperkara kelima johar awal.

ALAM ARWAH : MARTABATNYA AF’ELNYA ALLAH TA’ALA
Allah ta’ala yang menjadikan alam dunia demikian kata akal dalam perbuatnya seperti boskopyaitu istijradnya bangsa yang diceritakan yaitu listriknya.

  Kalau Nur Muhammad alam wachidiat yaitu bacaanya
1.   narun ibarat kaca merah
2.   hawaun ibarat kaca kuning
3.   ma’un ibarat kaca putih
4.   turobun ibarat kaca hitam
Kaca yang empat rupa itu disenter oleh johar awal kejadianya keluar bayangannya :
1.   dari kaca merah menjadi api alam dunia
2.   dari kaca kuning menjadi angin alam dunia
3.   dari kaca putih menjadi air alam dunia
4.   dari kaca hitam menjadi bumi alam dunia
Kuasa-kuasanya Allah ta’ala sekali ujud jadi alam dunia yaitu jagad kabir, sesungguhnya alam dunia kejadianya dariNur Muhammad.


ALAM AJSAM : MARTABATNYA MANUSIA
SESUDAHNYA TERJADI ALAM DUNIA
Yang maha suci menghendaki lagi untuk membuat adam majaji terus menyuruh kepada malaikat turun kea lam dunia untuk mengambil aci atau sari api, angin. Air , bumi, setelah dapat aci-aci yang empatperkara itu lalu dijadikan
Aci api kejadianya darah – daging
Aci angin kejadianya otot –sumsum
Aci air kejadianya urat- balung
Aci bumi kejadianya kulit -bumi

Kuasanya Allah ta’ala ujud saja jadi dalil MUHAMMAD yaitu
1.   cahaya hitam jadi hakekatnya huruf mim
2.   cahaya putih jadi hakekatnya huruf ha
3.   cahaya kuning jadi hakekatnya huruf mim
4.   cahaya merah jadi hakekatnya huruf dal
5.   johar awal jadi hakekatnya huruf tasdit (pantulan sad’dah)

Kejadian huruf Muhammad sebaliknya dari huruf Allah
mim awal huruf Muhammad tegasnya kepala
ha awal huruf Muhammad tegasnya dada
mim akhir huruf Muhammad tegasnya pusar
dal akhir huruf Muhammad tegasnya kaki
Tetapi sesudah berupa manusia masih belum bisa bergerak, cepatnya terus dilobangkan empat di mata di telinga di hidung di mulut setelah itu dimasukan dalam lobang-lobang itu oleh sorotan atau senter dari Nur Muhammad kejadianya bisa bergerak seperti adam atau jagad kabir jadi sesungguhnya sekarang juga hidupnya manusia, karena adanya cahaya, sebaliknya matinya manusia karena tiada adanya cahaya pada jagad sogir atau jasad  maka sudah tidak ada kekuatanya, buktinya cepat berubah menjadi buruk atau jelek.
Demikian pula jagad kabir yaitu alam dunia yang paling kuat karena masih diliputi oleh sorotanya Nur Muhammad, tetapi kalau sudah kiamat alam dunia ini sebagaimana seperti manusia sudah tidak ada cahayanya yaitu gelap saja, bulan bintang dan alam dunia pasti rusak yang ketinggalan hanya di dalam bumi tinggal gelapnya di dalam air tinggal dinginya di dalam angin tinggal hawanya , di dalam api tinggal panasnya.
Siapakah yang akan menenpati di dalam neraka ?????. yang menempati di dalamnya yaitu IDAJIL LANATULLAH dengan kawan-kawanya dengan nyawa manusia yang tidak bisa balik lagi kepada Allah, sebab waktu hidupnya di alam dunia tidak dapat melawan penggoda-penggoda dari setan, karena tidak iman kepada Allah dan Rasulullah.
Karena idajil lanatullah itu tadinya juga malaikat atau kekasih Allah ta’ala sebelumnya ada nabi adam, setelah kejadian nabi adam, semua malaikat diperintahkan untuk sujud kepada nabi adam hakiki, tetapi hanya idajil yang tidak mau, karena dianggap kejadianya lebih tinggi dari adam diwaktu itu. Allah ta’ala murka kepadanya,mulai hari ini kamu tidak boleh kembali lagi ke surga, kamu harus tetap di alam dunia, tapi nanti kamu ditetapkan di dalam dasar neraka sesudahnya kiamatnya alam dunia.
Karena sangat sombongnya idajil itu sanggup saja asal dapat ijin untuk menggoda anak anak cucu adam atau umat manusia untuk temanya di dalam neraka. Allah ta’ala mengijinkan dalam permintaanya, tetapi siapa-siapa yang tidak iman kepada Allah dan Rasulullah.
Demikian kita balik lagi soal kejadian Adam Majaji. Kejadian itu dari acinya api, angin, air dan bumi. Boleh saja barangkali yang membaca atau mendengarkan ini kitab menyangka seperti api,angin,air bumi diperasseperti sagu singkong.
Sebetulnya kejadianya bukan begitu, jadi yang disebut aci api,angin,air , bumi buktinya yang jadi ditanah seperti pohon yang besar dan yang kecil untuk membesarkan pohon itu harus dengan empat perkara  yaitu :
1.   harus diam ditanah
2.   harus kena panas
3.   harus kena air
4.   harus kena angin
misalnya cukup dengan keteduhan saja tidak menjadi buah oleh karena pohon harus lama diam ditanah, lama kena panas, lama kena air, lama kena angin jadi hawanya sudah masuk kedalam pohon setelah besar pohon itu lantas keluar buahnya.
Begitu juga kejadian nabi adam, hanya bedanya kejadian adam sama kita, adam dijadikan oleh Allah dan siti hawa, kalau kita umpama bebuahan harus dimakan dulu baru ada kejadianya.
Wadi, madi,mani,maningkem itu sudah kontak dengan sorotanya Nur Muhammad yaitu cahaya yang empat perkara.
Maka dari itu kalau barangnya sudah kumpul menjadi satu baru berupa bayi didalam perut ibu, umpama tidak jadi yaitu tandanya tidakl kumpul tegasnya tidak bertemu denga Nur atau roh. 
Oleh karena Allah ta’ala kuasa menjadikan dan kuasa meniadakan maka manusia itu tidak ada ke Kuasaanya hanya jadi perantara. Atau hanya bisa mengadakan tempat roh saja yaitu sekedar yang dimakan, dan kalau ibu – bapak kita tidak makan tentu tidak ada air maninya.
Kalau bayi waktu di dalam perut belum ada nyawanya yang ada hanya hidup dengan roh suci. Maka tidak ada rasa apa-apa, barang keluar roh suci tadi kontak dengan hawa alam dunia yaitu hawanya api, air,angin, dan bumi, kejadianya pada bayi ada napasnya atau sifatnya, nyawa yaitu hakekatnya rasa jasmani di dalam waktu itu. Mata bisa terbuka tapi tidak ada awasnya,kuping berlubang tapi tidak ada pendengaranya, hidung berlubang tapi tidak ada penciumanya, mulut terbuka tapi tidak ada cerita hanya ada suarnya saja, setelah diberi susu dan makanan apa saja yaitu dari acinya yang empat perkara.
Demikian pula kejadian darah empat perkara yang disebut roh jasmani. Darah yang empat rupa temu ketemu dari.
1.                darah hitam : kejadian dari aci bumi, ketemu dengan kulit membesarkan kulit bayi, hawanya keluar dari mulut buktinya bisa bicara.
2.                Darah putih : kejadianya dari aci air, ketemu dengan tulang membesarkan tulang bayi, hawanya keluar pada mata buktinya bisa melihat dan awas.
3.                darah kuning : kejadianya dari aci angin ketemu dengan sumsum bayi, hawanya keluar pada hidung buktinya bisa mencium
4.                darah merah kejadiannya dari aci api ketemu dengan daging membesarkan daging bayi, hawanya keluar pada kuping,  buktinya bisa mendengar.
Sesudah badanya bayi berubah keluar lagi hawanya yaitu nafsu yang empat perkara. Amarah, loamah, mutmainah dan sawiyah. Buktinya segala  keinginanya yang baik atau yang buruk
Demikianlah membesartkan jasad seperti tenaga, pikiran, akal, tidak lain hanya pertolongan roh-rohnya bumi,air,angin dan api karena tidak ada kejadian lagi disana, maka dari itu agar perabot –perabot yang diberikan oleh Allah ta’alam harus digunakan untuk ibadah di jalan kebaikan dan cari untuk mengetahui jalan pada asalnya kepada Allah, supaya nanti kita terbawa sempurna, tegasnya supaya terbawa balik lagi kepada Allah karena manusialah yang ditetapkan agama dan ketitipan ilmu  yang akan bisa menyempurnakan roh-roh se alam dunia untuk di bawa balik lagi ke Allah.
Maka semua roh-roh se alam dunia juga masuk ke manusia, dengan roh-roh bumi,air,angin,dan api dan juga roh-roh hewan yang halal dan yang haram yang bersih dan yang najis itu semuanya masuk ke manusia.
Demikianlah jalan-jalanya seperti pohon kayu, memang tidak dimakan tapi kayunya dibuat centong atau sendok nasi, tentu rohnya masuk ke nasi dan juga barang hewan yang haram, jenisnya tak dimakan, tetapi kalau mati di air seperti bangkai dimakan ikan, ikanya dimakan manusia, maka manusia sebagai jembatan pada roh yang ada di alam dunia untuk dapat balik lagi kepada Allah ta’ala.
Maka dari itu Allah ta’ala disebut yang maha suci, karena Allah ta’ala tidak menyiksa atau menghukum, sesunguhnya yang menyiksa atau menghukum yaitu dari perbuatanya kita sehari-hari dan roh-roh segala macam yang sudah masuk kepada manusia itu yang akan menyiksa sebab tidak bisa manusia membawa balik kepada Allah ta’ala.
Roh api nanti yang akan menjadi neraka panas
Roh air nanti yang akan menjadi neraka dingin
Roh bumi nanti yang akan menjadi neraka gelap
Roh hewan yang menggigit pada nyawa manusia.

ALAM MISAL : MARTABAT ILMU
 Siapakah manusia di dunia yang sudah ma’rifat pada asal ujudnya ??? lautan adam.
Alam ajsam : ilmunya sudah sampai pada pangkat misal artinya sudah tahu pada asal yaitu cahaya merah kuning, putih dan hitam, nanti kalau matinya akan masuk surga didalam kenikmatan yang tidak ada bandinganya serta langgeng tidak putus-putusnya.

ALAM INSAN KAMIL : MARTABAT KESEMPURNAAN
Kadang – kadang manusia di dunia sudah bisa ma’rifat nya lah yang disebut johar awal atau wahdat pada ilmunya sudah sampai pada pangkat insan kamil mukamil artinya sempurnaan dari pada sempurna, maka habis rasanya habis jasmaninya, jadi lagi DZAT LAESA KAMISLIHIseperti waktu sebelumnya kita turun kea lam dunia.
aaaammmiinnn
-ooo-

17. BAB ; Buka AURA …………
Hong....Sumujud Ngarso Dalem Gusti Ingkang Maha Suci...Sumungkem Ngarso Dalem Para Pepunden Sari...Sari Utusaning Gusti....Sembah Sedaya Panelangsa Dalah Panjangka Sedaya Titah...Nyuwun Berkah Lan Pangayoman....Sedaya Panelangsa Nyuwun Ushada...Sedaya Panjangka Nyuwun Sembadha...Berkah Nyuwun Lumintuning Rejeki Ingkang Agung Rahayu...Pengayoman Nyuwun Slamet Sa'Rakyat Sa'Bandhane Ing Donya Dumugi Delahan....Mugi-Mugi Tansah Lestari....Kerso Saking Kuwasaning Gusti Ingkang Maha Suci....
Buka AURA ;
Pengaktifan, Penyelarasan, Pengukuhan AURA

~Membangkitkan Keberuntungan
~Meningkatkan Inner Beauty & Kharisma
~Meningkatkan Daya Ingat, Kecerdasan & Kreatifitas
~Menambah Daya Tahan Tubuh
~Menggairahkan Semangat
~Menstabilkan Emosional

AURA adalah pancaran diri yang berasal dari PENCIPTA dan kita miliki semenjak lahir. AURA sendiri tanpa kita sadari sebenarnya menujang segala aspek kebutuhan hidup. Dimana bila saat pancaran diri mulai redup, masalah yang kita hadapi akan terasa sangat berat. Berbeda dengan saat pancaran tersebut sangat kuat. Beban hidup terasa seringan kapas.

Perputaran hidup manusia mengikuti perputaran alam yaitu bulan yang berjangka 35 hari. Dalam kurun waktu tersebut terjadi gejolak dan perubahan pada diri manusia. Maka mempengaruhi pancaran AURA pula. Pada saat itulah berikan perhatian kepada AURA yang sepanjang hidup kita selalu menyelimuti dan bias menghantar pada tujuan hidup yang diinginkan. Aktifkan, selaraskan dan kukuhkan AURA. Bagaikan mesin yang perlu ganti oli dan perawatan rutin. Namun bila sebelum 35 hari mengalami redup atau berubahnya pancaran tersebut, ditandai dengan kurangnya pengendalian diri. Sebaiknya segera saja berikan perawatan terhadapnya.

Berbagai macam manfaat AURA:
~Membangkitkan Keberuntungan
Pancaran AURA yang kuat menciptakan sebuah hubungan antara Insan dengan Khaliknya (YOGA) semakin kuat pula. Membuat kita semakin dekat kepada SANG PENCIPTA. Karena sebuah kedekatan denganNYA maka Berkah dan Perlindungan akan selalu diterima.
~Meningkatkan Iner Beauty dan Kharisma
Secara tak disadari pancaran AURA yang bagus membuat kita terlihat menawan, anggun dan bersahaja. Bagaikan seorang bayi yang baru lahir. Menarik perhatian setiap insan yang memandang.
~Meningkatkan Daya Ingat, Kecerdasan dan Kreatifitas
Terbebasnya beban pikiran yang memusingkan mempengaruhi kinerja otak semakin meningkat. Karena kebanyakan orang selalu membatasi dan memenjara jiwa eksploritasi dengan pola pikirnya.
~Menambah Daya Tahan Tubuh
Keteraturan pola pikir mempengaruhi pola makan menciptakan pola hidup. Pola hidup yang baik menjadikan kita selalu dalam kondisi sehat.

~Menstabilkan Emosional
Dengan memandang hidup tak serumit yang dibayangkan akan membuat pikiran dan perasaan negatif menjadi positif. Pikiran dan perasaan positiflah yang mengatur emosional bahkan hawa nafsu kita.
~Menggairahkan Semangat
Bara api semangat selalu berkobar dan selalu bergairah manakala seseorang merasa berperasaan baik dan berhasrat bagus.

Pikirkan yang anda inginkan bukan yang tak diinginkan dan isi dengan kebahagiaan. Ingatan, imajinasi, khayalan bukanlah pikiran. Berpikirlah namun tak bersandar pada keadaan diri. Yakin dan mantaplah penuh keberanian hadapi hidup dan kehidupan. Segala sesuatu mungkin dan bahkan bisa terjadi di dunia ini.

MENJADI ORANG KAYA.
Pada jaman sekarang ini, seiring dengan pesatnya kecanggihan tekhnologi yang semakin maju. Membuat orang semakin gelisah. Dikarenakan kebutuhan dan gengsi yang selalu menuntut. Meskipun dirinya tak merasa demikian. Apalagi sering kali terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan bahkan berskala global. Semakin merasa berat pula beban yang dipikul di pundaknya. Bagaimana tidak demikian? Setiap manusia adalah individu yang unik. Mana kala terjadi sesuatu hal yang jauh dari jangkauan nalarnya, kecemasan dalam hati muncul. Diiringi bayangan-bayangan nan menakutkan menghiasi kejernihan pikirannya. Padahal belum tentu benar berita yang tersebar hingga terdengar di telinga. Bila kita tak mawas diri, semua bentuk kejadian dapat melukai diri kita secara tak disadari.

Dengan mengendalikan jiwa dan memusatkan pikiran pada hal yang positif saja. Kita akan dapat melalui segala rintangan hidup. Rintangan hidup sebenarnya berasal dari pribadi. Pribadi yang baik selalu dapat mengendalikan jiwanya. Sering kali manusia menginginkan sesuatu yang lebih dan berlebihan. Padahal sesuatu yang berlebihan dan dilebih-lebihkan biasanya akan menjadi tidak baik. Rata-rata sering dijumpai manusia memperkaya diri dengan jalan menyimpang dari norma dan susila. Banyak jalan menuju kebahagian, namun banyak pula jalan menuju kesengsaraan. Terbukti dengan banyaknya kasus-kasus kriminal, penipuan, manipulasi dan kesewenangan. Bersihkan diri pribadi dari semua keangkara murkaan.

Dengan mengendalikan sifat-sifat manusiawi. Jiwa yang baik pasti berkelakuan baik, ditandai dengan terlihat dari segala tindakannya yang selalu baik. Cara berpikirnya pun pasti baik. Jarang menunjukkan dirinya sedang dalam kesusahan. Walau harus kerepotan, dirinya rela membahagiakan orang-orang terdekatnya, lingkungannya bahkan yang pernah menyakitinya. Raihlah kebahagiaan mutlak, tinggalkan segala kepedihan derita hidup.

Derita hidup hanya untuk orang yang tersesat. Kebahagiaan milik seluruh insan. Mengapa kita harus memikirkan terjalnya jurang tingginya langit yang memusingkan kepala? Ada beberapa manusia yang selalu mengatakan bahkan merasakan kesengsaraan. Sengsara sebenarnya berasal dari yang menjalaninya sedang bahagia mutlak bawaan lahir. Bila di kaji lebih dalam, bahagia atau sengsara semua ada pada diri pribadi. Hidup yang kita jalani tergenggam dikedua telapak tangan kita. Pilihan selalu ada dan mengharap sentuhan lentik lembut jemari tangan.

Manakala di persimpangan kebanyakan orang hanya duduk diam termangu termenung dan akhirnya tersesat. Apakah hal ini selalu kita harap dalam kehidupan? Hidup untuk menjadi kaya. Perkayalah diri dengan menjalani merasakan menikmati kebahagian mutlak. Kesejahteraan kemakmuran kedamaian hanyalah sebuah kiasan. Banyak masyarakat berlatar belakang berkelebihan materi namun sering kali merasa kekurangan. Sebaliknya ada orang bersahaja kebingungan harta.

Lalu bagaimanakah cara "MENJADI ORANG KAYA" itu?????

Pikirkan yang kita inginkan bukan yang tak diinginkan, isi dengan kebahagiaan. Ingatan, imajinasi & khayalan bukanlah pikiran. Berpikirlah namun tidak bersandar pada keadaan diri kita saat ini. Berikan perhatian positif pada pikiran kita. Ketenangan hati sangat di butuhkan dalam kejernihan berpikir. Sadarilah bahwa segala sesuatu yang kita alami saat ini adalah hasil dari buah pikiran kita di masa lalu. Dan segala keadaan kita di masa yang akan datang adalah hasil dari buah pikiran kita saat ini. Kebanyak orang mengatakan dirinya sengsara dengan hidupnya yang tak menentu arah. Dengan demikian kebanyakan orang secara tidak disadari menghukum dirinya sendiri. Padahal menghukum diri sendiri adalah perilaku yang kurang baik. Yang hanya akan mendatangkan keadaan semakin terpuruk. Ingatlah ketika kita mengkhawatirkan sesuatu keterpurukan. Maka datanglah keterpurukan itu.

Semakin dalam mengkhawatirkannya semakin dalam pula keterpurukan terjadi. Dan bila masih terpikirkan datang keterpurukan lainnya. Seandainya saja seluruh manusia di dunia ini tahu bahwa pikiran yang tak menentu dan perasaan yang selalu gelisah dapat menjadikan dirinya seperti yang diinginkannya. Seperti saat merasakan kebahagiaan dan memberikan perhatian yang lebih pada kebahagiaan tersebut. Maka datanglah kebahagiaan yang lainnya. Hal ini bukanlah sebuah khayalan semata. Yang hanya merupakan angan-angan belaka.

Namun benar-benar sebuah kenyataan. Pada saat kita mengingat masa lalu, sama halnya kita menginginkan hal tersebut. Sewaktu berimajinasi kita hanya menambah beban pikiran kita. Hanya pikiran dan perasaan baguslah yang dapat menghantar pada tujuan hidup kita. Melalui hal tersebut maka terpancarlah sebuah kekuatan yang berasal dari SANG PENCIPTA dan disebut AURA.

Setiap manusia memiliki Aura semenjak lahir, namun terkadang kurang diperhatikan. Segala sesuatu yang kurang diperhatikan akan menjadi tak terawat dan tak terurus. Parahnya lagi menjadi rusak. Bila telah rusak untuk memperbaikinya membutuhkan waktu dan ahlinya. Terpancarnya Aura yang bagus membuat keyakinan dalam diri. Yakin terhadap segala hal. Lingkungan sekitarpun merasakan kemapanan terhadapnya.

Di tandai rasa percaya diri tinggi dan banyak orang menyukai dan mengaguminya. Sama halnya ketika kita melihat seorang bayi yang baru lahir. Manakala mengalami suatu keterpurukan, keruhlah pancaran diri. Dan selalu menghadapi masalah berbentuk tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar diri. Terlihat murung, emosional bahkan putus asa.

ILMU KAMUKSAN.
“Peksi Nala“
a. Sallahu allaihi wasallam;
Peksi Nala,
mulih he muliya,
he; Rengkulu, Saka Guru,
Sumuruping Kadratullah,
murub mumbul ing ngawang padhang,
haningali, hawang-hawang.
b. Awang dalem tinut dening iman;
Seg, padang teka padhang,
lah padhang, adoh katon cedhak,
katon byar padhang,
teka padhang,
Peksi Nala, wengakna lawang suwarga,
inepen lawang neraka.
c. Repp…. gregg….hiya iku Peksi Nala;
Kang misesa liyeping Karsa Mulya,
tan ana kerasa,
sampurna ing badane,
selamet sak parane,
teka sakajate! Amin, Amin, Amin!!!!
Bahasa Indonesia
a. Sallahu allaihi wasallama;

Peksi Nala,
Kembali…. hei…. kembalilah,
hei, Rengkulu, Matahari, Saka Guru,
yang meresap dikodratullah,
menyala dan membubung diangkasa cemerlang,
melihati langit dan angkasa.
b. Wahana-MU diturut oleh iman;
Seg, teranglah dan terang,
okh, terang, sekalipun jauh terlihat dekat,
kelihatan…. pyaar…. cemerlang terang,
sekonyong-konyong………. terang,
Peksi Nala, bukalah pintu surga ini,
tutuplah pintu neraka ini.
c. Repp…. gregg….yaitu Peksi Nala;
Yang misesa liyepnya Karsa Yang Mulia,
tiada terasa apa-apa,
sempurnalah dibadannya,
selamatlah kemana perginya,
sampailah segala niatnya! Amin, Amin, Amin!!!!

Makna bait-bait wirid di atas khusus bagi orang yang akan menuju keakhir kejadian, atau sewaktu kita hendak ajal! Karenanya, dilarang untuk bahan pembicaraan, menjaga kemurnian sastra tersebut, kalau memang diperlukan hanya dua kali di ucapkan untuk “menolong” orang-orang yang akan meninggal dunia, artinya hanya di peruntukkan dua orang pada hari itu bilama (di desa) tempat kita terdapat kematian!
Kalau wirid dibait-bait tersebut hanya dibaca saja tanpa pengertian yang mendalam samalah artinya kalau kita sewaktu meneriakkan slogan-slogan reklame; seyogyanya dihafal serta mengerti satu persatu apa dan dimana, surga, neraka dan akhirat serta bagaimana cara menyelaraskan wahana tersebut. Saya yakin apabila tidak disebar luaskan, maka Ilmu Kamuksan di atas akan lenyap bersama orang-orang Tua-tua yang mempunyai Ilmu itu atau Wirid Ilmu Khaq Sejati yang sempurna, dikarenakan uleh dua faktor:

Pertama, orang Tua-tua kita masih merahasiakan, Kedua, dibawa oleh puputnya umur orang-orang tersebut!!!

Sungguh-sungguh akan berterimakasih para jiwa-jiwa yang meninggalkan badannya setelah mendapat “wisikan atau bisikan” bunyi ilmu tersebut, karena peribahasa memberikan tongkat  orang yang akan tergelincir, atau memberikan obor orang yang sedang kegelapan!!!

Cara untuk mengamalkan ilmu tersebut (kepada siapa ilmu itu diberikan), terserah kepada para pembaca, kalau tidak dengan wajar sebagaimana Guru mengajar muridnya, (seyampang orang-orang selagi hidup) setidak-tidaknya “berikan ilmu” ini terhadap orang yang akan menemui ajal dengan cara membisikkan melalui telinga kirinya!!!

Dengan demikian mulai sekarang, dari pada kita dicekam rasa kecewa dibelakang hari, sebab pada alam Sakarotilma’oti tidak seorangpun akan dapat menolong kita, sekalipun dengan suatu “matram” yang dianggap ampuh!!!

Untuk lebih memudahkan dan meresapi dalam mengamalkan ilmu tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. “Peksi Nala” artinya : Peksi = burung, sedangkan Nala = hati (dari bahasa Kawi), jadi maksudnya hati laksana burung.

Sedangkan “Ilmu Kamuksan” berasal dari bahasa Kawi yang artinya : mati dengan disertai badannya, wadagnya  atau jasadnya, hal-hal mana dulu banyak dilakukan para leluhur kita seperti para Raja-raja, Pandhita-pandhita pada zamanya!”.

“Rengkulu, Srengenge-srengenge (matahari), Soko Guru” artinya : Rengkulu = bantal, Srengenge-srengenge = sifat panas, Soko Guru = tiang rumah yang jumlahnya empat; kiasannya, hati manusia itu sadar-taksadar-selalu bersandar kepada empat nafsu yang selalu panas!”.
“Sumuruping Kodratullah” bahasa ini mempunyai dua makna : “sumuruping” atau dapat diartikan meresap atau telah mengetahui. Bila “sumurup” ini disamakan dengan “surup” akan menjadi “kesurupan” artinya dimasuki; jadi yang tepat adalah “meresapi”, jelasnya semua pekertinya bathin yang berpangkal dari “hati” itu, benar-benar diresapi oleh kodratnya Allah atau hati adalah benar-benar bekerja atas kuasanya Allah! Ingat bahwa semua yang lahir maupun yang bathin adalah kehendak dan af’al-Nya!.

b. Yang terpenting dalam pengamalan Peksi Nala sewaktu “mendobrak” pintu surga dan neraka, selanjutnya surga dan neraka adalah “jodohnya” atau dapat diganti dengan sebutan : senang atau susah, sehat dan sakit adalah satu rasa yang dirasakan oleh hati, di dalam dalil Qur’an diterangkan bahwa azab neraka berpangkal dari tiga pintu, tetapi pintu-pintu yang sebenarnya berjumlah tujuh!.

Uraian-uraian selanjutnya sejajar dengan Wirid Hidayat Jati. Inilah hakekatnya dari pada Roh dan Hati Surga dan Neraka :
1. HATI PU’AT : ialah jantung, pintunya di puser, rohnya disebut Rohullah; Surganya dinamakan Jannatul Na’iem, maksudnya lebih nikmat, buktinya tidur pulas. Nerakanya Jahanam, artinya lebih panas, buktinya lapar dan sakit perut!
2. HATI MUZARAT : YAITU Syulbi, pintunya di zakar, rohnya Roh Qudus, Surganya Jannatul Adnin, maksudnya lebih elok, buktinya keluar mani, Nerakanya Zakinn, artinya lebih dingin, buktinya waktu mandi zinabat, atau kencing!
3. HATI TAWAJUH : yaitu perut, pintunya di anus (zubur), rohnya Roh Syirikul’alam, Surganya Jannatul Thawwab, maksudnya puas, buktinya kentut dan berak; Nerakanya disebut Wailun maksudnya lebih sakit, buktinya waktu sakit berak dan berak darah!
4. HATI SALIM : yaitu ginjal, pintunya di hidung, nafsunya Mutmainah; warnanya putih, kerjanya mencium, membau, rohnya Roh Ruhkani;  Surganya Jannatul  Firdaus, artinya lebih lama, buktinya keluar masuhnya nafas; Nerakanya disebut Asfala’safilien, maksudnya sesak nafas, tandanya sakit mengi (sesak nafas)!
5. HATI SANUBARI : yaitu limpa, pintunya di mata, nafsunya Sufiyah, warnanya kuning, pekernya melihat, rohnya Roh Rabani; Surganya Jannatul Syamsi, artinya lebih terang, buktinya mengetahui segala yang ada; Nerakanya Syahhir, artinya gelap, nyatanya sakit lamur atau buta!
6. HATI MAKNAWI : yaitu empedu, pintunya di telinga, nafsunya Amarah, warnanya merah,  rohnya Roh …. (?); Surganya Jannatul Ma’oti, artinya lebih elok, buktinya perpaduannya suara; Nerakanya Laliem, maksudnya pepet, nyatanya sakit telinga atau tuli!
7. HATI SAWADI : yaitu usus, pintunya mulut, nafsunya Aluamah, rupanya hitam, pekertinga bicara, rohnya Roh Ilafi, Surganya Jannatul Syukhri, artinya lebih suka, nyatanya tertawa; Nerakanya Sukhra, maksudnya risi, nyatanya waktu menangis!
Makna sebenarnya dari Ilmu Kamuksan diatas terletak bulat-bulat pada kesempurnaan badaniah yang mengharuskan kesehatan disamping latihan bathin yang khusus bagi kebatinan! Apakah hanya dengan membaca wirid Ilmu Kamuksan tersebut akan otomatis begitu saja setelah ajal kita sampai, kemudian badan dan jiwa sempurna dan lenyap? Syukurlah kalau wirid diatas tanpa dipelajari dan tanpa syarat-syarat apapun dapat menyempurnakan pati dan hidup kita! Kalau jawabannya “belum” percumalah, walaupun bagaimana keampuhan wirid-wirid tersebut tetap tidak akan dapat menolong! Sesuai falsafah Jawa, asal kita dapat melatih Semedi pada jam-jam tertentu dengan melatih juga “mengembalikan” kondisi aslinya indriya-indriya tersebut misalkan : kembalikan suara, artinya melatih tidak mendengar sesuatu, kembalikan bau artinya hidung berhenti dulu tidak membau dan sebagainya; bukan berarti seperti zaman yang sudah-sudah kita diharuskan mengembalikan “suara kepada yang punya suara”, dalam pemikiran timbul gugatan “Siapa yang punya suara”?

Menurut Wirid Hidayat Jati “Iradatnya Dat” dalan bahasa Indosnesia-nya kurang lebih sebagai berikut : ………. karena sebenar-benarnya yang menjadi larangan atau pantangan dari para ulah Ilmu Kasampurnan itu hanya terletak pada “nafsu”. Kalau dapat mengikis (mengurangi) biasanya timbul hati yang awas dan ingat (awas lan emut, Jawa).

Karena benar-benar bahwa kita hidup melulu pengemban rasa dengan keterangan-keterangan Hidayat Jati tersebut benar dan nyata bahwa surga dan neraka yang berpintu tujuh dari poko asalnya (salurannya) berpintu tiga bukan di “sana-sana” tetapi disilah, dibadan kita yang keselurahannya minta perhatian khusus, agar tidak nyeleweng yang dapat menimbulkan rasa-rasa yang kita inginkan! Sesungguhnya memang Peksi Nala-lah yang dapat mempengaruhi, misesa, memerintah atau mengendalikan semua hasrat-hasrat lahir bathin; karenanya benar-benar sukses atau tercapai segala tujuan, hanya terletah pada hati!.

Harap diingat bahwa wirid tersebut sekali lagi hanya dapat “MERINGANKAN” jalannya Roh waktu meninggalkan badan sewaktu ajal, agar tidak terperosok ke alam penasaran, lebih-lebih kalau mulai sekarang kita amalkan dan hayati sesuai petunjuk Guru masing-masing, insya’allah ajal kita menuju sempurna, kembali ke asal awalnya “DARI TIADA RASA KE TIADA RASA”!! Amin, Amin, Amin.


Bab. (1)
TINGKATAN-TINGKATAN ILMU
(KAWERUH – JAWA)
Kata Tingkatan itu artinya dari jenjang bawah sampai atas untuk menyembah (shalat) kepada Allah (Hyang Widi – Jawa), tingkatannya adalah:
Syari’at, artinya artinya pedoman yang sudah ditentukan harus patuh (wajibul yakin), jadi ahli Syari’at itu harus patuh keyakinannya (apa katanya) amalannya menurut hukum halal haram, yang diyakini betul-betul dan hukum membedakan halal dan haram, peraturannya, sembahyang, zakat, fitrah, puasa dan naik haji kalau mampu. Semua dijalankan berdasarkan ikut-ikutan menurut kemauan orang banyak, lalu ikut-ikutan menyembah kepada Allah, menurut peraturan agamanya masing-masing, jadi begitupun wajib harus begitu disebut imannya Wajibul yakin.
Bung Karno presiden Indonesia asal dari Ngebang (blitar) sekarang menjadi Presiden Indonesia, dia mengetahui hanya cerita orang banyak, jadi kalau cerita itu salah, kepercayaan itu tetap salah. Umpama diteliti (telaah) pendapat tadi dengan jernih, tingkatan Syari’at setiap hari menunjukkan kedisiplinan bertindak menurut hukum yang ditentukan. Mengenai tentang pendapat Prof. Dr Usman dekan markas Angkatan Darat berbicara begini; ngerjakan rukun Islam itu pertama menanam rasa disiplin, jiwa atau jasmani, membersihkan diri , mempunyai semangat yang tinggi, watak kasih sayang, selalu sedekah (memberi pertolongan bagi yang membutuhkan), budi pekerti yang tinggi, yang saya lihat; saya bangun bagi lalu belum sembahyang (shalat) merasa malu kalau disebut bukan orang muslim, jadi berbuat karena malu.
Tarikat, meningkat mencapai kebathinan (Qalbu – Arab), melaksanakan puasa mengendalikan pikiran. Jadi tarikat itu melaksanakan berdasar pengetahuan mengendalikan pikiran (mengasah pikiran), membaca buku-buku agama, wirid, berguru, bertanya, dan musyawarah tentang ilmu Allah. Tarikat mempergunakan pikiran untuk mengupas (mencari) tanda-tanda saksi Allah. Jadi tahu kalau basil-basil itu hidup memiliki apa, membuat keyakinan menguat. Zaman dahulu para ahli kitab masih termasuk tingkatan Tarikat, artinya hanya tahu saja (mengerti), karena pengetahuan sudah mantap lalu imannya disebut Ainul Yakin, contohnya begini; pengetahuan (mengetahui) kalau Bung Karno itu Presiden, memang sudah melewati Istana Presiden dan mendengarkan pidatonya, jadinya kira-kira rumah Bung Karno sudah Tahu tetapi belum pernah jumpa dengan Bung Karno sendiri.
Tataran (tingkat Tarikat) itu walaupun sudah mengetahui tidak pernah meninggalkan Syari’at agamanya, jadi Tarikat itu hanya naik kelas (tingkat). Pada tingkatan itu para pengikut menerima ajaran guru seperti berpuasa, tekadnya hanya meniru sifatnya Allah saja, sucinya dan adilnya, disitulah terbukanya ilmu itu supaya keterima ilmunya harus praktek (shalat Tarikat) mengendalikan pikiran. Ahli Tarikat itu bisa membedakan yang benar dan yang salah dari orang lain ataupun diri sendiri, lalu bisa mempunyai sifat kasih sayang dan sayang kepada seluruh umat-Nya (Allah), besar wibawanya, mengetahui kemauan dirinya sendiri. Semua itu membuat terbuka hatinya. Apa sebabnya kita harus kasih sayang kepada umat-Nya (Allah), yang mengendalikan hawa nafsu (mengupas hawa nafsu). Menurut Wedaran Wirid Tarikat itu jalannya hati (Qalbu), karena hati mempunyai kemauan yang sangat cepat seperti kilat, lalu Tarikat memerangi pengaruh yang berupa keinginan yang timbul dari hati.
3. Hakikat, yang disebut Hidayat Jati, Hakikat itu Shalat sejati yang tidak merasa geraknya aku (jasmani, pikiran, perasaan sudah disingkirkan / dikendalikan), jadi gerak (makarti-jawa) aku tidak merasakan aku. Hakikat itu imannya para Mukmin (Aulia), imannya disebut Haqkul Yakin, artinya Nyata (benar). Percaya kalo Bung Karno menjadi Presiden karena sudah masuk rumahnya tetapi belum jumpa langsung/berhadapan dengan Presiden Sukarno (Qalamullah – Arab). Ditingkat itu terbukanya Kijab atau batas antara manusia dengan Allah (kawulo – jawa), cocok dengan Hadist Nabi : “siapa yang betul-betul mengetahui dirinya benar mengetahui Allahnya”, karena Hakikat itu Sembahnya (Shalat) Roh (jiwa), keadaannya diliputi tidak merasa apa-apa, lalu para ahli suluk, Sufi, tapa dan mempunyai pendapat atau keterangan begini : “aku ini tidak ada, yang ada yang mengadakan (yang menciptakan)”, keterangan atau ketentuan tadi membuktikan sempurnanya Hakikat dan bisa menguasai jasmaninya melalui Rohaninya, kata lain sifat dan Hakikatnya DAT sudah menyatu (manunggal-jawa). Di tingkat yang begitu sebutan sakit, pening/pusing, panas, dingin dan mati itu tidak ada, yang benar yang disebut menyatu (Widhatul Wujud – Arab). Di kitab Suluk disebut begini : “hatinya yang beriman berdirinya Roh kita”, Hakkikat itu menuju sejatinya kemauan, yaitu tingkatan jiwa yanng menyerahkan diri pada Allah (Hyang Widi – jawa), karena sudah tidak mempunyai perasaan tidak ikut-ikut memilki, Iktikat itu serupa dengan menyebut serupa yang disebut satu, perjalanan sehari-hari orang yang sudah begitu menurut aku pada kemauan DAT (sifatnya Dat).
4. Ma’rifat, tingkatan itu imannya para Arifin yang disebut Isbatul Yakin, artinya sudah sempurna, sempurna keterangannya begini : sudah kerumah Bung Karno, sudah salaman dan berbicara langsung/berhadapan dengan Bung Karno. Keterangannya sudah Ma’rifat semua ilmu, pengetahuan, amal ibadah, filsafat dan lain-lainnya sudah menjadi satu, sudah mengetahui sebab dan akibat, disebut diwirid Hidayat Jati : Zikir azalalah, artinya zikirnya rasa didalam alam cahaya disebut zikir Ma’rifat, sempurnanya tidak merasa apa-apa. Keterangan tersebut diatas tadi disebut tingkatan Islam. Kata Islam sebenarnya bukan agama, itu hanya kebisaaan orang mengatakan, jadi nama-nama agama menurut yang menyiarkan, umpama agama Budha yang menyiarkan Sang Budha, Kristen yang menyiarkan Yesus Kristus, jadi agama Islam disebut agama Muhammad, artinya tidak menjadi masalah, sebab yang menyiarkan Nabi Muhammad, Islam itu kata-kata penerangan (menunjukkan) sesuatu, barangnya tidak bisa dijangkau tetapi bisa dirasakan, jadi Islam itu sesuati iktikat yang luhur (suci). Kata suci keterangan lahir dan batin, kasar dan halus (nampak dan gaib), tidak bisa berubah. Kata suci (Islam) itu artinya tidak apa-apa (tidak bisa dijangkau), itu sebabnya kata Islam disebut suci bisa dikatakan telah bersujud pada Allah. Kata bersujud (pasrah) itu bukan main-main, hanya yang bisa yang melaksanakan Nabi, Wali, Aulia, Pandita, Guru yang sudah semprna. Bukti untuk sehari walaupun hanya kata-kata (nama) sebagaimana tertera dalam wirid Hidayat Jati itu, tidak ada apa-apa, jika diteliti kata tidak ada apa-apa tadi waktu menginjak dunia yang pertama dikatakan lahir didunia melalui tidak tahu apa-apa. Jadi kata sehari-hari Islam yang kita bicarakan dari bahasa Arab, artinya bersujud suci (sunyi senyap tidak ada apa-apa), jadi bebasa dari keinginan. Dalil di kitab Al Qur’an surat Al-Baqarah : 131 :
“ketika Allah berfirman, “kamu harus Islam bersujud kepada Allah”, Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
Jadi yang namanya Islam itu umpama sudah menjalani yang empat tingkatan tadi dari yang Syari’at, lalu mencapai tingkat Ma’rifat disebut bersujud (Islam/suci) terhadap Dat yang wajib adanya, berdasarkan ukuran Layu kayafu (tidak bisa dijangkau), artinya jika kita mau bersujud (sumarah-jawa) harus memakai pakaian Layu Kayafu (tankeno kinoyo ngopo – jawa), contoh : jika tentara mau menghadap Presiden harus memakai pakaian seragam lengkap, pangkat, sikap tegak dan lain-lain baru dapat diterima, apalagi manusia menghadap Allah, harus lebih lengkap lagi, umpama Tauhid, pikiran bersih, hati bersih, pasrah, tidak ingin apa-apa (merasakan apa-apa) dan Islam, itu baru tingkat Ma’rifat.

