Pandangan Masyarakat………
1. Pengantar
Ada beberapa istilah atau sebutan yang dipakai oleh masyarakat, untuk menamakan dukun dengan sebutan: suhu, paranormal, kesepuhan, guru spiritual, dan sebagainya. Hal itu tergantung dari kepentingannya.
Jenis-jenis dukun, ada yang disebut: dukun cabul, dukun palsu, dukun santet, dukun bayi (dukun beranak), dukun sunat, dukun pengantin, dukun sangkal putung dan sebagainya. Hal itu menunjuk pada perilaku dan spesialisasi dari dukun tersebut.
Dengan terang-terangan, sindiran atau cara lain yang rasanya kurang simpatik, dari kelompok tertentu ada yang menganggap bahwa profesi dukun bertentangan dengan ajaran agama. Hal tersebut bisa dengan alasan yang mendasar maupun karena sentimen pribadi.
Sentimen tersebut biasanya hanya diarahkan kepada dukun secara perseorangan atau kelompok dukun secara kecil-kecilan. Artinya bila ada kelompok berkelembagaan besar, yang berperilaku seperti dukun, malah tidak menjadi sorotan atau sasaran dari sentimen tersebut.
Timbul juga dugaan bahwa sentimen tersebut muncul karena adanya kekhawatiran, kalau-kalau menyaingi hakikat dari suatu ajaran agama dalam realita kehidupan. Walaupun dalam hal lain, sentimen berbau kecemburuan kadang menunjukkan bahwa kemampuan menjabarkembangkan suatu paham masih kurang.
Maka tidak menutup kemungkinan, yang bersikap sentimen negatif kepada dukun atau kelembagaan seperti dukun, dia sendiri menjadi dukun atau memanfaatkan jasa perdukunan. Baik disadari atau tidak.
2. Berbagai Istilah
Dukun dengan sebutan suhu, biasanya diarahkan kepada dukun yang kebetulan Warga Keturunan Cina. Namun dengan berkembangnya pergaulan dan pembauran, dukun berlatar belakang pribumi pun disebut atau menyebut dirinya suhu. Walaupun pembauran perilaku lebih penting dari pada pembauran perkataan.
Sebutan dukun sebagai paranormal, dimana kata ini berasal dari serapan bahasa asing, mungkin dimaksudkan agar profesi perdukunan kedengaran lebih keren dan sedikit terangkat dari keterpurukan gara-gara sentimen negatif.
Dukun disebut kesepuhan yang berasal Bahasa Jawa yang artinya tua atau dituakan. Pada era 70-an, kebanyakan para dukun sudah berusia 40 tahun atau lebih. Mungkin ada kekhawatiran bila belum mencapai usia tersebut tidak akan kuat. Dalam arti perilakunya tidak mencerminkan ketuaannya.
Namun karena kemajuan jaman dan berkembangnya wawasan, boleh jadi dalam usia muda bisa saja menjadi dukun. Tentunya setelah melalui proses pembelajaran dan pematangan dari ajaran pedukunan. Dukun dengan sebutan kesepuhan seakan membawa resiko moral dan dapat “terhindar” dari sebutan dukun yang bertentangan dengan ajaran agama.
Meskipun modal dasar untuk menjadi dukun hanyalah mau dan mampu, namun ada tantangan kompetensi didalam meraih pangsa pasar. Dari hal inilah kadang ada dukun yang secara pamer, mempertontonkan kemampuan menyantet didepan kamera televisi. Dimana pamer adalah perilaku yang dianggap tabu oleh orang yang berbudaya timur.
Dukun yang suka pamer itulah yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama. Karena pamer terdorong oleh rasa sombong. Sedangkan sombong adalah biang dari segala dosa. Namun kesombongan sebagai sifat naluri manusia, sulit rasanya dibendung. Karena bersifat naluriah, maka manusia, apapun latar belakangnya, kemungkinan melakukannya. Termasuk juga manusia yang berpredikat Ustad, misalnya berlaku sombong dengan pamer kekuatan.
Pamer kekuatan dengan alasan Jihad Fi Sabilillah untuk membela Allah, atau berjuang di jalan Allah. Manakala ada peristiwa serangan terhadap negara atau kawasan Islam. Dengan berbondong-bondong mendaftar sebagai laskar jihad. Kenapa hal tersebut termasuk sombong? Sebab perilakunya melebihi kemampuannya dan diluar kewenangannya.
Bukankah perang itu operasi militer. Tentunya memakai segala peralatan canggih. Pemilihan perseorangan prajuritnyapun dengan saringan yang ketat. Mana mungkin orang sipil mampu. Kecuali bagi yang pernah memperoleh pendidikan militer dinegara asing secara ilegal.
Bukankah lebih tepat mewujudkan Rahmatan Lil Alamin dengan ikut membantu mencegah, membantu saat terjadi maupun sesudah terjadinya suatu bencana merupakan perjuangan di jalan Allah? Karena membantu para korban bencana adalah perilaku utama yang langsung dapat dirasakan oleh sesama hidup.
Bila ingin terkesan Jihad dengan perang melawan musuh, disekitar kita banyak musuh yang sulit dilawan. Berupa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan. Karena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan merupakan lawan dari sifat rahman dan rahim, maka perang melawan hal-hal tersebut merupakan Jihad yang sejati. Jihad fi Sabilillah Arrahman dan Arrahim.
Kesepuhan yang dimaksud adalah kedewasaan dengan tingkat kematangan jiwa. Namun kedewasaan dalam hal ini tidak sama dengan usia tua. Dewasa asal kata dewa dan rasa. Dewa artinya pancaran cahaya Illahi. Maka bagi yang sudah bisa menerima, merasakan dan mengamalkan pancaran cahaya Illahi itulah yang dimaksud dewasa.
Kedewasaan dalam hal ini dapat dicapai antara lain dengan cara memperbanyak rasa ingat kepada Tuhan. Dan sebaik-baik dari menyebut Nama Tuhan adalah dzikirullah. Dan tidak akan masuk neraka bagi yang menyebut nama Allah.
Ada dukun yang oleh para pasien pelanggannya atau penganutnya, disebut sebagai guru spiritual. Yang bisa dimintai pertolongan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada kaitanya dengan hal-hal kegaiban atau tak kasat mata.
Bila dukun memperlakukan para pasiennya dengan ramah penuh rasa kekeluargaan dan berhasil didalam memberikan pertolongan, tidak menutup kemungkinan akan datang lagi dengan membawa pasien baru. Pada giliranya akan membawa keakraban yang membuat kesan seakan-akan sang dukun sebagai orang tuanya yang kedua. Karena dalam kenyataan sehari-hari banyak orang atau keluarga merasa kehilangan orang tua kedua yang artinya kehilangan tokoh yang dapat diajak komunikasi dengan transparan dalam kepribadian.
Andai ada pelanggan tetap dari dukun, seharusnya dibatasi hanya pada rasa kagum yang wajar saja. Jangan sampai ada rasa memuja-muja secara berlebih-lebihan, seakan mempertuhankan dukun. Karena memuja selain kepada Allah berarti memberhalakan. Sikap memberhalakan memang dilarang oleh agama. Baik memberhalakan dukun, memberhalakan kyai, memberhalakan harta dan juga kedudukan.
Maka kekaguman pada sebatas rasa sebagai anak kepada orang tuanya. Dan etika anak kepada orang tua antara lain adalah bisa mikul dhuwur mendem jero. Artinya bisa memikul setinggi-tingginya kepada apa yang menjadi kebaikanya dan memendam sedalam-dalamnya apa yang menjadi kekurangannya sebagai manusia lumrah.
Hal tersebut bisa dengan cara mengkritik secara sopan dan mengingatkan secara santun, disaat suasana hati sedang tenang, misalnya dengan mengatakan:”… Bapak pernah mengatakan.. pernah memerintahkan,.. pernah melarang.. dsb”
Diantara pasien yang menjadi pelanggan tetap, menganggap si dukun sebagai orang tua yang kedua, kemungkinan ada yang berminat menimba ilmunya. Bila dia berhasil menjadi pewaris ilmunya, bila kelak berhasil didalam memberikan pertolongan kepada pasiennya, dia mendapat satu poin, maka gurunya mendapat dua poin nilai kebaikan dalam kematianya kelak.