Jadi menjadi Islam itu kalau sudah bisa menyingkirkan aku pribadi, yaitu sudah diterima At-tauhidnya, sementara orang bisaa memerlukan makan, lalu belajar Ma’rifat selagi masih hidup, kalau tidak lulus (mencapai Ma’rifat) lain perkara, rahasianya begini : siapa yang (waktu) didunia belum bisa Islam (sumarah) nyerah diri, tidak bisa meninggalkan keduniaan At-tauhid (menyatu), kalau sewaktu Sekaratil maut (menjelang ajal)/koma, akan mengalami yang menakutkan dan mengalami seperti dialam kubur, sebaliknya umpama bisa At-tauhid (Islam) suci menghadap kepada Allah; itu nanti kalau Sekaratil maut (menjelang ajal) Insya Allah langsung menghadap kepada-Nya (Allah) yang disebut Inalillahi Wa inalillahi Roji’un, kalau Budha melewati alam Nirwana. Orang yang sudah Ma’rifat itu disebut Arifin, artinya Muslim, siapa yang ingin mencapai tingkatan Ma’rifat, contohnya seperti dalil dibawah ini, pesan Nabi Ibrahim As dan Nabi Yakub kepada anak cucu; Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 132 ;
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati sebelum jadi Islam (Ma’rifat)”
Jadi jelas sekali yang ditakuti sewaktu Sekaratul Maut (menjelang ajal). Keterangannya begini : siapa yang hidup mencapai Islam, maka seperti sudah bisa menghadap dihadapan Allah (lihat tentang Bab pengetahuan mati), karena Islam itu bagi orang Ma’rifat menjalaninya melalui jalan yang tidak bisa dijangkau (Layu Kayafu), hanya sekali itu sudah menjadi Islam, ada yang selalu mengalami, ada yang seumur hidup hanya sekali, tergantung dengan yang menjalani. Menurut Dalil tadi para leluhur agama Islam pasti tujuannya suci. Jadi Islam suci sesungguhnya sudah diuji pada zaman sebelum Nabi Muhammad, jadi Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad SAW itu satu tujuan, yaitu Islam (mencapai Ma’rifat).
Menurut Kyai Agus Salim, Islam berasal dari bahasa Arab, asalnya kata Salama, artinya Selamat, sentosa tidak kurang dan tidak rusak. Kata tadi menjadi kata Aslama, kata tadi berusaha menyelamatkan (menyucikan) dari yang tidak baik, pertama pada diri pribadi, kedua pada manusia dan makhluk-makhluk-Nya. Selain itu kata Aslama itu sama dengan pasrah menghadap kepada Allah, jadi kata Islam itu sudah mengandung arti keseluruhan.

Dari keterangan diatas agama Islam itu Azazan, perintah untuk menyelamatkan manusia dan alam raya seisinya, selain dari itu kata Aslama artinya menyerahkan diri sepenuhnya, jadi kata Aslama itu pokoknya kata Islam. Kata Islam berarti sumber dari segala kata (pokoknya). Dari keterangan di atas, kata Islam itu bukan sekedar nama, umpama Hindu, Budha, Kristen, kata-kata tadi artinya supaya dipahami menurut buktinya (artinya).
Agama Islam itu ajaran, perintah dan petunjuk manusia dan alam seisinya tunduk kepada Allah, jadi harus dinyatakan dengan gerak, kata-kata, budi pekerti untuk menjaga keselamatan dunia dan akhirat.
Kata Kyai Agus Salim seperti diatas itu umpama diteliti dengan benar, menunjukan perbedaan antara satu agama dengan agama lain, singkatnya agama-agama tadi tidak satu tujuan dengan agama Islam, jadi Islam, Budha, Kristen itu hanya nama agama.

Menurut dasar surat A-Israa : 15 terdahulu (Bab I ), semua itu hanya sebutan sekedar nama, tidak beda sebutan (nama-nama), ada yang mengatakan Allah, Got Theo, Gusti Allah, Hyang Widi dan lain-lain, itu semua yang memberi nama hanya manusia sendiri. Menurut Wirid (ajaran) kata Islam itu sebutan salah satu agama, bukan kata sebutan, tetapi kata Saik yang artinya seluruh manusia tidak membedakan agamanya yang penting bisa menyatu dengan Allah (At-tauhid). Sebenarnya kata Islam itu Ma’rifat, akan tetapi ada kata Budha, Islam sejati. Islam sejati itu hanya untuk orang jika dicubit merasa sakit.
Arti Rahasia hanya tanda yang digunakan oleh orang yang membutuhkan tetapi semangat saja yang sama, yaitu mencari kebenaran Allah.
Kata Ma’rifat itu asal dari bahasa Arab yaitu Arafah, artinya melihat, tetapi bukan memakai mata atau pikiran (pengetahuan). Kata-kata melihat itu bukan pakai mata tetapi mengarah ke ilmu, dan Ma’rifat itu tahap mengetahui Wirid (pelajaran); melihat Allah tidak memakai alat mata dan tidak memakai pikiran. Melihat Allah terhadap Wirid artinya siapa saja bisa mencapai Ma’rifat, tetapi apa yang akan di Ma’rifati jika tidak tahu tentang hal ketuhanan (Allah), dan Ma’rifat itu bertekad, sudah pandai melakukan Zikir, Sholat Tauhid, Semadhi (Yoga) saja tetapi disertai ta’at, patuh dan yakin kepada agamanya. Umpama ta’atnya para ahli Syari’at hanya karena takut kepada peraturan; sholat, puasa, zakat, fitrah, naik haji merasa sudah menjadi Islam. Tetapi terhadap Ma’rifat selain menurut perintah agama lalu disertai tekun (kuat) terhadap sesuatu tujuan sehingga patuh (ta’at) terhadap tujuan untuk membuktikan Allah itu ada.
Orang olah (melatih) batin terhadap orang Ma’rifat itu membuktikan bukam gampang, sebab orang-orang itu batinnya sudah memiliki sifat Allah, umpama sifat kasihnya yang biasanya lalu menjadi watak kasih sayang terhadap sesama. Kata Kasih Sayang menurut Allah (Rahman dan Rahim- Arab), tidak beda-beda, buktinya para Nabi, Wali, Mukmin semua mempunyai sifat kasih sayang, sudah ditujukan untuk diri sendiri menjadi untuk semua (universal), walau begitupun masih ada ingin perang dan membunuh musuh, begitulah orang yang sudah mengerti bahwa perang atau membunuh musuh itu mestinya pasti merusak rumah tangga. Tetapi terhadap orang yang sudah mengetahui rahasia alam, itu tidak mengherankan hanya menjadi kewajiban (tugas). Perang dan membunuh terdorong oleh kasih sayang dan suci, daripada menjadi hancurnya dunia (merusak ketentraman), maka harus dibunuh (dimusnahkan). Jadi para bijaksana melaksanakan tadi sama menuju keselamatan dunia, tujuannya menyelamatkan dunia dari semua penghalang, begitulah eloknya / sempurnanya Ma’rifat.
Bab. (2)
DALIL, HADIST, IJEMAK DAN QIYAS
Umumnya di kampung, kota dan lain-lain; pengikut Agama walaupun berbeda Agamanya yang dituju terlebih dahulu terhadap ilmu, yang dituju terlebih dahulu pasti sempurnanya kematian, maksudnya umpama mempunyai niat ingin mencoba merasakan kematian, merasakan bagaimana mati itu. Perkataan dalam Wirid; hidup yang menyebutkan sekali, itu sebenarnya bekal ilmunya Allah SWT, itu disebut kenyataan (kasunyatan – Jawa) itu tidak dusta dan bisa dibuktikan. Bahasa Arab ilmu Haq, artinya nyata. Jadi kebisaaan jawa ilmu Kasunyatan atau nyata. Di pedesaan murid-murid disumpah (diwejang – jawa) bisa juga ditakut-takuti, umpama kalau kamu melanggar maka perutmu pecah. Bagi orang-orang yang disedikitpun belum mencapai Tarikat, benar salahnya terdapat pada perbuatan, walaupun pintar atau bodoh, karena murid itu mengerjakan karena rasa takut, jadi keadaan masyarakat menjadi tentram. Murid satu perguruan dan lain perguruan saling tidak sepaham dan sering kali berdebat soal pendapat, menyebabkan pecah dan simpang siur mencari kebenaran sendiri-sendiri, perkara ilmu yang belum pasti benarnya.
Keterangan diatas untuk contoh jangan sampai tersebarnya kebatinan (ilmu Qalbu) di tengah masyarakat berlarut-larut terus menjadikan orang panatik, artinya patuh terhadap ajaran gurunya, yang tujuannya bisa salah arah tujuan semula, menyembah selain Allah, lalu harus bersujud kepada Allah serta memohon petunjuk Allah supaya diberi petunjuk (dibukakan hatinya).
Allah berfirman, Al-Qur’an surat Al-Israa : 72
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”
Mengingat Firman Allah itu lalu timbul pertanyaan; “Apa sudah benar pelajaran guru itu” lihat surat Al-Israa diatas, siapa yang tanggung jawab didunia dan akhirat, kalau ilmu gurunya itu salah. Terbukanya ilmu itu mesti bergaul, bertanya, membaca buku-buku tentang ketuhanan.
Kita sendiri yang teliti, yaitu akal / pikiran harus digunakan, yang penting mau menjalankan, keterangan disini dan seterusnya, baru bisa jadi mendapatkan ilham dari sifat-sifat Allah. Hasilnya menjalankan dan membersihkan diri, lalu mendapat keterangan yang sejujur-jujurnya (selurus-lurusnya).
Sekarang mengenai belajar ilmu, yang penting si Guru harus waspada memilih, karena banyak orang yang mengaku-ngaku karena peringatan (wulangreh – jawa). Kalau berguru ilmu harus :
1.  memililah manusia benar.
2.  yang baik kelakuannya (terpandang).
3.  Serta mengetahui hukum.
4.  Yang beribadah dan mengetahui.
5.  Kalau bisa orang yang sudah bertapa (menjalankan shalat Hakikat).
6.  Yang sudah tekun.
7.  Tidak mau mengharapkan orang lain.
8.  Itu pantas kita jadikan Guru.
9.  Sama-sama kita ketahui.
Nasehat di Wulangreh (syair jawa) :
1.  Manusia yang jelas statusnya; bukan seperti gelandangan (Avonturer), bukan tukang tipu, yang lupa janji, tetapi orang yang pantas dipercaya perkataannya.
2.  Yang baik martabatnya, yang baik budi pekertinya.
3.  Yang mengetahui hukum; orang yang telah mempelajari seluruh bidang hukum; hukum pidana, hukum tata negara, hukum perdata dan hukum agama yang penting.
4.  Yang beribadah (tawaduk – Arab) dan orang yang taat kepada peraturan agama Islam, Kristen, Budha dan lain-lain, Wirangi artinya orang yang segala tindak tanduknya (perbuatannya) tidak sembarangan.
5.  Orang yang bertapa; orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya.
6.  Orang yang tekun; orang yang tidak mau menjadi beban orang lain.
7.  Tidak mau pemberian orang lain; artinya tidak mau jasa orang (sepi pamrih – jawa), tidak mau di puji (takabur).
8.  pantas di Gurui; untuk simurid harus memilih terhadap siapa yang pantas digurui, yang memenuhi syarat-syarat seperti diatas.
9.  Harus kamu ketahui, itu peringatan bagi simurid harus banyak pengalaman walaupun tidak pandai, harus menerima dan mempunyai perasaan, karena sebagai murid harus mempunyai rasa malu walaupun tidak memberi, umpamanya karena siguru tidak pernah meminta, lalu kita diamkan, itu salah seorang mempunyai perasaan pasti malu jika tidak memberi imbalan kepada gurunya. Orang salah sangka dengan umum walaupun siguru masih muda dan tidak mempunyai tempat, orang yang terbuka pikiran itu tidak perduli muda atau tua, banyak yang sudah tua tetapi kosong tidak berilmu, tetapi dizaman sekarang banyak pemuda yang mempunyai satu perguruan (membentuk suatu perguruan). Tuhan (Allah) membuka hatinya menurut kehendaknya, seperti dalil Al-Qur’an surat Yusuf : 22 ;
“Dan tatkala dia cukup dewasa (29) Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” 9]. Nabi Yusuf mencapai umur antara 30 – 40 tahun.
Kata dewasa (ahqil baliq) terhadap siapa saja yang sudah dewasa, pikirannya sudah dewasa, buktinya begini; sang Sidarta adalah putra mahkota kaya dan pandai, ia putra Raja dipegunungan Himalaya, Raja Shudadana, lahirnya Sidarta lalu ibunya meninggal dunia, pada umur 29 tahun (muda belia) lalu ia bertapa memohon kepada Yang Maha Benar, sesudah terbuka pikirannya lalu menjadi Budha, pelajarannya sampai sekarang masih hebat dan benar. Dan lagi tentang Nabi Isa as. (Yesus Kristus) putra Mariyam, siapa saja langsung heran kepada Nabi Isa as. pada waktu lahir Nabi Isa umur 3 (tiga) hari langsung bisa bicara dan berdiri sebagai Nabi utusan Tuhan, ingat baru umur tiga hari belum dewasa sangat muda. Terakhir Nabi Muhammad SAW itu menjadi pengembala kambing (domba) ikut pamannya semasa Nabi Muhammad umur 30 tahun, didorong oleh kemauan sendiri lalu Nabi Muhammad bertapa di gua Hira mengendalikan semua kemauannya (nafsu) mencari Dat yang benar (Allah), langsung menjadi Rasul (utusan) sampai menjadi penegak Islam. Allah membuka pikiran para orang mencari kebenaran, ternyara orang-orang yang masih muda-muda sesudahnya memilih (membedakan) yang benar dan salah, berdasarkan dalil (firman Allah) atau tidak, artinya Dalil pedoman, tanpa Dalil (unik seperti tahayul). Jadi orang yang ingin menjadi guru harus memakai 4 landasan yaitu :
1. Dalil itu Firman-firman Allah di kitab suci Al-Qur’anul Karim. Sampai sekarang dicetak supaya tidak berubah isinya, hanya Al-Qur’an sendiri, artinya begini; Qur’an itu bahasa Arab, ayatnya 6666 dan sudah disalin beratus bahasa, siapa saja mau merubah isinya atau ditambah tulisan lain tentu ketahuan, karena asli bahasa Arab masih utuh.
2. Hadist itu pendapat/perbuatan Nabi Muhammad yang benar semua, pengetahuan yang tidak ada terdapat di Al-Qur’an, Hadist suci itu disebut Hadist Syahih, Bukhari, Muslim, Hadist selainnya, Hadist lainnya kurang dipercaya, membacaya harus dicocokan dengan angka-angkanya, apalagi Al-Qur’an harus dicocokkan dengan Jus, Ayat-ayat dan Surat-surat, apalagi sekarang banyak Hadist dan Al-Qur’an berbahasa Jawa.
3. Ijemak, yaitu pendapatnya para Ulama agung pada zaman Nabi Muhammad atau pendapatnya para sahabat empat yang akrab dengan Nabi Muhammad, yang teliti (cerdik), yang tidak berdasarkan Mahsab (pendapat orang yang bisa diubah-ubah). Sedang Ijemak itu dasarnya ulur tarik menurut akal pikiran, jadi Ijemak itu pendapat dimasa zaman terdahulu yang disetujui para Ulama lebih dari 5 (lima orang ulama).
4. Qiyas, yaitu pendapat berdasarkan akal/pikiran, artinya keterangannya tidak berdasarkan Al-Qur’an atau Hadist, tetapi menurut akal/pikiran saja. Intisari semua keterangan ilmu itu apa keluar dari dalil atau hanya asal bicara saja, sebab itu harus diteliti (koreksi) berdasarkan akal/pikiran, bisa diterima atau tidak (umpama bisa) pokok utama iman, umpama tidak berarti masih sangsi-sangsi kalau sangsi-sangsi itu tidak mengenakan pikiran berarti haram atau batil. Siapa saja bisa mempelajari kenyataan sifat Allah, menjalani (melaksanakan) pasti tidak susah, memang sudah dikerjakan, umpama kurang semangatnya, tujuan hati untuk mencari ilmu Allah pasti tidak tercapai.
Untuk menjadi guru itu; tua, muda bukan pekerjaan yang main-main, karena murid zaman sekarang pikirannya sudah maju, akalnya banyak dan tidak bisa menerima begitu saja tetapi hanya mendengarkan saja, apa yang kuranng dipahami (susah) atau kurang diterima oleh akal pasti akan ditanyakan, umpama mengenai wejangan (nasihat) seperti dibawah ini :
“Sebenarnya tidak ada apa-apa yang dulu selain Adam”, artinya Adam itu kosong (suwung – jawa), manusia asal dari Adam tadi, itu sebabnya manusia berdiri sendiri (hidup sendiri) sebelum Allah dan Malaikat ada, adanya Allah itu dari manusia, artinya adanya Allah dari manusia karena manusia yang mengatakan, jadi wajib disimpan seperti menyimpan nyawa sendiri. Sebenarnya umat dan Allah artinya satu tidak pisah (bersatu), jadi dimana saja manusia berada pasti Allah tetap menyertainya, tidak ada manusia tidak ada Allah. Pelajaran yang disebut diatas tadi sebenarnya kurang dapat dicerna (diterima oleh murid), jadi timbul banyak pertanyaan. Menjadi guru selalu marah sebab gurunya sendiri tidak bisa menerangkan, karena siguru dapatnya hanya menerima begitu saja, jadi siguru belum pintar (mempunyai ilmu) hanya menunjukan kepanatikannya. Jadi bila ada guru yang begitu tadi bisa menjadi salah arah pada muridnya (masyarakat umum).
Disebutkan dalam kitab Al-Qur’an bahwa Adam itu satu-satunya Nabi, orang yang sudah dikehendaki Allah mempunyai sifat-sifat 4 perkara :
1. Sidik, yaitu jujur atau tidak dusta;
2. Amanah, yaitu bisa dipercaya atau tidak khianat.
3. Tablik, yaitu menyampaikan perintah Allah, sifat mokalnya Kitam.
4. Pathanah, yaitu bijaksana atau tidak bertindak bodoh.
Sifat wenang (kuasa) hanya Cuma satu yaitu yang disebut Aral Bashri, artinya yang tidak cacat (membuat cacat kerasulannya).
Seperti itu sifatnya Nabi yang dikehendaki oleh Allah. Beda dengan orang bisaa, orang bisaa kebanyakan hanya memakai sifat mokalnya (sebaliknya), maka dengan itu Nabi itu salah satu penuntun yang bisa menerangkan bahwa Adam itu yang disebut kosong (Suwung – jawa).
Dikitab Al-Qur’an surat Al-An’aam : 98 ;
“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”
Kata-kata Seorang diri yang diatas mengandung arti jasmani, tubuh orang. Jadi kesimpulan dari arti itu bahwa asal dari Rahim ibu, lalu ada Qur’an yang menyebutkan Adam Nabi yang terdahulu umat yang mulia di Surga. Umpama dibalikan kepelajaran guru yang disebut diatas, Adam diartikan Suwung (kosong), menjadi asal usul manusia, apa tidak salah umpama diartikan orang, karena seorang diri (jasmani) masih memasang dasar asalnya dari orang. Jadi jika ada yang mengartikan (Qiyasan) asalnya dari yang kosong (suwung-jawa) itu tidak masuk akal, karena semua asalnya orang dari rahim sang ibu, oleh karena itu Adam itu asalnya dari orang.
Jadi Qiyasan (pendapat) kata kosong (suwung) tadi terhadap Wedaran Wirid (buku ini) keterangannya begini; semua isi Jagad raya (alam dan makhluk) asal dari Hakikatnya DAT yang wajib adanya Allah SWT dan mereka yang menciptakan yang disebut Allah, artinya yang kita sembah tetapi tidak nampak. Karena tidak nampak jadi disebut kosong (suwung). Selanjutnya mengartikan kata ADAM, walaupun dikatakan kosong, kenyataan bisa menciptakan Jagad raya seisinya, jadi yang berasal dari Dat dikatakan kosong tidak hanya manusia saja tetapi seluruh isi alam ini; malaikat, setan dan jin, semua berasal dari Dat Allah (kosong/suwung-jawa), maka terhadap manusia dari tidak ada (kosong), bayi lahir dari ibunya tidak tahu apa-apa. Kata lahir tidak tahu apa-apa itu alamnya bayi sewaktu keluar dari rahim ibu tidak tahu apa-apa, lahir dirumah, di rumah sakit atau di hutan, toh tidak tahu apa-apa (kosong), kenapa kalau memang kosong manusia bisa lahir sendiri, kenapa tidak mau mengakui kalau asalnya dari tidak ada (kosong)?, kenapa hanya ikut saja yang dikatakan Qodrat dan Irodat. Salahnya penngetahuan (pengertian) tentang kosong tadi disebabkan kurangnya penerangan atau memang tidak tahu sama sekali (bodoh).
•   Menerangkan bahwa ADAM itu namanya Nabi/Rasul menurut agama Islam dalam Al-Qur’an ADAm itu nabi yang diusir dari Surga ke dunia bersama istrinya Siti Hawa, kata ADAM itu berasal dari bahasa Ibrani, yang artinya orang laki-laki. Di Al-Qur’an tidak menerangkan bahwa Hawa itu asal dari tulang rusuk Adam. Pendapat itu sebenarnya Adam itu orang yang bergerak dari orang.
•   ADAM itu kosong (suwung-jawa), artinya manusia berdiri sendiri sebelum Allah dan Malaikat ada itu tidak benar, yang benar kosong itu sebenarnya adanya DAT yang satu adanya, tidak nampak tetapi ada, artinya ada tetapi tidak bisa diraba atau tidak bisa dijangkau oleh manusia, sebab sifatnya layu kayafu, sama dengan tidak ada tetapi bisa menciptakan seluruh Jagad Raya dengan kekuasaannya (Qodrat).
Kata ADAM (kosong) itu sendiri sewaktu diutus hidup didunia sebenarnya memberi pengertian terhadap keterangan itu mudah jika sudah mempunyai pegangan (keyakinan). Dan bagi yang tahu sedikit-sedikit ilmu dalam menerima pelajaran dan dihati harus bisa membandingkan dengan apa sudah kita dengar dan menjadi tekadnya. Bisa menambah terang, umpama dibandingkan dengan ilmu lain (gebengan-jawa). Oleh karena ilmu itu bukan dapat dari sendiri tetapi dari tanah jawa, maka perguruan lebih baik para muridnya diberi kemudahan untuk bertanya, jangan terikat dengan peraturan yang melarang para murid menyamakan ilmu/pendapat orang lain. Maka dari itu ilmunya, Allah itu bisa diketahui hanya melalui manusia yang tujuannya hanya satu (benar). Ditanah jawa ilmu itu yang seperti bertingkat. Kata ilmu itu bahasa Arab, dalam bahasa jawa yaitu kaweruh.

Menurut Prof. Dr. Hazairin, ilmu itui tingkatnya hanya nampak (melihat); Si A pernah melihat Radio tetapi belum pernah menghidupkan apalagi memperbaiki, berarti si A belum mempunyai ilmu hanya melihat (buta ilmu). si B pernah melihat Radio, bisa menghidupkan dan bisa memperbaiki kerusakannya, berarti si B mempunyai ilmu dan mengetahui rahasia-rahasia Radio tersebut.


Bab (3)
MACAM-MACAM KEPERCAYAAN DAN PENDAPAT
TENTANG TUHAN (ALLAH)
Qur’an surat Al-Hadiid ayat 4-6;
4-“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy) Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
5-“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.”

6-“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Ilmuwan zaman dahulu Anaxagoras dari Clazomini (yunani), ia adalah seorang ahli ilmu pasti yang disebut sebagai seorang kafir, karena tidak percaya dewa-dewa, dan ilmunya dinamakan Atomistik, ilmuwan itulah yang menyiarkan; bila roh-roh itu tidak ada batasnya dan mewujudkan gerak tertib, selanjutnyanya roh-roh menyatu dengan tuhan-tuhanan, dan ia bertekad mengatakan roh-roh itu maha kuasa dan maha tahu. Ilmuwan lain yang sam pada waktu itu Anacagoras yaitu Anaximander dari Milete Ionia; kepercayaannya kealam raya (benda), tujuannya; asalnya benda-benda itu dari zat tanpa awal tanpa akhir dan tidak bisa ditebak, zat itu disebut Apeiron, artinya kekal (abadi), menurut kepercayaannya (Apeiron) adalah tentang jiwa (roh), pendapatnya bila roh-roh itu seperti Hawa dan Angin. Ilmuwan Ibnu Araby Al Halady dan syeh Siti Jenar sama pendapatnya, jika manusia itu berasal dari Hakikatnya Maha Agung, artinya penyempurna DAT, dan Faham itu disebut Widatul Wujud. Pendapat memutuskan Allah dan manusia menyatu, dalam bahasa Wiridan disebut Chaliq, dan makhluk itu satu (menyatu), begini keterangannya; DAT Yang Maha Kuasa itu meliputi adanya sifat Ujud, tidak luar tidak didalam, tidak bertempat, tidak zaman, tidak laki-laki tidak perempuan, tidak beranak tidak diberanakan, tetapi meliputi Jagat Raya, lihat firman Allah, surat Al-Hadiid : 4-6, seperti diatas.

Artinya ayat-ayat tadi Al-Hadiid 4-6; kepada siapa saja yang diciptakan tidak dibeda-bedakan (pilih kasih), yang sifat baharu semua diliputi Zat Allah. Semua itu untuk membuktikan kepada orang yang berpendapat Allah itu pilih kasih dan ada yang disayang karena dari adanya pendapat yang bermacam-macam lalu ada ada golongan yang memberanikan bahwa Allah bisa dijumpai dengan manusia dengan memuja cara masing-masing. Sebelum adanya peraturan agama, ada peraturan yang menetapkan bisa jumpa dengan Allah karena menyembah kepada benda untuk perantara. Faham tadi dinamakan Animisme yang menambah kepercayaan golongan tersebut. Manusia itu mempunyai hidup terus sesudah mati, oleh karena hidup itu Hakikatnya Allah. Allah itu meliputi semua maka menjumpai memakai (memuja) kayu, batu, patung; paham (kepercayaan) itu bisa saja percaya ada DAT yang wajib adanya, tetapi tanpa keterangan, jadi pekerjaan tadi hanya yakin ada dan cinta, jadi faham yang tidak terang, tetapi didalam hati bisa menciptakan/mengarang bahwa Allah itu ada dan menyatu, faham tadi disebut Antropormophisme. Ujud/nyata disini berarti karangan-karangan yang timbul dari angan-angan lalu ada golongan yang nebak-nebak bahwa Allah itu bisa menjelma menjadi orang, dan orang itu disebut Allah. Kitab Injil, Taurat asal pertamanya terjadi Jagat Raya;
•   Allah menciptakan manusia melalui cahayanya.
•   Tidak ada orang yang bisa dekat dengan Rama (Allah), kecuali tidak keluar dari Rama aku, umpama kamu bisa mengenalku pasti kamu mengenalku (Rama).
•   Orang yang bisa melihatku, jadi sudah bisa melihat sang Rama, sang Rama ada berada padaku.
Kata Citra tersebut diatas maksudnya sinar yang memancar, itu kata karangan, dalam perkataan Wirid disebut Hakikat, sudah sebenarnya manusia itu asal Hakikatnya Tuhan. Menurut trilogy Kristen; Tuhan sifatnya Rama sang Putra dan Rohulkudus/Rohsuji (perkataan sang Rama lebih kurang adalah DAT yang wajib adanya) Tuhan yang disembah yang paling tinggi sekali. Sang Putra sinarnya Rama (Hakikatnya cahaya tuhan) atau yang dinamakan Citra yang sifatnya makhluk yang memiliki sifat 20, Rohul kudus itu roh suci yang menempati sifatnya manusia. Karena manusia sifatnya sempurna, lalu manusia memiliki Rohul Kudus, Rohul kudus itu bisa disebut sejatinya aku, lebih-lebih tentang kemajuan rasionalnya (akal pikir) orang saja.

Surat Injil diatas tadi lalu ada perkataan; “orang yang bisa melihat aku, jadi sudah melihat sang Rama”. Keteranngannya; orang yang sudah mengetahui / melihat aku sama seperti sudah mengetahui / melihat Allah. Jadi kata melihat artinya bukan dengan mata, tetapi melihat melalui hati, yakin dengan diri sendiri, aku itu meliputi Hakikatnya Allah.

Wihdatul Wujud asal dari bahasa Allah, Pembagiannya begini :
• Wihda dari kata Wahdat, artinya Satu.
• Wujud artinya Ada.
Jadi Wihdatul Wujud itu adalah Satu dan Ada (Kahanan Tunggal = Bahasa Jawa), yang menciptakan dan yang diciptakan, bahasa Ilmu (Wirid) Chaliq dan Makhluk, artinya lebih kurang Chaliq tidak ada dan Makhluk tidak ada. Sebaliknya kalau Manusia tidak ada, maka Manusia dan Chaliq tidak ada yang menyebut. Dibagian keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud banyak para Ulama yang tidak sepakat pendapatnya atau sama tidak percaya pendapat tadi karena keadaan tunggal itu pecahan para Pertapa, Sufi, Filsuf. Ada pendapat yang simpang siur, yang satu mengatakan Chaliq dan Makhluk itu Dua, artinya Allah disamakan berada disuatu tempat dan makhluk ada tempatnya masing-masing. Di Jawa menurut surat Wirid dan sejarah-sejarah ada seorang Wali mempunyai pendapat bahwa Wihdatul Wujud itu namanya Syeh Siti Jenar, ditanah Jawa dulu ada Wali 9 (Songo=Jawa) didemak, para Wali menurut sejarah mereka tidak suka kepada Syeh Siti Jenar, karena tidak sepaham dengan para Wali, lalu dimusuhi dan ilmunya sampai sekarang diketahui.
Ditahun 858 Masehi di Persia ada pujangga namanya Al Hallaj, dia terkenal didunia barat dan timur dengan bukunya dan buku-buku tersebut ditulis dengan bahasa masing-masing negara/daerah, pendapatnya mengakui Wihdatul Wujud (Yang Kuasa) adalah Tuhan Esa, dan Al Hallaj tadi dihukum oleh pemerintahan dizamannya, karena khawatir pengetahuan tadi berbahaya bagi masyarakat awam/umum.

Kepercayaan Wihdatul Wujud disebut keadaan satu. Menurut pendapat Sarjana, Filsufi; Plato, Aristoteles, Al Hallaj, Syeh Siti Jenar dan menurut keterangan itu menebak bila Manusia sebenarnya penyempurnaan Dat Allah, keterangannya umpama Manusia dan Makhluk itu seperti Air yang jernih yang berada dibak air dan Allah di ibaratkan seperti Surya diatas langit yang memancarkan cahaya ke 1000 bak air tadi, dan isi 1000 bak air tadi jika dilihat masing-masing terdapat matahari/surya yang memancarkan sinarnya dari langit tetapi sebenarnya matahari tadi hanya satu.

Leluasa artinya benda, manusia, besar, kecil bergerak karena memiliki Dat Allah, seperti Bak Air tadi ada Mataharinya, dan bergerak menurut keadaannya (kodratnya). Ada lagi kepercayaan yang berpendapat Chaliq dan Makhluk itu ada dua. Keterangannya kalau Makhluk-makhluk dilihat dari Chaliq (melihat matahari) keadaannya tetap satu, kalau dilihat dari makhluk (bak air tadi) matahari lebih dari satu, yaitu Makhluk (bak air) satu, Chaliq (tuhan) dua, artinya Matahari ada 1 (satu) dibak dan 1 (satu) dilangit.

Al-Qur’an surat An-Najm : 43-44 ;
43. “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,”
44. “dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan,”
Yang menyebabkan tertawa dan menangis itu Allah, artinya Manusia sudah memiliki sifat Qodrat / Irodatnya sifat 20, lalu yang memberi sifat tadi mengikuti tertawa, menangis, jadi pendapat tadi berpedoman kepada ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebenarnya Allah itu meliputi kita semua (manusia);
1.  Dat Allah; tidak nampak, layu Kayafu, Nukat Gaib, orang tidak bisa melihat tetapi bisa menguasai, bisa menghidupi, bisa mematikan, bisa menangiskan dan bisa mentertawakan.
2.  Arti keterangan diatas mengatakan tidak diragukan lagi karena Hakikatnya DAT (sifat 20) tadi, karena umat manusia tidak berhak mengatakan bahwa manusia sama dengan Allah, walaupun memiliki DAT (sifat 20) yang lengkap, karena manusia tidak mempunyai kekuasaan (Wenang – Jawa).
Oleh karena itu lalu ada pendapat bila Allah dan Umat itu dua (Allah,Umat), ada yang mengatakan Allah dan Umat itu satu (Esa); Datnya sama, geraknya sama, Hakikatnya sama, karena semua sama-sama yang menguasai dan yang dikuasai, lalu diartiikan satu Dat Allah. umpama Siti itu bisa merubah diri apa saja, Dat Siti sama geraknya dengan Siti, tetapi Siti sulit untuk menyebut badannya sendiri, seolah-olah bertanya kepada diri sendiri “dari mana asalnya ini?”. Jadi keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud asal dari satu DAT bisa menjelma apa saja.

Mempelajari Pelajaran (Wedaran Wirid – Jawanya) Bab Sifat 20 itu memang sulit, karena yang diterangkan tentanng mengenai Allah (Tuhan), jadi memang sebenarnya para leluhur dizaman dahulu memikirkan tentang yang sangat sulit, karena memikirkan kalau salah menerima bisa membahayakan hidupnya sendiri dan masyarakat umum.
Almarhum Mahatma Gandhi (India) sangat memuji kepada kepribadian Nabi Muhammad SAW, karena satu tujuan yaitu menyembah kepada Satu Allah, kalau dilihat kepercayaannya, Mahatma Gandhi itu pujangga Budha, dan Nabu Muhammad penyebar Agama Islam. Kalau difikir tujuan Mahatma Gandhi tentang Tuhan (Allah) adalah satu, hanya beda nama tetapi tujuan sama.