Karena Pak Ustadz dan Mbah Kyai pernah mengatakan: “Bila mati anak adam, hilanglah semua amalnya, kecuali amal tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal yang soleh dan sadaqah jariyah.” Dalam hal ini pewaris ilmu mengamalkan ilmu yang bermanfaat, dan si dukun mengajarkan ilmu yang bermanfaat tadi kepada siswanya.
Ilmu yang bermanfaat tidak harus ilmu agama, tetapi tidak boleh bertentangan dengan agama. Meskipun agama sebagai sumber ilmu, bisa juga terpecah-pecah menjadi beberapa madzhab atau sekte yang saling berebut kebenaran aqidah.
Bermanfaat disini karena dapat memberikan pertolongan kepada orang lain. Dan jasa pertolongan tidak akan mendapatkan pasaran manakala tidak bermanfaat. Banyaknya pasien, merupakan bukti, bahwa jasa perdukunan punya pangsa pasar juga. Pangsa pasar untuk barang dan jasa apapun, dibutuhkan kemampuan bersaing dalam kualitas. Dan tak ada peraturan yang melarang dukun berebut pasaran dengan cara berlomba kebaikan.
Tetapi ada dukun yang terkesan alot bila diminta mewariskan ilmunya. Semua itu berujung pada kekhawatiran, bila muridnya lebih pintar, pada gilirannya nanti dapat mengancam pasarannya.
Dukun semacam itu mementingkan diri sendiri, dan akan selalu dihantui kekhawatiran kehilangan citra dan kharisma. Pada hal, ajaran apapun, bila sudah tertumpangi kepentingan pribadi atau kelompok, akan bergeserlah aturan dan norma, disesuaikan dengan pemaksaan kehendaknya, meskipun ajaran agama memesankan bahwa janganlah mengukur (ajaran) agama dengan kehendak pribadi.
Dukun yang tidak ingin kehilangan pasaran, haruslah rajin mengembangkan diri dengan banyak membaca tulisan, membaca suasana hati orang, membaca gejala alam dan juga belajar membaca denah kapal terbang yang hilang dan kapal laut yang tenggelam. Tentang membaca ini sebagaimana diwahyukan kepada Rasulullah dalam Surat Al-Alaq.
Celakalah dukun yang memberikan pertolongan dengan pertimbangan tebal-tipisnya amplop. Juga oknum ustadz yang enggan dipanggil mengaji pada kali kedua, manakala kali pertama honornya tidak sesuai perjanjian, meskipun harusnya selalu mengingatkan kepada para pendengar dakwah, bahwa para Nabi didalam berdakwah tak ada yang menerima rupiah.
3. Jenis-jenis Dukun
Batasan istilah dukun kira-kira artinya, suatu profesi pelayanan masyarakat dengan menggunakan ilmu atau keahlian tertentu, dimana keahlianya itu diperoleh melalui pembelajaran secara tutur tinular antar pribadi.
Dikatakan profesi, karena kesulitan kami dalam memakai kata yang tepat. Pada hal profesi tertentu, sering membentuk kelembagaan dengan mengorganisasikanya. Namun sampai sekarang belum terdengar ada organisasi Persatuan Dukun Indonesia.
Karena proses pembelajaran ilmu perdukunan yang bersifat les prifat, maka belum ada jenjang organisasi persekolahannya. Keadaan semacam ini teralami sejak istilah dukun ini ada sampai dengan makalah ini dibuat.
Laku mirip dengan kegiatan perdukunan, baik yang tidak maupun yang ditayangkan di televisi, tentang misteri alam gaib, pemburu hantu dan sejenisnyapun belum ada Sekolah Dasar Alam Gaib, Sekolah Lanjutan Alam Gaib, Perguruan Tinggi Alam Gaib sampai menghasilkan Sarjana Alam Gaib. Dimana penayangannya di televisi, para penonton tidak tahu pasti, apa yang mereka lakukan itu benar-benar atau hanya sekedar bisnis siaran.
Benar dan tidaknya tayangan tersebut diatas memang tidak diperlukan, bila dilihat dari bisnis siaran, yang sudah barang tentu dirancang agar dapat menarik minat penonton untuk memperhatikannya. Meskipun ada juga penonton yang sempat menyeletuk: “Kalau sekedar jelalatan dan penampakan berupa trik kamera, akupun bisa.”
Memang ada bukti, ketika televisi ramai-ramai menayangkan kesurupan masal, tidak serta merta diikuti kepedulian dari yang punya acara mirip laku pedukungan yang disiarkan itu, ada upaya penyembuhan atas kesurupan masal tadi. Tidakkah kasihan kepada oknum ustadz yang berusaha menolong tetapi malah kesurupan juga.
Secara sinonim, kata dukun artinya kira-kira tukang atau pawang. Dukun cabul artinya tukang mencabuli orang. Dukung santet artinya tukang yang memberikan jasa penyantetan, yang konon korbannya bisa mati mengenaskan, mirip ditayangan sinetron bernafaskan keagamaan itu.
Sinetron semacam itu seakan memberikan gambaran kelak akan terjadi seperti itu. Kelak akan tejadi berarti meramal. Khusus dukun ramal, artinya tukang nujum. Namun bukan berarti pemapar mengatakan bahwa pengarang cerita sinetron yang kabarnya ustadz itu sebagai dukun ramal dengan menggunakan media sinetron. Karena biasanya membicarakan kejelekan pribadi seorang ustadz dapat memulai terpicunya konflik sara. Jangan pula sampai terjadi konflik antara dukun dengan ustadz, apalagi ustadz yang menjadi dukun.
Dukun palsu artinya tukang memalsukan, bukan dukun tetapi memplokamirkan dirinya sebagai dukun. Dukun pijat artinya tukang memijat badan lelah. Tentu saja bukan tukang pijat seperti di panti-panti pijat, dimana pemijatnya konon cewek-cewek cantik, yang terkadang malah “dipijat” oleh tamunya dengan meminta bayaran yang cukup tinggi. Agaknya pasien dipanti pijat itu lelah dan terlalu jenuh dengan keseharianya, yang sibuk mengobok-obok hidung sendiri yang belang.
Dukun sunat artinya tukang melayani permintaan jasa khitanan. Tempo dulu dukun sunat cukup laris. Dengan banyaknya dokter dan perawat yang memberikan jasa penyunatan, kini pemakai jasa dukun sunat hanya orang tradisional saja.
Sudah barang tentu ustadz dan kyai yang mengalami jaman dukun sunat, pernah juga meminta jasa penyunatan kepada dukun. Bila hal ini juga dilarang oleh agama, dimana mengakibatkan hilang ibadah shalatnya selama empat puluh hari, na udzu billahi mindzalik.
Istilah dukun yang dekat pengertiannya dengan kata pawang, yaitu dukun atau pawang ular, buaya, pawang hujan, pawang burung berkicau dan sebagainya. Meskipun pawang burung hanya mampu mengendalikan perilaku hewan burung, dan tidak bisa mencegah dan mengobati flu burung.
Dan berbahagialah, burung-burung piaraan para oknum pejabat, yang memperoleh layanan khusus sehingga dianggap bebas dari flu burung dan bebas pula dari pembantaian massal.
Unggas-unggas yang menjadi penyebab manusia tertular virus yang mematikan itu memang patut bila dibantai. Ini pandangan dari sisi kesehatan. Tetapi bila dilihat dari kepentingan pelestarian alam, perlu penelusuran mendalam tentang kebenarannya.
Pelestarian satwa liar demi keseimbangan alam, perlu disepakati bersama. Jangan sampai terjadi lagi bencana alam dan merebaknya penyakit endemik yang menyebabkan kesengsaraan. Kesengsaraan yang ditimbulkan tidak cukup hanya ditutupi dengan pakaian seragam para pejabat dan jubah para ustadz, yang biasanya digunakan untuk menutupi operasi satwa langka.
Penyakit yang menjangkit secara endemik dari ternak dan hewan piaraan, mungkin berasal dari satwa langka yang seharusnya bebas di habitatnya. Karena dipelihara dengan segala macam layanan hidupnya yang tidak lagi alamiah, maka tidak menutup kemungkinan tingkat ketahanannya menjadi berkurang. Karena perkembangbiakan, ketahanan hidup dan kematiannya adalah alamiah, dengan membentuk rantai makanan sebagaimana adanya.
Bagi yang rendah tingkat ketahanannya pada penyakit dan rendah pula upaya pertahanan hidupnya, akan sakit dan mati karena seleksi habitatnya.
Sakit, kerusakan dan kematian akan memberikan makanan pada koloni tertentu yang akhirnya akan terurai dan menyuburkan hutan. Kesuburan hutan yang pasti akan mencegah banjir dan tanah longsor. Karena pelestarian hewan dan tumbuhan liar erat sekali kaitanya, maka tidak mengheranan apabila ada semacam rentetan waktu antara bencana alam dengan penyakit endemik.
Dan berbahagialah, dukun yang berusaha memperluas wawasan sains. Apalagi yang bisa dihubungkan dengan Kitabullah, yang mengatakan bahwa: Anugerah berasal dari Allah dan musibah berasal dari manusia. Akan tetapi pemapar tidak berani mengatakan, bahwa pemelihara hewan liar adalah biang terjadinya bencana. Apalagi bila yang mengatakan hal tersebut adalah dukun yang berlatar PNS, sedangkan yang terkena kritiknya itu oknum pejabat, bisa terancam karirnya.
Pun juga tidak mengatakan, bahwa apabila kita secara kebetulan ada oknum pemuka agama dan pemuka masyarakat yang memelihara hewan liar itu adalah pemicu bencana dan penyakit. Sebab pemicu, penyebab dan biang antara keduanya, bencana dan penyakit, merupakan perbuatan keji dan mungkar. Yang sudah barang tentu perbuatan keji dan mungkar itu yang menyebabkan orang kehilangan hikmah dari ibadah shalatnya.
Lalu apa yang pemapar maksudkan didalam pernyataan ini? Hanyalah sekedar menanggapi kenyataan yang sedang melanda bangsa dan negara. Barangkali dapat menjadi sebutir pasir, dalam upaya pelestarian alam untuk mencegah bencana alam dan berbagai penyakit. Namun juga bukan berarti pemapar akan memplokamasikan diri, bahwasannya sikap mencintai alam dan lingkungan hidup adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Pemapar hanya ingin berusaha menjalankan apa yang pernah dikhotbahkan oleh para khotib, bahwa, amalkan ilmu bagi orang yang berilmu, amalkan harta bagi yang mampu dan amalkan tenaga bagi yang tidak berilmu dan berharta. Dimana hal itu merupakan kewajiban para hamba kepada khaliknya, tanpa pamrih memperoleh anugerah bagi pribadinya, selain hanya mewujudkan rahmatan lil alamin.
Dalam rangka ikut mewujudkan rahmatan lil alamin, tidak perlu digembar-gemborkan lewat mass media atau loud speaker. Tidak juga dengan cara berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai laskar jihad. Karena pemapar sendiri nyaris menyebabkan ibu pemapar mati sahid saat melahirkan. Dan ibu pemapar juga belum pernah mendaftarkan diri sebagai laskar jihad.
Dari sisi pengertian tentang dukun sunat, dukun pengantin, dukun pijat, pawang hujan, pawang burung dan sebagainya, agaknya bukan termasuk kategori dukun yang dilarang oleh agama. Karena kemungkinan tokoh-tokoh agama ada yang menggunakan jasanya.
Yang dianggap terlarang mungkin dukun yang dapat meramal nasib, meramalkan kejadian yang akan datang, mengerti masa lalu seseorang, terjadi kapan tsunami dan sebagainya. Pada pokok-dukun peramal. Karena konon, ramalan itu bersumber dari rencana Allah yang berhasil disadap oleh setan, dan selanjutnya dukun diberitai (baca diberi berita) oleh setan.
Perihal setan, malaikat, surga, neraka, kiamat dan sebagainya, adalah hal-hal yang bersifat supra natural, dimana manusia biasa tidak bisa menginderanya. Jelasnya, secara awam manusia sulit membedakan antara perilaku setan dan malaikat. Yang diketahui adalah kriteria sifat dari setan dan malaikat. Setan sebagai musuh nyata manusia karena suka menggoda. Sedangkan malaikat sebagai utusan Allah yang bersifat Gaib.
Dalam hal gaib, termasuk didalamnya setan, malaikat, jin, ruh dan alam gaib lainnya, menyatu didalam sifat kegaibannya. Dalam hal ini gaib yang baik dan yang buruk dalam satu keberadaan. Tentang baik dan buruk, selanjutnya diukur dengan rasa nurani.
Manusia hidup terdiri dari jasmani dan ruhani. Ruhani bersifat gaib. Maka apabila manusia mau memberdayakan daya gaib dari ruhnya sendiri, untuk menyingkap misteri gaib, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan mencapai kemampuan “ngerti sakdurunge winarah”, yang merupakan perolehan dari suatu laku, adalah merupakan upaya menggunakan hak kemandiriannya.
Para wali dan tokoh-tokoh legenda masa lalu yang bukan wali, sama-sama mempunyai kemampuan supra natural. Namun pihak tertentu mengatakan yang bukan wali, kemampuannya merupakan ilmu sesat. Walaupun kadang tidak jelas perbedaan antara yang sesat dan yang tidak sesat. Tetapi sebagaimana yang pemapar katakan didepan, seagama tetapi berbeda sekte juga saling tuding kesesatan, apalagi yang tidak seagama. Maka dari hal inilah dapat diketahui, tingkat kedewasaan seseorang dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Keesaan Tuhan.
Pada prinsipnya, shalat merupakan tiang agama. Shalat yang afdol dilakukan tepat waktu, dalam arti, mencegah perbuatan keji dan mungkar jangan ditunda-tunda. Bila sudah nampak kebaikan perilaku dan manfaat bagi orang lain, maka orang lain akan menirunya, tanpa harus digembori. Dan hal inilah yang dapat ditarik hikmah, bahwa sebaik-baik shalat, dilakukan secara berjamaah. Yang sudah datang pertama menempati tempat shalat pada shaf depan. Artinya yang sudah mendahului mencegah perbuatan keji dan mungkar, berada pada barisan terdepan dalam perilaku luhur budi. Yang demikian akan mempercepat dan memperlancar proses menuju rahmatan lil alamin. Menuju dunia yang penuh rahmat Allah, agar terwujud baldatun toyibatun wa robun gofur.
Bencana alam dan penyakit menimbulkan sakit dan derita lainnya. Dan kata para ulama: “Bukan muslim sejati, bagi yang menyakiti (hati) orang dengan lisannya dan menyakiti (jasmani) orang dengan anggota badannya”. Bila hadis tersebut diatas dijadikan tolok ukur, maka dapatlah diukur salah tidaknya bagi muslim yang menyiksa TKI, menyinggung perasaan orang dan berbohong. Apalagi yang melakukan aksi teror. Bila hal tersebut dikerucutkan, kelihatannya keadaan sekarang perlu mensejatikan orang muslim, agar menjadi suri tauladan dalam membangun rahmatan lil alamin. Bukan sekedar alim, alim pulasan. Sebagaimana terkidungkan di Serat Wedatama.
Anggapan bahwa ilmu dukun adalah ilmu setan, kenyataannya bukan hanya dukun saja yang dapat digoda setan. Semua manusia. Semua anak Adam. Apapun latar belakangnya. Tidak terkecuali oknum Menteri Agama, yang berusaha menggali harta karun di seputar Istana Bogor. Walaupun hasilnya hanya menggigit jari dengan resiko malu digelar.
Andai benar ada harta karun disana, berniat untuk mendapatkannya saja sudah berdosa. Hukumnya haram, kata Ulama. Pada hal target terkecil untuk orang yang paling awam dalam ihwal agama, minimal takut dosa dan tahu malu. Dari itulah maka perbuatan diatas tak takut dosa dan tak tahu malu. Takut dosa adalah ihwal habluminallah, sedangkan tahu malu adalah ihwal habluminanas. Tentang kasus upaya menggali harta karun diatas, secara habluminanas, bukan pribadi knum saja yang menanggung malu, tetapi melibatkan instansi yang nota bene Departemen Agama, suatu kelembagaan yang dekat dengan citra Islam.
Bila dukun dapat menasihati kearah kebaikan yang dapat diamalkan oleh murid dan kliennya, dengan sendirinya bukan ajaran setan yang diberikan, dan tidak ada alasan untuk dianggap menghilangkan hikmah shalat seseorang, manakala mendekatinya. Seperti dikemukakan didepan, bahwasanya perbuatan keji dan mungkar dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan monopoli dukun saja. Perbuatan keji dan mungkar biasanya menumpang pada hawa nafsu. Maka terbuktilah kebenarannya, bahwasannya musuh terbesar umat manusia adalah hawa nafsu.