Pujangga Islam Syeh M. Abdul pernah berteman dengan pujangga Kristen Graaf leo Tolstoy, dan berpendapat Nabi Muhammad SAW tidak beda dengan Mahatma Gandhi. Menurut surat-surat M. Abdul dan Tolstoy sama-sama mempercayai agamanya masing-masing. Adanya hubungan tadi hanya menyatukan tekat yang dikatakan MONOTHISME, artinya menentukan Allah itu Satu utuh (Esa). dari contoh-contoh itu lalu jelas Kitab Allah itu bahwa walaupun beda namanya tetapi sama tujuannya, yaitu menetapkan Allah itu satu (Monothisme). Beda keterangan yang terdapat pada kitab-kitab tadi yaitu :

• Agama Islam; Allah – Sifat 20;
• Agama Kristen; Trimurti – Tuhan Rama;
• Agama Budha; Tuhan Trimurti sang Budha.
Semua itu hanya sebagai pedoman, artinya untuk contoh jalannya ilmu pengetahuan, lalu ada pendapat yang berbeda-beda, itu dapat dari turun temurun, Allah mengutus para Nabi, penganutnya sama-sama meyakini ajaran Nabi Musa pada zaman itu, dan sampai sekarang tetap tidak setuju dengan pendapat lain, karena dihati yakin terhadap ajaran Nabi Musa yang dianggap benar;
•   Ajaran Nabi musa yang utuh terdapat 10 (sepuluh) ajaran, dan pada zaman dahulu masyarakat belum seperti sekarang kemajuannya, turun temurun penganutnya sama-sama membenarkan ajaran Nabi Musa, dan sampai sekarang tidak setuju pada agama lain, karena ajaran Nabi Musa dinggap paling benar.
•   Ajaran Nabi Isa itu menjadi ukuran masyarakat zaman dahulu sampai sekarang, turun temurun tetap menjadi kepercayaan (dianut).
•   Ajaran Nabi Muhammad SAW, begitu juga membenarkan pada ajaran-ajaran Nabi-nabi, walaupun beda-beda tempat dan kemajuan cara berfikir, ajaran-ajaran tetap bertekad membenarkan Allah itu satu (Esa).
Bila demikian adanya keterangan 3 macam bisa disimpullkan dengan menurunkan kitab-kitab perantaraan Nabi-nabi Allah, menilai keadaan masyarakat bahwa Al-Qur’an itu kitab yang diturunkan untuk menutup segala kitab-kitab yang diturunkan, dengan isinya yang lengkap dan meliputi politik, ekonomi, bermasyarakat, pernikahan, hukum tata negara dan lain-lain, dan semua yang terpenting Al-Qur’an itu sifatnya Allah.
Seketika ada pertanyaan begini; “jika semua agama-agama itu kemauan Allah, kenapa baru sekarang menyatunya agama. Jawaban dari pertanyaan itu benar atau salah dinyatakan di Surat Al-hajj : 67 ;
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan Syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Keterangan dari ayat diatas begini; Agama contoh peraturan yang dikehendaki oleh Tuhan (Allah), intisarinya menuju yang benar, walupum agama tadi harus ditaati, walaupun lebih tua (lebih dahulu mencul) atau lebih tebal kitabnya, semua perintah menurut orang zaman dahulu tetap benar (lurus), yang membenarkan adalah orang yang sudah maju, menurut pendapat pasti benar untuk orang dizaman dahulu, walupun dikotak-katik (diubah-ubah) tetap benar (lurus), walupun yang membenarkan itu orang dizaman sekarang, Allah mengatakan “hati-hati, segala urusan agama itu jangan dibuat perdebatan”, sebab yang penting agama-agama itu merupakan perkataan-perkataan Allah (Firman Allah). Allah itu pujaanmu (Sembahanmu), Allah itu ada. Bila diteliti dari agama Budha, Kristen, Islam, Majusi, Sinta, Hindu, Tao, Zorowaster; semua itu seperti sungai yang mengalir deras, panjang, lebar dan mengalir pelan; semua mengalir kearah laut (samudra). Ada pertanyaan begini; “apakah agama tadi bisa bersatu dengan upacara !!”, ada yang mempunyai tekad menyatukan agama-agama itu, ia seorang Cendikiawan Sufi dari Persia yang terkenal, namanya Al-Hallaj, sebelum Cendikiawan tadi wafat, ia mempunyai tekad satu, yaitu peraturan Allah untuk Allah, umpamanya tercapai dan bisa menyatukan bangsa berjuta-juta.
Tekadnya Anaxagoras tentang Hakikatnya Roh, itu umpama diteliti belok dari tujuannya yang berwujud benda, barang dll, itu sampai sekarang belum ada satu manusiapun yang membuktikannya, umpama ada orang yang cerita bisa melihat Roh, sebenarnya hanya bisa menjerumuskan, dan firman Allah surat Al-Isra : 85 ;
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Kata sedikit itu tidak berarti barangnya, hanya sepengetahuan, buktinya orang bisa memilih hidup itu apa.. walaupun nanti pikiran manusia sudah maju, mengenai Esa itu belum ada Nabi, Wali, Mukmin, Sarjana, Profesor, Doktor dan lain-lain yang bisa memegang Roh, walaupun Roh semut, yaitu yang dinamakan Gaibnya Allah.
Didunia modern sangat membingungkan tentang Allah, lalu ada paham Athisme yang membantah ada Allah.
Menurut Paham tadi Allah tidak ada, hanya ciptaan manusia. Penafsiran ketuhanan itu tidak bisa untuk landasan mencari hukum kejadian dan sebabnya. Francis Bacon mengatakan dizaman kemajuan ilmu, zaman makmur semakin banyak orang yang tidak percaya kepada Allah, kenapa waktu miskin, gembel, perut lapar, sakit lalu manusia mencari pegangan (kepercayaan) kepada Allah.
Bacovan Ferulame berkata demikian; sorang Athist itu orang-orang yang hatinya palsu, tidak jujur. Untuk penutup tentang Ikhtikat macam-macam untuk ketuhanan, disini perlu tambahan pendapat tentang ajaran Sidarta Gaotama, yaitu Sri Budha Gaotama, begini; menurut berabad-abad kebudhaan itu bukan agama, tetapi suatu pendapat bahwa sebenarnya kebudhaan agama Tuhan, sebab yang menyiarkan adalah seorang ahli tapa, dan kata dari Tuhan melalui sang petapa Sri Budha Gaotama, bedanya apa?, Nabi Muhammad bertapa di Gua Hira di tanah Arab, sang Gaotama bertapa di pohon Budhi dan dua-duanya mendapat kitab.
Ajaran kebudhaan menghilangkan (melepaskan diri) dari kesengsaraan (kesusahan) menggunakan kekuatan diri sendiri, dan Maha Budha hanya memberi hidayah, taufik dan berkah, maksudnya pusat azas abadi atau pusatnya sumber yang ada (Jagat Raya).
Pelajaran itu ternyata merupakan kebutuhannya manusia dan membenarkan bahwa kesengsaraan (penderitaan) itu sumbernya adalah Nafsu, maka nafsu itu harus dikendalikan, jalannya harus konsentrasi, meditasi, yaitu Dhiyana atau Semedi (At’tauhid bahasa arabnya) menurut keyakinan menuju kebudi (Qalbu bahasa arabnya) dan bersama melalui tata tertib susila, sesudah bisa mengendalikan Nafsu, baru bisa menerima pelajaran bila Budi (kesadaran diri) pribadi itu tiak ada, jadi hidup merasa sendiri (individu) itu salah, sebenarnya harus merasa hidup menyatu, berdiri tidak sendiri-sendiri (universalisme) dicocokan dengan sifat Afhngalnya Allah.
Selanjutnya bila sudah bisa menyatu dengan keabadian tidak terikat dengan suatu sebab dan akibatnya (Karma) yang berubah-ubah, karena dengan perbuatan sendiri menyebabkan penderitaan, dengan tujuan yang baku (utama) menuju ke alam Nirwana, alam yang tidak terjamah oleh apapun.
Budisme (agama Budha) itu tidak mengakui adanya roh (jiwa) pribadi, manusia itu hanya membuktikan paduan dari kumpulan zat yang hanya selalu bergerak berubah-ubah tidak kekal, karena perbuatan sendiri, dan perbuatan orang lain, keterangannya lebih kurang sebagai berikut :
• Masuk Agama Budha;
• Mengerjakan perintah yang Suji;
• Menjalankan Puja (menyembah).
Artinya ;
a.  Darma itu undang-undang Tarikat yang untuk ke Budhaan (agama Budha)
b.  Jalannya untuk menuju kebebasan kecuali semedi harus memenuhi syarat-syarat; berbicara harus yang benar, tekad yang benar, pikirang yang benar, pekerjaan, hidupnya sederhana, watak yang benar, jujur dan Suji (Ikhlas).
Keyakinan (kepercayaan) Hindu, yang disebut Trimurti atau bentuk sifatnya Allah itu :
1.  Brahmana sifat yanng menciptakan Jagat Raya dan umat;

2.  Whisnu sifat yang menggerakkan semua yang tercipta;
3.  Shiwa, sifat yangn merusak semua yang tercipta, yaitu kalau diteliti sifat Allah yang Irodat dan Qodrat yang dimilliki manusia terdapat keadaan hidup, berkeluarga dan matinya.
Jadi Trimurti tadi untuk tanda saksi, kekuasaan Dat yang wajib tadi untuk kehidupan manusia, hewann tumbuh-tumbuhan, bakteri, Jin; tidak kekal (tidak abadi) tetapi Dat yang berkuasa tadi kekal (abadi).
Ajaran Budha tentang Nyuiji terhadap Allah azas abadi itu umpama diteliti dengan ajaran Islam tepat sekali; tidak salah, yaitu bahasa Arab bahasa Tauhid (ketuhanan Theologi) keterangan seperti ini; kata Tauhid dari kata hitungan Wahid (satu), lalu menjadi At’tauhid menjadi ilmu Tauhid. Wahid bahasa jawa, kalau Sunda Ngawahid, bahasa Indonesia mewahid, karena bahasa Arab menjadi menjadi Tauhid, artinya menyatukan (menyatu dengan Dat tadi). Begitupun ajaran Sariah Islam menyatukan dengan Allah, bukan menduakan Tuhan (Syirik) dan At’tauhid ilmu yang menyatakan tentang ketuhanan, ilmu tentang mengupas sifat-sifat Allah yang lengkap.
Keterangan dalam Wirid, kata menyatu (menghusyukkan – Arabnya) menyatu dengan yang satu (unversalisme – Budha) menghilangkan perasaan lebih dari satu (husyuk – Arabnya) itu hilang dari perasaan. Jadi ilmu Tauhid itu suatu ilmu menyatu dengan Dat Allah wajib adanya atau ilmu yang mengatur cara-cara menghilangkan perasaan, pikiran yang bekerja sendiri-sendiri (individual) supaya merasa dirinya sendiri (universal – Budha). Begitu pula yang penting, ilmu yang menerangkan cara untuk menyucikan diri dengan Dat yang maha kuasa dengan cara membuktikan dengan rasa menyatunya umat-umatnya dan Tuhannya (Chaliq dan Umatnya). Lalu tidak hanya pengetahuan (cara berfikir) pasti harus membuktikan dengan Meditasi, Yoga (Semedi). Umpama saya yakin betul dengan Dat Allah tidak pisah dengan kita (manusia) itu termasuk masih dalam pengertian (pengetahuan) harus kita buktikan dengan jalan atau ilmu; semedi, Tafakur, Yoga, Meditasi, yang penting menuju ketuhannya. Tuhan itu tidak bisa dijangkau, Dat yang tidak bisa dijangkau itu disebut Tarikat, keterangannya sebagai berikut :
Kita harus berguru, membaca buku tentang ketuhanan, maksudnya pengetahuan yang menggunakan pikiran, akal bisa dikatakan ahli kitab. Ahli-ahli kitab itu Tarikat, walaupun berhenti dipengetahuan, jadi kalau disuruh membuktikan tidak bisa, lalu Tarikat tadi harus menjalani dulu sebelum Ma’rifat, sebab Tarikat disebut kaya pengetahuan, menuju cerdasnya pikiran (perasaan) umpama nanti bisa mencapai Ma’rifat tidak bisa ditipu. Hidup bergerak-gerak kalau sudah bisa menyingkirkan perasaan yang bermacam-macam menjadi aku (ingsun-Jawa) yang satu sebenarnya, baru nama tingkatan yang kita lalui belum ada apa-apa, masih jauh. Bila memakai perasaan sendiri atau aku satu itu tadi masih merasakan. Sempurnanya tujuan harus melalui Ma’rifat.


Bab (4)
KETERANGAN SIFAT 20
Manusia ditakdirkan/diciptakan sempurna karena mempunyai pikiran/akal dan alat perasa serta jasmani, Maka Ulama di zaman dahulu mempunyai pendapat bahwa Allah sebenarnya yang menciptakan, dan sebahagian besar menyebutkan sifat-sifat manusia sendiri adalah panca indra seperti Mata, Hidung, Mulut, Telinga dan Lidah. Beda dengan makhluk lain seperti binatang, walaupun mempunyai alat seperti manusia tetapi tidak lengkap, oleh karena itu hidupnya makhluk-makhluk tadi ikut kodrat masing-masing, bisa melihat, berjalan dan makan tapi tidak punya akal untuk berusaha dan sudah pasti hidupnya kurang lengkap. Berdasarkan keadaan, maka para orang bijak mempunyai pendapat ; bila manusia itu sifatnya lengkap dan tidak bisa berubah artinya Allah itu tidak kekurangan sifat seperti yang diciptakan. Walaupun semua Ulama sudah sampai disatu pendapat, tetap tidak bisa menemukan Allah SWT.

Maka dalam Wirid/pelajaran, Allah itu tidak bisa dijangkau oleh alat apapun bahkan oleh pikiran/perasaan. Jadi para ulama menyebut Dat yang maha agung yang bisa menciptakan Jagad raya.

Selanjutnnya keterangan sifat 20 (dua puluh) begini; Atas nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, terlebih dahulu dikutip dari buku Wirid Hidayat Jati tinggalan Ronggo Warsito;
Sebelum ada apa-apa yang ada hanya Allah yang berada dalam NUKAT GAIB yang diberi nama Qun, yaitu DAT sejati, Nukat artinya bibit, dan Gaib adalah samar/tidak nampak oleh mata yang disebut Nur Muhammad, yaitu Cahaya yang terang sekali tanpa bayangan, yang disebut sifat sejati QUN lalu FAYAQUN. Qun artinya Allah Bersabda (berkata) dan Fayaqun artinya Terjadi semua Afhngal (selamanya). Semua itu menjadi asalnya yang terjadi disebut Anasir Sejati. Jadi Allah memiliki 4 Anasir yaitu Dat, Sifat, Asma dan Afhngal.

Umpama penerimaan salah, pelajaran yang diatas tadi ada kata tempat di Nukat Gaib (benih yang tidak nampak) itu pasti dapat menimbulkan pendapat bahwa Allah itu berada disuatu tempat, karena disebut Layu Kayafu, itu semua salah, Allah tidak bisa disentuh atau dijangkau oleh apa saja, tidak ada yang menyerupai, karena semua itu sifat Baru (yang sudah ada).

Almarhum Kyai Agus Salim pernah berbicara; bahwa dasar agama Islam itu lebih dulu mengetahui nama Allah dan selanjutnya seluruh yang ada (Jagad Raya). Mustahil kalau tidak ada yang menciptakan, karena yang menciptakan wajib adanya (mokal dan wajib). Itu sebabnya manusia hanya menjumpai yang sudah ada dan tetap tidak bisa berubah. Kata mempunyai atau yang terjadi itu dalam bahasa Wirid/Pelajaran yaitu menyatu dan berpisah artinya sama, karena pusatnya itu Allah.

Wirid Hidayat Jati tersebut diatas akan diterangkan hanya soal 4 Anasir saja, oleh sebab itu akan dijumpai dibacaan ke-2. penelitian tentang 4 Anasir menurut catatan pelajaran agama yang tersebut dibawah ini:
1. Dat Allah yang tidak bisa dilihat tetapi mencakup/meliputi seluruh yang diciptakan semua yang dijumpai makhluk. Terbukti Layu Kayafu (tidak bisa diganggu oleh apapun), semua keterangan ada dibelakang. Umpama ada ikhtikat kepercayaan menceritakan manusia dapat / jumpa atau menghadap maju mundur dengan Allah, karena lupa dengan yang disebut Layu Kayafu.
2. Sifat itu sebetulnya perkataan sesudah ada Dat, artinya kekuasaan Dat Allah yang sebenarnya bisa menciptakan apa saja dan mempunyai sifat seluruh yang diciptakan.
Dengan kehendak Allah sifat itu apa yang telah diciptakan, sifat itu berjuta-juta (milyaran) warnanya, seperti yang tertulis dikitab Al-Quran, yang menyebutkan kekuasaan, keagungan dan Daya keperkasaan, umpanya bisa menidurkan, membangunkan,    menangiskan, menghidupkan benih. Oleh karenanya sifat-sifat yang begitu terdapat pada manusia. Para Ulama zaman dahulu kala sama-sama membicarakan satu keputusan bahwa sifat DAT yang wajib adanya itu menguasai manusia yang banyaknya 20+20+1,    maksudnya itu mempunyai sifat 20 yang wajib (tidak berubah-ubah), 20 lagi sifat    Mokal (bisa rusak/berubah) dan yang 1 adalah kuasa (wenang dalam bahasa jawa).    Jika difikir dengan benar bahwa sifat 20 itu menyatu dengan manusia, maka itulah disebut cukup alatnya. Oleh sebab itu manusia diwibawai dengan sifat 20 tadi,    umpamanya melihat, mendengar, hidup, bicara dan lain-lain. Semua sifat-sifat    Allah tersebut disebutkan dibawah ini;

SIFAT 20 ARTINYA
1. WUJUD = ADA
2. QIDAM = TIDAK ADA YG MENDAHULUI
3. BAQA = KEKAL
4. MUHALAFALIL HAWADIS = BEDA DENGAN YG BARU
5.QIYAMUH BINAFSIHI = BERDIRI SENDIRI
6. WAHDA NIYAT = MENYATU
7. QODRAT = KUASA
8. IRODAT = KEHENDAK
9. ILMU = PENGETAHUAN
10. HAYAT = HIDUP
11. SAMAK = MENDENGAR
12. BASHAR = MELIHAT
13. QALAM = BERKATA
14. QADIRAN = YANG MEMPUNYAI KUASA
15. MURIDAN = YANG MEMPUNYAI KEHENDAK
16. ALIMAN = YANG MEMPUNYAI ILMU
17. HAYAN = YANG MEMPUNYAI HIDUP
18. SAMIAN = YANG MEMPUNYAI PENDENGARAN
19. BASIRAN = YANG MEMPUNYAI PENGLIHATAN
20. MUTAKALINAN = YANG MEMPUNYAI PERKATAAN
Menurut pelajar Usuluddin bahwa sifat 20 itu diringkas menjadi 4;
1. Sifat kesatu disebut Nafsiah yaitu untuk badan (jasmani) nyata.
2. Sifat kedua sampai keenam disebut Salbiyah, yaitu sifat yang kekal.
3. Sifat Ke-7 sampai Ke-13 disebut Ma’ani, yaitu yang memiliki sifat Nafsiah, jika diteliti bekerjanya badan manusia bisa langsung bicara, mendengar dan berfikir.
4. Sifat ke-14 sampai ke-20 disebut Maknawiyah, yaitu yang memiliki sifat Ma’ani, artinya bisa bergerak, berkuasa, mempunyai kemauan dan ilmu.
Itu semua sifat yang utuh untuk menggerakkan, terdapat pada sifat ke-7 sampai ke-13, yaitu yang menghidupi badan manusia sehingga bisa bergerak dan yang menggerakkan terdapat pada sifat ke-14 sampai ke-20. Supaya jelas Dat Allah bisa menciptakan apa yang dikehendaki, lalu ada bentuk (wujud) manusia yang disebut Nafsiah, Karena hidupnya manusia mempunyai sifat-sifat 20. jadi bekerjanya sifat Ma’ani untuk manusia oleh karena manusia mempunyai sifat-sifat ke-14 dan ke-20. Tanda-tanda bukti (terbukti) sifat Qodrat (kuasa) itu sifatnya tetap berkuasa. Untuk manusia kekuasaan itu hanya memakai akibatnya daya yang memiliki kekuasaan Allah, contoh salah satunya sifat DAT. Umpama sifat ke-18 : (Sami’an) yang mendengarkan itu berada ditelinga, jadi ditelinga bisanya mendengarkan memiliki sifat Samak, dan terjadinya sifat Maknawiyah itu karena mempunyai sifat Ma’ani. Jelasnya Dayanya sifat Samak langsung bisa untuk mengetahui itu sesudah mempunyai sifat Wujud (ujud)/nyata yaitu telinga yang dimiliki manusia. Kalau salah penerimaan, kadang menjadi lupa dan menganggap Allah itu bertempat pada manusia, sebenarnya manusia itu hanya memakai Hakikatnya sifat-sifat Allah. Walaupun tidak berada ditelinga, Allah itu bisa mendengar, oleh karena Allah yang memilki semua sifat tersebut. Maka dari itu membaca Hidayat Jati itu harus dikaji, karena satu-satunya induknya pengetahuan, artinya Hidayat Jati itu tidak salah, tetapi yang membacanya saja harus berfikir. Umpama membaca sifat-sifat yang disebutkan diatas harus diulang-ulang, baru dapat merasa tentram dan terang, baru suasana menjadi merasa terbuka pikirannya, Firman Allah Qur’an surat Ar-Ra’d : 28;

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Dipelajaran semua sifat tadi lalu diulas (dibahas) lagi nama dan perkataan dibawah ini;

a. Sifat ke-1 disebut sifat Jalal, artinya Maha Agung, yang dinamakan agung itu DAT yang menyelimuti/melingkupi apa yang diciptakan.
b. Sifat ke-2, 3, 4, 5 disebut sifat Jamal, artinya Maha Elok/Sempurna, yang sempurna itu sifatnya, sebab tidak ada yang sama (menyerupai). Bukan laki, bukan perempuan, bukan banci, tidak beranak, tidak diperanakan (walam yalid walam yulad walam yakullahukufuan ahad) tidak bisa dijangkau dan tidak nyata.
c. Sifat ke-11, 12, 13 dan sifat ke-18, 19, 20 disebut sifat Kamal, artinya Maha Sempurna dan Afhngal yang menciptakan keadaan tanpa cacat, sebab tidak ada makhluk yang mengherankan.
d. Sifat ke-6, 7, 8, 9, 10 dan ke-14, 15, 16, 17 disebut sifat Kahar, artinya Maha Wisesa (Maha Menguasai), melayani semua tanpa pilih kasih (tidak membeda-bedakan) walaupun Jin, syetan, Manusia, dan Hewan, oleh karena itu Allah disebut Suci, jadi siapa saja yang hidup bisa menyebut Allah dengan caranya masing-masing.
3. Asma/NAMA (julukan) itu hanya kata manusia, hanya untuk menyebut nama Allah wajib adanya, karena manusia berhak menolak dan menerima, hanya terbawa diri sendiri karena bisa bicara (ngomong) mengatakan penguasa tinggi adalah Allah. Yang Maha Kuasa disembah/dipuja dan tidak bisa dilihat (tidak nyata), karena Hakikatnya menyelamatkan umat manusia, lalu menyebutnya macam-macam menurut pengetahuan masing-masing.

Keterangan : satu-satunya orang menyebut Allah ada.
Hidayat jati menerangkan Allah hanya nama pribadinya, pribadi itu bentuk manusia yang lengkap memiliki Datnya Allah. dan Datnya Allah meliputi Jagad Raya.

Firman Allah menyatakan Qur’an surat Fushshilat (Hammim As-Sajdah) : 54
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
Karena Dat itu meliputi seluruh yang ada, manusia langsung mengakui bahwa Allah itu meliputi tidak diluar dan tidak didalam, seperti sirih; akar, pohon dan daun baunya sama. Oleh karena umpama Datnya Allah itu seperti rasanya sirih, karena sulit untuk ditebak, dinyatakan “tidak diluar dan tidak didalam”

4. Afhngal (geraknya Allah).
Karena Afhngal (gerak) semua makhluk yang diciptakan apa saja, Atom, seluruh zat gaib; Syetan, Malaikat dan manusia. Semua mengandung zat Allah. Jadi Jagad raya itu tidak pernah berubah (tetap) geraknya.
Bekerjanya Dat itu yang wajib sifatnya; tertib, Tentram, Adil, Suci, tidak membeda-bedakan, benar, tidak pernah berubah kekuasaannya. Umpama mau membuktikan setiap hari; ada orang membuat mainan dari kaleng diberi perputaran (as), minyak bensin dan roda, umpama mainan dibunyikan bisa berjalan, itu kerja yang membuat bisanya jalan barang tadi pasti sudah direncanakan dan memang pintar, kepintaran membuat barang disebut hakikatnya Dat yang membuat. Allah itu maha cerdik, lalu apa yang dikehendaki pasti jadi, pasti bergerak, itu contoh lain bagi tanda saksi bekerjanya (bergeraknya) DAT wajib adanya. Dari zaman dahulu kala jutaan tahun; bumi, matahari, bulan, bintang, udara dan lain-lainnya itu tarik menarik selamanya tanpa berubah, menjadikan daya alam (hukum-hukum alam) yang tertib seperti; siang, malam, panas, dingin tidak pernah berubah, tidak dapat diukur seberapa kekuatan DAT itu. karena sangat tertibnya dan tenang lalu timbul menuju arah satu, tidak cerai berai; terhadap manusia tiap hari tetap saling membutuhkan, contohnya begini;
a. Di hutan ada lebah madu glodok, madu kesukaan manusia dan lebah.
b. Karena madu lebah untuk jamu/obat, karena membutuhkan lalu mencari kehutan.
c. Di Hutan banyak bunga-bunga, itu saling dibutuhkan manusia, lebah, kupu-kupu saling mengisap.
d. Adilnya Yang Maha Kuasa; supaya kupu-kupu tadi selamat dari serbuan lebah dan manusia, sayapnya diciptakan satu warna dengan bunga-bunga tadi agar manusia dan lebah tidak bisa membedakan mana yang bunga dan mana yang kupu-kupu dikarenakan sayap kupu-kupu seperti bunga-bunga yang ada dihutan. Lama-lama manusia berusaha supaya lebah tadi semua berkumpul kerumahnya, lalu dibuatkan rumah-rumahan dari kayu yang dibuat seperti sarangnya, oleh karena itu manusia juga mempunyai kekuasaan mengatur lebah.
Jadi terjadinya manusia sebab dari yang satu (Allah), kalau difikir betul bentuk tentran ya DAT Allah SWT dan menuju yang satu menyebabkan terjadinya benar dan selamat. Apa buktinya bila manusia mempunyai kekuatan dari Allah, kata-kata mempunyai kekuatan bisa ditafsirkan manusia itu sama dengan Allah bagi orang yang salah tafsir (salah pendapat). Yang diatas menyatakan bila Allah itu mempunyai sifat 20 wajib, 20 mokal (sebaliknya) dan sifat berkuasa (Yang Maha Kuasa / Wenang dalam bahasa jawa), kuasa artinya yang menciptakan semua yang ada didunia ini.
1. WUJUD (Ujud) artinya ada (Allah), yang telah menciptakan Jagad Raya atau sebagai tanda saksi Bumi, Langit, Bintang, Matahari, Makhluk-makhluk semua dan Manusia Makhluk sempurna dan DAT yang tidak nampak itu wajib adanya. Keterangan itu orang bisa mengatakan ada (Ujud) karena diciptakan yaitu merupakan jasmani, hanya Cuma pinjam. Karena itu kitab Usuludin mengatakan sifat Ke-1 WUJUD untuk jasmani, itu sebabnya manusia bisa bergerak-gerak, kalau tidak ada berarti mati, sebab mati itu tidak bisa mengatakan (bicara) apa-apa.
2. QIDAM / Dulu tidak ada yang mendahului, maksudnya Allah itu Allah itu tidak ada yang lebih dulu dari padanya. Jadi jika ada sifat yang mendahului itu berarti bukan Allah. Jikalau ada yang mendahului itu pasti bukan Allah (Allah lebih dari satu), Allah 1 dan Allah 2 berebut kekuasaan, jadi manusia mengatakan Allah itu tidak ada.
3. BAQA (Abadi/kekal), maksudnya tidak bisa berubah selamanya. Jagad Raya yang diciptakan tadi tetap ujud tidak pernah berubah (abadi), Allah itu tidak seperti barang. Baru itupun yang mengatakan orang yang hidup. Sifat Allah yang bisa kita rasakan; Abadi itu sifatnya Allah sendiri sifat ke-1 sampai ke-20. Bukti untuk ukuran manusia, lidah tidak bisa merasakan manis/kelat sawo itu bila dimakan (dirasakan). Jadi sawo manis dan kelat bisa dirasakan, tetapi manis dan kelat itu sifatnya (langeng dalam bahasa jawa) kekal walaupun tidak dimakan orang. Kekalnya manusia karena bergerak, kekalnya sawo karena manis. Abadi itu batasnya masih hidup (sebelum mati). Jadi adanya senang, susah, dingin, panas yang memiliki (merasakan) orang hidup. Walaupun orang sudah mati siabadi tetap disebut abadi oleh orang yang masih hidup.
4. MUHALAFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru), artinya sifat-sifat Allah yang tidak bisa disamakan (diungguli) oleh siapa saja, karena semua itu ciptaannya. Untuk manusia semua beda bentuknya disebut sifat Baru (beda dengan yang baru). Manusia dilahirkan dengan sifat baru, bisa berubah-rubah karena namanya manusia didunia dimanapun beradanya pasti sama, bersuku-suku, mempunyai mata, kaki, telinga dan lain-lain. Walaupun kata-kata beda dengan yang Baru manusia, beda dengan hewan walau sama-sama hidupnya (lembu dan kambing), 10 juta lembu dan kambing ya bentuknya sama semua. Misal Manusia ada 10 juta ya sifatnya sama. Allah SWT itu jika menciptakan makhluk satu dan yang lain berbeda antara Manusia, Binatang, tumbuh-tumbuhan. Maha Bijaksana Allah menciptakan isi Alam ini bisa membeda-bedakan ciptaannya, itulah yang disebut MUHALIFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru). Didunia banyak makhluk-makhluk yang mengherankan, semuanya berbeda-beda; Manusia, Lembu, Kambing, Lebah semuanya barang baru, beda dengan yang baru lagi. Semua tadi membuktikan (saksi) Allah menciptakan makhluknya menurut kehendaknya.
5. QIYAMUH BINAFSIHI (berdiri sendiri), artinya tidur nyeyak bangun sendiri, benih timbul sendiri dan Matahari, Bulan, Bintang, Siang, Malam bergerak sendiri tidak pernah berubah-ubah. Jadi yang bergerak itu mempunyai sifat Qiyamuhu Binafsihi, contoh lain Atom, Neutron, Positron, Elektron semua itu bisa (Makarti dalam bahasa jawa) atau bergerak karena mempunyai sifat berdiri dengan sendiri otomatis. Ilmu Kesehatan Plasma darah tetap jalan sendiri, sebab kena daya panas, umpama plasma itu bisa dipecah-pecah sampai halus walaupun tidak kena/tersentuh panas jika menempel ketubuh masih bisa berjalan sendiri. Semua ilmuwan mengakui bahwa Plasma-plasma itu hidup. Contoh lagi yang membuktikan memakai mikroskop ukuran 10,000 disitu terbukti Plasma tersebut bisa berjalan/bergerak-gerak (6 mm/jam). Ternyata habisnya pendapat tentang Allah yang menggerakkan makhluknya.
6. WAHDA NIYAT (satu), artinya tunggal, sifat itu mudah diterima karena bukan dua atau tiga, artinya satu itu meyakinkan bahwa adanya Allah. Untuk manusia adalah DAT, karena manusia asal dari DAT (zat) yang satu itu. Semua tujuannya benar, karena Dat Allah itu satu (Wahda niyat) yang memiliki sifat 20.
7. QODRAT (kuasa), keterangan itu begini; orang duduk dikursi akan berdiri dan langsung berdiri karena mempunyai sifat Qudrat /kuasa, sanggup memerintah dirinya. Qudrat air (kuasa air) tidak bisa memerintah, hanya mengalir ketempat yang lebih rendah dan merata (waterpass), bisa dilihat dari daya alam surya, panas, udara dingin menghembus, air (hydrogen) atom plus/minus bisa jadi elektrik. Yang Kuasa langsung membuat hukum-hukum alam yang teratur tidak bisa mengalami benturan. Qudrat itu diberikan kepada manusia tinggal pakai. Perkataan Qudrat jauh sekali, maka alat-alat manusia; Panca indra, pikiran dan nafsu itu dikodratkan oleh Allah karena manusia tadi mempunyai sifat Qudrat. Jadi semua tadi tinggal menggunakan Qudrat tadi. Qudrat Allah yang diciptakan semua sempurna dan mempunyai daya sendiri.
8. IRODAT (Kemauan/kehendak), jadi kehendak itu yang menguasai gerak, sifat Irodatnya diam (tidak bergerak), Irodatnya Allah yang melebihi (tidak wajar), umpama bayi kembar siam, bayi berkepala duapun di ciptakan.
9. ILMU (ilmu), manusia mempunyai pengetahuan karena mempunyai ilmu, dari sifat Allah Ilmu, manusia bisa membaca, menulis karena terbuka hatinya baru menulis karena terbuka hatinya baru mempunyai ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu bisa terlaksana sempurna jika terbuka hatinya (Kijabnya), benar Firman Allah Qur’an surat An-Nissa : 126 :
“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”
Begitupun orang yang tidak tau apa itu, bukan karena bodoh, tetapi karena memang masih belum terbuka hatinya (terbuka kijabnya). Terbukanya hati terhadap orang-orang jaman dahulu terjadinya para wali Allah. Ilmuwan/sarjana, Pujangga, yang terbuka hatinya menuju kepada ilmunya Allah yang sejati. Dan ilmu lainnya hanya untuk bermasyarakat, itu setiap orang bisa belajar (mempelajari).
10. HAYAT (hidup), yang dibilang hidup ialah makhluk yang bergerak karena memiliki sifat ke-10 (HAYAT) dan sifat mokal (sebaliknya, Mati), manusia hidup lebih sempurna sifat hidupnya dari pada makhluk lain. Manusia sifat Hayat lebih sempurna dari zat-zat hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebab manusia apa saja yang dikehendaki mesti tercapai walaupun perlahan (tidak merasakan) walaupun sifatnya gaib, sperma, basil, molekul-molekul yang tidak nampak, tetapi bisa dilihat dengan alat mikroskop maka terlihat bergerak-gerak. Itulah tanda bahwa DAT wajib adanya, sebab sifat Hayat meliputi Jagad Raya, dimana saja sifat Hayat tadi memberi daya. Intisarinya hidup itu bukan Allah, tetapi sifatnya mendayai (memberi daya) apa saja yang nampak dan tidak nampak (gaib). Gundik (jawa) Raja rayap itu dibungkus rapat dengan tanah liat sehingga tidak ada udara tetapi Raja Rayap tadi bisa hidup dan bertelur. Itu membuktikan sifat 20 meliputi seluruh keadaan, jadi hidup itu dimiliki semua makhluk, beda dengan manusia sifat hayat itu sempurna karena memilki sifat 20 yang lengkap sehingga bisa meneliti sifat-sifat Allah;
a. Tumbuh-tumbuhan hidup tetapi mempunyai sifat 20
b. Hewan hidup tetapi hanya memiliki sebagahagian sifat 20.
11. SAMAK (mendengar), memilki alat telinga mokalnya (jawa)/ sebaliknya tuli. Wirid Hidayat Jati yang asli halaman 12 baris kedua dari atas; DAT Allah Yang Maha Suci itu kalau melihat memakai mata kita, kalau mendengar melalui telinga kita, DAT ke-11 itu salah satu sifat Allah, walaupun punya telinga bila tidak dialiri sifat ke-11 (Samak) hanya telinga-telingaan. Pokok kata Dat sama walaupun tidak memakai telinga tetap mendengar, karena Allah yang memilki, manusia hanya memakai. Selanjutnya Datnya manusia adalah sifatnya Allah. Sebelum ada DAT tidak bisa mengetahui sifat (tidak ada), karena DAT Allah itu berada pada manusia dan manusia itu luhur (sempurna) karena itu hanya manusia yang memiliki sifat 20.
12. BASHAR (melihat), terhadap manusia dan hewan bekerjanya melalui mata, bukan berarti Allah melihat melalui manusia dan hewan, Allah itu melihat melalui mata kita kenapa kita tidak bisa melihat sebelum terjadi, sebab Allah melihat apa yang akan terjadi. Jadi pertanyaan salah menelaah tetapi benar, sebab terhadap umum (pendapat) pasti melihat itu karena mata yang melihat, sebab setiap melakukan pekerjaan selalu nampak jadi dinamakan Bashar. Jadi mata yang terang jika tidak dialiri sifat Allah yang namanya Bashar tentu tudak bisa melihat (buta), sifat mokal namanya. Bagaimana ukuran bagi Allah tentang sifat Bashar itu artinya Allah melihat tidak memakai mata karena Dat/sifat Bashar tadi memang sudah mempunyai daya sendiri, contoh orang tidur; mata tidak bisa melihat (bekerja) kenapa bisa melihat yang belum pernah dilihat atau mimpi (diwaktu mimpi). Jadi Dat yang memiliki sifat Bashar itu sebenarnya bekerja sendiri (Makarti dalam bahasa jawa). Dat yang bisa mengetahui tadi bisa dimiliki semua orang aktif (hidup), bekerjanya (Makartinya) tidak memerlukan pelajaran dan belajar, sebab anak-anak, orang dewasa selalu melihat yang belum pernah dilihat, sebab itu terjadinya bagi orang yang sempurna, orang bisaa bisanya melihat dengan tidak sengaja menurut kehendak Yang Maha Kuasa (Dat Bashar), sebab itu Dat Bashar itu salah satunya sifat Allah, lalu disebut Allah Yang Maha Melihat.
13. QALAM (berbicara), bicaranya Allah itu menurut sifatnya manusia bicara, burung berkicau dan lain-lain. Sifat-sifat yang baru dan semua isi Jagad Raya yang baru kehendaknya (Allah) atau sifat Allah yang dimiliki para Nabi, Wali dan Rasul-rasul Allah, yang maknanya menuju kebenaran, seperti kitab Al-Qur’an yang mengatakan Allah itu Rasullullah (Nabi Muhammad). Ukuran manusia sifat mokalnya / sebaliknya yaitu bisu, Sabda Allah menuju kebenaran. Orang yang bisa menunjukkan kesalahan menuju kebenaran adalah orang yang sudah memiliki sifat Qalam, umpama para Rasul, contoh manusia bergaul selalu salah menyalakan, Rasul lalu meluruskan (para Nabi), karena Rasul membawa Firman Allah, contohnya sifat ke-2 Qidam; dulu tidak ada yang mendahului, sifat ke-4 Muhalafah Lil Hawadis (sifat baharu/barang baru). Kata-kata yang benar itu tidak ada yang mendahului, artinya tidak ada ulur tarik dan tidak ada sifat mokal (saleh). Al-Qur’an itu semua tujuannya tdak ada yang berlawanan, terhadap perkataan yang dimiliki manusia, Wali, Mukmin yang telah sempurna, yang dibicarakan hanya perihal tentang Allah, perkataannya pasti benar, karena itu satu orang tidak sama oleh karena membuktikan, mereka mendapat Wahyu allah (sifat Qidam). Dan perkataan Allah beda dengan yang baru hanya terdapat pada manusia sendiri, artinya manusia berbicara berbeda dengan makhluk lain. Makhluk-makhluk yang memiliki sifat Qalam tidak hanya yang bisa bicara, tetapi semua bisaa bersuara karena dialiri oleh sifat Qalam.
14. QADIRAN (Yang Berkuasa), yang kuasa itu menurut ukuran manusia, umpama sudah mempunyai sifat Qudrat, karena memiliki sifat tadi, manusia bisa mengerjakan perintahnya, contoh mata; kalau tidur terpejam lalu bangun terbelalak-belalak, karena manusia mempunyai sifat Qadiran; bisa mejamkan mata dan membuka mata. Kuasanya manusia semua alat badan sebenarnya tidak tetap konsisten (tetap), tetapi berubah-ubah sebab manusia tidak bisa memerintah kodratnya mata, sewaktu mata tidak mengantuk; manusia tidak bisa membuka mata sampai lama dan pasti terasa pedih, memejamkan mata terus-menerus (lama) pasti tidak tahan karena tidak merasa mengantukl, jelas sifat Qadiran itu manusia bisa menundukkan alat tubuh jika tidak berlawanan demgan sipat kuasanya (kodratnya).
Keterangannya sipat Qadiran itu menyebabkan manusia bisa memerintah alat-alatnya karena alat sudah tercetak ucap kerja sama (constant) tidak pernah diperintah jadi yang bisa di perintah itu hanya alat-alat yang bekerja menurut kodratnya, karena manusia bisa merintahnya, itu karena memiliki sifat Qadiran. Yang lebih tinggi tingkatannya yaitu sifat Qodrat, sebab sifat Qodrat itu yang memiliki dan sifat Qadiran yang diberi.
15. MURIDAN (yang berkehendak), sifat itu terdapat (dimiliki) oleh manusia, artinya sesudah manusia memiliki sifat Irodat, Karena diberi sifat tadi (Irodat) manusia lalu disebut memilki sifat Irodat, contoh anak menulis itu mempunyai (mengerjakan), menulis itu pekerjaan (sifat). Untuk ukuran manusia sifat Muridan tadi terbukti rasa kemauan gerak, sebab dari gerak kemauan sebenarnya mannusia mempunyai sifat Irodat (kehendak), jadi bisa bicara karena mempunyai sifat Irodat, sifat Irodat bentuknya menjadi sifat sebagai yang memiliki (manusia).
Keterangan: diatas itu termasuk sifat-sifat ke-16, 17, 18, 19 dan 20, dan keterangan yang terakhir; sifat-sifat ke-1 sampai ke-20 sebenarnya hanya salah satu sifatnya Allah sendiri dan manusia seharusnya berterima kasih kepada Yang Maha Suci Allah, karena diciptakan memiliki sifat-sifat-Nya yang lengkap, begitu juga sifat Allah sendiri sifat 20+20+1; 20 Wajib + 20 Mokal (sebaliknya) + 1 Adil. Menurut para ahli, sifat-sifat yang dimiliki manusia itu disebut INGSUN (jawa), Purusha (Sansekerta), IKHEID (Belanda), Rabbi/Illahi (Arab), Pangeran/Gusti (jawa), Tuhanku (Indonesia}


-ooo-


18. BAB ; WIRID MAKLUMAT JATI :

Mengku wolung wiwiridhan – yaiku kasebut =

……….Wirayat – jati


……………………Laksita – jati


………………………………Panunggal – jati


………………………………………………Karana – jati


………………………………………………………….Purba – jati


…………………………………………………Saloka – jati


……………………………………….Sasmita – jati


……………………………..Wasana – jati


WIRID MAKLUMAT JATI :

Manggih wedharing ilmu kabatosan {kebatinan} sejati
UILAHENG HONGMANGARCARA, MATAYA, AWIGNA MASTUNA MASIDHEM, UPAH MAYANA SIWAHA

Suraosipun : dhuh hem adhuh, kawula nembah ing suksma, dununging panembah, sageda tinarimah lan angsal ganjaran saking kamirahanipun sanghyang guru, ingkang mengku sakliring papadhang.