Dikatakan, manakala seorang muslim membaca: “audzubillahi minas syaitanirrajim”, akan terbebas dari godaan setan. Tetapi pengalaman pemapar berjalan bersama teman berlatar belakang ustadz, ditengah malam lewat kuburan yang konon angker, kebetulan malam Jum’at Kliwon. Pemapar sengaja bercerita hal yang seram-seram. Ternyata teman tadi lari tunggang langgang sambil membaca kalimah diatas dengan gemetaran.
Peristiwa kecil itu agaknya menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Maka benarlah sabda Rasul: “Iman dahulu, baru Islam”. Kalau hanya gara-gara melewati kuburan saja, iman seorang ustadz sudah goyah, apalagi godaan yang lebih berat. Misalnya berlama-lama didalam goa untuk melakukan do’a dan ritual lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Goa Hira.
Bila seorang atau sekelompok orang (baca dukun), melakukan ritual ditepi pantai sebagaimana yang dilakukan Nabi Hidlir dan Nabi Musa, dalam rangka berupaya meningkatkan ketahanan iman dan mengagumi ciptaan Tuhan, janganlah dipandang suatu kemusrikan dan kemunafikan, sambil membuktikan lafal “audzubillahi minas syaitanirrajim” sangat mustajab apabila digunakan untuk berdo’a. jangan asal membaca do’a, tetapi dihayati dilubuk hati yang paling dalam dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata orang, berdo’a yang memenuhi syarat kebenaran obyektif adalah dengan menggunakan bahasa hati nurani, tahu makna kata yang tersurat dan memahami hakikat yang tersirat. Bila di sertai penghayatan yang mendalam dengan penuh perasaan dihati yang selalu ingat kepada Tuhan, niscaya akan lebih sambung, ketimbang dengan sejumlah kalimat panjang yang membebani memori pada penalaran. Andai beban tadi merupakan hambatan, maka akan menghalangi kemampuan keheningan rasa. Dari itulah maka secara pengalaman pribadi, dzikirullah dan fikirullah terasa lebih sambung, karen ringannya beban yang harus dihafal.
Bila secara kebetulan ada tokoh yang melarang seseorang untuk meminta pertolongan kepada dukun, mungkin orang itu sedang dalam keadaan lupa, bahwa dirinya ketika sedang lelah meminta pertolongan kepada dukun pijat. Waktu khitan dikerjakan oleh dukun sunat. Jadi pengantin dirias oleh dukun pengantin, dan meminta pertolongan kepada dukun sangkal putung bila sedang terkilir.
Pemahaman sebagian orang awam, mana kala bukan dokter dan bukan paramedis, tetapi memberikan layanan bidang kesehatan, disebut dukun. Dan kenyataannya, dukun bisa berasal dari petani, pedagang, PNS, abangan, priyayi juga santri. Namun yang berasal dari santri lebih suka disebut taabib. Tabib dalam Bahasa Arab yang artinya dukun.
Bila dukun yang bukan berasal dari santri dikonotasikan jelek, maka mungkin anggapan itu lebih bersifat sentimen pribadi atau kelompok, yang berujung pada persaingan.
Dan persaingan semacam itu jugalah yang pada akhirnya membuahkan terpecah-pecahnya agama menjadi beberapa mahdzab. Dimana masing-masing mahdzab bersikukuh bahwa hanya merekalah yang paling benar dan calon penghuni syurga, yang lain akan masuk neraka.
Mungkin tak disadari, bahwa sikap ingin benar sendiri, termasuk mendahului iradah Allah, bahwasannya untuk menentukan siapa-siapa yang bakal masuk surga dan neraka, harus melalui proses “interogasi” oleh Allah. Padahal anggapan mendahului kuasa (iradah) Allah, sering dialamatkan kepada dukun.
4. Sasaran Sentimen
Bahwasannya perilaku seseorang biasanya menganut suatu sumber. Sumber itu diperoleh melalui para penentu kecenderungan. Penentu kecenderungan adalah seseorang atau sekelompok orang yang bisa diteladani. Dimana keteladanannya sudah teruji kebenarannya.
Para penentu kecenderungan tercakup didalam institusi kecenderungan. Contoh institusi sebagai penentu kecenderungan adalah: badan-badan keagamaan, organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Tokoh-tokoh penentu kecenderungan misalnya: para pemuka agama, pejabat pemerintah, para pengurus partai politik, para pengurus organisasi sosial kemasyarakatan dan tokoh yang dituakan di masyarakat. Termasuk didalamnya adalah keberadaan keraton.
Bila para dukun masih berkebiasaan menggunakan pusaka-pusaka seperti keris dan sejenisnya, toh dia sebagai penganut kecenderungan. Sumber kecenderungannya adalah Keraton Yogya, Solo dan Cirebon. Kebiasaan seperti itu, bila dilakukan oleh dukun ada yang menghujat, tetapi bila dilakukan oleh keraton, belum ada yang berani menghujat. Dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, meskipun menganggap kerbau hewan keramat dan disebut kyai.
Bila dukun melakukan ritual di goa, ada yang menganggap jelek, dengan tidak mengingat proses turunnya Surat Al Alaq. Bila dukun melakukan ritual digunung dianggap laku kejelekan, tanpa mengingat bahwa Nabi Musa melihat Cahaya Illahi juga di Gunung Tursina. Bila dukun melakukan ritual di makam keramat, dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa ibadah haji sebagian rukunnya adalah ziarah ke makam para nabi. Bila dukun melakukan ritual dipantai juga dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa pertemuan antara Nabi Musa dengan gurunya (Nabi Khidlir), juga ditepi pantai.
Perilaku dukun seperti tersebut diatas, adalah suatu bentuk perilaku budaya batin. Dimana perilaku budaya pada umumnya ada yang dibolehkan, meskipun nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama. Yaitu pengawetan jenasah Fir’aun di Mesir. Maka dari itulah, dengan perkataan lain, sasaraan sentimen negatif hanya diaarahkan kepada dukun sebagai kelompok kecil. Tetapi bukan berarti pemapar ingin mengatakan bahwa, kelompok penghujat dukun beraninya hanya kepada anak kecil.
5. Kesimpulan
Dukun sebagai pelayan jasa kepada masyarakat, tak dapaat dipertahankan keberadaannya, bila tidak mempunyai nilai guna dimasyarakat.
Dukun bisa berasal dari berbagai latar belakang.
Tidak semua dukun salah dan tidak semua dukun benar.
Sentimen negatif arahkan pada penentu kecenderungan dari perilaku dukun.
Masalah benar dan salah, semua orang bisa mengalami. Dan pernyataan salah atau benar yang adil adalah pernyataan dengan kebenaran yang obytektif dari seluruh aspek.
PANCA GAIB DAN ADIATMA
Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI.
KUNCI ;
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
Tinarbuka rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye sejatine kahanaNe Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka kabeh kang ana ing jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua yang ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya makro kosmos dan mikro kosmos.
Nutup, kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa nepsu kang kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa nutupi ras sesambungan gaib marang Gusti kawula, yang artinya: menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari luapan hawa nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila dilepas bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan hambanya.
Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan tethukulan uga alam saisine, yang artinya: rukun dengan pengertian menyatukan rasa dengan keberadaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan juga alam seisinya. Anggap semua manusia itu saudara, dan anggap hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
Suci, kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak, amarga ati sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang Maha Suci, mula aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang sipate ora suci, artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hati nurani dan seluruh tubuh itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah mudah mengisi dengan segala sesuatu yang sifatnya tidak suci.
Dadi, kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan kang samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine KUNCI, artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang dikehendaki menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa memahami apa yang tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna, artinya apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi kata serta dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang hakekat hidup, disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan perasaan yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang terdalam dari yang tersirat dan tersurat di dalam KUNCI.
Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri denga Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng. Dan khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna, akan menghasilkan:
Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
GUSTI INGKANG MAHA SUCI, yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai tempat berlindung, sebagai asal semua makhluk dan sekaligus sebagai tempat kembalinya semua makhluk.
KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI, artinya: saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai hamba yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon maaf dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosanya.
SIROLAH, artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya berasal dari Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan manusia mempunyai naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini pulalah yang menjembatani hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan Yang Maha Suci, Sirolah adalah unsur terkecil yang sangat halus dan lembut, akan tetapi mempunyai kekuatan yang amat besar.