I.   WIRAYAT- JATI
Anenggih punika pituduh ingkang sanyata,anggelaraken dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, wiwinih saking pamejangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitedah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking kitab taswuf. Panggelaring wejangan wau thukul saking kaweningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning pangeran, rinilan ambuka wedharing pangandikaning Pangeran dhateng Nabi Musa Kalamola, ingkang saraosipun mekaten
 : ING SABENER-BENERE MANUNGSA IKU KANYATAHANING PANGERAN, LAN PANGERAN IKU MUNG SAWIJI.
Pangandikaning Pangeran ingkang mekaten wau, imggih punika ingkang kawedharaken dados witing kawruh kasampurnan, ingkang lajeng kawedharaken deninng para gurunadi dhateng para ingkang sami katarimah puruitanipun. Dene wonten kawruh wau, lajeng kadhapuk 8 papangkatan sarta pamejangipun sarana kawisikaken ing taliwang kiwa. Mangertosipun : asung pepenget bilih wedharing kawruh kasampurnan, punika boten kenging kawejangaken dhateng sok tiyanga, dene kengingipun kawejangaken, namung dhateng tiyang ingkang sampun pinaringan Ilhamipun Pangeran. Tegesipun tiyang ingkang sampung tinarbuka papadhanging budi pangangen-angenipun (ciptanipun)
Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos serat punika ayuginipun sinembuka nunuwun ing Pangeran. Murih tinambuka ciptaning saged anempeni saha angcupi suraosing wejangan punika, awit suraosing pancen kepera nyata yen saklangkung gawat. Mila kasembadanipun saged angecupi punapa suraosing wejangan punika, inggih muhung dumunung  ing ndalem raosing cipta kemawon. Mila inggih mboten kenging kangge wiraosan kaliha tiyang ingkang dereng nunggil raos, inggih ingkang dereng kepareng angsal Ilhaming Pangeran. Hewa dene sanadyana kangge wiraosing kaliyan ingknag sampun nunggil raos, wedaling pangandika ugi mawia dudugi lan pramayogi, mangertosipun kedah angen mangsa lan empan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.
Menggah wonten wejangan 8 pangkat wau,
1.   Wewejangan ingkang rumiyin, dipun wastani : pitedahan wahananing Pangeran, sasadan pangandikanipun pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. makaten pangandikanipun: sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun sajatine kang urip luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat, sipat, afngal).
Menggah dunungipun mekaten : kang binasakake pangandika ora ana Pangeran anging ingsun, sejatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih gesang kita punika rinasuk dening Pangeran kita, menggahing warna nama lan pakarti kita, punika sadaya saking purbawisesaning pangeran kita, inggih kang sinuksma, tetep tinetepan, inggih kang misesa, inggih wang’ (daean inggih kang manuksma, inggih kang sinuksma, tetep tinetepan, inggih kang misesa, inggih kang kawisesa, umpami surya lan sunaripun, maben lan manisipun, sayekti boten saged den pisaha)

2.   Wewejangan ingkang kaping kalih, dipun wastani : Pambuka kahananing Pangeran, pamejangipun amarahaken papangkatan adeging gesang kita ing dalem 7 kahanan, sasadan pangandikanipun pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. makaten pangandikanipun : satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika saka kersa lan pepesteningsun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakertiningsun, kang dadi pratandha.
Kang dhihin, ingsun gumana ing dalem alam awang- uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasa, iya iku alam ingsun kang maksih piningit.
Kapindho, ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dumunung ana ing alam pasenedhaningsun
Kaping telu, ingsun anganakake wawayangan, miinangka panuksma lan dadi rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji.
Kaping pat, ingsun anganakake suksma, minangka dadhi pratanda kauripaningsun, dumunung ana ing alaming getih.
Kaping lima, ingsun anganakaken angen- angen kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalem alam kang lagi kena kaupamakake bae.
Kaping enem, ingsun angaakake budi, kang minangkan kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing dalem alaming badan alus.
Kaping pitu, ingsun anggelar warana kang minangka kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasebut nem prakara ing duwur mau tumitah ana ing dunya iya iku sajatining manungsa.
Kacarios wontening warana wau, kadadosaken saking pakartining pramana, warni sosotya kang darbe sorot mancawarni. Ing nalikanipun mosik lajeng ngawontenaken warna tigang perangan, ing satunggal-tunggaling perangan sami angawontenaken warni nigang perangan malih kadosta.
a.       Huruh, ngawontenaken : 1. kulit, daging sapanunggalipun 2. Manik, manah, jantung, sapanunggalipun. 3. Herah, mani, sungsum, sapanunggalipun.
b.      Kukus, ngawonyenaken : 1. napas lan kaketeg. 2. pancadriya. 3. napsu.
c.       Toya, ngawontenaken : 1. suksma, utawi nyawa. 2. rahsa utawi cipta. 3. Cahya
Sadaya wau inggih punika ingkang sami dados warnaning Pangeran dumunung ing badan kita pribadi, sampun uwas sumelang ingpanggalih. Sebab kw\awontenanipun ingkang gumelar ing jagad ageng lan jagad alit, punika sampun kawengku wonten salebeting warana, kaprabawan dening purbawisesaning Pangeran kita.
3.   Wewejangan ingkang kaping tiga, dipun wastani gegelara kahananing Pangeran. Pamejangipun ambabaraken ingkang dados kanyatahan lan karsaning Pangeran, nalika anggelaraken kahanan miwah panguasanipun, inggih punika ingkang anedhahaken waktu badhe dhatengipun pejah, kang ugi sasadan pangandikannipun pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w
Mekaten pangandikanipun : sejatine manungsa iku rahsaningsun, lan ingsun iku rahsaning manungsa, karana ingsun anitahaken wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaningsun, iya iku sasamaning geni bumi, angin lan banyu, ingsun anjingi limang prakara. Yaiku : cahya, cipta, sukma (nyawa). Angen-angen lan budi iku kang minangka embanan panuksmaningsun, sumrambah ana ing dalem badaning manungsa.
Wejangan ing nginggil punika chunduk kaliyan pangandikanipun para wicaksana ing Atasangin. Makaten : rupa sajati punika asal saking sajatining rupa, sajatining rupa punika inggih warnaning Pangeran kang sajati, kababar wonten rupa kita sejati, inggih punika tuladha surating Pangeran. Utawi sajatining Pangeran punika dados tiladhaning nyawa utawi sukma sajati, nyawa sajati dados tuladhaning warna sajati, warna sajati punika dados tuladhaning rupa kita sajati, sampun uwas sumelang malih, sabab kahananing manungsa punika tuturutan wahananing Pangeran, katandha saking prabawaning cahya kang anglimputi ing warna kita pribadi.
Amung dumugi samanten kemawon tetapalupining pralambang, menggah sumelehing panggalih kasumanggakaken, angger katuwuhan budi wicaksana, sayekti saged anempeni suraosipu sadaya wajangan punika wau.
4.   Wejangan ingkang kaping sakawan dipun wastani : Kayektening Pangeran, inggih punika katedhahan tataning karaton. Duktinata wonten ing uteking manungsa. Sajatosipun inggih namung kangge pitedahan kayektening wujud satunggal-satunggal, anadhahaken kadadosan karso, ingkang boten ewah gingsir ing kahananipun. Wejangan wau inggih anggelaraken bab sampurnaning manungsa, kang ugi sasadan pangandikanipun Pangeran dgaten Nabi Muhammad s.a.w. makaten pngandikanipun : Sajatine ingsun anata palenggahan , dumunung ana ing enggon parameanningsun, jumeneng ana ing sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang gagandengan ana ing antarane utek iku manik, yaiku telenging netra, aran pranama. Sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, kang uga ingaran angen-angen. Sajroning napsu iku suksma, kang uga ingaran nyawa, roh utawa getih. Sajroning suksma iku rahsa, kamg uga ingaran cipta, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun, sajatining, urip kang angliputi sagunging kahanan. Menggah dunungipun makaten :
a.   sirah, sajatining enggen parameyan
b.   Utek, kandanging cahya, pambukaning netya.
c.   Manik, sajatining pramana, pambukaning paningal
d.   Budi, sajatining manah, pambukaning pamicara.
e.   Napsu, sajatining angen- angen, pambukaning swara.
f.     Suksma, sajatining nyawa, pambukaning swarga.
g.   Rahsa, sajatining gesang, pambukaning pangraos.
Peperangan ing nginggil punika, sajatinipun boten sanes witing pangawasa wau, inggih saking purbawisesaning pangeran kita.
5.   Wejangan ingkang kaping gangsal, dipun wastani : kanyatahan wahananing pangeran, inggih punika ambuka panataning palenggahan, duk jumeneng wonten salabeting jantunging manungsa, punika sajatosipun inggih namung minangka pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kadadosaning karsa engkang langgeng mboten mawi ewah gingsir saking kahanan jati. Makaten ugi ngemot cariyos bab kasampurnaning manungsa, sasadan pangandikaning pangeran dhateng Nabi Muhammad saw mekaten pangandikanipun : sejatine ingsun ananta palenggahan ana sajroning jantunging manungsa, iya iku enggon laranganingsun jumeneng ana dhadhaning manungsa, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang gegandengan ana saantaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, tegese angen-angen, sajroning jinem iku duksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana pengeran anging ingsun, sajatining urip kang anglimputi sanguning kahaman, menggah dunugipun mekaten :
a.   Dhadha, tegesipun griya kang ka’awisan
b.   Ati, tegesipun pacadriya, inggih napsu, wahyaning napas
c.   Jantung, tegesipun ganggal inggih birahi, wahyaning keteteng
d.   Budi, tegesipun kawaspadan, inggih karsa, wahyaning pamicara
e.   Jinem, tegesipun panggraita, inggih swara, wahyaning pamiarsa
f.     Suksma, tegesipun erah, inggih cipta, wahyaning pangganda
g.   Rahsa, tegesipun urip, inggih kang kawasa, wahyaning pangraos.
Perangan ing nginggil punika, inggih sami kemawon maksudipun kaliyan perangan ing wewejangan ingkang kaping sekawan.
6.   Wejangan ingkang kaping enem, dipun wastani : kayekten kahananing pangeran, inggih punika pembuka tataning pelenggahan duk tinata wonten kontholing manungsa, inggih saking karsaning pangeran engkang amesti, punika sajatosipun inggih amung minangka pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kada dosaning karsa ingkang boten mawi ewah gingsir ing kahanan jati. Makaten ugi ngemot carios bab kasampurnaning manungsa ingkang ugi sasadan pangandikanipun : sajatine ingsun anata palenggahan ana sajroning kontholing manungsa , iku omah danunging pasucianingsun, kang ana sajroning kongtol iku pringsilan, kang anglimputi ana sa’antaraning pringsilan iku mani, sasarining mani iku madi, sasarining madi iku wadi, sasarining wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun.
Ora ana pangeran anging ingsun, sajatining urip kang anglimputi sakliring tumitah, jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun mahanani sosotya kang ndingin kahanan kabeh, maksih dumunung ana alaming wiji, laju manggon ana ing alam pambabaring wiji, laju temurun ana ing alaming suksma, iya iku getih, laju tumurun ana ing alam kang durung kahana, iya iku alam kang ingaran upama laju temurun marang alam dunya, iya iku alaming manungsa urip, lan iya iku sajatining warnaningsun. Menggah dunungipun mekaten :
a.   Konthol, sinebut griya kang sinucekaken
b.   Pringsilan, nyataning birahi, bubuka semseming manah
c.   Mani, nyataning hawa, bubuka semseming pandulu
d.   Madi, nyataning karsa, bubuka semseming pamireng
e.   Manikem, nyataning pangraos, bubuka semseming pangambu
f.     Rahsa, nyataning pangawasa, bubuka sengseming salulut
Penggenahipun malih :
a.   Mani = pejuh, ingkang kados toya, warnanipun surat biru
b.   Madi, sarining mani, warninipun surat dhadhu
c.   Wadi, sarining wadi, warninipun surat jene
d.   Manikem, sarining wadi, warninipun pethak maya-maya kadi retna
e.   Wiji kang piningit, inggih punika rahsa sajati
f.     Sosotya ing dhihin, inggih manik embaning rahsa sajati, ing ngriku wontening papangkatan pambabring wiji, dumunung pitung kahanan inggih punika nalika kita taksih dumunung wonten wonten guwargabaning rena (biyung) inggih punika :
1)   Duk kendel 1 wulan, kita dumunung alaming wiji
2)   Duk kendel 2 wulan, kita dumunung wonten pasenedhaning wiji
3)   Duk kendel 3 wulan, kita dumunung wonten pambabaring wiji
4)   Duk kendel 4 wulan, kita dumunung wonten alaming rah
5)   Duk kendel 5 wulan, kita dumunung wonten alaming upama
6)   Duk kendel 6 wulan, kita dumunung wonten alaming badan
7)   Duk kendel 7, 8, 9 wulan, kita dumunung wonten alaming manungsa.
Ing ngiku kita tetep jumeneng kasampurnaning manungsa (insankamil), sampun darbe pekerti kita badhe lahir saking guwargabaning ibu, tumitah wonten ing donya.
Dene wejangan punika manawi tumanduk dhateng tiyang estri, wenang kesantunan pamangsitipun makaten : ingsun anata palenggahan jumeneng ana bagane Siti Kawa, kang ana sajroning baga iku purana, kang ana antaraning purana iku reta, sajroning reta iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun lan salajengipun kados wejangan tumrap ing priya kasebut ing nginggil.
7.   Wewejangan ingkang kaping pitu, dipun wastani : panetepan santosaning pangandel, bubuka saking kawruh kang winastan sahadat, awit dene pamejangipun amangsit ingkang dados pikekah pangandel kita, anggening angestokaken dhateng kayektening gesang kita pribadi manawi sampun tetep rinasuk dening pangeran kita, kados kasebut, kitab mahdus.
Menggah lampahing pejah ingkang sampun kinarwuhan, anyariosaken sajatining pangidep, ingkang terus dumugi kencenging pangesti, pipiridan saking cipta sasmitaning Nabi Muhammad saw ingkang kawasitaken dhateng Bangedha Ngali, makaten : ingsun aneksani, satuhune ora ana. Pangeran anging ingsun, lan anekseni satuhune ora ana. Pangeran anging ingsun, lan anekseni satuhune Mohammad iku utusaningsun. Dene dunungipun mekaten : ingkang dipun wastani pangeran, punika inggih jumeneng gesang kita pribadi, sebab sajatosipun, sakathating pasebutan punika boten wonten, mila binasakaken boten wonten panderan, punika tetepipun inggih amung gesang kita pribadi, ingkang sinebut inggih ingkang anebut, lahiring pangeran wonten ing manungsa lan bathining manungsa wonten pangeran. Dene ingkang dipun wastani mohammad, punika cahya kita pribadi, mila kaaken utusan, margi cahya kita punika dados panengeraning pangeran. Lenggahipun mekaten : sayrkti temen kabeh tumengka marang sira utusaning pangeran metu saka ing awak ira, mungguh utusan iku nyambadani barang saciptanira, yen angandel sayekti antuk sih pangapuraning pangeran.
Menawi sampun saged anampeni pitedahan ingkang makaten punika dipun awas ing panggalih, inggih gesang kita pribadi punika jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha punika gusti, kanugrahan punika kawula, tunggil tanpa wangenan wonten ing badan kita pribadi, sampun uwas sumelang malih.
Wejangan wau menawi kawiridaken hdateng tiyang estri, kawewahan mekaten : ingsun anekseni satuhune ora ana. Pangeran anging ingsun, lan anekseni Mohammad iku utusaningsun, lan fatimah iku umatingsun.
8.   wewejangan ingkang kaping wolu, dipun wastani : paseksen awit pamejangipun kinen aneksakaken dhateng sanak kita, inggih punika sagunging dumadi ingkang gumelar wonten ing donya kadosta : bumi, langit, surya, wulan, lintang, latu, angin, toya lan sapanunggalipun, samiya aneksana yen kita samangke sampun angakeni jumeneng pangeran, dados warganing pangeran ingkang sajati.
9.   wawarah punika mendhet saking suraosipun kitab mahdhus, ingkang anggelaraken bab jamaning pejah, bab punika inggih nunggil kemawon kaliyan ingkang kasebut ing wewejangan ingkang kaping pitu, sami wirid saking cipta-sasmitaning Nabi muhammad saw, ingkang kawedharaken dhateng Bagendha ngali makaten :
ingsun aneksani ing urip ingsun dhewe, satuhune ora ana pangeran anging ingsun, lan ingsun aneksani Mohammad iku utusaningsun lan sajatine kang aran Allah iku badaningsun, rasul iku rahsaningsun Mohammad iku cahyaningsun, iya ingsun kang urip ora kena pati, kang eling ora kena lali, langgeng ora owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, tetep ingsun kang murba-masesa, kang luwih wicaksana, byar sampurna padhang trawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung ingsun kang mengku alam kabeh, kalawan purbawisesa pepesteningsun.
Menggah dunungipun mekaten :
Kasbut ing dalem dikir : lailah haillallah mukhammadu rasulullah, tegesipun : boten wonten pangeran, anging Allah, Muhammad punika utusaning Allah. Ananging sajatosipun ingkang dipun wastani Allah, punika pakartining rasul, rasul punika inggih Muhammad lan Muhammad punika sajatosing cahya kita, sajatos gesang punika inggih gesanging pangeran kayekten kasebut pitedahing qur’an, manawi pangeran punika kuwasa mijilaken gesang saking pejah, wilijing pejah ing wekasan boten kenging pejah. Tetep gesang ing dunya, tuwin ing delahan, boten kesupen ing gesang kita, boten ewah gingsir kahanan jati. Dados pepunthoning pangidep ingkang bonthos dhateng pelenging pangesti, sampuraning gesang kita punika boten karaos punapa-punapa sampun uwas sumeleng malih.

2. LAKSITA – JATI
Amratelakaken lampah pangluluhaning raga supados yen kita pejah badan kita wadhag saged nunggil kaliyan badan kita ingkang alus, kasebut badan rohani utawi badan suksma.
Menggah janjinipun, badan wadhag lan alus punika boten kenging pisah, sangkan paranipun anunggil kahanan jati, upami satu munggeng rimbagan. Ananging wawangsulan, ing tembe badan wadhag punika luluh sampurna wonten salebeting badan alus, kalimputan dening kayu dhahim, tegesipun : badan wadhag dumunung selebeting badan alus. Kala badan wadhag taksih dados embananing badan alus, pramblangipun : curiga manjing warangka tegesipun : badan alus taksih dumunung wonten salebeting badan wadhag. Mila lajeng wonten adhah-adhahing babasan makaten.
Jasad embaning budi, budi embaning napsu, napsu embaning karsa, karsa embaning suksma, suksma embaning rahsa, rahsa embaning cipta, cipta embaning kawasa, kawasa embaning wisesa.
Wondene pangluluhaning badan, badan wadhag wau, kalampahana budi : rila, legawa, trima, temen, bener, susila lan utami. Punapadhene tansah anyipta ajal antukna makaten : jagad bumi malam kabeh sumusupa marang badan, badan sumusupa marang budi, budi sumusupa marang napsu, napsu sumusupa marang nyawa, nyawa sumusupa marang rahsa, rahsa sumusupa marang cahya, cahya sumusupa marang atma, atma sumusupa marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi.
Kajawi punika ugi kedah nyegah 7 perkawis, kadosta :
1.   sampun carobo, nanging kedah taberi susuci
2.   sampun anguja dhahar, nanging dhahara yen sampun luwe.
3.   sampun angembong unjukan nanging ngunjukna menawi sampun ngelak
4.   sampun karem nendra nanging tilema menawi sampun arip
5.   sampun receh ing wicara nanging nendika’a janji angen wahyaning mangsakala
6.   sampun angujo karesmen nanging sanggama’a menawi sampun kangen sanget
7.   sampun tansah ambibingah penggalih sanadjan kasukan inggih angger boten tilar ing dugi prayogi, muhung angladosi angarah sukapirenaning para mitra
Makaten ugi ing ngagesang sampun ngantos kasandangan pangrencana 8 prekawis
angumbar nafsuhawa
anguja suka-suka
dora paracidro tindak panganiaya
ulah resah
lampah nistha
tingkah deksura
kesed sungkanan sabarang karya
lumuh nastapa pujabrata
Inggih punika bekaning ngagesang ingkang mumurung lampah jalaraning kandeg boten saged dumugi saesthining panedya sebab bebasanipun mekaten
nistapapa tiyang nista manggih papa
dhustalara tiyang dhusta manggih pisakit
dorasangsara, tiyang dora manggih sangsara
niayapati, tiyang niaya manggih papati
mila mekaten margi kalakuaning ngagesang puniko kados kumandhang upamanipun, punapa padhamel ingkang katandhukaken ing liyan sayekti badhe tumempuh dhateng badanipun piyambak.
Sayoginipun tiyang gesang kedah anglampahana tapa brata kados ing ngandhap puniko
tapaning badan, kedah anoraga lan taberi ulah pandamel sae
tapaning manah, narimo lan sepen pangangsa- angsa gunging pakarti druhaka
tapaning napsu, rila lan sabar ing coba bilai, sarta ngapuntena kalepataning tiyang
tapaning suksma, temen lan boten dahwen panasten
tapaning rahsa, rereh sabarang karsa miwah agung ing panalangsa
tapaning cahya, eneng ening tegesipun eneng santosaning pangesti , ening pelenging paningal
tapaning gesang, awas sarta emut.
Kajawi puniko menggahing anggotya ugi sami darbe wewenang piyambak-piyambak kadosta
1.   tapaning netra, cegah sare lan mengo dhateng kamilikan
2.   tapaning karna, cegah nepsuhawa lan lumuh miarsa ing paraben
3.   tapaning grana, cegah panguswa lan lumuh angisep-isep awoning liyan
4.   tapaning lesan, cegah dahar lan boten angraosi awoning liyan
5.   tapaning purusa, cegah sahwat lan boten resah ing sanggama tegesipun lampah bandrek
6.   tapaning asta, cegah colong celer calimut lan boten cengkiling
7.   tapaning suku, cegah lumampah padamel awon lan taberi ndalu kalayan samadi
utaminipun anglampahana saungeling babasan kados ing ngandhap punika
Turua yen arep nepsu, nesua yen arep perang, perangan yen arep mangan, mangana yen arep lumaku, lumakua yen arep turu.
Utawi. Ketimbang turu, becik tangi. Ketimbang tangi becik melek, ketimbang melek becik lungguh, ketimbang lungguh becik ngadeg, ketimbang ngadeg becik lumaku.
Wondene prayoginipun sadaya lampahpunika den saged anyamun, sampun ngantos ungas lan kawistara sarta tansah prayitna ing gesangipun  sarana amatrapna mekaten
1.   solahbawa den angkah-angkah
2.   wedaling wicara den irih-irih
3.   pasanging ulat den amanis
inggih makaten punika sejatining tatkrami, dene sampurnaning lampah wau empanipun animbanga ing empanpapan, patrapipun sampun tilar ing dugiprayogi
tumandhukipun animbang watawis linaksanan kaliyan riringa waspada wedaling mangsakala tepanging sambawa lan sambada inggih punika pepetinganing  lampah, sebab lestantuning solah bawa sumingkir saking celaning sarira ateges pangleburan kuciwaning raga, kadosta :
1.   kusuting busana, kalingan dening jatmika
2.   kasloroning ujar, kalingan manising wicara
3.   kuciwaning warna, kalingan dening mrakati
4.   cacading raga, kalingan dening netra sumeh
5.   taliti sudra, kalingan dening legawa wicaksana
Pramila den sami santosa ing pangesti, margi yen boten sampurna tapabratanipun kasebut nginggil, saged dumawah ing jaman paniksaning gesang ingkang dumunung 7 pangkat, dumawah kasandhang salah satunggal utawi langkung inggih punika.
1.   jamaning kemlaratan, witipun saking boros
2.   jamaning kawirangan, witipun lena tanpa prayitna
3.   jamaning kabodhohan, witipun kesed sungkanan
4.   jamaning angkara, witipun budhuk mumuk
5.   jamaning sangsara, witipun resahing lampah
6.   jamaning sasakit, witipun tuwuk nedha
7.   jamaning kabilaen, witipun remen amaeka
Menawi saged suminggah saking rencananing ngagesang 7 prakawis wau bokmenawa angsal marmane pangeran saged lumebet 7 pangkat saking salah satunggal utawi langkung saking jamaning kamulyan inggih punika :
1.   jamaniung kabegjan, witipun nastiti teki-teki
2.   jamaning kabrajan, witipun budi welas
3.   jamaning kaluhuran, witipun taberi andhapasor
4.   jamaning kawicaksanan, witipun talaten bibinau
5.   jamanaing kasekten, witipun puruita lan tapabrata
6.   jamanaing karaharjan, witipun awas emut
7.   jamaning kayuswan, witipun sabar trima lila tapa
Aliya kasebut ing nginggil wau sayoginipun ngagesang punikia angena ciptasasmita ingkang medal saking tutuwuhaning budi ingkang paparengan kaliyan undhaking yuswa. Dhene tutuwuhaning budi atas ngagesang saestu santun sumantun inggih punika
Tuwuhing kaengetan, tuwuhing pamarsudi, tuwuhing sarenging sedya, tuwuhing pangatos-atos, tuwuhing bubudi, tuwuhing kasantosan, tuwuhing rumaos, tuwuhing lereming panggalih, tuwuhing jatmika lan tuwuhing beka pepeka.
Ananging ngagesang ingkang umuripun langkung saking 72 taun sareng ngenggeni bubuden kala lare alit malih
Murih sampun ngantos kalampahan makaten, boten sanes mung kedah nyegah saliring nepsuhawa sarta marsudi sampurnaning ilmu. Wonten wewarah semu pangerang-erang kasebut ing kitab Manganiharki mekaten :
Ageng-agenge dosa tiyang punika ulah elmu makrifat ingkang magel, awit saking dereng kabuka ing pambudi dados boten sumerep ing suraosipun.
Dhene ingkang sampun padhang, kuwasa anampeni suraosipun ilmu sadaya temtu manggih kamulyaning sangkan paran. Ksaebut ing kadis salebeting kitab insan kamil mekaten
Sinten ingkang sumerep ing pangeranipun saestu inggih sumerep ing badanipun. Sinten ingkang sumerep ing badanipun saestu inggih sumerep ing Pangeranipun.
Tegesipun ingkang sumerep dhateng pangeranipun puniko inggih ingkang sampun sumerep ing suraosipun ilmu makripat sadaya
Tegesipun ingkang sumerep dhateng badhanipun meniko inggih ingkang saged nyumerepi dhateng gesangipun jiwa raganipun piyambak.
Kejawi kasebut nginggil ugi kedah tansah emut yen ngagesang punika boten wande newmahi pejah, mila sampun pegat pinelenga ing pangesti sagedipun waluyajati paworing kawula gusti. Sarana taberi tansah anyuwungaken pancandriya sarta angengkoki jumeneng sarira bathara inggih punika winastan pangabekti ingkang langgeng (sholat dhaim)
Bebasanipun salat ngiras nyambut damel, lenggah, sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek, yen temen-temen insya allah jinurung sampurna waluyajati

3. PANUNGGAL JATI
Punika wewarah sanyata, nedahaken kahananing pangeran ingkang binasakaken saklangkung samar, tanpa rupa tanpa swara dede jaler, dede estri lan dede wandu, tanpa prenah tanpa anggen, dinulu boten katingal, dinumuk boten kantenan.
Punika teteping kahanan wonten ing ndalem cipta sasmitaning kang wasikta, pramila para guru anggenipun suka pitedhah dhateng muridipun kaumpamakaken makaten.
Sejatine ora ana apa-apa, sakehing kawujudan, rurupan wawarnan lan pasebutan, iku dudu sejati lan dudu panuksmaning Pangeran, dene kang kadunungan panguwasa lan kamulyan ing sabarang kabeh iku muhung ingsun.
Menawi dereng saged nampeni wewejangan makaten wau prayogi sami den talatos marsudi maksuding suraos, sarana angimpun sakathahing wewejangan sedaya miturut kawruh ingkang sanyata kados ing ngandhap punika :
Ing sadewengipun gumelar sagunging kahanan ing marcapada lan mukswapada (dunya lan akherat ) punika ingkang rumiyin amung gesang kita, jumeneng wonten salebeting wiji kang piningit. Sayektosipun inggih gesang kita punika ingkang tetep sinuksma ing Pangeran kita, mila den saged sami rumeksa ing gesang kita pribadi, saran ngatos-atos ingkang gemi  nastiti ingkang dados witing panggesangan sampun ngantos kapinten boten saged jumeneng gesangipun, beda kaliyan manungsa ingkang sampun tinarima sampurna kawruhipun tetep ing pangandel boten bade katempelan ing pangrencana tegesipun boten susah ing kaluwen kamlaratan lan panuju kataman ing sasakit boten ajrih dumugi ing pejah. Dhene menawi kasebut tiyang limrah kemawon kedah anglampahi pangupaya ingkang ndadosaken santosaning gesangipun
Dhene gesang kita tetelanipun menawi sanyata rinasuk dening Pangeran kita, kayekten saking solah bawa kita punika sayektosipun teterusan saking karsaning pangeran kita menggah panuksamaning Pangeran anggenipun rumasuk ing badan kita punika mawi warana ing ndalem pitung kahanan kados ing ngandhap punika ;
1. sejatining gesang kita. 2. Nur (cahaya) 3. sir (rahsa) 4. roh, nyawa, suksma, herah 5. napsu (angen-angen) 6. ngakal (budi) 7. jasad (badan)
Dhene papangkatan warananing pangeran ingkang dumados saking pitung kahahan ing nginggil wau menawi  karingkes dumunung ing tigang kahanan inggih punika ;
1.Suksma, mengku jamaning kamukswan 2. rasa mengku jamaning supena ( tilem ) 3. budi mengku jamaning dunya  9melek)
Wondene kayu punika purwaning ngagesang, ingkang anglimputi sakathahinh warana nem pangkat wau sedaya wusana kita kawasa saged mobah mosik lan saged nyembadani pakertining pancadriya, kadosta, pakertining paningal, pangambet, pamiarsa, pamicara lan pamiraos, punapa dene ambegan, sedaya punika tuturutan saking pakertining Pangeran kita.
Ananging wonten ugi prabedanipun, menggah wataking kawula lan gusti
Dene wataking gustyi inggih punika : wungu, tuwuk, ayem, parem, sareh, emut, tetep waspada santosa, bingah, saras lan raharja.
Menggah titimbanganipun wateking kawula inggih punika : arip, luweh, ngelak, sahwat, sereng, supe, bingung, pangling, uwas, susah, sakit lan bilahi. Menggah liring bebasan  ingkang makaten punika inggih saking pakertining papasten kita pribadi.
Wondene santosaning pangesti menawi badhe angyektosaken tandhanipun, ngadat wonten kaelokan ingkang andhatengi, medadl isaking sarira kita pribadi katingal saking pramananing netya karaos ing dalem rahsa. Nalika punika menawi saged katarima saged kadumugen punapa saestining nggalih
Menggah pratikelipun menawi badhe mangesti utawi manekung miturut piwulang ndalem kanjeng Panembahan Senopati ing alaga mataram mekaten.
wiwitipun kedah ngingirangi dahar sare lan sahwat punapa dene ngingirangi saliring kakjengan. Lajeng anglowong (boten nedho lan mboten ngombe ) sarta mbisu tigang dinten tigang ndalu mboten kenging ngemu panggalih sereng.menawi nglowongipun kirang sadinten sadalu, mboten kenging sare. Ing wanci tengah dalu lajeng susuci raga, siram busana sarta geganda, dhidhipangajengaken keblatipun piyambak. Inggih punika ing jaja. Yen sampun dumungi wanci bangun lajeng pejah raga, nutupi pancadriya, ayegah turas, sarip tuwin susuker.
Dene manekung : jempol suku, polok lan dhengkul, kiwa tengen ka’abena. Pajaleran kasipat kaliyan jempol suku, asta kakalih ngrangkul jengku, driji ngapurancang, jempol ingaben, kasipat pucuking grana, lidah katekuk minggah madal ing cetak, waja gathuk, lati mingkem, lajeng anata lebet wedaling napas, inggih punika : panariking napas saking puser ( napas mlebet ) kasengkakna minggah anglangkungi cethak dumugi ing susuhunan ( utek = embun-embunan ), panariking napas wau kedah alon-alonan ( sareh ), sarta kasarengan panebut mungel : h o e, naming kabatos kemawon, sumengkaning napas wonten susuhunan kaendelna sawatawis dangunipun. Manawi sampun krawos awrat, inggih lajeng kaedalna ( kawedalaken ) ingkang sareh alon-alinan dumugi ing puser, dene wedaling napas wau ugi kasarengan panebut mungel : Allah, ugi naming kabatos kemawon. Dados panebut wau mungel: h o e- A l l a h. makaten punika katindakaken marambah-rambah ( terus ) sadangunipun manekung, sarana ugi mawi ngereh ebahing badan ( badan mboten mobah mosik ), punapadene angeningaken cipta, sarta amatrapaken adeging gesang kita. Yen tinarimah adat lajeng angsal ciptasaasmitaning gesang kita, punapa ingkang sinedya.
Dene panengkungan wau, manawi sampun lantih, kenging dipun cancutaken , boten mawi cecegah sapanunggilanipun, punapa dene boten angen wanci, tanpa sarana, angger karaos sumenteging dalem cipta sarta kenceng ing pangesti, inggih punika nandhakaken yan badhe tinarimah.
Mangreh lebet wedaling napas, ingkang sarana tinata sarta manebut : hoe-Allah punika kedah ajeg katindakaken ing rinten ndalu, langkung-langkung manawi kaleres saweg manekung. Inggih lampah makaten punika ingkang kawastanan salat daim. Utawi salat batos, inggih salating suksma, inggih salating nyawa ( nyawa= ambegan = napas ). Dene napas utawi ambegan, punika lebet wedaling angin.
Wondene nglampahi penekukngan wau, sayoginipun kedah saben wulan sapisan, langkung-langkung yen ing wektu dinten panggenaning tinarimah, utawi kasebut dinten ijabah, inggih dinten dhawahing lahelatulkadar, inggih punika : ing tanggal 9 sura, 12  Mulud, 27 Rejeb, 21 Ruwah, 21, 23, 25, 27, lan 29, Pasa, Saha tanggal 8 lan 9 Besar. Dene wiwiting manekung ing wanci : serap surya, tengah dalu, bangun enjing utawi tengange.
Kajawi punika ing saben dintenipun inggih kedah mangreh lebet wedaling napas sarana panebut : hoe-Allah, langkung-langkung bilih mapan sare ing wanci ndalu: inggih lampah makaten punika ingkang nama : ajeg panembahe, lumintu salate. Manawi sampun saged tumindak makaten, inggih punika ingkang winastan  salat dhaim, inggih sajatining salat, tanpa antawis ing wektu, tanpa mawi angetang rekangat, bebasanipun : salat ngiras nyambut damel, lenggah sarwi lumampah, lumampah kaliyan adhepok. Lumajeng salebeting kendel, mbisu kaliyan cariyos, kesah sarwi tilem, tilem kaliyan melek. Sebab salat dhaim punika kakekating salat, mila tanpa ruku tanpa sujud, among dumunung wonten rahsa telenging gesang.
Dene tandhaning adegipun, inggih gesang kita pribadi, rukukipun paningal kita sujudipun pangganda kita, ikhtidalipun pamiarsa kita wawosaning ayatipun pamiraos kita, lenggahipun teteping iman kita, tahyatipun manteping tekad kita, salamipun makripat islam kita, pujinipun lebet wedaling napas kita, dikiripun awas emut kita, keblatipun madhep dhateng ening-ening kita, sampun sampun was sumelang ,alih. Mila makaten sebab jumeneng dat, sipat, asma, afngal kita, punika sampun dados kur’an sajati, mratandhani sajatining salat sedaya, dipun wastani  , salat dhaim.
Manawi iptitahipun salat dhaim makaten : Niyatingsun salat dhaim, kanggo salawasing uripingsun, adage iya urip ingsung, rukuke paningalingsun, iktidale pamiarsaningsun, sujude pangambuningsun, wawacane ayat pangucapingsun, lunggune tetepe imaningsun, tahyate mantepe tikidingsun, salame makripat islamingsun, pupujine lebu wetune napasingsun, dhikire awas elingingsun, keblate adhepe eneng-enengingsun, perlu anglakoni wajib saka kodrat iradatingsun dhewe. Makaten punika pasrah analangsa sanubari dhateng dating gesang kita pribadi, sampun was sumelang.
Dene salat dhaim punika, manawi kasemak kaliyan kaketaning rukuning islam, utawi kaliyan katimbang kaketaning pikekahing iman, suraosipun inggih nunggil misan kemawon, liripun makaten :
Rukuning islam wonten 5 prakawis, inggih punika :
1.   Sahadat, menggah hakekatipun wonten lampah temen, dumungipun ing pamiraos ( wicara ). Angger nuhoni wicantenipun. Inggih punika teteping sahadat.
2.   Siyam, kaketanipun wonten lampah trima, dumunung ing pangganda, angger marem katandukan ambet ingkang menginaken ( boten angisep-isep saliring piawon ), inggih punika tetep siyamipun.
3.   Jakat, kaketanipun wonten lampah utami, tegesipun sabar dumung ing pamiarsa, angger saged mutakaken netra, inggih punika anetepi jakat.
4.   Salat, kaketanipun wonten lampah utami, tegesipun sabar, dumunung ing pamiarsa, angger saged anulekaken talingan. Inggih punika anglenggahi salat.
5.   Kaji, kaketanipun wonten ing pahalangsa lan netepi janji, dumunung ing pangraos lan solahbawa, angger saged nyirnakaken pangraos tuwin amejahi sarira, inggih punika anglampahi kaji.

Rukuning islam ing kekatipun wau, lajeng dipun pralampitani: lesan mbisu, irung pepet, mripat wuta, kuping tuli, badan mati. Inggih makaten punika ingkang nama tetep kuwasa nindaaken rukuning islam sajati, sebab sanyata kuwasa mati sajroning urip, urip sajroning pati, inggih urip salawase.

Pikekahing iman wonten 6 prakawis, inggih punika :
1.   Angandel ing Allah, menggah kekatipun angestokaken gesanging jasat kita, sarta rumaosa manawi dados sipating Allah sajati, liripun angger jasad kita tansah sinucenan, sarta samubarang tindak ngenggeni ing kautamaan, makaten punika nama ngandel ing Allah.
2.   Angandel ing malaikat,  kakekatipun angestokaken wahyaning paningal, pamiarsa, pangganda, pangraos, pamiraos, liripun angger kita tansah angatos-atos anggen kita matrapaken tanduking netya kaliyan wiraos sapanunggilanipun, inggih punika kaketipun tetep temen-temen angandel ing malaikating Allah. Sabab kakekating malaikat punika dumunung wonten salebeting pancadriya inggih punika : Malaekat Jabarail dumunung ing pamiraos. Mikail ing pangganda. Israpil ing paningal. Ngijrail ing pamiarsa, kaliyan ing rahsa, Haruman ing nyawa. Mungkarun Wanakirun kalih pisan ing napsu. Kiraman lan Katiben Sakaliyan ing budi.
3.   Angandel ing utusan, kakekatipun angestokaken wahananing rahsa, liripun angger kuwasa angendelaken pangraos lan anengingaken paningal lereming cipta, makaten punika tetep temen-temen angandel utusaning Allah.
4.   Angandel ing kitab, kakekatipun angestokaken kahananing nyawa, liripun awas lalampahing gesang saha emut lan mangretos ing kadadosan kita, makaten wau angger tansah awas emu ting dalem batos inggih punika tetep temen-temen angandel kitabuning Allah.
5.   Angandel untung sae untung awon saking Allah, Tegesipun hatenging begja cilaka atas saking takdhiring Allah, kakekatipun angestokaken manawi babarang napsu punika saking wedharing budi lan pribadi, liripun angger enggal-enggal pasrahanalangsa dhateng  dat kita, inggih punika tetep temen-temen angandel ing takdhiring Allah.
6.   Angandel ing dinten kang ngakir, tegesipun dinten wekasan.
7.   Kakekatipun angestokaken ing papstening pejah saking  wisesaning dat kita pribadi, liripun angger asring anindakaken ing iktekad kita kang santosa, punika tetep temen-temen angandel ing dinten wekasan saking wisesaning Allah

4.  KARANA-JATI

Punika andunungaken menggah kakekatipun dating pangeran ingkang mahasuci, sarehne binasakaken sakalangkung gaib, tanpa rupa tanpa warna, asipat dede jaler, dede estri, dede wandu, sarta boten mawi jaman makam, boten arah boten enggen, dinulu boten katingal, dinumuk boten kantenan, punika isbatipun among cipta sasmita dumunung wonten ingkang waskita, mila dipun kiyas makaten :
Sajatine ora ana apa-apa, sakabehing asya kang kasebut iku dudu tajalining dat kabeh, tegese dudu pangejawantahing pangeran kang mahasuci sajati, iya kang murba masesa kang kwasa mungguh ingsun, kang mahamulya Mahasuci mungguh ingsun.
Enggah wiwisikan makaten punika manawi dereng saged anampeni ing panggalih, mugi den taberi amarsudi ing suraosipun pangimpuning wewejangan- wewejangan sadaya makaten :
Ing sadurunge ana apa-apa, kahananing alam kabir lan alam sahir saisine during padha dumadi kabeh, kang ana dhihin dhewe among dat kang mahasuci, sajatining dat kang Mahasuci iku kang asipat hesa, kabasakaken dat mutlak kadim ajaliabadi, tegese asipat siji, kang mesthi dhihin dhewe, rikala ijih awing- uwung, salawase kahanan kita yaiku jumeneng pribadi ana ing sajroning nuked gaib, kang langgeng dumung ing urip kiat, kayektene yaiku urip kita iki tajalining dat kang Mahasuci sajati, mulane wajib padha bisaa rumeksa marang urip kita pribadi, marga saka ngati – ati, gemi nastiti kang dadi sangkaning panguripan, away nganti kapiran nora jumeneng ing uripe, pahe kang wus tinitah mukmin kas, kareksaning uripe saka wis bias anetepi tokid angantepi iktekad, sabab ing babasan : nora susah Manawa nandhang kamlaratan, nora uwas yen kaluwen, nora marasa yen lagi ginanjar lara, nora miris tekaning pati. Manawa taksih tinitah kawula ngam, kudu tumindak ikhtyar kang andadekake kasantosaning urip.
Menggah gesang kita punika tetelanipun manawi dados tajalining dat kang mahasuci sajati, dene kayektosan ing ngriku boten pahe kaliyan kang kawasa amedharaken kodrat iradat, liripun inggih kodrat iradat kita pribadi punika sayekti terusaning kodrat iradatipun kang kawasa asipat kayat, tegesipun asipat gesang, inggih gesang kita pribadi. Mila wujuding gesang kita punika babaripun mawi papangkatan dumununging dalem 7 kahanan, inggih punika minangka warananing dat, dados wahananing  sipat asma afngal kita sadaya, kados kapratelakaken ing ngandhap punika :

1.   kayu, tegesipun gesang, anunggil kahananing dat.
2.   Nur, tegesipun cahya dumunung sawijining gesang.
3.   Sir, tegesipun rahsa, dumunung sajawining cahya
4.   Roh, tegesipun nyawa, dipun wastani suksma, dumunung sajawining rahsa.
5.   Napsu, tegesipun angkara, dumuning sajawining suksma.
6.   Ngakal, tegesipun budi, dumunung sajawining napsu.
7.   Jasad, tegesipun badan, dumunung sajawining budi.

Dene kayu punika mila anunggil kahananing dat. Awit ingkang kapasrahan pangawasa, kinarsakaken anggesangi cahya, rahsa, suksma, napsu, budi, badan, sadaya, sarta sumarambah saking wiwitan dumugi ing wekasan, menggah wiwijanganipun kados ing ngandhap punika :
1.   Ing nalika kayu anggesangi kahanan cahya. Sumarambah ing netra, wahananipun andadosaken saged aningali inggih punika paninggaling dat angagem netra kita.
2.   Ing nalika kayu anggesangi kahananing rahsa, , sumarambah ing grana, wahananipun dados saged anggada, inggih punika panggadaning dat angagem grana kita.
3.   Ing nalika kayu anggesangi kahananing suksma, sumrambah ing lidhah, wahananipun dados saged angandika inggih punika panggandikaning dat angagem ing lisan kita
4.   Ing nalika kayu anggesangi kahananing napsu sumrambah ing talingan, wahahanipun dados saged amiarsa, inggih punika pamiarsa dat angagem ing karna kita
5.   Ing nalika kayu anggesangi budi sumrambah ing manah , wahananipun dados saged birahi andarbeni karsa, inggih punika karsaning dat angagem ing manah kita
6.   Ing nalika kayu anggesangi kahananing jasad sumrambah ing erah, wahananipun lajeng dados saged ambegan, lajeng nuwuhaken wulu, kuku lan sasaminipun inggih punika afngaling dat angagem ing saulah kita saestu boten pahe ing nalika amratandhani afngal salebeting alam lajeng saged amolahaken surya wulan angin ing sapanunggalanipun saisen-isening alam sedaya, sami dumunung wonten purbawasesaning dat kados ingkang kasebut ing ngandap punika.:
1.   Dat kapurba kayu, tegesipun dat punika witing gesang, ambabar waskita, kasebut nama Mahasuci.
2.   Kayu amisesa nur, tegesipun gesang punika amengku wahyaning cahya, ambabar wisesa , kasebut nama Mahamulya
3.   Nur, amisesa sir, tegesipun cahya punika amengku gesanging rahsa, ambabar kawasa kasebut nama Mahawisesa
4.   Sir, amisesa roh, tegesipun rahsa punika amengku gesanging suksma, ambabar cipta, kasebut nama Mahakawasa
5.   Roh, amisesa napsu, tegesipun suksma punika amengku gesanging napsu, ambabar esti kasebut nama Mahaluhur
6.   Napsu amisesa ngakal, tehgesipun napsu punika amengku gesanging budi, ambabar karsa kasebut nama Mahaagung
7.   Ngakal, amisesa jasad, tegesipun budi punika amengku gesanging badan, ambabar nyawa kasebut nama Mahayekti
8.   Jasad, angleksanani pancadriya, tegesipun badan punika muhung nglampahi gesanging pancadriya, ambabar ulahing sarira sadaya, kasebut nama Allahtangala

Menggah wangsulipun mekaten :
1.   Jasad kawisesa dening akal, tegesipun ebahing badan punika kaprabawan saking osiking budi, mila dipun basakaken Allahtangala, dados tandane Hyang Mahayekti, awit dene badan punika pratandhaning afngaling budi.
2.   Budi, kawisesa dening napsu, tegesipun osiking budi punika kaprabawan saking hawaning napsu, mila dipun basakaken Hyang Mahayekti, dados kanyatahaning Hyang Mahaagung  awit dening budi punika anartani afngaling napsu.
3.   Napsu, kaisesa dening suksma, tegesipun hawaning nafsu punika kaprabawan saking wahananing nyawa, mila dipun basakaken Hyang Mahaagung, dados embahing Hyang Mahaluhur, awit dene napsu punika anerusi afngaling suksma.
4.   Suksma kawisesa dening rahsa, tegesipun wahananing nyawa punika kaprabawan sakingpramananing rahsa, mila dipun basakaken Hyang Mahaluhur, dados tandhaning Hyang Mahakawasa, awit dene suksma punika amimbuhi afngaling rahsa.
5.   Rahsa, kawisesa dening cahya, tegesipun pramananing rahsa punika kaprabawan saking pranawaning cahya, mila dipun basakaken Hyang Mahakawasa, dados sengkeraning Hyang Mahawisesa, awit dening rahsa punika amengkoni afngaling cahya.
6.   Cahya, kawisesa dening kayu, tegesipun pramananing cahya punika kaprabawan saking kawasaning gesang, mila dipun bahasakaken Hyang Mahamulya, awit dening cahya punika anglimputi afngaling atma.
7.   Kayu, kapurba dening dat, tegesipun kawasaning gesang punika kaprabawan saking purbawisesaning dat , mila dipun basakaken Hyang Mahamulya dadossusulihing Hyang Mahasuci, awit dene atma punika amumpuni afngaling dat sadaya.
8.   Dat punika tanpa dunungan, among anjanggreng jumeneng akadiyat, sebab purbawasesanipun sampun wonten gesangkita pribadi. Milanipun wahananing gesang punika tanpa wangenankaliyan ananing dat , inggih gesang kita punika dating gusti kang Mahasuci sajati kayekten wonteneipun babasan 3 pangkat makaten :
Ingkang rumiyin sipating gesangpunika tansah kanggenan 4 afngal, inggih punika : 1. Arip, timbanganing melek 2. Luwe, timbangane tuwuk, 3. Ngelak, timbanganing ayem, 4. Sahwat, timbanganing lerem, punika sami afngaling napsu sadaya.
Ingkang kaping kalih, sipating ngagesang punika kadunungan sekawan afngal inggih punika : 1. Sereng, timbanganing sareh, 2. Supe timbanganing emut, 3. Bingung, timbanganing lana, 4. Pangling, timbanganing waspada, punika sami afngaling suksma sadaya.
Ingkang kaping tiga sipating ngagesangpunika terkadang kasandhangan sekawan afngal inggih punika : 1. Uwas, timbanganing santosa. 2. Susah, timbanganing bingah. 3. Sakit, timbanganing saras. 4. Bilai timbanganing harja, punika sami afngaling rahsa sadaya.
Menggah liripun babasan 3 pangkat kasebut ing nginggil, punikasaestunipun inggih saking kodratiradating dat kita sadaya sampun was sumelanging nggalih.
Dene pambabaring gesang kita ingkang mawi pepangkatan dumunung ing dalem 7 kahananwau menawi kagerba papangkatipunpunika among dumunung ing ndalem 3 kahanan inggih minangka warangkaning dat, dados wahananing sipat , asma lan afngal kita sadaya, kapratelakaken kados ing ngandhap punika :
Roh dipun wastani atma, dados kahananing gesang, anglimputi ing ndalem sarirakita, mengku jamaning ngakerat
Malaikat, dipun wastani pramana, dados kahananing gesang angreksa indak lumungsuripuning dalem sarira kita , amengku jamaning alam supena.
Setan nanging dede iblislanat inggih punika napsu dipun wastani hawa, dados kahananing gesang anyolahaken karkatipun ing dalem sarira kita, amengku jamaning alam donya.
Menggah santosaning pangesti kayektosan ingkang dados tandhanipun, punika manawi pinupus salebeting nggalih sarwi manekung anungku puja samandi pineleng manegesing karsa.
Adat ingkang sampun kalampahan bilih katarima, lajeng wonten mangunah dhateng kabekta ing utusan  medal saking sarira  kita kang Amahmulya , amawa tandha katingal saking pranamaning netra, karaos ing ndalem rahsa, ing ngriku ingkang cinipta dados, ingkang sinedya wonten, ingkang kinarsa dhateng, inggih saking parmaning kang mahakwasa.
Ing samangke mratelakaken urut-urutanipun wahananing dat ingkang sampun kasebut ing ngajeng wau sadaya, inggih punika :
                                     I.        Kayu, tegesipun gesang, dipun wastani kayun, tegesiupun panggesangan, dipun wastani malih kayat, tegesipun anggesangi, dipun wastani malih kayu dhaim, tegesipun gesang kang tetep. Ananging sajatosipun inggih naming satunggal kayu punika . Makaten ugi sasaminipun ingkang nama dhaim, sipat dhaim, iman dhaim, saat dhaim, punika wau sadaya sami dumunung ing ndalem kayu dhai m sadaya, tegesipun tetep wonten kahananing gesang kita pribadi.
                                   II.        Nur, tegesipun cahya, punika sajatosipun inggih naming satunggal, ananging dipun nameni 5 pensebutan, inggih punika : 1. Nuriyat, tegesipun cahya samar, warninipun cemeng. 2. Nurani, tegesipun cahya nelahi, inggih punika chaya keeping kalih, warninipun jenar. 4. Nurbuat, tegesipun cahya kang sentosa, warninipun ijem . 5. Nurmohammad, tegesipun cahya kang pinuji, warninipun pethak. Menggah gerbanipun sadaya punika kasebut nama Norollah, tegesipun cahyaning Allah.
                                 III.        Sir, tegesipun rahsa, punika sajatosipun inggih naming satunggal, ananging dipun wastani dados 6 pasebutan, inggih punika : 1. Sir Iptadi, tegesipun rahsapurba. Inggih punika dados wahyaning hasmaranala. 2. Sirkabari, tegesipun rahsa wisesa, dados wahyaning asmaratura. 3. Sirkamali, tegesipun rahsa sampurna. Dados wahyaning asmaraturidha. 4. Sirngaji, tegesipun rahsa mulya, dados wahyaning asmaraturidha. 5. Sirkakiki tegesipun rahsa sejati, dados wahyaning hasmaratantra . 6. Sirwahdi, tegesipun rahsa tunggal , dipun nameni sirgibi, tegesipun rahsa gaib, dados wahyaning hasmaratantra gama, menggah garbanipun sadaya punika kasebut nama sirurllah.
                                 IV.        Roh tegesipun nyawa utawi suksma punika sejatosipun inggih nanmung setunggal , nanging lajeng dipun wastani dados 7 pasebutaninggih punika :. 1. Roh jasmani tegesipun nyawaning jasad, inggih punika wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken anggotaning badan, dipun ngibarataken roh hewani, tegesipun kaupamekaken nyawa ingkang anggesangi satokewan. 2. Roh nabadi, tegesipun nyawaning tumuwuh, inggih punika wewayanganing nyawa ingkang anuwuhaken wulu kuku sapa nunggilanipun, tumanen dados gesanging budi. 3. Roh napsani, tegesipun nyawaning napsu, inggih punika wawayanganing nyawa ingkang anggesangaken hawaning napsu, 4. Roh rokani, tegesipun nyawaning suksma , inggih punika wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken warnaning suksma. 5. Roh rohmani, tegesipun nyawaning sipat murah dipun wastani roh rabani tegesipun nyawaning pangeran inggih punika wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken kahananing rahsa. 6. Roh nurani, tegesipun nyawane cahya, inggih punika wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken wahananing cahya. 7. Roh ilapi tegesipun sasandhanging nyawa kang awening , dipun wastani roh kudus, tegesipun nyawa kang asuci, inggih punika wewayanganing nyawa ingkang anggesangaken ananing atma, menggah gerbanipun sadaya punika kasebut nama rohullah tegesipun nyawaning allah
Wiwijanganing roh kasebut nginggil, rujukipun kaliyan dawuh dalem Kanjeng sinuwun Sultan Agung dateng Kyai Pangulu Ahmad Kategan, mekaten pangandika dalem.
Sejatine roh iku sawiji, minangka kahananing rahsa, binasakake nyawa, utawi jiwa kasebut aran suksma prabedane pada mawa tandha sowing-sowang, yaiku : 1. Tandhaning roh iku anganakake getih , 2. Tandhaning nyawa anganakake keketeg, 3. Tandaning jiwa anganakake napas, 4. Tandhaning suksma anganakake rahsaning jasad.
Ananing suksma iku ana papangkate 7 warna, kaya kasebut ing ngisor iki.
                                                         i.        Patemone jasad lan napas, iku den arani suksma wahya, tegese suksma lahir.
                                                       ii.        Patemone napas lan budi , iku den arani sukma jatmika, tegese sukma batin,
                                                      iii.        Patemone budi lan napsu, iku den arani suksma lana, tegese suksma tetep.
                                                      iv.         Patemone suksma lan nyawa iku den arani suksma mulya, tegese suksma mulus,
                                                       v.         Patemone nyawa lan rahsa, iku den arani suksma jati, tegese suksma nyata, den arani maneh suksma rahsa, tegese suksmane rahsa.
                                                      vi.         Patemone rahsa lan cahya iku den arani suksma wasesa, tegese suksma wenang.
                                                    vii.         Patemone cahya lan urip, iku den arani suksma kawekas tegese suksma pungkasan
Dene patemone suksma kabeh iku den arani suksma hadiluwih, tegese suksma utama , binasakake retna embanan salaka, yen kumpul dadi retna inten jumanten , binasakake retna embanan kancana, iku ibarate martabat wakasiyat, sampurna dadi sasraludira, binasakake retna embanan sosotya, iku ngibarate martabat wahdat sampurna dadi sotyaludira, binasakake retna embanan padha retna, iku ibarate martabat akadiyat, waluya dadi manikmaya windradi, binasakake retna embanan cahya gumilang tanpa wewayangantegese bali dadi dating nukatgaib, mulih marang ajali – abadi, telas pangandika dalem ingkang sinuwun kangjeng Sultan Agung. Kyai Pangulu Ahmad Kategan nembah matur : sampun kasinggihan dawuh dalem punika , wonten bebasanipun menawi teranging ngelmi kasampurnan punika gumantung ing kawicaksanan.
Ing samangke wangsul amratelakaken urut-urutan namaning wahananing dat.
                                   V.        Napsu tegesipun angkara, sejatosipun inggih naming satunggal nanging dipun wastani dados 4 pasebutan inggih punika : 1. Napsu luhama, tegesipun angangsa, darbe hawea amurugaken dhahga, arip, luwe sapanunggilanipun,  wahyaning saking lesan kasebut dados ngibarat kahananing manah, ingkang asorot cemeng, sampurnaning anarik leburing wulu kuku, 2. Napsu amarah tegesipun sereng, darbe hawa murugaken angkara, panasten, duduka sapanunggilanipun, wahananing ing ampere, wahyaning saking karna, kasebut dados ngibarating manah ingkang kasorot abrit sampurnaning anarik leburing kulit erah. 3. Napsu supiyah, tegesipun meles dipun wastani napsu supiyah , tegesipun adreng darbe hawa murugaken murka, pepenginan pakareman kabiraen sapanunggilanipun , wahananing ing lilimpa, wahyanipun saking netra kasebut dados ngibarat wawahananing manah ingkang sorot jene sampurnaning anarik daging otot. 4. Napsu mutmainah, tegesipun jinem darbe hawa murugaken loba , inggih punika loba dhateng kautaman kadosta, anglampahi pujabrata, ingkang kalantur-lantur boten mawi watawis, wahananipun ing babalung wahyanipun saking grana, kasebut dados ngibarat kahananing manah ingkang asorot pethak, sampurnaning anarik leburingbalung sungsum.
Dene manawi kapatitisaken witing napsu punika saking utek, wedalipun andarbeni pangawasa, menawi dumunung ing manic dados cipta, andarbeni pangraos. Menawi dumunung ing lesandados raos, andarbeni pamiraos, lajeng amedalaken swara, menawi dumunung ing manah dados birahi, andarbeni karsa. Menawi dumunung ing jantung dados angen-angen, andarbeni panggraito wedalipun saking jantung lajeng dados nupus, katampen ing wadhuk lajeng dados ampas, katampen ing ampere lajeng anunggil lampahing rah dados tanapas, angambah dateng maras lajeng dumunung ing limpa dados napas, sumrambah ing jasad lajeng dados keketeg, amratandani karkating solahbawa, menggah sangkaning saliringafngal wau medal saking hawaning napsu sedaya
                                 VI.        Ngakal tegesipun budi, punika sejatosipun inggih naming satunggal nanging dipun nameni dados 5 pasebutan. Inggih punika : 1. Budi maknawi inggih manah maknawi tegesipun wahyaning budi 2. Budi sanubari , inggih manah sanubari tegesipun wahananing budi. 3 budi suweda, inggih manah suweda tegesipun woding manah, dados ngibarat kahananing budi, budi puat inggih manah puat, tegesipun woding jajantung, dipun nameni budi jati, tegesipun manah suci, dados ngibarat pramananing budi. 5. Budi siri, inggih manah siri, tegesipun rahsaning manah, dipun wastani budi napi, utawi manah napi, tegesipun manah wening, dados ngibarat pangsraosing budi.
Dene yen kapatitisaken pakartining budi punika kapilah dados 2 perangan, inggih punika :
1.   Dipun wastani Pancamaya, tegesipun osik gangsal, inggih punika pangawasaning budi ingkang taksih sinuksma ing ndalem rahsa , wijangipun wonten 3 papangkatan sarta sami anggangsal pakarti inggih punika :
1.   Dipun wastani locita, tegesipun karenteging batos kasebut nama langgamaya, tegesipun jumenenging osik kadosta ambeg, watek, graita, esti, cipta. 2. Dipun wastani Artika tegesipun pangraosing batos, kasebut nama ciptamaya, tegesipun wahananing osik, kadosta angkara, birahi, sedya, karsa, garjita.3. dipun wastani Hunandika, tegeseipun wedahing osikkadosta pangraos, panginten, panyana, panyakra, panjangka.
2.   Dipun wastani pancadriya , tegesipun manah gangsal, inggih punika pangawasaning budi ingkang sampun kawedar ing dalem rahsa, wijangipun ugi 3 pangkatan lan sami anggangsal pakarti inggih punika : 1. Dipun wastani Karmendriya, tegesipun purbaning budi, kadosta paningal, pamiarsa, panggada, pamiraos, pangraos. 2 Dipun wastani Antarengdriya tegesipun antawising budi , kadosta keketeg, napas, kedheping netra, rosining lidhah, kenyaming lati. 3. Dipun wastani Jayaningdriya tegesipun wisesaning budi , kadosta raosing kulit, parji, jubur, asta, suku.
                               VII.        Jasat tegesipun badan, punika punika sejatosipun inggih namung satunggal, ananging dipun wastani dados 2 pasebutaninggih punika : 1. Jasat turas, tegesipun badan kadadosaken saking lebu, winastan jisim dipun basakaken badan jasmani, inggih punika badan wadhag, jasat latip, tegesipun badan alus, winastan jisim dipun basakaken badan rohani inggih punika badan suksma.
Menggah badan wadag kaliyan badan alus punika boten kenging pisah, sangkan paranipun anunggil kahananing jati, upami satu munggeng rimbagan, ananging wawangsulan, ing tembe badan wadag punika luluh sampurna wonten salebeting badan alus kalimputan dening kayu dhaim, tegesipun gesang ingkang tetep dumunung ing kahanan kita pribadi mila dipun pralambangi warangka manjing curiga, tegesipun badan wadag dumunung ing salebeting badan alus. Kala badan wadag taksih dados embanan, pralambangipun curiga manjing warangka, tegesipun badan alus taksih dumunung wonten salebeting badan wadag. Mila lajeng wonten andhah-andhahing bebasan mekaten : jasat embaning budi, budi embaning napsu, napsu embaning karsa, karsa embaning suksma, suksma embaning rahsa, rahsa embaning cipta, cipta embaning kawasa, kawasa embaning wisesa.
Ingkang dipun basakaken jasat, punika badan wadag, dene budi, napsu, lan sapanunggilanipun punika badan alus. Ing sarehne sampun cetha bilih badan wadag lan badan alus   punika sanyata boten kenging pisah, sangkan paranipun anunggil ing kahanan jati, mila sampun kendhat ing salebeting batos kedah anyipta’a mekaten. Jagad bumi ngalam kabeh sumurupa maring badan, badan sumurupa maring budi, budi sumurupa maring napsu, napsu sumurupa maring nyawa, nyawa sumurupa maring rahsa, rahsa sumurupa maring cahya, cahya sumurupa maring atma, atma sumurupa maring dat, dat sumurupa maring ingsun, ingsun jumeneng pribadi tanpa timbangan tanpa lawanan ana ing kalaretingsun kang Mahamulya Mahasuci sejati saka ing kodratingsun. Bilih badhe manungku puja samadi saderengipun wiwit anekung prayogi anyipta kados makaten punika.



5. PURBA JATI
Amratelakaken wahananing dat murih anggampilakeun panyuraosipun,mila perlu dipun dihaerahaken menggah papangkakataning saking wontenipun dat wau,makaten :
Dat mutlak kadhim ajali abadi,tegesipun jenggerengipun kang asipat hesa rumuhun piyambak,kala taksih awing-uwung ing kahanan kita,kasebut wisesa terangipun makaten : Dat punika tanpa tuduhan,amung dumunung anarambahi wonten salebeting gesang kita pribadi.Ananging khatah ingkang sami katambetan (boten sumerep),Awit sakalangkung samar,binasakaken boten jaman makam,tegesipun tanpa arah tanpa enggen,tanpa kanta rupa warna,sepen saking ganda rasa swara,asipat elok,dede jaler,dede istri,dede wandu,dipun pralambangi kombang anganjap ing tawang,mila ing dalem martabat kasebut : Latekyun,sebab saking dereng sanyata ing kahananipun,menggah terangipun : Gesang inggih sipating Hyang Maha Suci,punika sumunuk angliputi saindenging jagat saisen-isenipun.Pipindhanipun kados dene wontening hawa anggenipun sumusuk angliputi jagad raya saisen-isenipun sadaya,dados boten wonten papan ingkang boten kadunungan hawa,ing salebeting sela,salebeting brama,salebeting toya lan sanes-sanesipun sami sinusupan hawa,ateges ing saindenging jagad raya kebek hawa tanpa sela,ing jawi,ing lebet,inggih angliputi lan linimputan.inggih makaten punika pipindhan wontening dat inggih Pangeran ingkang maha suci inggih gesang kita pribadi.
1.   Kayun,tegesipun kang urip(Agesang),inggih punika atma,kasebut wasesa,minangka tajalining dt,awit kasorotan purbaning dat sajati,dipun pralambangi kusuma anjrahing tawang,tegesipun sekar dhawah ing tawang (tumuwuh ing awing-awang),mila ing ndalem martabat kasebut takyun awal,dene wiwit sanyata ing kahananipun (kanyatahan pisan).
2.   Nur (Cahya),kasbut pranawa,minangka tajalining kayu,inggih punika dados sasandhaning gesang,awit kasorotan saking wisesaning atma sajati,dipun pralambangi tunjung tanpa talaga.Tegesipun sekar terate gesang tanpa mawi toya.Mila ing dalem martabat kasebut takyunsani,dene sampun sanyata ing kahananipun,sebab takyunsani punika ateges kanyatahan ingkang kaping kalih.
3.   Sir,tegesipun rasa kasebut pramana,minangka tajalining Nur(cahya),awit kasorotan wisesaning pranawa sajati,dipun pralambangi isining wuluh wungwag,tegesipun boten kawistara.Mila ing ndalem martabat kasebut akyansabitah,dene sanyata tetep titis ing kahananipun,(titis = tumutis = tetes = tumetes = dhawah,inggih dhawahing raos).
4.   Roh,tegesipun nyawa,kasebut sukma,minangka tajalining rasa,awit kasorotan wisesaning pramana sajati,dipun pralambangi tapaking kuntul ngalayang,tegesipun boten mawi tabet,tapaking kuntul anglayang punika.Mila ing dalem martabat kasebut akyankarijiyah,dene sanyata medal ing kahananipun.
5.   Napsu,tegesipun angkara,minangka tajalining roh,awit kasorotan sukma sajati,dipun pralambangi latu murub ing telenging samodra,tegesipun kaelokan urubing latu wonten salebeting toya punika.Mila ing dalem martabat kasebut akyanmukawiyah,dene sanyata gesanging kahananipun.
6.   Ngakal,tegesipun budi,ugi kasebut ing griya,minangka tajalining napsu,awit kasorotan wisesaning angkara sajati,dipun pralambangi kudha ngerap ing pandhengan,tegesipun kudha nyander yang kakarungan punika nama kaelokan awit kapal taksih kinarung wonten salebeting jajaran dados upacara teka saged angerat,punika mokal.dados suraosipun dadi kaliyan pralambang lumpuh angijeri jagad.mila ing dalem martabat kasebut akyanmaknawiyah dene sanyata kawedhar ing kahananipun.
7.   Jasat (Badan),tegesipun warana,minangka tajalining budi,awit kasorotan wisasaning sipat,punapa dene dados embaning mudah,makaten ugi sadaya sorot sami sumarambah maradini saliring anggotaning badan jasmani sadaya,ateges sampun asipat (Mahujud).Mila manawi taksih jamaning sipat,dipun pralambangi kodhok kinemulan ing leng,tegesipun kodhok punika ngibarating mudah ingkang wonten salebeting jasat,dene leng punika ngibarating jasat ingkang wonten sajawining mudah,inggih punika kahananing dating gusti taksih kalingan dening sipating kawula.Pahe manawi jamaning dat ing ndelahan,dipun pralambangi kodhok angemuli ing leng,tegesipun jasat gentos dumunung wonten ing lebet,inggih punika kahananing sipating kawula sampun kalimputan dening dating gusti,dados sami tarik tinarik,tetep tinetepan,kados kasebut ing kadis ingkang ungelipun makaten :
Teteping dat punika anarik dhateng kayu.
Teteping kayu punika anarik dhateng nur.
Teteping nur punika anarik dhateng sir.
Teteping sir punika anarik dhateng roh.
Teteping roh punika anarik dhateng napsu.
Teteping napsu punika anarik dhateng ngakal.
Teteping ngakal punika anarik dhateng jasat.

Sawangsulipun  :
Teteping jasat punika tinarik dening ngakal.
Teteping ngakal punika tinarik dening napsu.
Teteping napsu punika tinarik dening roh.
Teteping roh punika tinarik dening sir.
Teteping sir punika tinarik dening nur.
Teteping nur punika tinarik dening kayu.
Teteping kayu punika tinarik dening dat.
Ing samangke amratelakaken menggah dating gusti punika kaotipun kaliyan kawula dening andarbeni pangawasa,wenang ambabar prabawa sarta anarik dhateng wedharing gelar kukudan,kados upaminipun manawi karkating jasat katarik ing pangraosing budi,pangraosing budi kairup ing hawaning napsu,hawaning napsu kasirep dening wisasening sukma,rerem salebeting betalmakmur.lajeng amuntu ing wiwaraning pramana,anglerem saniskaraning pancadriya,mangka kaprabawa dening pangawasaning suksma,anggelar pangraosing cipta, wahananipun lajeng tilem,kahananing jasat kita ing ngriku saking pangraos katingalan alaming supena.kaleksanan saliring solah bawa.
Manawi pangawasaning suksma sampun ambabar pancadriya,sarta ambuka wiwaraning pramana,lajeng anggrenjetaken hawaning napsu,anuwuhaken pangraosing cipta katampen ing budi ngantos sumarambah ing ndalem jasat sadaya,ing mriku wahananipun dados tangi kahananing jasat kita,lajeng uninga malih dhateng saniskara ingkang katingal ing ngalam donya,mila dipun pralambangi anenun senteg pisan anigasi,tegesipun saweg sakedhap paningaling ngalam supena,lajeng saged wangsul uninga ingkang katingalan ing ngalam dunya malih.
Kados mekaten ugi manawi karkating jasat katarik ing pangraosing budi,pangraosing budi kairup ing hawaning napsu,hawaning napsu kasirep gdening wisasening suksma,wisasening suksma kakukud dhateng pangawasaning rahsa,lajeng luluh manjing dhteng pranawaning cahya,anunggil kaliyan purbaning atma,mantuk dados dat mutlak kang khadim ajaliabadi,ing ngriku wahananipun dipun wastani pejah kahananing jasat kita,ananging saestunipun boten pejah,amung ngalih panggenan kemawon,malah waluya gesangipun langgeng wonten ing kahanan kita kang amahamulya,mahasuci sejati,mila dipun pralambangi tanggal pisan kapurnaman,tegesipun dereng lami tumitah wonten ing ngalam dunya,lajeng wangsul malih dados manungsa sejati ingkang sampurna sarta waskita ing saniskara,boten mawi kasamaran dhateng kang gaib-gaib sadaya.
Inggih makaten punika riwayating dhalil kadis ijemak kiyas,ingkang katata urutipun satunggal – satunggal,supados muktamata kaliyan suraosing ngelmi makripat,sebab wonten pangerang-eranging  ngelmi makripat mekaten :
1.   Sinten ingkang taksih jibar-jibur ambruwah lumuh dhateng kasutapan,saking ngadat luwangipun dumugining dinten wekasaning tembe,jisimipun bosok dados siti,alusipun angalambrang kados kinjeng tanpa soca.Hewadene yen kinntenan lampah taberi asuci lahir batos,inggih terkadhang boten mekaten kadadosanipun ndhelahan.
2.   Sinten ingkang anggentur siyam tanpa antawis,saking ngadat luwangipun dumugining dinten wekasaning tembe,jisimpun wetah dados sela anyangaraken siti,alusipun dados dhanyang kang smarabumi.Hewadene yen kinantenan lampah trima,tegesipun ingkang dhinahar narima ing sawontenipun kemawon,inggih terkadhang boten makaten kadadosanipun ing ndhelahan.
3.   Sinten ingkang banter wungu tanpa watawis,saking adat luwangipun dumugining dinten wekasan ing tembe,jisimipun wungu kapanjingan brekasan ingkang amedosi,alusipun nitis dhateng bangsanipun satokewan.Hewadene menawi kinantenan lampah rila,tegesipun wungu ing sapakantukipun angiras dana mumule ing sakadharipun,inggih terkadhang boten makaten kadadosanipun ing dhelahan.
4.   Sinten ingkang anglantur cegah sahwattanpa watawis,saking adat luwangipun dumugining wekasan ing tembe,jisimipun amrajang dados lelembut,alusipun asring anjalma utawi ngemladean.Hewadene menawikinantenan lampah temen,tegesipun boten nate anyidra resmi bandrek jijinahan,inggih terkadhang boten makaten kadadosanpun ing dhelahan.
5.   Sinten ingkang sabar, saged amekak napsuhwa, purun anglampahi pejah salebeting gesang, tegesipun samubarang tansah ka’angkah – angkah, ulat sumeh, wuwus sareh, solah angrapepeh, sarta mawi dudugi lan prayogi, miwah anggage watawis, saking ngadat luwangipun dumugining dinten wekasan ing tembe, jisimipun sampurna gesang anunggil kaliyan alusipun dados Maha suci sejati, sebab saking istingaharipun saget gesang salebeting pejah, menawi kinantenan lampah utami, kados saya lestantun pamoring kawula gusti ing dhelahan.