DATOLAH, artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci, Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka dari itu harus di jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal ini adalah mudah terkena penyakit, mudah terkena musibah dan sebagainya. Maka harus selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini adalah sebagai tempat bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah mengandung unsur atau anasir sarinya: api, air, angin dan tanah, yang semuanya dalam wujud ether. Anasir-anasir yang berwujud ether ini apabila digerakkan menurut susunan molekul dan bentuk medan magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah dengan membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang tekun dan teratur.
Ether dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan hawa nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut sak serik, yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata pak kyai, orang sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan mengendalikan nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang diajarkan agama, dan janganlah atau kurang benar kiranya apabila melakukan puasa diluar perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan yang baik adalah, makanlah pada waktu makan, cobalah tinggalkan makanan pokok dan sekaligus tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal dari unsur hewan. Kebiasaan ini oleh orang jawa dinamakan ngrowot, yang didalam bahasa sanskerta dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan Himsa artinya melakukan kekerasan.
Baik pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah hari lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri mengalami kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan dijalankan. Dan karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh disebut puasa diluar perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap berat dalam melakukan ahimsa adalah tidak boleh marah selama menjalankanya. Apabila terpaksa marah sebaiknya dibatalkan dulu, dan lakukan kali lain. Pantangan terberat kedua adalah tidak boleh membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja. Ini semua karena mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak boleh melakukan kekerasan.
Sedangkan cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan melakukan latihan pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh sembarangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri sebagai kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan melestarikan jenis. Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan memperhatikan waktu dan tempat yang terhormat. Waktu yang tepat untuk itu adalah lewat tengah malam. Karena pada saat itu sudah cukup waktu beristirahat, maka kecil kemungkinan untuk diganggu oleh apa dan siapapun juga. Karena orang yang berbudaya, didalam melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi manakala ada gangguan sedikit saja.
SIPATOLAH, artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar perilaku atau tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci. Apabila Sirolah dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber energi, maka sipatolah berfungsi sebagai alat penggerak dari energi itu, sesuai dengan sifat peralatan yang ada serta dibudidayakan dapat bergerak sesuai dengan medan magnet dan orbit nucleusnya, maka terbentuk penimbunan tenaga dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan supranatural serta membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali, asal mau membudidayakanya.
Karena gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya menyerupai gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana sifat dan bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap orang, sesuai dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada yang menyebutnya daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu pengertian yang disingkat MB.
Apabila MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan yang positif, maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-hal yang positif juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi rendahnya tingkat keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana perilaku orangnya, dalam arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan ketelatenan. Maka kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu ajaran dan satu tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri ini juga dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan supranatural juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya akan timbiul dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran apapun, yakni bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang mendesak, yang karena keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu mendorong seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran, untuk mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat sambil berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam keadaan normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain misalnya seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat dengan setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi kemampuan biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara kebetulan nalurinya mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu penting, ternyata benar, meskipun sebelumnya belum ada pemberitahuan.
Demikianlah sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula oleh hewan. Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila didekatnya ada kepulan asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan tempat mereka hidup, akan terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca suasana hanya dengan kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan nalar dan fikiran, karena memang mereka tidak memilikinya.
KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA, artinya saya sebenarnya satria/wanita yang seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau didalam bahasa jawa disebut: Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan tersurat didalam Kunci.
Disamping itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata Satria. Yang asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam, Tri artinya tiga dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah: eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima. Yang artinya kepada Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang didasari rasa sabar, rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang lebih mendalam akan penulis sampaikan pada tulisan lain.
Sedangkan tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang Maha Esa, Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci. Dan kadang-kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad atau Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi. Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan perintah Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar menjadi manusia yang baik.
Apabila semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat dilaksanakan dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut bisa mencapai tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas nama sang adhiatma. Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya manusia yang hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi didalam rasa dan naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya memperoleh kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu duniawi.
Menurut kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa membias pada orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi Awatara atau titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma tidaklah mudah, karena hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh secara kehendak hati dari yang bersangkutan dan dirinya tak benar-benar memproklamiskanya, dalam arti tidak benar bahwa seseorang adalah titisanNya.
Cirri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu dengan Tuhannya.
Tinggi rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa berguru sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni dan hal itu seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh tuntunan Ilmu Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu akan kalah tingkat rasa Ketuhanannya.
Tidak merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan tetapi sebaliknya selalu meras masih banyak ilmu Ketuhanan yang perlu dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
Banyak dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda dan anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar belakang kehidupan pribadi setiap orang.
Bersedia menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang yang kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua cirri-ciri yang terakhir dan tersendiri adalah:
Ada ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada lidahnya. Dan masih ada cirri-ciri lain yang tak dapat disebutkan disini, dimana atas cirri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya sebelum diberi tahu oleh orang lain.
Dari ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan terakhir, akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain. Maka dari itu pengertian yang menyangkut dari ketujuh cirri-ciri tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.
Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing panggawe”. Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma artinya hukum yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya sendiri. Karma dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan Karma dari peri laku jelek disebut Asubha Karma.
Subha Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati Moksa. Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari belenggu hawa nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan Asubha karma terjelek adalah apabila mati seseorang menitis pada hewan.
Apabila seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut akan terbebas dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia, sebagai manusia lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara yang selanjutnya disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan dunia. Sedangkan Atma dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu kembali kepada Tuhan dan tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh Tuhan.
Sebenarnya semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan memenuhi syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti yang tersurat dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai tataran mati Moksa, semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis untuk merubah peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai dengan tujuh kali peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut:
ADI DAIWA
Yaitu Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun. Mungkin diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-tugas Ketuhanan. Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya yang bersifat langgeng, dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu keajaiban-keajaiban diatas rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran cerita pewayangan, orang tersebut dinamakan Maha Resi.
ADHI BATHARA
Yaitu manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali saja. Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma didalam hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali itu, orang tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-kira setingkat di bawah Maha Resi.
ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah Resi.
ADHI BRAHMANA
Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.
ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin, seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.
ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi Adhi Waisya.
ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.
Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik, kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.
Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup, maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan penitisan paling tinggi.
Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.
Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi akar budaya spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang dianutnya.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno, mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.
Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa, walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri, itupun bagi yang mau saja.
Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu tertentu.
Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.
Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu anggota keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut dengan muka kecut.
Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa yang disombongkanya.
Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu. Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di dengar akan tetapi sulit dibantah.
Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara, sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin, dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan keluhuran budi pekerti.
KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan Yang Maha Satu.
Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib), yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.
KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.
Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.
Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.
PAWELING ;
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak, oleh sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan, kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya. Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali, luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo atau sang Guru Sejati.
Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari kata Div yang artinya cahaya.
Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa. Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo yang biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.
Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak, lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai manusia.
Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.
Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-benar kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya. Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.
Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik , disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan Perayangan.
Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana, dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.
Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi pihak-pihak yang berseteru.
Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat terpuji.
Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti embat-embating catur artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.
Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA FALSAFAH
Untuk memudahkan menarik kesimpulan secara falsafah, baiklah ditarik pesan-pesan kefilsaftan yang terkandung didalam wayang. Didalam cerita wayang, Semar digambarkan sebagai tiga dewa bersaudara, yakni Dewa Antaga, Dewa Ismaya dan Dewa Manikmaya. Selanjutnya Dewa Antaga menjelma menjadi manusia bernama Togog, yang bertugas yang bertugas sebagai pamomong orang-orang “seberang”. Yang dimaksud seberang adalah orang-orang yang perilakunya menyeberang dari nilai keluhuran budi.
Sedangkan Dewa Ismaya menjelma menjadi Semar, yang bertugas sebagai pamomong para satriya yang berbudi luhur. Dewa Manikmaya selanjutnya bergelar Bathara Guru, yang menjadi raja dari para dewa dan bertahta di Jungring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa atau puncak gunung yang selalu berawan dibukit Himalaya. Hima artinya awan dan laya artinya tempat.
Tiga dewa itu asalnya dari sebutir telur gaib yang mengeluarkan cahaya tapi bukan api. Mungkin semacam bermuatan radiasi, yang melayang-layang diangkasa. Setelah berhasil ditangkap oleh Hyang Wenang, kemudian di”sidikara” maka berubahlah setelah terlebih dahulu tercerai berai. Cangkang telur berubah menjadi Antaga, putih telur menjadi Ismaya dan kuning telur berubah menjadi Manik Maya.