Awit saking punika, mila lajeng wonten pangerang – erang makaten : sapa kang tansah kasalimur dening rajah tamah satwa hawa, amesthi tuna pangestine ing dhelahan, sebab patang perkara mau binasakake dadi pamurunging laku, lire :
1.   Rajah, Tegese kabungahan, dumunung ing sandhang panganggo.
2.   Tamah, tegese kamukten, dumuning ono ing pangan turu.
3.   Satwa, tegese karesmen, dumunung ono ing sosomahan.
4.   Hawa, tegese kamurkan, dumuning ono ing nafsu.
Dene Manawa ora kalimputan dening patang prakara mau, pagenea teka kadhung ora bias tutug saparaning cipta.
Pramila ugi sami anebihana ing iman kakalih, inggih punika iman mardhut lan iman tagayur. Nanging sami marsudia supados saged kasandhangan iman bahsan, tegesipun kasantosaning manah ingkang sae,sarta dadosa iman sabitah,tegesipun iman ingkang tetep.dumunung ing gesang kita,kados ing ngandhap punika :
1.   Iman idayat,dumunung ing gesang kita dados pitedahing awas.
2.   Iman mupasal,dumunung ing gesang kita dados palilahing pasilahaning emut.
3.   Iman sadrah,dumunung ing gesang kita dados pambukaning budi.
4.   Iman khalir,dumunung ing gesang kita dados pangestining birahi.
5.   Iman maksum,dumunung ing gesang kita dados pangreksaning napsu.
6.   Iman mahtup,dumunung ing gesang kita dados panuntuning eneng.
7.   Iman makbul,dumunung ing gesang kita dados panarimaning ening.
8.   Iman mujemal,dumunung ing gesang kita dados kaelokaning wirangi.
9.   Iman gaib,dumunung ing gesang kita dados panuksmaning suksma.
10.               Iman tayibah,dumunung ing gesang kita dados pasucianing rasha.
11.               Iman kamilmukamil,dumunung ing gesang kita dados kasemprnaning pranawa.
12.               Iman dhaim,dumunung ing gesang kita dados panetepaning asma.
Bilih kasembadan lampah kados kasebut ing nginggil wau temtu ginangtungan kanugrahan ingkang tanpa timbang wonten ing donya dumugi ing ngakerat pisan.


6.  SALOKA JATI;
Anggelaraken kawontenaning pralambang tegesipun pangumpamening babasan ingkang sami minangka pasemon saking arah dununging kawula gusti,miwah dayaning pakerti,ingkang sami nyantosakaken wewahing pangandel dhateng pangeran kita pribadi,kados ing ngandhap punika :
1.   Gigiring punglu,tegesipun gegering mimis,punika ngibarat kaelokaning dat,inggih pangumpamening gesang kita,deneyekti tanpa arah tanpa enggen,sayekti muhung dumunung ing gesang kita pribadi.
2.   Tambining pucang,tegesipun punika ngibarat kaelokanipun sipating dat,dene kahananing pangeran punika binasakaken dede jaler,estri lan dede wandu,lan dede punapa – punapa,kados punapa saestuning sipatpun,sayekti amung dumunung wonten sipating gesang kita.
3.   Wekasaaning langit,tegesipun punika ngibrat wawangenipun soroting cahya.Inggih soroting cahya kita,dene tanpa wangenan,sumarambah dumugi kahananing sipat kita.
4.   Wekasaning samudra tanpa tepi,tegesipun punika ngibarat wawangenanipun pengawasaning rahsa,sumarambah dumugi sanyataning warna kita.
5.   Galihing kangkung,tegesipun punika ngibarat wahananing suksma,ngarambahi ing badan kita.
6.   Latu sakonang,angasataken samodra,tegesipun punika ngibarat wedal ing hawa napsu.ingkang sasana salebeting pancadriya.
7.   Peksi miber angungkuli langit,tegesipun punika ngibarat rosaning budi tuwuh salebeting afngal kita.
8.   Baita amot samodra,tegesipun baita punika ngibarating badan ,dene samodra pangupamaning manah.
9.   Angin katarik ing baita,tegesipun punika ngibarat pakendelaning napas,dening wedalipun saking badan.
10.              Susuhing angin,tegesipun punika ngibarat pekendelaning napas,inggih punika wonten ing jantung.
11.              Bumi kapethak ing salebeting siti,tegesipun punika ngibaratipun wontening badan kita,ing nguni asal saking siti,ing tembe yekti pakubur ing siti,inggih punika wahananipun dados daging.
12.              Mendhet latu adadamar,sami kaliyan latu ing salebeting latu,utawi latu binesmi ing latu,tegesipun punika ibaratipun badan kita asal saking latu tansah angedalaken latu,inggih punika upami wedaling kanepson.

 1.   Barat katiyup ing angin,sami kaliyan angin anginte prahara,tegesipun punika ngibaratipun badan kita asal saking angin,tansah angedalaken angin,inggih punika napas.
2.   Tirta kinum ing toya,sami kaliyan angangsu rembatan toya,utawi toya salebeting toya,tegesipun punika ngibaratipun badan kita asal saking toya,tansah kailenan utawi angilekaken toya,inggih punika rah.
3.   Srengenge pinepe,sami kaliyan kaca angemu srengenge,tegesipun punika ngibaratipun wontening cahya kasorotan ing surya,wonten salebeting cahya,inggih punika kahananipun dados pramananing netra,saking urubing cahya tansah kasorotan ing cahya.Terangipun,inggih punika netra,dene saking urubing cahya tansah kasorotan ing surya.
4.   Wiji wonten salebeting wit,lan wit wonten salebeting wiji,tegesipun punika ingkang dipun basakaken pangleburing papan tulis,inggih amastani dene sajatosipun pangleburan papan tulis,inggih amastani dene sajatosipun gusti punika wonten ing kawula lan kawula wonten ing gusti.
5.   Kakang barep aine muragi,tegesipun punika ngibaratipun martabat insan kamil,ing nalika tanajul dhawah wonten ing wekasan piyambak,sereng tarkinipun ing tembe dados wiwitan.dene insane kamil punika inggih wahananing gesang kita pribadi.terangipun : Gesang kita samangke dhawah wekasan,ing tembe dhawah wiwitan.
6.   Busana kancana retma boten boseni,sami kaliyan busana wastra tanpa seret,tegesipun punika ngibarating jasa ing lebet,busana wastra wahananing kulit.terangipun : Amastani dhateng badan kita ingkang wadag,miwah ingkang alus,punika tetep langgeng wontenipun.
7.   Tugu manic ing samudra, tegesipun punika ngibarat panthenging cipta ingkang terus dumugi pelenging paningal.
8.   Sawanganing samudra retna, tegesipun punika mibarating babularbat tegesipun palawanganing pangeran, kakekatipun amastani palawangan ing dat, inggih punika babahan sanga winastan kori selamatangkeb tegesipun melar, mingkuping waras, utawi menga mingkeming lati.
9.   Samudra winontan kilat, tegesipun punika mibaratipun wot sirotolmustaqim, suraosipun amastanning pesating yatma;dumugi ing ngabyantara ning pangeran kita. Wonten ingkang kamastani bilih wot sirotolmustaqim punika wedaling pamicara.
10.              Bale tawang gantungan,tegesipun punika ngibaratipun ngaras kursi,tegesipun ngaras,karaupan,punika kakekatipun pasewakaning dat,dumunung ing sirah lan ing jaja,tegesipun kursi,palenggahan,inggih punika kakekatipu palenggahing dat,dunungipun ing utek lan ing jantung.
11.              Wiji ing sela,tegesipun punika ngibarating lohkilmahpul,loh-kalam tegesipun roh = papan,tegesipun kilmahpul=pareksa,ateges papan : kang rineksa,inggih punika kakekatipun sipating dat,dumunung wonten ing jasat,sarta rineksa malaikat kirman.dene tegesipun kalam=panyeratan,punika kakekatipun wayanganing dat,dumunung wonten ing budi tumuwuhing angen-angen,rineksa malaikat katiban suraosing tipikajengan : amastani telenging gesang,punika dumunung ing badan kita.
12.              Tengahing arah,tegesipun punika ngibaratipun mijan,tegesipun mijan=teraju,inggih punika kakekating panimbangan dat,dumunung wonten ing : paningal,pamiarsa,pangganda,pamiraos lan pangraos.suraosipun amastani dhateng panimbanging gesang kita inggih punika dumunung wonten ing pancadriya.
13.              Katingal pisah,tegesipun punika ngibaratipun wahananing dat kaliyan kahananing sipat,punika saengga kados wijang piyambak.ananging sajatosipun dat punika boten saged pisah kaliyan sipatipun.sebab wonten wiji tumuwuh tanpa cangkok,nanging cangkok boten tuwuh yen tanpa wiji.terangipun amastani dhateng jejering kawula gusti,dene kados wijang piyambak-piyambak,nanging sajatosipun inggih nunggil kemawon.
14.              Katingal boten pisah,tegesipun punika ngibarating solah kaliyan bawa,tegesipun solah,ebahing badan,tegesipun bawa,osiking batos.wontenipun solah lan kreteg punika katingal boten pisah,punika kaparengan dening karsa.
15.              Katingal tunggal,tegesipun punika ngibarating dating pramana kaliyan sipating netra boten sanes,tegesipun amastani bilih pangawasaning netra kaprabawan dening pramana.
16.              Medal katingal,tegesipun punika ngibarating wedaling dat,ateges pangawasaning pangeran,punika katandha saking kedaling lesan adarbe swara.
17.              Katingal amedalaken,tegesipun punika ngibarat wedaling napas,dene kanyataan kados wonten ingkang angedalaken.
18.              Manawi pejah boten kenging risak,tegesipun punika ngibarating suksma kaliyan raga,yen raga risak,suksmanipun langgeng kemawon.kasebut alip mutakalimun wakib,tegesipun sipat kang ngandika sakecap tanpa karna lesan,inggih punika kang ngarupa sajati dumunung ing suksma,inggih roh kita pribadi.
19.              Manawi karisak boten saged pejah,tegesipun punika ngibarating napsu kaliyan rahsa,upami napsunipun kapekak,rahsanipun boten saged sirna margi rahsaning cipta taksih karaos dumunung ing rahsa kita pribadi.
20.              Sukalila tega ing pejah,tegesipun punika ngibarat tiyang badhe pejah,anglampahi tigang prakawis : Sapisan,suka dene rumaos badhe angsal kabingahan ing jaman kasampurnan.
Kaping kalih,lila dene sampun rumaos lila dhateng barang tilaranipun.kaping tiga,dene sampun tega tilarsih katresnan lan sadaya pakaremanipun,punapa dene kawelasanipun,inggih punika anak bojo ingkang sami katilar kantun sadaya.
Wondhene sakathahing babasan ingkang kangge cacangkriman,menggah pradikanipun amung kawawas kados ing ngandhap punika.
Sadaya ingkang binasakaken : Ageng,wiyar,inggil,panjang,langkung,inggih punika ingkang kangge pangumpamen dhateng ananing dat,inggih kahananing pangeran kita.Dene sadaya ingkang binasaken : Alit,ciut,celak,andhap,kirang lan sapanunggilanipun,inggih punika kangge pangupamen wahananing sipat,inggih wujuding kawula.
Wondene ingkang kasebut ing babasan makaten : bothok,bantheng,winungkus ing ghodong asem kabitingan alu bengkong.Menggah pradikanipun bothok bantheng,sanepa ananing dat,inggih gesang kita pribadi,ghodong asem,sanepa wahananing sipat,inggih embaning gesang kita,kanyatahan saking warna kita,dene alu bengkong,sanepa kahananing afngal sadaya,inggih pakertining gesang kita.menggah dunungipun makaten : adeging gesang kita punika asisinglon warna kita,katandha saking solah bawa.
Liya ingkang kasebut ing nginggil,wonten wardinipun malih makaten bhotok bantheng,punika mani,ghodong asem,punika pawestren,alu bengkong,punika purusa ananing wardi ingkang makaten wau mboten prayogi menawi kangge raraosan ing ngakathah kenging dipun wiraosaken,prayogi namung kaliyan ingkang sampun tunggil kawruh,utawi dhateng ingkang sampun katuwuhan ing dudugi.Manawi kawiraosaken dhateng ingkang taksih kirang ing dudugi,mindhak karumiyinan ing pangangkuh,margi dereng dumunung knyektosaning tumuwuh kaselak amiyagah.

1.  SASMITA JATI
Punika minangka pangemut-enut patraping pitegahan sadaya,bubukanipun amratelakaken riwayating kadis,manawi sampun pare king mangsa tegesipun utusaning pangeran ingkang maha suci,andhawuhaken janji dhatengngalam donya,inggih punika malaekat jabarail kinen mundhut sadasa pangkat kados kasebut ing ngandhap punika :
1.   Mundhut berkting bimi,tegesipun sudaning warna.
2.   Mundhut adiling ratu,tegesipun gingsiring pancadriya.
3.   Mundhut lomaning sugih arta,tegesipun sudaning kikiyatan.
4.   Mundhut wirangining pandhita,tegesipun ewahing budi.
5.   Mundhut tapaning ngawerdha,tegesipun tansah muring-muring.
6.   Mundhut sabaring sudra,tegesipun sugih kanepson.
7.   Mundhut sahing kadang warga,tegesipun petinging angen-angen.
8.   Mundhut wiranging pawestri,tegesipun sudaning kajatmikan.
9.   Mundhut imaning mukmin,tegesipun ngingganging nyawa.
10.               Mundhut sastraning kur’an,tegesipun ingseding rahsa
Manawi sampun rumaos sasmita kados kasebut ing nginggil punika,kita asring darbe welas dhateng badan kita pribadi,lajeng rumaos angangkat wijang raga kaliyan nyawa,ing ngriku tanda sampun pare king pejah.Kawistara sakathahing panengeran angajengaken dinten kiyamat,tegesipun kiyamat,jumeneng inggih punika kiyamating badan kita,badhe jumeneng kaliyan pribadinipun(Pejah).Kawistara saking panengeran,kados kasebut ing kitab bayan maot makaten wawarahipun :


1.   KIRANG 3 TAHUN
Kawistara rumaos sayah gesangipun,serta rumaos bosen anguningani sagunging kamulyan,ingkang gumelar ing dunya punapa dene asring nandang sakit mumet,asring supena kesahan purugipun mangaler,serta ical legeanipun salebeting sare.Ing ngriku enggening prayitna,tegesipun kita kedah enget,yen gesang punika boten wande dumugi pejah.
2.   KIRANG 2 TAUN
Kawistara kita asring rumaos darbe kangen dateng kaluearga ingkang sampun sami tilar dunya serta asring ngunek-unek raosing panggalih,elik dhateng sakathahing pakareman,punapa dene asring supena dandos-dandos dalem padaleman.Ing ngriku enggening nastapa.tegesipun cecegah.

3.   KIRANG 1 TAUN
Kawistara asring uninga wujud ikang boten katingal,asring geter senthiling jangga,utawi lajeng nandhang
Sakit,ingkang dadosaken sudaning kikkiyatan,netra pucet,balungan ngeres linu,sudaning pamuring-muring,raosing lidah suda,ing ngriku enggening ambater tapa

4.   KIRANG 9 WULAN
Kawistara asring sumerep netra kita pribadi,asring karaos marlupa,lampahing rah asring kendel,kanepson suda ing ngriku tansah anyiptaa pejah salebeting gesang wonten ing marcapada
5.   KIRANG 6 WULAN
Kawistara asring miring barang ingkang pancen boten kapiyarsa,asring gumrebeg salebeting karna,andadosaken sudaning pamireng,terkadang boten darbe karkat,tanpa pepenginan,asring tanpa kawelasan.ing ngriku nggoning wektu kedah tansah anglampahi pandamel sae,kareksa’a sumehing netya,manising wicara alusing solah bawah.Angecani manah sesamining gesang.
6.   KIRANG 3 WULAN
Kawistara asring mambet gandhaning lelembut kados menyan kobar tuntung amis,utawi mambet gandhaning sesakit,Asring karaos asrep salebeting grana,suda bantering napas,sarwa kasesa sabarang karsa,ing mriku pangenaning karem anyepen,tegesipun kedah asring angedalna ing saniskara,sarta ananamur lampah,punapa dene remen dadana dhateng para sekeng
7.   KIRANG 2WULAN
Kawistara asring cidera paningalipun,kadosta :  Srengenge asring katingal cemeng,langit katingal abrit,latu katingal cemeng,wawayanganipun piyambek katingal kalih,netra katingal tanpa wawayangan.Ing ngriku pangenanging wewarah serta piweling dhateng putra wawayah sasaminipun,amrih anglampahana pandamel sae dhateng saliring kautaman.
8.   KIRANG 40 DINTEN
Kawistara manawi dariji asta dipun pekak pekuk,kapetelaken dhalah epek-epekipun dariji manis ka angkat,yen sampun ka,angkat ajungjung dariji manis wau,utawi darijinipun sekawan sami dipun pekuk,kapetelaken dhalah epek-epekipun,dariji panunggul ingkang boten katekuk ka angkat,manawi sampun ka angkat ajungjung darijinipun panunggul wau,inggih ugi kirang 40 dinten.Punapa dene asring kejeng otot-ototipun,ula-ula kumedhut,asring supenanipun.ing ngriku pangenaning panelangsa,lan ngapuntena dhateng ingkang sampun kalepatan,lan anyuwun pangapunten dhateng sasami sami ingkang kaserikaken.

9.KURANG 10 DINTEN

Manawi mawas asta darijinipun katingal kalong,utawi ugel2ipun katingal pedot.ing ngriku panggenan amatrapaken pikekahing ngelmi kasampunan,inggih punika : Iman,Tokid,ma’ripat,Islam. Tegesipun iman,ngandhel ingkang dipun andhel kodrat kita,inggih kawasa kita pribadi,dumunging wonten ing eneng.tegesipun tohid,muhung satunggal.inggih punika pasrah dhteng irodat kita,inggih karsa kita pribadi,dumunging wonten ing ening.tegesipun ma’ripat,waskita.ingkang dipun waskitani ngelmu kita,inggih punika anguningani dununging dat,sipat,asma,afngal,(khantha,rupa,aran,pakerti utawi panggawe).Anggenipun ngawuningani dumuning ing awas tegesipun islam,wilujeng ingkang wilujeng punapa kayat kita inggih gesang kita pribadi,duunung wonten ing enget,inggih enget dhateng pangeran kita pribadi.punika datipun,dene angliputi ing alam sadaya.tegesipun jamal elok,ingkang elok punika sipatipun,dene dede jaler,dede estri,dede wandu,serta boten jaman makam,boten arah boten enggen,tanpa warna tanpa rupa.tegesipun kahar,misesa,ingkang misesa punika asmanipun.dene boten nama sinten-sinten,anjawi namung asmanipun pribadi kang amiisesa. Tegesipun, sampurna,ingkang sampurna punika apngalipn pandamelipun, dene saged, gumelar sami sanalika saking kawasa tanpa sangsaya.

10.KIRANG 15 DINTEN.

 Kawistara asring katingal warnanipun piyambak. Ing mriku panggenaning pamuja, aneges, karsaning kang maha kawasa, patrapipun manawi badhe sare mawi angendelna ing saniskara. Pamujanipun makaten : ana pupujaningsun sawiji, date iya datingsun, sipate iya sipatingsun, asmane iya asmaningsun,afngale iya afnglingsun. Ingsun puja ing patemon tunggal saka hananingsun, sampurna kalawan kodratingsun. Ing ngriku nyipta’a amuja tunggal, inggih punika : bapa biyung, kaki nini, garwa putra, wajah lan sasaminipun ingkang dados pelenging sih, sadaya wau nunggila wonten jaman kalanggengan.

11.KIRANG 8 DINTEN.

 Manawi sampun anandhang gerah, terkadang boten kersa dahar, boten saged sare ing ngriku panggenaning martabat. Patrapipun menawi bade sare utawi mentas wungu sare mawi angendelna ing saniskara,dene. Tobatipun makaten : ingsun nalangsa marandat ingsun dewe, regeding jisimingsun, gorohing atingsun, serenge napsuningsun, laline uripingsun salawase, ing mengko sun ruat sampurna sadosa ingsun kabeh, saka kodtingsun.

12.KIRANG 3 DINTEN.

Manawi panggalih bingung, angraosaken gerah uyang, terkadang angedalaken tinja taun, utawi tinja kalong, punapa dene angedalaken cacing kalung utawi tembagi, pucuking purasa katingal karaos asrep, wani terag. Ing ngriku panggenaning anekseni datheng dat kita pribadi, mawi angadelaken saniskara. Anggenipun anekseni makaten : ingsun anekseni ing datingsun dewe, satuhune ora ana pangeran, nanging ingsun, lan anekseni ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang aran alloh iku badan ingsun, rosul iku rasaningsun, iya Muhammad iku cahya ingsun, iya ingsun kang urip ora kena ing pati, iya ingsun kang eling kang kena lali, iya ingsun kang langgeng ora owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita tan kasmaran ing sawiji-wiji, iya ingsun kang amurba amisesa kang kawasa serta wicaksana ora kakurangan ing pangerti, biar sampurna padang trawangan, ora krasa apa-apa amungingsun kang liputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.

13.KIRANG 2 DINTEN.
Manawi babahan hawasanga sami karaos medal angin, terkadang darbe welas dateng badan kita pribadi. Ingriku panggenaning anucekaken sakatahing anasir bangsa, inggih punika bangsaning anasir khak ingkang dumuning wonten ing : dat, sipat, asma, afngal, kadosta anasiring badan asal sakinh bumi, latu, angin, lan toya, punika sadya kacipta’a suci mulia mantu datheng asalipun,sampuna’a anunggil kalian anasiring roh, ingkang sukanda wonten kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud. Tegesipun wahana inggih punika roh, amargi roh punika dados kanyatahaning roh. Tegespun ngelmu, paninggal, inggih punika paninggaling netra balaka amargi paninggal punika dados pamawasing roh.tegesipun nur, cahya, inggih punika cahya, kang angliputi sarira, amargi cahya punika dados pathandhaning roh. Tegesipun suhud, saksi, inggih punika napas, amargi napas punika dados saksining roh. Dene anggenipun nyuci kaken mawi angandelaken ing sanikara, sarta nyebut ing dalem cipta makaten: ingsun anucekaken saliring anasir ingsun kang bangsa jasmani, suci mulia sampurna nunggal kalawan saliring anasiringsunkang bangsa rohano, nirmala waluyajati ing kahanan jati dening kodratingsun.

14.KIRANG 1 DINTEN.
Manawi otot ing ugel-ugel suku kita sampun kendho, utawi sarira kita sampun angedalaken riwe kumyus, punika kita terkadhang darbe rumaos angangkat wijing raga kaliyan sukma. Ing ngriku panggenaning angawinaken badan kaliyan nyawa, mawi angandelaken saniskara, mawi nyebut salebeting cipta makaten : Alloh kinawinake, winalenan dening rosul, pangulune mohammad, saksine malaekat papat, iya ingsun kang angawin badaningsun, sapatemon kalawan sukmaningsun, winalenan dening rahsaningsun, kaunggagahake dening cahyaningsun,sinaksenan dening  malaekatingsun papat, jabarail yaiku pangucapingsun, Mikail pangambuningsun, Isropil paningalingsun, Ngijoil pamirsaningsun,srikawine sampurma saka kodratingsun.

15. LALAMPAH.
Manawi kulit sampun boten pera kumrisik, lajeng asrep, keketeg ugel-ugeling asta sampun sirna,andadosaken oncating kanaka tanpa cahyapramananing tinggal sampun sepen,paningal bawur grebeging talingan sirep,andadosaken pinggeng sanalika,lajeng gringgingen saranduning salira,sarta mambet gandaning sawa.ingriku kedah santosa ing panggalih,sampun liya ing pangesti,sebab wektuning badhe kadhatengan rancana ageng saking idajilanat lan panggodaning sadherekipun pribadi sekawan kalmia pancer,mila lajeng karwat salebeting cipta,makaten :
Ingsun angruwat kandang ingsun papat kalmia pancer,marmati kakang kawah adhi ari-ari getih puser,sakehe kadang ingsun kang ora katon lan kang ora karawatan,kadangingsun kang metu saka margaina,sarta kadangingsun kang metu bareng sadina,kabeh padha sampurna’a nirmala waluya jati saka kodratingsun.Lajeng nyipta pangukudan,makaten : Ingsun andadhekake ngalam donya iki saisen-isene kabeh iki yen wis tutug wawangenane,nuli ingsun kukud mulih mulya sampurna dadi sawiji,kalawan kahanan ingsun maneh,saka kodrat ingsun.Lajeng nyipta pamancadan,makaten : Ingsun mancat saka ing alam insane kamil,tumeka marang alam ajean,nuli tumeka marang alam missal,nuli tumeka marang alam arwah,nuli tumeka marang alam akadiyat,nuli tumeka marang alam insane kamil maneh,sampurna padhang trawangan saka kodratingsun.
Sadaya wau muhung kaliyan nyiptakemawon sebab tataning sarengat tarekat,hakekat,makripat,sampun kinukud.Dene sarengat punika lampahing badan,dunungipun ing lesan.Tarekat lampahing manah dunungipun ireng grana.Hakekat lampahing nyawa,dunungipun ing talingan makripat lampahing rahsa,dunungipun ing netra.dene ingkang kinukud rumiyin paningaling netra,kaumpamekaken bawuring kacawirangi,utawi esating toya jamjam.nunten pamiarsaning talingan,kaumpamekaken rentahing godhong sajaratiyomuntaha,utawi kangsrahing kajarswad.nunten panggandaning grana,kaumpamekaken guguring ikrap,utawi rebahing redi tursina punapa dene sugaring wukir jabir,sirahing jurang mukadasituwa.Nunten pamiraosing lesan,kaumpamekaken bibrahing wot siratalmustakim,utawi risaking katbatulloh.
          Ing ngriku tan liya namung mangesti nyipta manunggaling kawula gusti,anata sarira,patrapipun makaten : Asta sidhakep,dariji ngapurancang,jempol ka’aben sami jempol,tumumpang ing jaja,suku salonjor,jempol polok dhengkul kiwa tengen ka’abena ingkang rapet,pajaleran palandhungan sampun ngantos kaindihan,nunten mawas pucuking grana kasipat kaliyan jaja,puser,pajaleran dumugi jempol suku waja gathuk,lati mingkem,pucuking lidah madal ing cethak,lajeng ngeremna netra kang alon,sarta lajeng nata lebet wedaling napas,pratingkahipun sampun kasesa,napas lumebet nyipta : HOE,napas medal nyipta : ALLAH,dados : HU-ALLAH.punapa dene dipun santosa ing pangesti,manawi katingal punapa-punapa,poma sampun dipun paelu,punika rencananing pejah,dipun tansah jinem ing cipta.
`         Ing ngriku wiwiting rahsa kita mingsed        saking jempol suku,dumugi ugel-ugel,lajeng dumugi dengkul,kaparengan panariking rahsa kita saking pucuking dariji asta,lajeng dumugi walakang,kaparengan panariking rahsa kita saking pucuking urat,lan saking urat kendel ing puser,kang njaja,kang saking sikut dumugi salang lajeng kempal wonten ing njaja,lajeng minggah dumugi ing tenggak,lajeng dumugi ing utek,sareng sirnaning napas kita,serta sirnaning keketeging jantung,amung kantun keketeging utek,lajeng ngambah alaming nyawa,budi cahya,dumugi alaming pangeran,lajeng kasat mata ing ndalem cipta,kados gebyaring calcret,boten mawi antawis malih paworing kawula gusti anunggil gesang wonten salebeting cahya kita pribadi,ingkang tanpa gesang kita wangsul kados kang rumiyin,tetep gesang ingkang tanpa wiwitan lan tanpa wekasan,inggih gesang ing donya ndhelahan,langgeng ing salami-laminipun.
          Ing mangke mratelakaken panengeraning manungsa ingkang badhe dumugi ing janji,ingkang kawistara saking panawaning liyan,kados ing ngandhap punika :
1.   KIRANG 3 TAUN.Terkadhang kados angsal panglulu gesangipun.
2.   KIRANG 2 TAUN.Terkadang ghadhah lageyan ewah saking adat.
3.   KIRANG 1 TAUN.Terkadang angenggal-enggali solah bawanipun.
4.   KIRANG 6 WULAN.Terkadang salin lalabuhanipun,lajeng tanpa hawa kadosta tiyang kereng,dados alim,tiyang remen ing parameyan,dados karem ingasepan,sapanunggalanipun.
5.   KIRANG 3 WULAN.Terkadhang wangsul wawatekanipun kados lare.
6.   KIRANG 1 WULAN.Terkadhang katingal surem cahyanipun,tandha badhe nandhang sakit.
7.   KANTUN NGENSTOSI SANGAT,urubing netra,sampun dhoyong sarta katingal sampun sirep amung kantun gilar-gilar,lajeng kamisawangen,kedhet kendhel,imba tikel.
8.   DUMUGI JANJI.lajeng ical matinipun,netya pucet,karna pengeh,grana mingkup,grayanging badan sampun asrep,keketeg sadaya sepen,lajeng mambet gandaning sawa.
Dene menggah patrapipun pamawas,pucuking grana kita kasipat kaliyan jajanipun ingkang sakit,lajeng winawas kliyan megeng napas,angeningaken cipta,angesti paworing kawula gusti,ing ngriku enggening waspada.


2.  WASANA – JATI
              Kacarios bilih kita bdhe pejah, keketging jantung sampun sampurna, namung kantun keketeg salebeting utek kemawon lajeng karaos nikmat salir anggota ning sarira sadaya. Wektu sirnaning warana lajeng katingal ing jaman karamaulloh, tegesipun jaman kamulyaning alloh. Pangraosipun ing ndalam ngadanrukini dathengipun sakathaing cahya ingkang ngilmputi dathing karaton, amawa tandha kapiarsa salebeting cipta kados wonten susra rame surak ambal-ambalan. Sampun ngantos kaget, sabab punika kumaraning hawa kita ingkang sirna sampurna, ing ngriku namung amusti pupuntoning tekad kang santosa, kados ngibarating aksara alip kang aljabar jer apes, ungelipun : A,I,O tegesipun : aku iki urip, lajeng anyipta’a branta ingkang dat supados sampun kengetan dhateng ingkang katilar kantun sadaya ing nalika punika boten mawi atawis lajeng byar katingal ing alam kabir,kados wawangsitipun S. kali jaga ingkang badhe kalampahan wonten salebeting jaman karamtulloh kaetosan ing ndalem ngadamrukmi katingal saking pangraos kados ing ngandhap punika :
1.   Ing sakawit katingal alam rokhiyah,tegesipun alaming nyawa, apadhang dede padhaning rahina, tanpa keblat wetan ler kidul kilen tengah miwah ngandhap nginggil. Ing ngriku aningali saganten tanpa peti, punika wahananing manah kawimbuhan cahyaning utek satengahing saganten wonten duryat panca maya, tegesipun sosotya, saking osik gangsal warni, kados teja gumawang cahyanipun. Punika wahananing jantung kawimbuhan cahya ning joharawal, inggih punika manik. Ingkang panca maya lajeng liput jatining manah, dados pangrasaning sarira, jumeneng wonten telenging samudra tanpa tepi wau. Empanipun angawasaken amung dumunung wonten ing cipta, papanipun anyidikaken dumunung wonten ing paningal, pamiarsa, pangganda, pamiraos miwah pangraos saklebeting cipta lajeng asa rupa jalma, dipun wastani mukasipat. Dene kuwasanipun namung anuntun sakaliring sipat sadaya, ing nalika punika sampun ngantos kasamaran dhateng panengeraning rupa sajati, inggih rupa kita pribadi jumeneng alip mutakalimunwakid, tegesipun sipat kang angandika sakecap tanpa lesan. Ing ngriku dipun mantep ing iktekad, sabab wawayanganing roh sampun ngatingali salebeting pramana, inggih roh kita pribadi, sampurnanipun anunggil kahanan dhateng alaming rahsa, inggih rahsa kita pribadi.
Sasirnaning alam rokhiyah,katingal alam siriyah,tegesipun alam ing rahsa,pandhngipun anglangkungi pandanging alam rukiyah,ing ngriku dhateng cahya sekawan warni,cemeng,abrit,jene,pethak,punika wahananing budi amedalaken kahanan ing napsu hawa sekawan prakawis,ingkang sami dados durgamaning rahsaning manah.katingalipun tumaruntun satunggal-tunggal,ingkang wiwit katingal rumiyin cahya cemeng,punika kahananing napsu aluhamah,hawanipun nalika gesang amurugaken dhangga,arip luwe sapanunggalipun,wahananipun ing wadhuk,wahyanipun saking lesan. Kadosanipun salebeting cahya cemeng katingal sakaliring satokewan wah gegemrotan sami angragodha kados anganggep pangeran,prabawanipun bumi gonjing,alaming napsu dipun wastani

1. alam nasut,tegesipun supe. Poma dipun enget sarta santosa,sampun ngantos korup wonten salebeting cahya cemeng,bok manawi lajeng nitis dhateng satokewan utawi gegemrotan.
Boten antawis dangu cahya cemeng sirna,nunten kaingal cahya abrit,punika kahananing napsu amarah,hawanipun ing nalika gesang amurugaken angkara,panasten jail drengki sapanunggilanipun,wahananipun ing ampere,wahyanipun saking karna,kadadosanipun ing salebeting cahya abrit katingal saliring budi srani brekasakan,inggih sami angragodha ang anggep pangeran,prabawanipun latu ageng amurub angalad-alad alaming napsu dipun wastani alam jabarut,tegesipun sereng,ing nalika punika panggenaning rekaos,poma dipun sareh sarta santosa,sampun ngantos korup wonten salebeting cahya abrit,bok mawi anitis dhateng brekasakan.
Boten dangu cahya abrit sirna,nunten katingal cahya jene,punika kahananing napsu supiyah,hawanipun ing nalika gesang amurugaken murka,pepenginan pakereman kabingahan sapanunggilanipun,wahananipun ing limpa,wahyanipun saking netra,kadadosnipun ing salebeting cahya jene sakaliring peksi miwah bangsa iber-iberan,inggih sami angragodha kados anganggep pangeran,prabawanipun angin pancawara ageng,alaming napsu,dipun wastani alam laut,tegesipun gingsir,ing nalika punika panggenaning lenggang saliring anggotaning salira,poma dipun tetep sarta santosa,sampun ngantos korup wontun salebeting cahya jene,bok manawi nitis dhateng peksi miwah iber-iberan.
Boten dangu cahya jene sirna,nunten katingal cahya pethak,punika kahananing napsu mutaminah,hawaning nalika gesang amurugaken lobaning kautaman sapanunggilanipun kadosta anglampahing pujabrata angalantur boten mawi watawis,wahananipun ing babalung,wahyanipun saking brana,kadadosanipun salebeting cahya pethak katingal sakaliring ulam loh,miwah bangsanipun ulam toya wonten saganten rahmat,inggih sami angragodha kados anganggep pangeran,prabawanipun toya wening tanpa sangkan,alaming napsu dipun wastaning alam malakut,tegesipun karaton,ing nalika punika panggenaning uninga ing karaton,poma dipun waspad sarta santosa,sebab dede sajatiningkaraton kang rinakit maha mulya,sampun ngantos korup selebeting cahya pethak,bok manawi nitis dhateng ulam roh miwah bangsanipun bubujengan toya.menggah sampurnanipun sakawan pisan unika sami nunggil kahanan dhateng alaming cahya,inggih cahya pribadi.
2.   Sasirnaning alam siriyah,katingal alam nuriyah,tegesipun alaming cahya,padhangipun anglangkungi padhanging alam siriyah,ing ngriku dhatenging cahya amanca warni,cemeng,abrit,jane,pethak,ijem,gumelar sareng sami katingal karaton sarwa raras sadaya,unikawahananing pancadriya kawimbuhan cahyaning pramana,alaming pancadriya dipun wastani alam idayat,tegesipun pitedah,dene anedahaken panggenanipun gumelaring karaton,ananging dede sajatining karaton kang rinakit maha mulya,punika karatoning panasaran,kadosta karaton ingkang katingal salebeting cahya cemeng,punika karaton dating satokewan miwah gegremetan ingkang katingal wonten salebeting cahya abrit,punika karaton dating brekasakan ingkang katingal wonten salebeting cahya jene,punika karaton dating peksi miwah bangsa iber-iberan. Ingkang katingal wonten salebeting cahya pethak,punika karaton dating ulam loh miwah bangsaning bubujengan toya. Ingkang katingal wonten salebeting cahya ijem,punika karaton dating tutuwuhan.
Anunten ing nalika punika wonten kapiyarsa swara kados tangising bayi kala lahir,lajeng amangsit anedahaken karaton ingkang amahamulya,pomadipun jinem,sarta santosa sampun ngantos anyipta milih salah satunggal,bok manawi kalebet karaton panasaran.menggah sampurnanipun ingkang katingal punika,sami anunggil kahanan dados cahya wening wonten salebeting alam nuriyah,inggih taksih cahya kita pribadi.
3.   Taksih salebeting alam muriyah,ing mriku katingal cahya uning,salebeting cahya wonten huruf satunggal,angadeg sasada lanang agengipun,darbe sorot wolung warni,cemeng,abrit,jene,pethak,ijem,biru,wungu,dhadhu,gumelar sareng sami katingal sowarga sarwa asri sadaya,punika wahananipun warnaning pramana,kawimbuhan dening suksma,alaming pramanadipun wastani alam miskat,tegesipun bira’I,dene panggelanipun rumaos branta dhateng gumelaring swarga,ananging dede sajtining swarga kang maha suci,dede panggenan kang anikmat mafangat rahmat,unika kahyanganing jim sadaya,amung panggenan kamukten kemawon,kadosta ingkang katingal sawarga,sarwa cemeng meles meleng – meleng mindha mustikaning bumi,punika kadadosan saking kanistaning cipta,yen njumeneng wonten ing ngriku,bok manawi dados retuning jim cemeng. Ingkang katingal sawarga sarwa abrit amartaka;mimba soroting sosotya genihara,punika kadadosan saking dustaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku,bok manawi dados retuning jim aprit. Ingkang katingal swarga sarwajene sumunar mimba retnadumilah,punika kadadosan saking doraning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku,bok menawi dados retuning jim jene. Ingkang katingal sawarga sarwa pethak maya-maya wenes mimba manik maya punika kadadosan saking setyaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku,bok manawi dados retuning jim pethak. Ingkang katingal swarga sarwa ijem angu nguwung mindha manic tejamaya,punika kadadosan saking kasantosaning cipta,yen jumeneng wonten ing ngriku, bok manawi dados ratuning jim ijem. Ingkang katingal swarga sarwa biru nguyek mindha manik nilapakaja,punika kadadosaning sambawaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku bok manawi dados retuning jim biru. Ingkang katingal sawarga sarwa ungu menges mindha manic pusparaga,punika kadadosan saking sambadaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku bok manawi dados retuning jim ungu. Ingkang katingal sawarga sarwa dhadhu,muncar mimba mirah delima punika kadadosan saking ewah,gingsiring cipta,yen jumeneng wonten ing ngriku,bok manawi dados retuning jim dhadhu. Ing nalika punika mambet gandhanipun sakathahing kahyangan wau amrih angambar-ambar kados anarik rahsa,poma sampun ngantos karaosaken,bok manawikalebet ing sawarga panasaran. Menggah sampurnanipun makaten punika sami nunggil kahanan dados cahya mancur wonten salebeting alam oluhiyah,inggih taksih cahya kita pribadi.
4.   Sasimaning alam nuriyah,katingal alam oluhiyah,inggih punika alam ilahiyah, tegesipun alaming pangeran,padhangipun anglangkungi phadhangipun lam nuriyah,ing ngriku katingal cahya mancur,salebeting cahya katingal rurupan kados tawon gumana,jumeneng ing makam pana,tegesipun panggenan waskita,punika warnaning suksma,kang amimbuhi ing saliring warna sadaya,anglimputi saubenging jagat alit jagat ageng ing saisen-isenipun,ananging gesangipun saking pramananing rahsa,ing nalika punika dhatenging nyarupi bapa, kaki lan sapanunggilanipun luluhur jaler, angaken utusaning dat kang  mahasuci,kinen angirit dhateng kalaratullah, poma dipun santosa sampun ngantos kaimanaken, sabab punika afngaling suksma kita pribadi.menggah sampurnaning ingkang katingal makaten punika sami anunggil kahanan dados cahya mencorong wonten salebeting alam oluhiyah ugi, inggih taksih cahya kita pribadi.
5.   Taksih salebeting alam oluhiyah, sangsaya wewah padhangipun, ing ngriku katingal cahya mencorong, salebeting cahya katingal wonten sipating rurupan kados golek gadhing asawang puputran mutyara,dede jaler dede estri dede wandu, jumeneng ing makam baka, tegesipun, panggenan langgeng, punika pramananing rahsa, ing nailka punika dhatengipun widadari awami biyung nini sapanunggilanipun luluhur estri,angaken utusaning dat kang Amahasuci, kinen angirid dhateng kalaratullah, poma dipun santosa sampun ngantos kaimanaken. Sebab punika afngaling rahsa. Kita pribadi.
Menggah sampurnaning ingkang katingal makaten punika, sami anunggil dados cahya gumilang tanpa wawayangan wonten salebeting alam oluhiyah ugi inggih taksih cahya kita pribadi.
6.   Taksih salebeting alam oluhiyah, tanpa kinten-kinten padhangipun, ing ngriku boten katingal punapa-punapa amung cahya gumilang tanpa wawayangan, punika cahyaning atma sajati, anunggil cahyaning dat kang asipat hesa, boten jaman boten makam, boten arah boten enggan, tanpa kanta rupa warna, sepen saking ganda rasa swara, amung waluya kados kala kadhim ajaliabdi, kakadosanipun atma kita asarupi maha mulya, kang amurba amasesa kang kawasa anitahaken saliring alam, sarta angliputi alam sadaya, apranawa mengku sakaliring makam sampurna, gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi, dipun basakaken kayun bilrokin, tegesipun gesang tanpa hawa, inggih punika dados tajalining gusti kang maha suci sejati, kang agung datipun, kang wisesa asmanipun, kang sampurna afngalipun, dumunung ing gesang kita pribadi, ing ngriku marginipun ibarat konasipun curiga supana, angliputi warangka kajeng gesang ingkang sajati, amawa tandha kasamata ing ndalem cipta kados gebyaring caleret medal saking badan kita pribadi, inggih punika sampurnaning keketeg salebeting. Sareng lakiyan sampurnaning atma dados cipta, sampurnaning cipta dados waskita, lajeng boten mawi antawis paworing kawula gusti, apulangkayun ing ndlaem nur Muhammad hakiki, tegesipun tunggil gesang wonten salebeting cahya sajati ingkang gumilang tanpa wawayangan, inggih punika duryating gesang kita wangsul dhateng duryat mantuk dados sajatining mutlak kang kadhim ajaliabadi, dipun basakaken kayun pidharaheni, tegesipun gesanging kahanan kalih, wonten ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir kita inggih gesang, sarta dumunung ing kalarat kita kang sajati, langgeng wonten salebeting kahanan kang amahamulya sarwa nikmat manfangat rahmat tanpa karana, tegesipun punapa kahananing ngriku sadaya ngijil saking kodrat kita sadaya, sami sanalika lajeng rumaos waluya dados dating gusti kang maha suci sajati asipat hesa. Tandhanipun dene kawasa aningali tanpa near mirasa tanpa karna, angganda tanpa grana, angandika tanpa lesan ing temahan sampun sarwa waskita boten mawi kasamaran dhateng ingkang gaig-gaib, sarta enget wewentehan sanes karaning purwa wadiya wasana sadaya, sampun uas sumelang malih.
Punapa ingkang kasebut ing nginggil wau , sadaya punika wawarah tumrap dhateng para ngam, murih sumerep ingkang badhe kalekasanan ing dhelahan,babasan sabecik-sebanipunbecike anglakoni tanpa tuduh prayogi kang sumerep kanthi kang seserepan. Pipindhanipun kados dene tiang badhe seba ing panjenengan Ratu, wonten ingkang tedah margi lumbebet ing kadhaton, winarah awit saking Pangurakan, lajeng angambah ing galadhag, lajeng ngambah ing alun-alun, anglangkungi waringin sengkeran, anjog ing pagelaran, lajeng ing itinggil, anglangkungi kori Brojonala, Kori Khamandhungan, lajeng kori srimanganti,anjog palataran ing Dhatulaya, ing ngriku manawi angsal kanugrahan saged marak ngabiantara Nata. Menggah ingkang kaambah wau sayeti sami katingalan isen-isenipun sarta wonten ingkang dados awisanipun piyambak-piyambak. Dene tumerap tiyang ingkang sampun perak ing panjenengan Ratu,  sebanipun boten perlu mawi pitedahan, sampun saged laju ngabyantara anjujug  medal kori  Kadhaton pengkeran Makaten ugi ing jaman sakaratil maot, manawi tiyang sampun tinitah mukmin kas, inggih ingkang sampun tinarimah saking lampahipun piyambak sg ayekti saged angesti cipta cangcuting amaterapaken panjenengan- ingdat, supados boten wonten punapa-punapa, lan sampun ngantos katingal punapa-punapa ing sawiji-sawijining kahanan tuwin ruruphhen punapa kemawon,ing ngriku kuwasa laju manjing selebeting alam oluhiyah wonten ing ndalem cahya gumilang tanpa wawayangan inggih cahya kita pribadi.
Tutuladhanipun kados ingkang kocap duk ImanRohaniyah Japar Sidhik ing tanah Arab, sampun kalampahan seda ing dalem sadinten lajeng saged gesang malih, punika anyariosaken ingkang  katingalan awit angangkat mingsedinrahsaning atma, ing salajengipun ngantos tutug salebeting alam oluhiyah, sarta dhatengipun para widadari, rahayu lajeng enget, sarta lajeng jinantenan manawasampun andungkap ing kahanan kang maha mulya ing salebeting cahya gumilang tanpa wawayangan, nanging dereng mangsanipun dumugi jng ngriku wekasan Iman Rohaniyah Japar Sidhik kinen wangsul dhateng alam dunya malih.Punapadene lajeng tinedahaken ing dadalan ingkang leres, sarta minarah sajatining sadaya kahanan ingkang sampun dipun sumerepi sadaya boten wonten ingkang kalangkungan.Inggih makaten punika cariosaning Iman Rohaniyah Japar Sidhik anggenipun lajeng wungu saking seda.Panjenenganipun lestantun asma Rohaniyah, tegesipun nyawa kathah.

AJI PAMELENG
Tegesipun aji= ratu, pameleng= pasamaden ; mengku pikajeng : tandaning sedya ingkang luhur piyambak, dene empaning pendamel wau winastan manekung, pujabrata,mesu budi, mesu cipta, ngeningaken utawi angluhuraken paningal, matiraga lan saasaminipun.
Papan ingkang kangge nindakaken wau panepen, panengkungan, pamujan, pamurcitan, pamursitan, pahoman, paheningan lan sanes-sanesipun. Dene wedaring kawruh winastan daiwan,dawan, tirtaamerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadio, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastracetha, utawi sastrajendrayuningrat, pangruwating diyu lan sapanunggalipun.
Menggah pigiunanipun kawruh lan pandamel wau, perlu kangge sarananing panembah murih manggih kawilujengan, margi saged anindakaken dhateng sawarnaning pandamel sae, punapadene kangge sarana duk kita darbe sedya nunuwun kanugrahaning gesang kita pribadi (Pangeran). Inggih nunuwun bab punopo kemawon ingkang lumrah kenging linampahan saking pandamel kito ingkang boten tilar murwat.
Wondene purwanipun ing jagad teka wonten kawruh pasamaden,  bilih miturut saking tembung-tembungipun, sanyata kathah ingkang nghangge basa sansekrit; yen makaten tetela manawi wimbaning kawruh pasamaden wau saking tumitisin kawicaksananipun bangsa Indhu ing jaman kinamakina , ingkang saking boten kasumerepan petang ewoning taun. Mbok manawi kemawon papantaranipun kalihan nalika bangsa Indhu amurwani iyasa andhi dalah reca-recanipun. Dene kawruh wau ing sakawit inggih namung kangge bangsa Indhu ingkang agami punapa  kemawon, katamtokaken mesthi ngrasuk pasamaden. Awit inggih namung kawruh pasamaden punika ingkang dados mukaning saliring kawruh sajagad, lan ugi dados pangajenging pawukang agami.
Ing ngalami-lami bangsa Indhu sami lumeber dateng ing tanah Jawi lan sanes-sanesipun ; makaten ugi kawruh pasamaden inggih boten kantun. Kawruh pasamaden wonten ing Tanah Jawi saged ngrembaka tuwuhipun , margi bangsa Jawi tan pilih drajat sami remen puruita lan saged nandangaken dhateng pangolahing kawruh punika, awit kawruh wau saged nocoki kalihan dhadhasaring pamanahipun titiyang Jawi, mila kalayan gampil rumasukipun wonten ing balung-sumsumipun titiyang Jawi. Kasembuh malih saking kathahing bangsa indhu kados sinuntak sami angajawi, nedya anggelar agami lan kawruh awicaksananipun. Babasan sakedhephing netra, bangsa Jawi ing sa’indhengipun maratah sampun sami angrasuk agami Indhu, lan ugi sampun sami saged ngraosaken kabegjan , kamulyan, kawilujengan lan sasaminipun, margi saking wohing kawruh pandamel wau.
Ing wusana katungka dhatengipun titiyang bangsa Arab sami lumebed ing Tanah Jawi, ingkang ugi ambekta kawruh lan agaminipun Muhammad, kasebut agami Islam, temah nyunyuda tumangkaring agami Indhu, sabah lajeng wonten angrasuk agami Islam. Namung kemawon wedharing agami Islam boten andarbeni kawruh pasamaden, kados kasebut ing nginggil.
Sareng golonganipun tiyang Islam sampun saged ngendhih nagari, inggih punika adeging Karaton Bintara(Demak), ing ngriku lajeng angawisi kalayan kenceng, titiyang Jawi boten kenging anindakaken kawruh pasamaden, mekaten ugi sami kinen nilar agaminipun lami, sarta kedah santun angrasuk agami Islam.
Ananging mboten ta manawi bangsa Jawi lajeng anut purun santun agami Islam sadaya, purunipun wau namung margi saking ajrih paukuman wisesaning Nata, dados Islamipun wau namung wonten ing lahir kemawon, utawi islam pangaran-aran, yen batosipun taksih angrungkebi agamanipun lami. Mila bab kawruh pasamaden inggih taksih lajeng katindakaken, ananging pamulang pamedharing kawruh pasamaden wau, ingkang karan nama kawejangan (wijang-wijang) sarana lampah dhedhemitan , katindakaken ing wanci ndalu sasampunipun jam 12, ugi papaning pamejang boten kenging kauban wangon, kadota ing ara-ara , ing wana, ing lepen lan sasaminipun ing papan ingkang sepen. Pamejangipun srana bisikan boten kenging kapireng ngasanes,sanadyan suket godhong, kewan tuwin bangsaning gergremetan kutu-kutu walangataga ugi boten kenging mireng, yen mireng lajeng malih dados manungsa. Mila linggihihpn kyai Guru ajeng-ajengan aben bathuk kalihan pun murid, sarto sanget pamantos- mantosipun Kyai Guru, pun murid boten kenging nularaken wewjanganipun (kawruhipun) dateng tiyang sanes, bilih dereng angsal paliliahing Guru, yen nerak badhe angsal wilalat manggih sapudendhanging Pangeran. Panindak ingkang makaten punika, puranipun nanging tetep kangge panjagi, suados palilanging kawruh pamasaden boten katupiksan dhateng pamarintahing agami Islam. Sabab yen ngantos kasumurepan, tamtu manggih pidana.
Dumuginipun ing jaman samangke, sanadyan Nagari sampun boten angarubiru dhateng wontenipun wewejangan kawruh pamasaden, nanging panindaking wejangan wau taksih kalestantunaken sarana dhedhemitan kados kawursita ing nginggil. Mila lajeng angsal paparab saking panyedaning titiyang ingkang boten remen, utawi tiyang ingkang anglampahi sarrengating agama islam , bilih wontening wejangan kawruh pasamaden wau lajeng kawastanan ilmu klenik. Purwa saking tembung klenik , lajeng angandhakaken tembung abangan lan putihan. Ingkang kasebut abangan punika tiyang ingkang boten nindakaken saraking agama islam, dene putihan mastani tiyang jawi ingkang teluk manjing agama islam sarta naglampahi sadaya sarak sarengating agama Islam wau, inggih punika ingkang kasebut nama santri. Mila santri karan putihan, margi miturut panganggenipun titiyanng agami Islam , bilih santri punika sarwa- sarwi langkung resik utawa suci tinimbang kalihan tiyang ingkang boten angrasuk agami Islam.
Wangsuli wontening kawruh pasamaden anggenipun sanget winados menggah ingkang dados sebabipun sampun kapratelakaken ing nginggil. Dene yen saleresipun ingkang nama wados-wados wau pancen mboten wonten. Dados inggih kenging-kenging kemawon kawulangaken dhateng sok tiyanga, boten mawang nem sepuh, sarta kenging kawejangaken ing sawanci-wancinipun, uger tiyang wau mila pancen ambetahaken kawruh pasamaden kasebat. Sebab wontenipun sedaya puniko perlu supados kasumerepan dhateng ingkathah. Langkung-langkung kawruh pasamaden punika ingkang sanyata dados mukaning sedaya kawruh. Mila wajib sinebar dados seserepaning tiyang nem sepuh waradin ing saindengipun, tanpa mawang andhap inggiling drajadipun.
Amarengi wahyuning mangsakala, wusana wonten kaelokaning lalampahan ingkang boten kenyana-nyana, ing pawingkingipun bab kawruh pasamedan wau lajeng muncul katampen dhateng tiyang Islam, margi yakin bilih kawruh pasamaden wau, pancen musthikaning gegayuhan, ingkang saged andhatangaken ing kailujengan, kamulyan, katentreman, lan sesaminipun. Mila kawruh wau dening tiyang ingkang sampun suluh pepadhanging raosipun inggih punika Seh Sitijenar, ingkang ugi dados pramugaraning agama Islam apangkat Wali, lajeng kadhapuk ing ndalem serat karanganipun ingkang lajeng winastan daim, mirid saking tembung daiwan kasebut ing nginggil. Punapadene lajeng kaewokaken dados saperanganing panembah, sarana dipun wewahi tembungipun lajeng mungel : salat daim (salat, basa Arab, daim saking daiwan, basa Sansekrit). Milanipun dipun wewahi basa Arab, namung kawigatosipun kangge mikekahaken kapitadosanipun murid-muridipun ingkang sampun sami necep agami Islam. Punapadene tembung salat lajeng kapilah kalih prakawis. Sapisan 5 wekdal, kasebut salah sarengat, ateges panembah lahir. Kaping kalih salah daim, puniko panembahing batos, mengertosipun : anekadaken maninggaling pribadinipun, utawi kasebut loroning atunggal.
Kitab kakaranganipun Seh Sitijenar wau lajeng kangge paugeraning piwulang. Sareng sampun angsal kawigatosaning ngakathah, ing ngriku salat 5 wekdal lan sarak agami sanes-sanesipun lajeng kasuwak boten kawulangaken babar pisan. Ingkang pinindeng namung mamuruk tumindaking salat daim kemawon. Mila titiyang Jawi ingkang suwau manjing agama Islam, langkung-langkung ingkang dereng, lajeng sami ambyuk maguru dhateng Seh Sitijenar, margi piwulangipun langkung gampil, terang lan nyata.
Wondene purwanipun Seh Sitijenar kaserenan kawruh pasamaden, ingkang mijeni Kya Ageng Pengging, sebab Seh Sitijenar punika mitradarmaning Kyai Ageng Pengging. Kawruh pasamaden, dening Seh Sitijenar lajeng katularaken Raden Watiswara, inggih Pangeran Panggung, ingkang ugi apangkat Wali. Lajeng tumimbal dhateng Sunan Geseng, inggih Ki Cakrajaya tiyang asal saking Pagelen, ingkang kacarios saderengipun dados Wali, Ki cakrajaya wau pandamelanipun anderes nitis gendhis. Salajengipun sumrambah kawiridaken dhateng ingakatah. Makaten ugi sakabat-sakabatipun Seh Sitijenar ingkang sampun kabuka raosipun, dening Seh Sitijenar kinen sami madeg paguron amiridaken kawruh pasamaden wau. Sengsaya dangu sengsaya ngrebda, anyuremaken panguwaosipun para Wali, anggenipun amancaraken piwulang agami Islam. Yen kalajeng-lajeng masjid saestu badhe suwung.
Ngawekani sampun ngantos wonten kedadosan ingang makaten, temah Kyai Ageng Pengging tuwin Seh Sitijenar sasekabatipun ingkang sami pinejahan katigas jangganipun dening para Wali, saking dhawuhipun Sultan Demak. Makaten ugi Pangeran Panggung mboten kantun, kapidana kalebet aken ing brama gesang-gesangan wonten samadyaning alun-alun Demak, kangge pangewan-ewan mudih titiyang sami ajrih, lajeng sami mantuni utawi nglepeh piwulanging Seh Sitijenar.
Kacariyos sariranipun Pangeran Panggung mboten tumama dening mawerdaning Hyang Brama, lajeng oncat medal saking salebeting latu murub nilar nagari Demak. Kanjeng Sunan Bintara tuwin para Wali sami kablerengen kaprabawan katiyasaning Pangeran Panggung, temah kamitenggengen kadi tugu sinukrata, Sareng sampun sawatawis lebih tindakupun Sang Pangeran. Kanjeng Sultan tuwin para Wali saweg sami enget bilih Pangeran Panggung, temah keninteng gengen kadi tugu sinukarta, sareng sampun sawatawis tebih tindakipun Sang pangeran, kanjeng Sultan tuwin para wali saweg sami enget bilih Pangeran Panggung kalis saking pidana, temah sami rumaos kawon angsal sihing Pangeran. Katungka ujuking wadyabala, atur uninga bilih sunan geseng inggih ki Cakrajaya, kesah anututi lampahipun Pangeran panggung. Ing ngriku kangjeng sultan katetangi dukanipun, temah bawahing bendu, para sakabat tuwin murid-muridipun Seh Sitijenar ingkang kapikul lajeng sami pinejahan. Ingkang boten kacepeng sami lumajang pados gesang.
Para sekabatipun seh Sitijenar ingkang taksih wilujeng kakantunanipun ingkang sami pejah, ugi taksih sami mandeg panguron nglestantunaken pencaring kawruh pasamanden, nanging mawi sislintru tinutupan wuwulang sarengating agami Islam, murih boten ka’arubiru dening para wali pramugarining praja. Dene piwulangipun kados ing ngandhap punika.
Pamulanging kawruh pasamanden ingkang lajeng karan salat daim, karangkepan wuwulang salat 5 wekdal tuwin rukuning Islam sanes-sanesipun malih. Wewejanganipun salat daim wau lajeng winastan wiridan naksobandiyah, dene panindaking piwulang kawastanan tafakur. Saweneh wonten ingkang pamulanganipun ing sederengipun para murid nampi wiridan salat daim, langkung rumiyin kalatih lampah dhidikiran lan maos ayat-ayat. Wiwit punika wuwulangan pasamaden lajeng wonten warni kalih, inggih punika :
1.   Piwulang pasamanden wiwiridan saking para sekabatipun Seh Sitijenar, ingkang sarana tinutupan utawi aling-aling sarak rukuning agami islam. Wuwulang wau dumunginipun ing jaman semangke sampun mleset saking jejer ing sakawit, mila para guru samangke, ingkang sami miridaken kawruh pasamanden, ingkang dipun santuni nama naksobandiyah utawi satariyah, nginten bilih kawruh wau wiwiridan saking ngulami ing jabalkuber (Mekah). Salajengipun para kyai wau, amastani guru klenik dhateng para ingkang sami miridaken kawruh pasamanden miturut wawaton jawi pipiridan saking Seh Sitijenar. Punapadhene para kyai guru wau nyukani paprab nama kiniyani, pikajengipun : guru ingkang mulangker, ilmuning setan, dene nama kyai. Punika guru ingkang mulangen ilmuning para nabi.
2.   Piwulang pasamanden miturut jawi, wiji saking Kyai Ageng Pengging, ingkang kapencaraken dening Seh Sitijenar (ingkang ing samangke karan klaneik). Punika ing sakawit, ingkang dados purwaning piwulang, dumunung wonten panggulawenthahing wawatekan 5 prakawis, kados ing ngandhap punika :
a.   Setya tuhu utawi temen lan jujur
b.   Santosa, adil paramarta, tanggeljawab boten lewerweh
c.   Leres ing samubarang damel, sabar welas asih ing sasami, boten ngunggul-ngunggulaken dhirinipun, tebih saking watak panganiaya.
d.   Pinter saliring kawruh, langkung-langkung pinter ngencani manahing sasami-sami, punapadene pinter angereh kamurkaning manah pribadi, boten anguthuh melik anggendhong lali, margi saking daya ning mas picis rajabrana.
e.   Susila anor-raga tansah ngenggeni tatakrami, maweh reseping paningal tuwin seseming pamiharsa, dhateng ingkang sami kataman.
Lampah 5 prakawis wau kedah linampahan winantu ing pujabrata anandangaken ulah samadi, inggih amestu cipta angeningaken pranawaning paningal. Awit saking makaten punika mila tumrap panindaking agami jawi (buda), bab kawruh pasamanden tuwin lampah 5 prakawis wau kedah kawulangaken dhateng sadaya titiyang enem sepuh boten pilih andhap ing giling drajadipun. Mila mekaten, sebab musthikaning kawruh tuwin luhur-luhuring kamanungsan, punika bilih tetep samadinipun, kuwasa anindakaken lampah 5 prakawis kados kawursita ini nginggil. Temah kita manggen ing sasanining ketentreman, dene wontening katentreman, mahanani harja kreta lan kamardikan kita sami, yen boten makaten, ngantos sabujading jagad, kita badhe nandhang papa papa cintraka, kagiles dening rodha jantraning jagad, maringi kacindraning manah kita pribadi.
Bab kawruh pasamaden ingkang lajeng karan wiridan naksobandiyah lan satariyah, ingkang ing nguni wiwiridan saking Seh Sitijenar, sampun ka’andharaken ing nginggil, namung kemawon tumandhangipun boten kawedharaken. Ing riki namung badhe anggelaraken lampah tumandangipun samadi sacara jawi ingkang dereng kacarobosan agami sanes, inggih punika mekaten :
Para nupiksa, mugi sampun kalintu panampi, bilih samadi punika angicalaken rahsaning gesang utawi nyawanipun (gesangipun) medal saking badan wadhag. Panampi mekaten punika. Purwanipun mirid saking cariyos lalampahanipun sri kresna ing Dwarawati, utawi sang arjuna yen angraga-sukma. Mugi kawuninganana, bilih cariyos makaten punika tetep namung kangge pasemon utawi pralambang.
Ing samangke wiwit medharaken lampahing samadi makaten : tembung samadi = sarasa = rasa tunggal = malingining rasa = rasa jati = rasa nalika dereng makarti. Dene makartining rasa jalaran saking panggulawenthah utawi piwulang, punapadene pangalaman-pangalaman ingkang tinampen utawi kasandhang ing sadinten-dintenipun. Inggih makartining rasa punika ingkang kawastanan pikir. Saking dayaning pangulawenthah, piwulang tuwin pangalaman-pangalaman wau, pikir lajeng gadhah panggarep awon lan sae, temah anuwuhaken tata cara, pemacak lan sanes-sanesipun ingkang lajeng dados pakulin. Punapa panganggep awon sae, ingkang sampun dados tata cara margi sampun dados pakulinan punika yen awon inggih awon sayektos, yen sae inggih sae temenan, punika dereng tamtu, jer punika namung pakulinang panganggep. Dene panganggep, boten yekti, tetep namung ngenggeni pakulinang tata cara dados inggih dede kajaten utawi kasunyatan. Menggah pikajenganipun samadi ing riki boten wonten sanes namung badhe nyumerepi kajaten. Dene sarananipun boten wonten malih kajawi nyumerepi utawi anyilahaken panganggep saking makartining rasa, kasebut sirnaning papan lan tulis. Inggih ing riku punika jumenenging rasa jati kang nyata, kang yekti, kang weruh tanpa tuduh. Wondene kasembadanipun kedah angendelaken ing saniskara, sarana angereh solahing anggota (badan). Mangrehing anggota wau ingkang langkung pikantuk kalihan sareyan malumah, saha sindhakep utawi kalurusaken mangandhap, epek-epek kiwa tangen tumempel ing pipu kiwa tengen, suku ingkang lurus dalamakan suku ingkang tengen katumpangaken ing dalamakan suku kiwa, mila lajeng kasebut sidhakep suku (saluku) tunggal. Punapadhene angendhelna ebahing netra (mripat), inggih punika engkang kawastanan meleng. Lampah mekaten wau engkang kuwasa ngendelaken osiking cipta (panggagas), tuwin amuntu ilining rahsa, dene pancering paningal kasipatna amandeng pucuking grana medal saking sa’antawising netra kakalih, inggih punika ing papasu, dene pamendengipun kedah kalayan angeremaken netra kakalih pisan.
Sasampunipun lajeng nata lebet wedaling napas (ambegan) mekaten : pinariking napas saking puser kasengkakna minggah anglangkungi cethak ingga dumugi ing suhunan (utek = embun-embunan) sarta mawi kaendelna ing sawatawis dangunipun. Sumengkanipun napas wau kadosdene darbe raos angangkat punapa-punapa, dene temenipun engkang kados kita angkat. Punika ilining rahsa ingkang kita pepet saking sumengkaning napas wau. Manawi sampun kraos awrat penyangginipun napas inggih lajeng ka’endhakna kalayan alon-alon. Inggih patrap ingkang mekaten punika ingkang kawastanan sastracetha. Tegespiun cetha = empaning kawruh, cetha = antebing swara cethak, inggih cethaking tutuk kita punika. Mila winastan makaten, awit duk kita mangreh sumengkaning napas anglangkungipun dhada lajeng minggah malih anglankungi cethak ingga dumugi suhunan. Manawi napas kita boten dipun ereh, dados namung manut lampahing napas piyambak, tamtu boten saged dumugi ing suhunan, margi sawrg dumugi ing cethak lajeng sampun medhak malih. Punapdhene ugi winastan daiwan (dawan), pikajengipun, mangreh lebet wedaling napas ingkang panjng lan sareh, sarwi, mocapaken mantra sarana kabatos kemawon. Inggih punika mungel “hu” kasarengan kalihan lumebeting napas, inggih paniriking napas saking puser minggah dumugi ing suhunan. Lajeng “ya”, kesarengnan kalihan wedaling napas. Inggih medhaking napas saking suhunan dumugi ing puser, minggah mandhaping napas wau anglangkungi dhada lan cethak. Dene anggenipun kawastanan sastracetha, margi nalika mocapaken mantra sastra kaliyan : hu – ya, wedaling swara ingkang namung kabatos wau, ugi kawistara saking dayaning cethak. (ungeling mantra utawi panebut kakalih “ hu – ya, ing wiridan naksobandiyah. Kaewahan dados mungel : hu – Allah, panebutipin ugi kesarengan lampahing napas. Dene ing wiridan satariyah penebut wau mungel “ hailah haillollah, nanging tanpa angereh lampahing napas)
Menggah lebet wedaling napas kados kasebut ing nginggih, sa’angkatanipun namung kawusta angambali rambah kaping tiga, mila mekaten awit tarik napas lita sampun menggeh-menggeh. Dene menawi sampun sereh, inggih lajeng kaangkatana malih, mekaten salajengipun ngantos merambah-marambah sakuwawinipun, margi saya kumawi dangu, sangsaya langkung prayogi sanget. Dene sa’angkataning pandamel wau kawastanan : tripandurat tegesipun tri = tiga, pandu = suci, rat = jagat = badan = enggene suraosipun : kaping tiga napas kita saged tumeneng ing ngabyantaraning ingkang Maha Suci manggen ing selebeting suhunan (ingkang dipun suwuni). Inggih punika ingkang kabasakaken paworing kawula Gusti, tegesipun : manawi napas kita sumengka, kita jumeneng gusti, yun tumedhak, wangsul dados kawula. Bab punika para nupiksa sampun kalintu tampi! Menggah ingkang dipun wastani kawula gusti, punika dede napas kita, nanging dayaning cipta kita. Dados ulah samadi punika, pokokipun kita kedah amanjangaken panjing wilijing napas (lebet wedaling napas), kalihan angeningaken (ambeningaken) paningal, sebab paningal punika kadadosan saking rahsa.
Wondene patraping samadi kados kasebut ing nginggil wau, ugi kenging karancagaken, uger kita tansah lumintu tanpa pedhot mangreh panjing wilijing napas, kalihan lenggah, lumampah, utawi nyambut damel inggih kedah mboten kenging tilar mangreh lebet wedaling napas wau, ing kang sarana mocapaken mantra mungel : hu – ya, kados ingkang kajarwa ing nginggil.
Kajawi punika, mirid saking tembung daiwan, punika ugi taksih darbe maksud, sanesipun malih, inggih punika ateges panjang tanpa ujung. Utawi ateges langgeng. Dene pikajengipun amastani bilih wontening napas kita punika sanyata wahananing gesang kita ingkang langgeng, inggih wontening ambegan kita. Dene ambegan punika, sanyata wontening angin ingkang tansah mlebet medal tanpa kendel, ingkang sasarengan kalihan keketeg panglampahing rah (roh). Bilih kakalih wau kendel boten makarti nama pejah inggih risaking badan wadhag wangsul dados babakalan malih. Mila sayogyanipun lampahing napas inggih ambrgan kita ingkang tansah mlebet medal tanpa kendel, kedah kapanjang-panjangna lampahipun, murih panjanga ugi umur kita temah saged awet wonten ing donya tutug panyawangipun dhateng anak, putu, buyut, canggah, wareng ingkang babranahan.
Wontenipun andharan ing nginggil, mretelaaken bilih kawruh pasamaden punika sanyata lanhkung ageng pingunanipun, mila lajeng sinebut sastrajendayuningrat pangrueating diyu. Tegesipun sastra = empaning kawruh, jendra = saking pangarbaining tembung harja endra. Tegesipun harja = raharja, endra = ratu = dewa, yu = rahayu = wilujeng, ningrat = jagad = enggen = badan, suraosipun : mustikaning kawruh ingkang kuwasa amartani ing karahayon, karaharjan, ketentreman lan sapanunggalipun. Dene tegesipun pangruwating diyu = amalihaken diyu : dene diyu = danawa = raksasa = asura = buta, punika kangge pasemoning piawon, penyakit, rereged, babaya, pepeteng, kabodhohan lan sasaminipun. Dados diyu punika kasokwangsulipun dewa, ingkang ateges pinter, sae, wilujeng lan sapanunggalipun. Mengku suraos amatsani ingkang saged anyirnakaken saliring piawon tuwin samubarang babaya pakewed. Mangertosipun, sinten engkang tansah ajeg lumintu anandangaken ulah samadi, punika bilih ing suwaunipun tiyang awon, lajeng sirna piawonipun, malih dados tiyang sae lampahipun. Tiyang sakit sirna sasakitipun, dados saras, tiyang murka daksiya lajeng narimah sabar. Welas asih. Tiyang goroh lajeng dados temen. Tiyang bodho dados pinter sanget, mekaten ugi tiyang golongan sudra dados waesia, waesia dados satriya, satriya dados brahmana, brahmana sumengka pangawak braja asarira bathara.
Gampilipun, sawarnining kapiawon tuwin saliring godha rencana, babaya pakewed punapa kemawon, ingkang tuwuh saking kacidraning manah pribadi, punika sadaya sirna lebur dening pangastuti ulah samadi, inggih amestu cipta amurmeng pandulu woring kawula gusti. Mekaten ugi sawarnining babaya pekewed ingkang medal saking pendameling liyan, kadosta sanadyan kewan ingkang purun angganggu damel, tamtu kataman ing wilalat peksi miber ingkang ngungkuli, tamtu pejah sirna kuwandhanipun. Punapadene ugi tumrap sasamining titah ingkang nedya anglawan nagremehaken tuwin angluhuri kemenangan lan sasaminipun tamtu boten badhe kalampahan, salagi saweg purun papandengan kemawon, sampun tamtu badanipun lajeng geseng dados awu, inggih margi saking kaungkulan agenging prabawa ingkang tansah sumunar gumawang prabanipun kadidene wimbaning purnama sadz.

SERAT AJIPANUNGGAL
 Serat Ajipanunggal punika medharaken wontenipun pancadriya tuwin kawruh pasamaden utawi kawruh yoga. Dene ingkang badhe kawedaraken rumiyin, wontening nutupi babagan nawasangan. Menggah wontenipun tembung wau kangge ucap-ucapanipun (janturanipun) Nata Dwarawati utawi sang arjuna menawi kaleres samadi maneges ing dewa. Lah inggih saking tembung punika wau ingkang dipun ugemi sarta lajeng dados pamanggih umum. Ananging menggah ing sejatosipun kita boten saged yenta anutupana salah satunggal kemawon saking babagan nawasanga wau. Liripun upami kita nutupi grana margining napas , lah mangka lampahing napas punika inghkang minangka dados tetekening ulah samadi, sebab napas punika sanyata dados tetangsul utawi dados wahananing gesang kita, amila yenta grana kalantur dipun tutupi, saestu badhe dumugi ing jaman sakaratil. Dados babahawn nutupi nawasangan ( bolonganipun anggota sanga ) punika tetela saking kalentuning panampi tandayektinipun saweg nutupi bolongan satunggal kemawon, tentu boten saged tumindak.
Ingkang mekaten wau, ing ngriki kedah anerangaken menggah ing kaleresanipun , inggih punika mekaten : tembung nawasanga punika panggambaranipun tembung ; hawa + song + nga, wetahipun kedah mengel : nutupi babahan hawa, song = kosong, nga = kosonga = kosongna. Suraosipun  : sedaya margining hawa napsu sami kakosongna, ateges boten dipun margeni.