Seterusnya Antaga si sulung, dan Manik Maya si bungsu, sesuai dengan asal muasalnya. Antaga menjadi Togog sebagai pamomong orang-orang yang berwatak kasar, keras dan kuat sesuai dengan sifat cangkang atau kulit telur. Namun demikian selalu dapat dikalahkan oleh para satriya sejati yang selalu diemong oleh Semar, sesuai sifatnya berasal dari putih telur yang bening, tidak mudah dicerna, tidak mudah membusuk, awet dan bersifat melekat. Akan tetapi tidak bisa menjadi embrio.
Maka sifat Semar adalah putih, bening, sulit dicerna, tidak membusuk dan awet. Putih sebagai lambang kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sulit dicerna dalam pengertian sulit diduga, susah dipahami tak gampang dimengerti jalan pikiranya, sebelum sampai pada akhir permasalahan atau akhir suatu cerita. Tak dapat tumbuh menjadi individu baru dalam arti kehadiranya didunia tidak secara wantah atau secara fisik, tetapi hanyalah pancaran sifat-sifat terpuji atas dorongan rasa Ketuhananya, orang yang berjiwa Semar mempunyai sifat dapat ngemong para satriya sejati yang luhur budi pekertinya.
Cara ngemong dengan pelayanan yang sama, baik dalam keadaan sependapat ataupun dalam keadaan bertentangan denganya, dengan tidak memperhitungkn untung dan rugi, tanpa berpikir untuk memperhitungkan upah, karena ia selalu berpikir bahwasanya pamomong hanya mempunyai kewajiban berderma tanpa memperhitungkan hasil dari derma itu. Karena perbuatan baik tidak harus digembar-gemborkan, karena semua itu merupakan urusan penderma dengan Tuhanya. Dan menanamkan kebajikan tidak seharusnya selalu diingt, tetapi sebaiknya, apabila hutang budi janganlah dilupakan.
Demikian dengan serba sedikit dan sangat sederhana, ingin ikut meluruskan kepada kesalah tafsiran didalam usaha membabar jati diri Sang Semar didalam kehidupan sehari-hari maupun didalam ruang lingkup Budaya Spiritual Jawa, yang terkadang terlanjur menganggap bahwa seseorang atau tokoh tertentu dianggap romo dalam arti Roh Ismoyo oleh para penganutnya dengan pengkultusan yang keliru.
Namun juga tidak menutup kemungkinan ada oknum tokoh spiritual yang secara sengaja memproklamirkan dirinya sebagai orang yang kesinungan Ismoyo secara tidak bertanggung jawab dan agar dirinya selalu dianggap orang yang lebih berkharisma dengan kesinungan Ismoyo tadi, yang pada giliranya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi saja, yang tak urung akan menipu bahkan menjerumuskan pencari berkah.
Dari itulah tulisan kecil ini bertujuan untuk membantu para penghayat Budaya Jawa, agar sedikit dapat membedakan, apakah seseorang benar-benar kesinungan Ismoyo atau hanya di Ismoyo-kan oleh para penganutnya atau hanya pura-pura kesinungan Ismoyo.
Kembali ke pokok masalah didalam uraian tentang PAWELING, bahwa satriya sejati yang sudah bisa menghayati atau mengamalkan Isi Kunci, dengan kemampuan anggelar dan anggulungnya, mereka itu pada dasarnya adalah para putra Romo. Putra dalam arti Puput ing Rasa artinya sudah cukup sempurna dalam olah rasa dengan tujuan angudi manunggaling Gusti Kawula, dan selalu berbakti kepada Romo ingkang pinundhi, yaitu sekali lagi Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, atau Roh Mono yang tidak berujud jasad manusia, yang tidak pernah dilahirkan, dan bukan seperti yang digambarkan didalam cerita wayang.
Dimana di dalam wayang kadang kala juga di plesetkan oleh dalangnya dari pakem yang baku, demi untuk memperoleh popularitas, yang tanpa disadarinya sebenarnya pelecehan pakem juga melecehkan diri Sang Dalang itu sendiri, sebagai tokoh yang wasis ngudal piwulang.
Maka sudah barang tentu Semar bukanlah tokoh perseorangan yang berperawakan gemuk pendek, kuncungan, bergigi satu dan bertelanjang dada, seperti digambarkan didalam wayang kulit atau wayang orang itu. Dan banyak orang yang mengetahui bahwasanya wayang adalah gambaran pengejawantahan suatu tokoh, atau penokohan tertentu saja.
Rinasa dayaning sukma
Yang artinya merasakan daya sukmanya sendiri, dalam bentuk getaran atma atau getaran rasa sejati. Dan seseorang yang merasakan getaran sukmanya sendiri, pada tingkatan tertentu, dapat merasakan begitu cepatnya perjalanan sukma itu, sepadan dengan getaran yang diupayakan didalam olah getaran rasa sejati. Seseorang yang sudah mampu melakukan hal tersebut diatas, apabila sedang berkonsentrasi, maka apa saja yang disentuhnya dapat dijadikan sarana, apa yang dikatakan akan menjadi sabda, dalam arti kata-kata tertentunya mengandung kekuatan spiritual dan kelak akan ambabar dumadi, dan apa yang menjadi petunjuknya, apabila dijalankan merupakan suatu laku yang sangat bermanfaat.
Dan apabila orang itu berdekatan dengan orang lain, jadilah saraya, yang artinya dapat mengatasi persoalan yang cukup pelik yang dialami oleh orang yang didekatinya itu. Pendekatan diri orang yang sudah dapat mencapai tataran tertentu didalam olah rasa, orang yang didekatinya itu alamat bakal memperoleh guna, banda wiryo artinya ilmu, harta benda dan kemuliaan.
Didalam berkonsentrasi, orang tersebut, dapat menggunakan sarana apa saja sebagai media komunikasi dengan hal-hal yang bersifat gaib, hal ini sesuai dengan prinsip yang tertera didalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya itu adalah diriku.
Kata demi kata yang terkandung didalam paweling adalah:
Siji-siji, loro-loro, telu telonana, maksudnya, apabila sudah bisa membaca Kunci dalam arti mampu anggelar lan anggulung, serta wis tumata dayaning raga, disebut sudah sampai pada tataran siji. Apabila sudah sampai pada tataran tumata dayaning citpa, dianggap mencapai tataran loro, dan apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, disebut sudah mencapai tataran tiga.
Siji sakti yang artinya kesatu kuat. Hal ini apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning raga, akan menyebabkan atau menimbulkan kekuatan.
Loro dadi artinya dua menjadi, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning cipta, apa yang diangan-angankan akan menjadi kenyataan.
Telu pandita yang artinya tiga pendeta, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, dianggap sudah mulai bisa mendekatkan rasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah mencapai tataran Rinasa Dayaning Sukma sendiri.
Siji wahyu yang artinya kesatu anugerah, didalam mencapai tataran satu, itu merupakan anugerah. Karena sulit dicapai dan tidak sembarang orang dapat melakukanya. Sebab betapa sulitnya mengatur semua bagian-bagian raga agar dapat difungsikan sebagai olah gaib menyatukan diri dengan keberadaan Tuhan.
loro Gat Rahina, yang artinya ketiga pagi ufuk biru. Yang maksudnya adalah, sikap selalu menganggap atas segala sikap yang pernah dialami merupakan gambaran seperti datangnya pagi di ufuk biru, dimana selalu menjanjikan terbitnya matahari kehidupan yang selalu akan lebih baik dimasa yang akan datang dibandingkan masa kini. Dikarenakan pada tataran yang ketiga, yaitu Rinasa Dayaning Sukma, akan selalu terasa tidak ada kebahagiaan kecuali merasakan daya sukmanya sendiri, didalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Suci.
Telo rejeki, yang artinya kedua rejeki. Maksudnya adalah, apabila sudah mencapai tataran yang kedua, akan membawa kewajiban harus kerap kali bersyukur atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan, yang pada giliranya akan memberikan petunjuk kearah perolehan rejeki, yang kadang-kadang diluar dugaan yang diperkirakan. Mungkin perolehan itu relatif besar, dimana selama ini perolehan seperti itu belum pernah didapatkan. Sesuai dengan bunyi doa: nyuwun sandang ingkan dereng nate kaangge, nyuwun pangan ingkan dereng nate katedha. Yang artinya memohon sandang yang belum pernah kita memakainya dan memohon pangan yang belum pernah kita memakanya.
SINGKIR ;
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN, yang artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu muncul pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.
Maka pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa kasih sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha Pengasih. Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang tidak boleh kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi biangnya reruwet dan rubeda adalah hawa nafsu yang ditunggangi setan. Maka titik pusat yang perlu disingkirkan adalah hawa nafsu dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri.
Menurut pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa nafsu merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan yang berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat kurang terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa setan secara wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah hawa nafsu.
Dan apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam mimpi, sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu seseorang mengalami konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-bawa kedalam mimpi.
Konflik kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan secara naluri semua orang mempunyai kecenderungan memaksakan kehendaknya kepada orang lain, sekali lagi atas dorongan hawa nafsu tadi. Disinilah sedikit bukti bahwasanya setan itu adalah hawa nafsu.
Selain itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang dalam, tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya. Itu semua sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa yang dilihat dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan terbentuk rupa bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang ditakutkan. Maka pada saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.
Segala sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila tidak dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan dalam hal ini juga berasal dari hawa nafsu.
Setan yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya, hanya merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya merasa bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk bayangan seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan memukulnya dengan membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal setan dalam hal ini juga dari hawa nafsu.
Demikian seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual Jawa. Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu secara benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru mengaji kepada Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali ditanya secara mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata: “Apabila ingin melihat setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan dirimu…”
Pendek kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara dogmatis, tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini. Akan terapi maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama adalah dogmatis. Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki oknum Ustad tadi pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan membanding-bandingkan, mencari perbedaan dan mempersamakan antara agama dengan Budaya Spiritual Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya agama adalah Wahyu Illahi, sedangkan budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah reruwet dan rubeda, yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila keruwetan dan godaan itu datangnya dari setan, dan setan selalu identik dengan hawa nafsu, maka yang perlu disingkiri adalah hawa nafsu itu sendiri. Yang dimaksud adalah hawa nafsu sendiri yang dikendalikan dengan tepat, termasuk pakarti hawa nafsu yang datang dari luar diri sendiri, seperti dinasehatkan oleh tembang mijil yang dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.
Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang dimaksud Sira (kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain adalah hawa nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi. Seperti kata Pak Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang meminta banyak korban, Nabi berkata bahwa masih ada perang yang melebihi Perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Karena memang nyata benar bahwa hawa nafsu adalah musuh bebuyutan manusia, yang apabila tidak tepat pengendalianya, manusia tidak dapat “padang paningaling sukmane”.
Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane” adalah juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif. Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah orang yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin sedangkan hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh kotoran, sudah barang tentu bayangan menjadi kurang jelas. Menjadikan kita tidak mampu melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi kata Pak Ustad: “apabila masih membawa hawa nafsu, menjadikan kita tidak bisa Makrifatullah”.
Begitulah adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat disingkirkan atau dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati yang selalu bermaksud ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat menyuarakan, menghayati dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI, baik secara gelar maupun secara gulung atau secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING…(asma sejati atau jati diri dari atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak dan berkarya.
Tiga kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam perilaku sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya seseorang dianggap sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang anindakake pakaryane Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo, maka dia boleh dianggap sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga menyandang tugas-tugas spiritual pada saat menjalani masa hidup, sesuai dengan tingkatan tataran, lingkungan dan jamanya.
MIJIL DAN ASMA SEJATI ;
Antara Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati. Yang dimaksud adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan identitas dari roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya memberdayakan secara lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk tujuan-tujuan tertentu yang ada hubunganya dengan peri laku jiwa raga sehubungan dengan upaya anggelar lan anggulung isine Kunci.
Yang jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati dapat dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa sejati, dimulai dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis buang air kecil, atau kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama seperti itu sama seperti bila kita sedang dilanda rasa takut terhadap sesuatu.
Secara anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula dari pusat susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya bergerak atas dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan saraf otak. Namun dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran rasa merinding itu tidak dimulai atas perintah berupa rangsangan dari susunan saraf otak, akan tetapi gerakan itu timbul sebagai akibat adanya konsentrasi atau pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan, dan dorongan itu langsung menuju saraf motorik.
Pada giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan seluruh badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin bergerak, akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan kadang-kadang apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan diri kita dengan sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak mampu mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul begitu saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali diwatek. Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada mulut, menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas kata-katanya.
Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud arsa Beksa Beksanira Pribadhi, yang artinya bermaksud menari tarianya sendiri. Tarian disini lebih tepat dikatakan sebagai tarian sakral atau semacam gerakan yoga yang timbul secara spontan atau timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam tarianmu dimaksudkan atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri. Sebagaimana raga memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati diri dari sukma orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati menjalankan perintah raganya.
Besar kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari banyak sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan mijil tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah frekuensi itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam pemusatan rasa hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat konsentrasi sangat tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik, jumlah pembiasaan, keadaan lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu semua juga kadang-kadang terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi merupakan upaya memperoleh getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jati diri memiliki identitas dan kekhususan tersendiri.
Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa beksa beksanira pribadhi, yang merupakan getaran yang meliputi seluruh tubuh, maka selanjutnya boleh melatih diri dengan gerakan didalam getaran pada tiap bagian-bagian tertentu, dimana gerakan pada bagian-bagian tertentu ini, ada yang menganggap gladen (latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.
SEDIKIT TENTANG TENAGA DALAM ;
Kekuatan tenaga dalam atau sering disebut tenaga murni atau tenaga inti juga kekuatan sejati dan ada juga yang menyebutnya tenaga gaib dan sebagainya itu, berasal dari hasil pembudidayaan dari hasil pembudidayaan dari daya kekuatan dari apa yang disebut Bayu Sejati, dimana semua orang memilikinya. Apa yang disebut bayu sejati, erat kaitanya dengan apa yang dinamakan oleh Penghayat Budaya Jawa sebagai Kadang Papat Kalimane Pancer.
Sesungguhnya kawruh tentang kadang papat lima pancer it hanya suatu perwujudan dari sejenis Ilmu Jiwa (khas) Jawa. Tidak ubahnya tentang kawruh kebudayaan mengenai perhitungan hari baik untuk berkhajat yang sampai sekarang sebagian kalangan masih mepergunakanya. Biasanya disebut perhitungan hari dan pasaran yang masih dianggap erat kaitanya dengan peri kehidupan Orang Jawa.
Kawruh khusus di bidang hari pasaran, selanjutnya bisa dikatakan sebagai bagian dari Ilmu Perbintangan atau Astrologinya Orang Jawa, yang tidak berbeda jauh dengan fungsi ilmu perbintangan atau astrologi dari manca negara yang sering digunakan untuk meramalkan nasib.
Berbicara mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer, yang sebenarnya semacam Ilmu Jiwa Jawa itu, yang menguraikan tentang kebakuan sumber daya manusia di bidang pembagian perwatakan atau temperamen manusia itu memang bisa dikelompokkan menjadi empat hal, sedangkan yang kelimanya sebagai penyempurna. Jelasnya tentang kawruh kadang papat lima pancer itu, merupakan pembagian perwatakan didalam Ilmu Jiwa Jawa.
Semua perilaku manusia dianggap terpengaruh oleh kadang papat lima pncer, yang terdiri dari: kadreng, kuwawa, greget lan bisa. Yang artinya kira-kira: kemauan, kemampuan, semangat dan bisa. Apabila disebut dengan Bahasa Jawa Tengahan sebagai: daya ngumbara, daya purba, daya wasesa lan daya wasis. Dan jika disebut dalam Bahasa Jawa Kuno adalah: daya netra, daya lodra, daya ludira, lan daya grana. Manakala disebut dalam bahasa arab kira-kira: sufiya, luwamah, amarah dan mutma’inah.
Jelasnya kawruh tentang kadang papat lima pancer itu adalah pembagian perwatakan manusia. Dimana semua manusia memiliki, memakai dan merasakan tanpa kecuali. Baik dia Orang Arab, Belanda, Cina maupun Orang Jawa. Dimilikinya hal tersebut diatas juga tanpa mengenal batasan apakah mereka memeluk Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha ataupun Penghayat kepercayaan Kepada Tuhan YME. Tanpa mengingat pula apakah dia cocok atau tidak dengan kawruh tersebut.
Hanya saja yang perlu diingat, watak Orang Jawa itu pada umumnya ramah dengan penuh rasa kekeluargaan, memanusiakan manusia dan menghormati orang lain. Memanusiakan disini yang dimaksud adalah nguwongake. Kadang-kadang bukan manusia saja yang sering diuwongake. Juga walaupun bukan tokoh personal, bukan bangsanya lelembut, bukan dhedhemit, bukan jin peri perayangan, bukan pula arwah gentayangan, semua sering diuwongake.
Karena pada umumnya Orang Jawa sering senang menggunakan gaya bahasa personifikasi, hal-hal yang bukan person seakan-akan dipersonkan. Maka yang disebut hawa nafsu sufiyah, luwamah, mutmainah dan amarah juga dipersonifikasikan. Maka apabila hawa nafsu dinamakan kadang atau saudara disebabkan karena sifat nguwongake tadi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa hawa nafsu tersebut digunakan terus selama hayat dikandung badan.
Malahan gaya personifikasi Orang Jawa diberlakukan pada hewan, tumbuhan dan benda mati. Misalnya kucing diberi nama si manis, anjing dipanggil si bekti, kerbau ada yang bernama trubus dan sebagainya. Benda mati berupa senjata, kereta, gamelan dan sebagainya yang berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta bukan saja diberi nama namun masih ditambah kata sandang Kyai didepan nama tersebut. Namun sudah barang tentu bukan Kyai dibudang agama. Dan ada pula Orang Jawa yang mengatakan “wah Kyaine liwat” manakala melihat harimau sedang berlalu.
Bukan saja manusia yang dimanusiakan, maka kepada manusia yang sebenarnya, lebih-lebih dimanusiakan, walaupun kepada orang yang menganggap laku Orang Jawa sebagai musyrik, munafik dan klenik. Orang tersebut tetap dihormati dan dibuat senang hatinya. Bila perlu apabila kita dimintai pertolongan ya di tolong juga. Demikian itu sikap Njawani.
Lalu bagaimana jelasnya mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer yang sering dihubung-hubungkan dengan adanya kawah, ari-ari, puser lan getih itu? Kesemuanya itu merupakan perwujudan fisik. Orang Jawa bilang blegere dat, yang dianggap mempunyai daya dibalik pisiknya, sebagai sifat. Dikatakan dalam Bahasa Jawa dat anggawa sipat (dzat membawa sifat).
Maka kawah sebagai dat mempunyai sifat purba, ari-ari mempunyai sifat wasesa. Puser sebagai dat mempunyai sifat wasis dan getih membawa sifat ngumbara. Proses mengenai dat dan sifat ini dipengaruhi oleh daya naluri yang berkembang menjadi nalar, akan membentuk sifat di dalam perilaku.
Dat dan sifat akan membentuk naluri dan perilaku, setelah mengalami proses pralina terlebih dahulu. Pralina artinya sudah tidak berwujud lagi akan tetapi tidak hilang. Proses pralina ini terjadi karena apabila bayi sudah lahir dan sampai dewasa, kadang papat secara fisik sudah tidak dipergunakan lagi. Karena kawah sudah dikumbah, getih wis ngalih, puser wis diunder lan ari-ari wis di rukti atau dibenamkan layaknya perlakuan kepada jenazah.
Menurut teori ilmu alam, berlaku hukum keabadian untuk zat dan energi. Maka segala macam bentuk fisik tak akan hilang walaupun tidak terlihat lagi, karena mengikuti proses siklus didalam berdaur ulang.
Didalam proses pralina, metapisis dari kadang papat terlebih dahulu berubah wujud menjadi ether yang merupakan bentuk halusnya metaphisik. Kata ether didalam Bahasa Jawa disebut Sir. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dat membawa sipat dan semuanya tercakup didalam sir. Maka kemudian ada sebagian Penghayat Kebudayaan Jawa yang sering menyebut-nyebut Sirulah, Datulah dan Sipatulah.
Ada sedikit bukti bahwa dat membawa sipat, yaitu: mengapa seseorang mempunyai sifat kasmaran, tak lain karena dia mempunyai piranti seksual. Seseorang menitikkan air liur karena melihat mangga muda, sebab tubuhnya sangat membutuhkan Vitamin C. manusia dianggap berperasaan karena didalam tubuhnya ada segumpal hati dan sebagainya.
Oleh karena secara ilmu alam, apabila sesuatu zat mengalami perubahan bentuk dan wujud, pasti didalam perubahan itu menimbulkan energi. Maka perubahan kadang papat pada proses pralina, akan menimbulkan energi berupa dorongan naluri perwatakan dan perilaku, yang juga menimbulkan daya lebih bersifat supranatural yang dimiliki oleh semua orang manakala mau membudidayakanya.
Disamping mempunyai kadang papat yang dapat menimbulkan daya kekuatan naluri, manusia masih mempunyai daya yang melebihi daya dari kadang papat yang biasa disebut bayu sejati yang bersifat sebagai sumber energi metapisis manusia. Bayu sejati bersifat Illahiyah karena asli ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang ditiupkan kepada manusia pada saat jabang bayi berada didalam kandungan ibu pada usia seratus hari. Seumpama kadang papat sebagai pakaian, bayu sejati adalah pemakainya. Dan bayu sejati inilah yang disebut lima pancer, yang pernah menjadi kekuatan uwatnya pada saat sang jabang bayi lahir.
Dan sebenarnyalah getaran rasa sejati yang dibangkitkan dengan mijil berasal dari getaran gelombang metapisiknya kadang papat. Selanjutnya getaran yang timbul pada bagian-bagian tubuh, disebut aji, yang artinya terhormat, terpelihara atau rahasia jati diri. Namun janganlah disamakan dengan ajian yang diceritakan di dalam wayang, film ataupun sandiwara radio. Ini semua hanyalah tenaga dalam, yang maksudnya tenaga yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
AJIAN ATAU AJI JAYA KAWIJAYAN ;
Seperti telah disinggung didepan, bahwa ajian disini bukanlah semacam ilmu kekebalan, atau sesuatu yang menjanjikan kehebatan dan sebagainya. Kata jaya kawijayan artinya jaya adalah kuat dan kawijayan adalah kekuatan. Kuat dan kekuatan disini dengan tolok ukur seberapa kuat orang tersebut didalam mengendalikan hawa nafsu, yang konon merupakan musuh bebuyutan manusia.
Dan selanjutnya getaran yang timbul dari sumber dayanya kawah akan membentuk aji wijaya mulya, wijaya kusuma, yang berada di telapak tangan kanan dan kiri. Sedangkan antara jempol dan telunjuk tangan yang disebelah kanan akan menimbulkan aji ismu gunting dan yang disebelah kiri disebut aji ismu dhateng. Aji madiguna berada pada tulang ekor dan sebagainya, ini semua hasil dari pengendalian nafsu supiyah.
Getaran yang berasal dari metapisiknya luwamah, membangkitkan aji braja dhenta, yang menempati kepalan tangan. Aji braja musthi berada pada pusat getaran dikepalan tangan kiri. Aji braja wikalpa berada ditelapak kaki kanan. Aji braja lamatan berada ditelapak kaki kiri. Aji braja sekethi berada ditengah telapak tangan kiri. Aji rah muka dan rah anggana menempati pundak kiri dan kanan. Aji bandung naga sewu berada ditulang belakang, aji candha birawa bertempat ditenggorokan. Aji bandhung budhawasa menempati sekojur kaki kanan dan kiri.
Getaran metapisiknya amarah dapat membangkitkan aji hagni suci yang berada dititik pertemuan pandang kedua bola mata dengan ujung hidung. Aji trinetra berada ditengah-tengah kedua alis mata, dan aji pamungkas yang penempatan dan tata caranya tidak dapat penulis kemukakan disini, karena menurut anggapan penulis, hal ini merupakan salah satu diantara sekian banyak rahasia Ketuhanan.
Namun demikian dapat diajarkan secara lisan dengan persyaratan tertentu.
Getaran metapisiknya mutmainah dapat menimbulkan aji nala wigara, yang pusat getaranya berada ditengkuk. Aji padma sana pusat getaranya berada dikedua lengan tangan dengan sikap cakra krodha. Aji gineng berada di pusat atau wudel. Aji mahondri berada pada semua jari kaki kanan dan kiri. Aji kawastrawam berada dipinggang kiri dengan dikepali dua tangan disertai pandangan muka serong kekanan dengan badan condong kedepan kanan. Aji bajingakiring setempat dengan aji mahondri, akan tetapi bertumpu pada lentingan kedua ujung kaki