Dene margining hawa napsu wau winastan indriya , utawi nama pancadriya , dunungipun : paningal, pamiarsa, ras ilat tuwin rasa badan. Tembung pancadriya , leresipun mungel : pancen indriya, wusana aksara i =  ai  luluh dhateng  ca = c    , kantun mungel pancen driya, ateges papancening karsa, inggih ingkang nyudiyani, anjageni, angladosi tuwin ingkang among kjarsa. Menggah ingkang among karsa punika sejatosipun wonten nem perkawis  ( wewah : 1. saking : 5 ) inggih punika pamicara. Mila lajeng wonten tembung : sad indriya utawi indriya nem ( ing candrasangkala watak nem tembung sadrasa = sad rasa  = sad guna = sad gana, tegesipun rasa nem
Kasebut ing Mahabarata Wanaparwa ing perangan Aranyakaparwa, sad indriya wau lajeng winastan taman lalanggening indriya nem. Ing ngriku katetepaken panggenan ingkang dados ugering pamarsudi lan sasanggeman. Mangertosipun ; kita kedah marsudi dhateng widagdaning pamepes pangrubedaning pancendriya nem prakawis kados kasebut ing nginggil. Dene pambrantastanipun temtu boten saged sampurna menawi namung lajeng kapiyagah kemawon sareng-sareng kaliyan nalika kita mangsah samadi. Hewadene inggih wonten ingkang ngaken saged angruwes sarta amiyagah, pangaken makaten wau tangeh leresipun. Awit saupami kita ngangarang punika punapa  saged kalampahan mangsi saking wadhah, lajeng kawesokaken ing delancang kemawon  lajeng saged dados ukara tuwin tembung ing kinajengaken.
Menggah pambrastaning pancadriya wau, sanyata boten saged sami kaliyan lampahing Hyang Pawana   ingkang kuwasa ambuncang sakathahing pepedhut ingkang anggendanu wonten ing gantariksa. Nanging kedah mawi sarana tata, titi, talatos atul sarwa ngatos-ngatos dhateng saliring pakarti punapa kemawon, sarta katindakaken saben dinten wonten samadyaning pasrawungan. Mila makaten awit ing salami-laminipun , ing salebeting cipta punika sampun kaebeken deneng susuker tuwin baladering pepenginan lan kamelikan. Lah ingkang makaten wau sampun samestinipun kemawon yenta sucining cipta katemah lebur sumawur sirna gempang tanpa tilas, kekantunanipun namung mawujud gandana (gandini ) ingkang banger bacin balarongan sapurug-purug, lah inggih wontening ganda amis ingkang manuksma wonten salebeting cipta wau punika ingkang tansah kita resiki ing saben dintenipun, sarana tirtaning kawicaksanan kanthi kasantosaning pangesti
Tutuladhanipun kadosdene sang raja putri Wirata Dewi Durgandini sadherekipun sang Durgandhana (tembung Durgandhana ugi tuwin Durgamdhini tegesipun ganda awon   mila Dewi Durgandhini ugi peparap Lara Amis ), sasampunipun dipun jampeni dhateng bagawan Palasara lajeng sirna mamalinipun ( sirna piawoning pandamelipun) nunten santun naminipun lajeng peparap Dewi Yojanagandi, inggih Gandawati utawi cakrawala (sayojana) menggah pikajenganipun : menawi sampun sanyata kuwasa ambrasta susukering indriya, temtu lajeng boten saged kenging pangrubedha sakathahing pandamel ingkang tuwuh saking kamayaning sad guna kasebut ing nginggil. Liripun kita wonten ing jagading pasrawungan boten ambedak bedakaken satru utawi mitra, cipta kita kuwasa nanggulangi panempuhing satru ingkang mawujud wanudya ingkang mameraken temah teguh kataman jemparingipun Sang Hyang Hasmara. Sosotya rajabrana namung kasamekaken belng utawi wingka, swara mar mardumardawaingkang linudhing gambang calempung, boten beda kaliyan swaraning grobag ingkang ngambah ing pagragalan boten kerem ing pangalem boten geseng dening latuning kadoracaran, gandaning ratuswida lan jebadkasturi saestu sami kaliyan gandaning bangke ingkang basah, boten pisan-pisan angisep-isep dhateng saliring kadhurakan, pangrubedhaning lidhah dhateng saliring kanikmatan, boten pisan dipun kenyami. Dene wedaling swara manis arum anuju prana kados dene madu pinastika tansah andamel kamartaning sasama , kadoracaran tuwin wuwus kacandhalan boten pisan kaucapaken, salring pangandika terus terang patitis nyata ing dalem cipta tansah suci ngumalawening, punapa dene boten pisan-pisan angemot piawon senadyan namung sawiji sawi.
Amangsuli wontening tembung pancedriya  (umum pancadriya), sanadyan sampun sami dipun sumurupi, nanging menggah ing salokanipun punapa dene dunungipun, kinten-kinten taksih awis-awis sanget ingkang ngawuningani, mila kula manah perlu ing mriki kedah katerangaken inggih punika mekaten : Kasebut ing serat Mahabarata bagean ing adiparwa kacarios dewi Drupadi punika dados garwanipun pandhawa gangsal sarta saking garwa wau sami peputra nyatunggal. Para rajaputra wau kasebut Pancabala (Pancawala) pancakumara lan ugi kasebut pancabaladwitiya tegesipun pancabala = anak jaler gangsal, hadwitiya = panunjul tanpa timbang lan inggih Pancabaladwitiya punika ingkang dados pralampitaning pancendriya
Raja putra gangsal wau putra saking prabu Yudistira  nama Sang Pretiwindya, kangge pralambanging paningal, saking Sang wrekudara nama Sang Sotasoma, kangge pasemoning panggada, saking Sang Arjuna, nama Sang Sutakirti kangge pangupamening pamiyarsa, saking Sang Nakula, nama Sang Satanika kangge sanepaning raosing lidhah, Sang Sadewa nama Sang Srutakarma , kangge pralampitaning  raosing anggota
Ing nginggil sampun kasebutaken bilih tembung pancadriya punika sakngh luluhing tembung pancen driya ingkang wusananipun lajeng mingsed dados mungel pancadriya. Dene pancadriya wau kakinten namung wonten gangsal margi kapirit saking tembung panca ingkang darbe teges gangsal. Milanipun ngantos saged kedadosan ingkang makaten punika, jalaran saking ingseding tembung wau dereng dipun sumerepi. Dene yen leresipun pancendriya inggih papancening karsa punika wonten nem ( mriksanana, mahabarata ing adiparwa tuwin candrasangkala ing watak : 6 ; tembung sadrasa jarwanipun : rasa nem ) dados tumrap ingkang sampun dipun sumerepi ing ngakathah ( ingkang sampun dados kawruh umum ) taksih kirang satunggal  inggih punika wontening pamicara. Ing mriki sampun jangkep nem , inggih punika : paningal, Pangganda, pamiyarsa , raosing ilat raosing anggota (badan) lan pamicara.
Wondene wonteneing pamicara lajeng dipun pralambangi sang Gathutkaca inggih punika putranipun sang Werkudara patutan saking Dewi Hidhimba (Arimbi), sebab saderengipun pandawa daup kaliyan dewi wara drupadi, sang werkudara anggarwa dewi hidhimba, patutan satunggal, inggih sag gathutkaca punika.
Dene Sang Gathutkaca anggenipun boten kalebet dados putranipun retna drupadi sebab retna drupadi punika kangge pralampitanipun gesang, mila Dewi Drupadi tetep namung puputra gangsal kasebut Pancabalahadwitiya, inggih ingkang dados pralambanging : paningal, pangganda, pamiyarsa, raos lidhah. Lan raosing badan. Dene sedaya wau sanyata sami kadadosan saking purbawasesaning gesang (drupadi) nanging gesang boten kuwasa saged damel wicara , kajawi namung saged damel swara. Kanyatahanipun lare saged micara (wicanten) punika tetela saking anjaraning jajahrana lan saking pasrawungan ingkang lajeng tinampen ing indriya gangsal. Mila yen lare wiwit lahir boten sasrawungan kaliyan tiyang temtu dados bisu.
Mangsuli sang Gathutkaca, kejawi dados pralambanging wicara ugi lajeng dados pralambanging swara. Dene wicara wijangipun dados wicara, kedah kaulah dening indriya gangsal, mila sanadyan sang Gathutkaca punika kacarios dados putraning Pandhawa ingkang pambajeng saking Sang Werkudara, nanging sejatosipun dados putra wuragil. Putranipu Dewi Drupadi saking sang Werkudara , nama sang Sutasoma, kangge pralambaning  pangganda , dene Sang Gathutkaca ingkang kangge pralambaning swara lan wicara. Menggah wontenipun pangganda, punika kany tahaning napas makaten ugi wontening swara lan wicara, sedaya wau tetela kedadosan saking lampahing hawa, dene hawa kapralambangan sang Werkudara. Dados tembung Sang Sotasoma lan sang Gathutkaca sami putranipun Sang Werkudara menggah suraosing pikajenganipun amastani bilih napas lan swara punika kadadosan saking hawa. Mila yen cangkem mingkem irung kapithes anglengkara yen kita saged wicanten, sarta yen ngantos sawatawis dangunipun tentu lajeng karawuhan Sang Hyang Yama, margi kaoncatan Sang Hyang Maruta ( pejah)
Kasebut Sang Gathutkaca krama angsal Dewi Pregiwa, tembung Pregiwa , panggarbaning tembung pregi hawa, tegesipun pregi = prawan=parawan= paraban = praban = sorot. Tembung prawan ugi darbe teges suci utawa urip. Tembung pregi ugi ateges tuk, panggenan utawi wadhah. Tembung hawa sampun jarwa, Gathutkaca  sampun kasebut ing ngajeng yen dados pralambanging wicara utawi swara, mila Gathutkaca saged miber tanpa lar, mletik tanpa cuthang sarta kacarios sang Gathutkaca bilih wonten ing mega malang, sami kahadhep para bledheg, awit sang Gathutkaca awit sang Gathutkaca wau dados ratunipun. Menggah sejatosipun ingkang dados baledheg punika inggih sang Gathutkaca piyambak, margi baledheg punika inggih swara  dene purwanipun saking tempuking hawa. Anggenipun Pregiwa dados bojonipun Gathutkaca, mengku pikajeng amastani bilih wonten swara punika kanyatahaning hawa, dene hawa punika inggih swara, utawi hawa punika ingkang amadhahi swara, sarta inggih hawa punika ingkang ngawontenaken swara.
Sadherekipun Dewi Pregiwa, nami Dewi Pregiwati punka kagarwa Sang pancawala (pancabala=pancabaladwitiya) tembung pregi sampun kajarwan tegesipun wati =rasa mengku suraos : rasa kang suci utawi panggenaning rasa inggih wadhahing rasa. Dene Pancawala   (pancabala=pancabaladwitiya) ugi kasebut dewa lilima inggih punika 1. Pretiwindya 2. Sang Sotasoma, 3. Sang Srutakirti, 4. Sang Satanika, 5. Sang Srutakrama,  punika sampun kajarwa ing nginggil bilih dados pasemoning pancedriya (indriya gangsal) inggih ingkang katelah nama pancadriya. Dados yen makaten, Pregiwati anggenipun dados garwanipun Sang Pancawala darbe teges : indriya gangsal punika rasa ingkang suci, tembung suci ing ngriki ateges urip utawi langgeng.
Kasebut ing serat baratayuda, para putranipun Drupadi gangsal pisan, inggih sang pancawala, sedaya sami kapejahan dening sang aswatama, nalika lampah dhusta ngamu wonten pakuwon Pandhawa, dene sang Gathutkaca pinejahan dening sang Karna, tegesipun pancawala  tuwin Gathutkaca sampun kajarwa ing nginggil, dene tegesipun karna = kuping mangertosipun : wontening wicara ingkang boten saged tinampen talinganing ngasanes, marga sampun  kasumerepan kacidranipun, punapa dene bilih talingan kita boten purun kapanjingan utawi kelu dhateng swara kadoracaran wuwus kacandhalan lan sasaminipun, punika nama pejahing wicara lan swara, inggih atages sang karna amejahi sang Gathutkaca, wondene sang Aswatama kangge pralambang mangsah samadi, mila sayoginipun kita samiya anandhangaken ulah samadi ig sakuwasanipun, murih papancening indryia kita, inggih sang Pancabalahadwitiya ( Pancawala) saged pejah. Ateges boten kataman dening kamayaning sadguna, inggih pepenginan nem prekawis. Menggah pepenginan nem prekawis wau inggih ingkang among karsoutawi mituruti karsa, wiwijanganipun kados ing ngandhap punika :
1.                  Paningal ( Sang Pretiwindya ) anjurungi karsa niningali wawarnen ingkang sarwa edi peni.
2.                  Pangganda ( Sang Sotasoma ), mituruti karso angambet gagandan ingkang amrikarum angambar-ngambar
3.                  Pamiyarsa ( Sang Srutakirti), among karsa niling-nilingaken pamirenging swara ingkang sekeca angrangin angayut-ayut, langkung-langkung pangrinthihing swara salebeting pulang asmara.
4.                  Pangraosing ilat inggih pangenyam ( sang Satanika) angumbar karsa raosing sawarninipun dhadhaharan tuwin unuj-unjukan ingkang sami miraos.
5.                  Pangraosing anggota (sang Srutakarma), anguja karsa sakecaning sarira ( kesed sungkan sasaminipun), langkung malih pangujaning raos kanikmatan asmara.
6.                  Wicara ( sang Gathutkaca), anjurungi karsa wedaling swara sereng kadosta : nepsu, muring-muring, srengen lan sasaminipun, dene wedaling wicara ingkang manis arum anujuprana, namung yen kapanujon amawa pamrih, ateges wicara ingkang lamisan, mila sang Gathutkaca ngangge tlumpah madukacarma, tegesipun madu = wedaling wicara    ingkang arum amanis, kacarma = kaawak, pikajenganipun amastani ingkang pangawak madu. Ananging pangawak madunipun sang Gathutkaca inggih wedaling wicara ingkang manis arum kadi madu pinastika punika mesi darubesi ingkang sakalangkung mandi, sinten ingkang kirang waspada, bilahi ingkang pinanggih.
Para raja putra kasebut ing nginggil, kajawi sang Gathutkaca, sami sirna dening aswatama, para mardibasa sami anegesi anak kapal, kapendhet saking tegesipun aswa=kapal, tama=anak, yen pikajenging pralampita boten makaten. Nanging tembung aswa ateges kapal paprangan , dene tegesipun tama =utami =prayogi=sae, menggah kapal punika dados tutumpakanipun,sasaminipun kadosdene sepur motor, kreta lan sapinunggalanipun, ingkang sedaya wau dados pirantosipun pangater utawi pangiring, darbe kajeng tumrap sakathahing pirantos ingkang saged andumugeni panedya, dados tembung aswatama darbe teges :tumpakan ingkang utami, utawi pangater ingkang sae tuwin prayogi, dene tumpakan utawi pangater, punika darbe raos sami kaliyan piranti sarta piranti ugi darbe kajeng sami kaliyan pandamel. Saking katrangan punika, dados tembung aswatama samangke langkung sumeleh yen dipun tegesi : pandamel ingkang utami. Mila kasebut ing serat baratayuda, aswatama gadhah pusaka saking tiyang sepuhipun inggih sang druna, pusaka wau nami cundamani. Tegesipun cundha = cundhuk , mani = rahsa, dene tembung cundhuk darbe kajeng sami kaliyan tembung : cocog, gathuk, tunggil,awor, suraosipun : tunggil rahsa, inggih anunggilaken rahsa  utawi maworing rahsa. Jarwa titiga pundi ingkang kapilih lan saged andamangaken panggalih.
Kasebut aswatama mijil saking dewi wilutama ingkang malih kapal sembrani sarta saged mabur. Dene tegesipun tembung wilu = ilu = toya, toya ingkang kangge pasemon piwulangin kawruh ( golek banyu bening = golek kawruh ) tama = utami, suraosipun piwulanging kawruh ingkang utama. Anggenipun saged mabur kangge pralambang sumengkaning napas kita tumameng ing susuhunan ( embun-embunan) , inggih pandamel mangreh panjing wijiling ( mlebet medaling) napas punika kawruh ingkang utami piyambak. ( Bab Aswatama tuwin kapal sembrani malihipun Dewi Wilutama ugi, andarbeni teges sanesipun malih, panjarwinipun kasebut ing srat Madyabawana)
Wondene ingkang kasebut perangipun sang arjuna mengsah lan aswatama, kakalihipun sami angedalaken senjata brama, punika kangge pangumpamen kita anandangaken pandamel, upami kita nedya angraosaken prabawa mangka kapanujon mengsah kita inggih darbe aji wau, yen mekaten temah lajeng pur kemawon ananging sanyatanipun ingkang mesti kasoran ing prabawa, punika pundi ingkang ngenmgggeni lepating pandamel. Dene ingkang kasebut, pasinten ingkang kadhawahan jemparing wau dados bonten wonten jawah salebeting kalih welas tahun, punika pralambangipun tiyang ingkang kinasoraken saking dayaning pamandeng temtu ical kaengetanipun ( kawruhipun). Dene jawah kangge pralambanging kawruh, kapirit saking tembung jawah = udan = udani = ngrawuhi
Ingkang kasebut , sasampunipun aswatama masrahaken sanjata cundhamani dhateng Arjuna sabab saking kawon perangipun, lajeng kasabda dhateng bathara kresna, yen aswatama kedah kesah ambraung ngantos tigang ewu taun laminipun. Menggah jarwanipun makaten : ulah samadi punika pikajenganipun kita anggriyakaken paningal dumunung salebeting paningal, tegesipun : paningal kita ingkang medal, punika kalebetna ing telenging paningal murih boten sumerep punapa-punapa, dene telenging paningal punika enggen raosing gesang kita ingkang sejati. Dados manawi kita mboten darbe lan boten nandangaken  ulah samadi, punika gesang kita kaumpamaken ambraung sebab boten nate mantuk utawi angenggeni griya kita ingkang sejati kados kasebut ing nginggil
Makaten ugi ingkang kasebut cundhamani wonten arjuna, nanging boten karimat, awit arjuna muhung katungkul amudya dyah banuwati kemawon. Carios ingkang makaten inggih namung kangge pralambang kita ingkang lirwa dhateng panindaking pandamel samadi punapa malih ingkang kasebut pusaka wau. Aswatama nampi saking bapa (Druna) lan bapa saking bathara guru , punika kangge pasemoningkawruh wau bilih sanyatanipun kita boten saged angsl sking panggelaring sastra utawi piwulanging guru. Dene angsalipun kawruh wau punika kedhah saking papadhanging kaengetan kita pribadi. Menggah papadhanging kaengetan kita pribadi bilih angsal papadhanging gesang kita pribadi, sagedipun pinaringan papadhanging gesang kita pribadi, bilih tinarimah samadinipun, kuwasa anjumbuhaken maworing kawula gusti.

WIRID MALADIHENING;
Marsitakaken menawi badhe manekung,pipiridan wasiyat dalem kangjeng Panembahan Senopati Ngalaga Mataram menawi kalantih kados ing ngandhap punika
Awit angingirangi dahar lan sare, cegah syahwat, ameper hawa napsu sarta siyam ing sawatawis dinten , punapa dene boten kenging ngemu sakserik duka cipta
Menawi siyamipun kantun sadalu sampun ngantos sare sarta kedah ambisu. Ing wanci tengah ndalu lajeng siram, sarampungipun siram lajeng busana (ngangge-angge) sarwa suci, sarta kakonyoh gagandan langkang wangi-wangi. Punapa dene lajeng dedupa majeng mangetan, mangilen, mangidul, mangaler. Sasampunipun lajeng angajengaken keblatipun piyambak, inggih punika ing jaja.
Sareng sampun bangun enjing, wiwit tafakur (ssamadi)angwijah raga nutupi babagan hawa sanga. Tegesipun wonten rurupen sampun dipun tingali, wonten swanten sampun kapirengaken, wonten gagandan sampun ka’ambet, wonten wiraosan sampun kasauran, punapa dene yen karaos punapa-punapasampun karaosaken, salajengipun amepet turas lan suker
Dene patrapipun lenggah pitekun : jempol suku kapanggihaken jempol suku ingkang papak polok sami polok ingkang gathuk,jengku sami jengku ingkang rapet, purusa (pajaleran) sapalandhunganipun sinipat kaliyan jempol suku ingkang leres sampun ngantos katindhihan, nunten asta kakalih katumpangaken ing jengku. Sareng sampun sawatawis , lajeng sidhakep drijining asta antuk saselaning dariji, jempol asta dipun aben lan jempol asta, ilat katekuk minggah, lathi mingkem, lajeng mandeng pucuking grana kaliyan kejep ( merem) tumunten anjumenengaken panjenenganing dat  makaten :
Ingsun tajalining dat Maha suci kang amisesa kang kuwasa ngendika : kun Payakun : dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun teka sakarssaningsun, metu saka kodratingsun
Menawi sampun makaten, nunten epek-epeking asta kiwa kakempit ing cangklakan tengen, epek-epeking asta tengen kakempit ing cangklakan kiwa. Lajeng angeremaken netra (mripat). Prelu amadhangaken netranipun sajati ingkang dumunung ing sa’antawisipun alis kiwa tengen inggih punika papasu (caksu), sarta tansah mawas (mandeng) pucuking ardi tursina, inggih punika : grana, kallihan ngereh lebar-wedaling napas (ambegan) ingkang sareh (alon), kalihan manebut kabatos kemawon. Nebut : Hu, napas mlebet, nebut : Alloh, napas medal. Dados mungel : Hu-Alloh. Dene panarik inggih tumuruning napas wau kakandhasna dhumugi telenging Betalmakmur lan Betalmukadas, inggih punika teleng pagedhonganing wiji gesang ingkang dumunung ing salebeting pastapurusa (pajaleran). Terangipun kedah ulah manjangaken lampahing napas, margi napas punika pratandhaning gesang. Ateges bilih ambegan napasipun minggah, p[unika katarika manginggil dumugi ing susuhunan (sirah). Yen napas medhal, ugi ka edhakna dumugi ing puser (wudhel), punapadene lampahing napas kedahingkang alon. Lampahing napas minggah mandhap wau manawi saged sareh (boten menggah-menggah), saged ngleremaken raos pangraos, tegesipun : manah (kerap) boten makarti. Ing ngriku punika pratandhaning tinarimah:
Nabi Muhammmad, mumulenipun : dhahar sekul wuduk, lawuhanipun : lembaran ayam pethak mulus, sarem temper, lombok ijem, lalaban terong, dhaharan who-wohan sarta kokonyoh.
Wali Sunan Ngampeldenta mumulenipun : dhahar sekul abrit, lawuhan panggang wedar, sarem tamper.
Wali Sunan Benang, mumulenipun : dhahar sekul liwet, lalawuhan sakaparengipun, jenang manggul dipun wur-wuri bekatul.
Wali Sunun Kalijaga, mumulenipun : dhahar sekul liwet, jangan kangkung, ron sentul, ron senting, ron tuwin wohing kudhu (kemudhu), pecel lele, bakaran dhendheng gepuk, tuwin bakaran gereh lan balur.
Kanjeng Sultan Demak ingkang wekasan, mumulenipun : dhahar sekul punar, jangan oncom, sambel kedhele tanpa trasi.
Kanjeng Sultan Pajang Prabu Hadiwijaya, mumulenipun : dhahar sekul wuduk sapepaking lawuhan tuwin arang-arang kambang.
Kanjeng Panembahan Senapati Mataram, mumulenipun :dhahar sekul pera, lawuh gorengantombra, utawi sekul golong jangan menir, pecel ayam.
Kanjeng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, mumulenipun : dhahar ketan salak, ulam pindhang, ayam tuwin ulammahesa, utawi sekul golong jangan menir, pecel ayam.
Pangepungipun ketindakaken saderang utawi sasampunipun anindakaken manekung.

Menggah lampahing panekungan wau, prayogi ketindakaken ing saben dinten sakuwasanipun, ugi boten prelu ngingirangi dhahar tuwin sare. Ananing saben salapan dinten sapisan, langkung-langkung manawi kaleres dinten ijabah, punika prayogi anindakaken angingirangi dhahar sare kados kapratelakaken ing nginggil. Kacariyos dinten ijabah punika tumuruning wahyu kanugrahan.



Dene dinten ijabah wau kados ing ngandhap punika :
1.   Ing wulan sura ing tanggal                              9 lan 10.
2.   Ing wulan Mulud ing tanggal                                              12.
3.   Ing wulan Rejeb ing tanggal                                              27.
4.   Ing wulan Ruwah ing tanggal                                            15.
5.   Ing wulan Pasa ing tanggal                         21,23,25,27, lan 29.
6.   Ing wulan Besar ing tanggal                                       8 lan 9.

Kajawi punika ugi wonten ijabah wektu, ing sadinten sadalu kaping sakawan. Wektu wau ugi prayogi kangge nindakaken panekungan padintenan, inggih punika :
1.   Ing wektu bangun enjing nyarengi pletheking surya.
2.   Ing wektu tengange, ngleresi srengenge wonten ing nginggil kita leres
3.   Ing wektu seraping surya.
4.   Tengah ndalu

Menggah ingkang dados bekaning panekungan punika wonten warni kalih prakawis, inggih punika : bekaning jiwa lan raga.
Bekaning jiwa :
1.   Karem ngumbar kapirening karsa
2.   Ambeg angkara murka.
3.   Dora para cidra.
4.   Remen mitnah, drengki lan srei.
5.   Remen anganiaya.
Dene bekaning raga :
1.   Ulah crobo
2.   Lampah nista.
3.   Tingkah degsura.
4.   Kesed sungkanan.
5.   Lumuh nastapa pujabrata.

Miturut wirayating kadis, yen katabetan kados kasebut ing nginggil wau, saking adat luwangipun asring anyupetaken lalampahan, boten widada gesangipun. Sabab kakadosaning. Sabab kakadosaning beak sadaya wau punika kalebet ing babasan kados ing ngandhap punika :
1.   Nistha, papa, tegesipun : lampah nistha, yekti manggih papa.
2.   Dora sangsara, tegesipun : lampah dora, wekasan manggih sangsaara.
3.   Dhustha lara, tegesipun : lampah dhustha, wekasan manggih lara.
4.   Niaya pati, tegesipun : lapah niaya, wekasan manggih pati.
Prayoginipun suminggaha saking sakathahing bebeka kados kasebut ing nginggil wau, saestu andadokaen kamulyaning gesang ing donya engga dumugi ngakerat pisan. Langkun-langkung anindakaken lampah tapaning gesang sarta jakatipun, makaten :
1.   Badan, tegesipun trapsila anoraga, jakatipun : taberi ulah pandamel sae.
2.   Manah utawi budi, tapanipun anarima, jakatpun : aspen ing panginten-inten awon.
3.   Nepsu, tapanipun rila, jakatipun : sabar ing coba godha-rencana.
4.   Nyawa, tapanipun temen : jakatipun : boten dahwen utawi munasika.
5.   Rahsa, tapanipun utama, jakatipun : kendel analangsa.
6.   Cahya, tapanipun suci, jakatipun ening.
7.   Atma, tapanipun awas, jataipun : emut.
Kajawi ingkang sampun kasebut ing nginggil, wonten ingkang wajib dipun,

tapani tuwin dipun jakati, punika :
1.   Netra (mripat) tapanipun : cegah sare,jakatipun : lumuh nyumerebi sawanining kamelikan awon.
2.   Karna (talingan) tapanipun : cegah hawa-napsu,jakatipun : lumuh miring para paben.
3.   Grana tapanipun : cegah ageganda,jakatipun : lumuh angisep-usep piawon.
4.   Lesan (pangandika) tapanipun : cegah dhahar,jakatipun : lumuh angraosi ing sasami-sami, punapadene ngedalaken pangandika awon.
5.   Urat tapanipun : cegah sahwat,jakatipun : lumuh datheng pandamel jina utawi bandrek.
6.   Asta tapanipun : cegah colong calimut,jakatipun : lumuh mara tangan.
7.   Suku tapanipun : cegah pandamel awon,jakatipun : lumuh lampah istirakat.
Manawi saged anglampahi punapa ingkang kasebut ing nginggil punika, saestu sinebut jalma utami. Mila wonten babasan saking wasitanipun Sunan Ngampeldenta, datheng putra wayahipun makaten :  
Turua yen arep nepsu!, pikajenganipun : manawi rumaos badhe nepsu, katilema!
Nepsu yen arep perang!, pikajenganipun : manawi badhe perang, dipun pupuruna wedaling napsu.
Peranga yen arep mangan!, pikajenganipun : manawi karaosluwe badhe dhahar, kasayutama kados mangsah!
Mangana yen arep lumaku!, pikajenganipun : manawi badhe kekesahan tebih, kasaratana dhahar sawatawis!
Lumakun yen arep turu!, pikajenganipun : manawi karaos arip, sinamura kangge mlampah-mlampah.
Manawi piwulangipun Sang Hyang Wisnu, murih kalis boten dados mamangsanipun Sang Hyang Kala, titiyang dhinawuhan ngungelaken rajahkalacakra ingkang wonten ing jajanipun Sang Hyang Kala, inggih punika minangka panulakingrencaanipun Sang Hyang Kala. Dene ungelipun makaten :
Yamaraja – Jaramaya
Yamarani – Niramaya
Yasilapa – Palasiya
Yomidoro – Rodomiya
Yomidosa – Sodamiya
Yadayuda – Doyudaya (Dayudaya)
Yasiyaca – Cayasiya
Yasihama – Mahasiya
          Tegesipun :
Heh pangrencana, mariya luwih.
Heh kang nekani, ilanga kaluwihanira.
Heh kang gaweluwe, amaregana.
Heh kang aweh mlarat, anyukupana.
Heh kang anyikara, mariya nangsaya.
Heh kang amerangi, laruta kuatira.
Heh kang para cidra, kagel welasa.
Heh kang dadi ama, yogya asiha.
Kalayan malih dhinawuhan anglampahi ulah brata gangsal prakawis kados kasebut ing ngandhap punika :
1.   Siyam, awit ing saben surya, dumugi ing wanci tengange (surya wonten saninggiling sirah).
2.   Melek, await ing saben bangun enjing ngantos ing rahintenipun dumugi sirep tiyang. Yen badhe tilem ing wanci sirep tiyang punika mawi adus, tangining tilem ing wanci bangun enjing ugi lajeng adus, nunten mlampah-mlampah sakuwawinipun.
3.   Ambisu, awit ing saben tangi tilem bangun enjing punika ngantos dumugi wedaling surya. Salebeting ambisu wau sarwi amesu budi :ayipta, rahyuning badan.
4.   Wahdat, ing saben satus dinten sapisan kengingipun sanggama.
5.   Sabar ing salami-laminipun.
Pangandikanipun Sang Hyang Wisnu, lampah gangsal prakawis punika dados pamgruwating papa cintaka, amuwuhaken bagya raharja.
Manawi aturipun Patih Rajasukapa datheng Prabu Cingkaradewa murih kuwawa jumeneng Ratu Binathara, kedah nyumerepi watak gangsal prakawis, inggih punika : 1. Bekti ingDewa, 2. Ajrih ing Ratu, 3. Ngidhep ing yayah – rena, 4. Mithuhu ing guru, 5. Asih ing Sagung dumadi. Dene pikantukipun :
1.   Sinten ingkang tansah ngabekti datheng dewanipun punika badhe kinabekten datheng manungsa.
2.   Sinten ingkang ajrih datheng ratunipun, punika badhe kineringaning manungsa.
3.   Sinten ingkang angidhep ing yayah-renanipun, (bapa – biyung), punika badhe kinedhepan ing manungsa.
4.   Sinten ingkang mituhu datheng gurunipun, punika badhe pinituhu ing manungsa.
5.   Sinten ingkang asih ing sagungdumadi, punika badhe kinasihan ing manungsa.
Mengggah patrapipun angabekti ing dewa punika kalih prakawis, inggih punika : puja lan brata. Kalih prakawis punika boten kenging pisah,karanten saestunipun boten wenang amuja yen dereng anglampahi tapabrata. Menggah lampahing tapabrata punika ugi gangsal prakawis :

1.   Wadhahipun angingirangi dhahar, ingkang winadhahan anarima. Sanadyan angingirangidhahar, yen boten anarima ing sawontenipun ingkang dinahar, inggih boten pakantuk.
2.   Wadhahipun anyunyuda sare, ingkang winadhahan engat, sanadyan awungua yen mawi sinawur ing sasamben minangka cagaking pamelek, punika inggih boten pakantuk. Karanten sasamben punika andadosaken supening panuwunan.
3.   Wadhahipun angawis-awisi sanggama, ingkang winadhahan tata,. Sanadyan awis-awisa sanggama, yen sanggamanipun resah, inggih boten pikantuk. Tegesipun resah punika bandrek jina sapanunggilipun ingkang boten mawi tata.
4.   Wadhahipun anyegah duka, ingkamg winadhahan : santosa. Sanadyan sabar darana, yen dahwen sendhon para waonan, inggih boten pakantuk. Karanten para waonan punika tumusipun angemu duka salebeting batos.
5.   Wadhahipun amepet pangandika, ingkang winadhahan : panalongsa. Sanadya ambisu, yen kakenan manah, inggih boten pakantuk. Mila utamining ambisu punika ing ngasepen, ingkang supados boten wonten ingkang ndamel kakening manahipun.
Manawi sampun lebda tapabratanipun, saestu enggal katarimah ing pamujanipun. Dene pasinaonipun tapabrata gangsal prakawis wau, wonten ing ucap-ucapaning pralamita makaten :
1.   Sabecik-becike mangan wareg, isih becik mangan kurang.
2.   Sabecik-becike mangan kurang, isih becik mangan sa’anane.
3.   Sabecik-becike mangan sa’anane, isih becik mangan saketemune.
4.   Sabecik-becike mangan saketemune, isih becik mangan saluwene.
5.   Sabecik-becike mangan saluwene, isih becik mangan sakuwasane.
Kaping laihipun :
1.   Sabecikane turu, becik melek.
2.   Sabecikane melek, becik tangi.
3.   Sabecikane tangi, becik lungguh.
4.   Sabecikane lungguh, becik ngadeg.
5.   Sabecikane ngadeg, becik lumaku.

Bilih punika sampun lantih, ing prakawis wau angringkes gangsal prakawis pisan, empan wonten ing papan empanipun wonten ing wanci ndalu, papanipun wonten ing ngasepen, inggih punika ing saben ndalu siyam awit ing serap surya nunten mlampah-mlampah tanpa angandika, yenwonten ingkang anumbuk utawi anunjang boten dados duka, yen kapethuk ing wanita ayu boten niyat remen. Utaminipun manawi siram wonten ing tempuraning bawani, lajeng angeli ing sadumuginipun. Punika yen kalampahan ing saben ndalu makaten, adapt luwangipun boten antawis lami, saestu wonten parmaning Hyang Kang Murbeng Jagad.

Katarimah panuwunipun, kasandhangan kasantosaning manah, kasebut iman sabitah, tegesipun : iman tetep, dumunung wonten ing gesang kita.
Menggah wontening iman kados kasebut ing ngandhap punika :

Iman Idayat,                                    dados : pikekahing awas.
Iman Musasak,                     dados : pasilahing emut.
Iman Sodrah,                                  dados : pambukaning budi.
Iman Kali,                              dados : pangesthining budi.
Iman Maksum,                      dados : pangreksaning napsu.
Iman Mahmut,                       dados : panuntuning ening.
Iman Mahbul,                                  dados : panarimaning ening.
Iman Mujiman,                      dados : kaelokaning birahi.
Iman Gaib,                                       dados : panuksmaning sukma.
Iman Tayibah,                       dados : pasucianing rahsa.
Iman Kamilmukamil,                      dados : sampurnaning pranawa.
Iman Daim,                                      dados : paneteping atma.

KATRANGAN :

          Manawa arep migunakake ngilmu-ngilmu ing kitab iki wajib di sumui lan ditindakake kanti temenan sarate. Kayata laku-laku kang dadi sarana nggayuh mantra-mantra, aji-aji uga sarana kanggo jimat-jimat iki kabeh kudu katindakake amrih kasembadane apa kang dadi gagayuhane eling ing paribasan “Ngilmu iku dadine sarana laku”.
          Dene kang dikarepake mutih, pasa, patigeni lan sakpanunggalane iku kaya ing ngisor iki jarwane :
Pati geni : ora mangan lan ora ngombe lan ora turu, sarta manggon ana ing kamar (senthong) baae, apa dene yen bengi ora kena nyemut diyan.
Nglowong : ora mangan lan ora ngombe ananging kena turu sawetara bae lan kena lelungan.
Ngebleng : ora mangan ora ngombe lan ora kena metu saka kamar, kenane metu mung yen kabener sene utawa bebanyu, lanuga kena turu sawetara bae.
Laku ngowong utaw ngebleng kang wewangen telang dina telung bengi utaawa 7 dina 7 bengi iku utamane yen wis kari sadina sawengi nganggo dirangkepi ambisu. Yaiku ora caturan, sarta manggone kudu andewe ana sajeroning papan kang kinira ora srawungan karo uwong.
Mutih : kang dipangan mung sega thok, tanpa uyah lan lelawuhan, utawa papanganan liyan,sarta ngombene mung banyu wantah (tawar).

Apa dene laku mutih kang nganti 40 dina 40 bengi iku hakekate mung nyirik uyah, yaiku ora mangan sarupane panganan kang nganggo uyah.
Laku mutih milang kepel : tegese Manawa laku mutih milang kepel 7 bengi lan pati geni sawengi iku : mutih ing dalem sadina sawengi kang sapisan mung mangan sego putih 7 kepel, banjur saben sadina kasuda sakepel, tumekane dina kang kaping 7 mung kari sega sakepel, nuli kateusake pati geni sadina sawengi.
Laku melek : ora kena turu, anggone miwiti kudu saka wengine dhisik, banjur kateusake rinane, upamane wiwit jumuah sore jam 6, rampunge setu sore jam 6.
Wong kang arepnglakoni iku sarat kudu anuceni badan lan ati dhisik, mungguh kang aran nuceni badhan iku adus karmas kang resik, dene nuceni ati iku sarana nyenyuda ubaling hawa napsu.
Wong kana rep mentas luwar saka anggone anglakoni, kayata mutih ngebleng, pati geni lan liya-liyane, iku ora kena banjur daya-daya mangan lan ngombe apa-apa sakarepe dhewe, ananing kudu di rih-rih saka sathithik. Wiwit kang sapisanan mung ngombe banyu tawa sathithik, antara sajam lawase banjur kena ngombe banyu intip, (intip kabakar banjur dicoribanyu tawa) banyu intip iki diombe mbaka sathithik. Manawa wus sawetara weteng ora krasa lara banjur kena mangan bubur adhem uga mbaka sathithik, iki mau kabeh kudu diduga-duga sapantese aja banjur mangan sawarege mundhak lara wetenge.
Saluware anglakoni manawa awake wus kapenak kaya adapt sabene, banjur anganakake riaya, kang lumrah riyayane sego gurih, lawuhe pitik utawa endhog pitik diolah lambaran, ujube asung dhahar Gusti Rosul, didoangnana Slamet Kabul.


Katrangan bab Rajah :
          Miturut kaol wawatone wong kang nulis rajah kanga rep dianggap jimat utawa sarana apa bae, mangka yen nulis panulisane mau pinuju ing dina :
Akad         kudu  ing  wanci  tengenge
Senen        kudu  ing  wanci  bakda luhur bener
Salasa       kudu  ing  wanci  wisan guru kira-kita jam 10.30 esuk
Rebo         kudu  ing  wanci  esuk
Kemis       kudu  ing  wanci  luhur
Jumuah     kudu  ing  wanci  Maghrib.
Setu          kudu  ing  wanci  Ngasar.

Kalaja saka iku samangsane arep migunakake jimat, rajah, sadurunge nulis rajah kanga rep dienggo kudu ngelakoni pasa 3 dina 3 bengi ngebleng,dene riyayane mung mamangan who-wohan bae,iku yen arep kepingin apa saksedyane kasembadan dening Pangeran, ingkang sipat Esa wektu nglakoni 3 dina 3 bengi kang winatek mantrane mangkene : “Rokhku lumebu rohmu, rohmu lumebu rohku,rohku lumebu rohmu”

Iki niyate nulis jimat rajah maca mangkene :
“Bismillahirramaanirrahiim,nawaitu takhqaraban takhli umsri bismillahil laya ya ngaismihirafilar lafis syamai wa huwa samiul ngalim, birahmatika iya arkhama rokhimin”.
         
Iki dongane yen arep gawe jimat :
“bismillahirrahmaanirrahim,allhuma imaga muta dzaba”.
          Iki dongane yen anggulung jimat, mantrane mangkene :
“ Lailla ha illallah Muhammad Rasullah”
          Iki dongane yen wong arep jimat :
“assyalamu qaaula min robirrakhim”  kawaka kaping telu (3)

1.Yen arep tarakbrata
          Yen arep tarakbrata (tirakat), kudu adus wuwung dhisik, mantrane niyat ingsun adus, angadusi badan kayun, manggih toya rabani, dus lali, dus mani, badan adus den dusi padha badan, roh adus den dusi padha roh, sukma adus den padha sukma, dat teles sukma ngalam, dat urip tan kena kawowotan, urip sajeroning karsa, ingsun adus banyu saking tolah, byur njaba, suci njeroning badan, rabani, allahu sakarsa, allahu alaihi wasallam.
Sawise maca mantra banjur adus wuwung kang resik.

2.Mantra supaya betah tarakbrata
“Ingsun nutup rasa, sang sir rasa  payungana ingsun, rahsa mangan cahya, cahya mangan rahssa, langgeng ing ciptaku, tetep mantep tan kena owah”.
Mantra diwaca saben bakda maghrib kaping 40, yen lagi tarakbrata.

3. Donga betah ora mangan lan ora ngombe lan ora turu
“Allahuma anta robbi lailaha ila anta alaika ya alahu yarabul’alamin”.
Donga diwaca kaping 40 yen lagi tirakat.
4. Donga yen lagi mutih supaya betah
“Sirulahi gagantine Allah, amangan cahya, den pangan lailahailalloh muhammadarosulloh”.
Donga diwaca kaping 40 yen lagi mutih.
5. Donga adus utawa raup.
“Nur cahyaning Allah nur gumulang cahyaning mohammad, mung rupa cahyaning rosulullah, waras kuat slamet.
6. Donga adus
“Assalamualaikum, Niyatingsun adus banyu bumi suci, raga suci, nyawa suci, sukma suci, dadi cahya nurcahya, ya muhammmad cahyaku,tan kena lelara, slamet.”
Donga diwaca kaping 3 mbarengi nggebyurake banyu.
7. Donga adus jamas
“bismillahirrahmaanirrahiim, nawaitu sumalhadi, minyaomil, tareki, niyatingsun manjing tarekan pasiyah, kitab baktulahul bablayaran sunatan lilahi tangala, allahuakhbar”.
8. Donga yen arep turu
“Almusangiru”
Diwaca kaping 100, yen arep turu, dosane dingapura dening Alloh.



SEMOGA DAPAT DAN BISA BERMANFA’AT untuk semuanya




 BERSAMBUNG KE  BIOGRAFI SEJARAH HIDUP KI DJAKA TOLOS Bagian. 4


-ooo-


Tidak ada komentar: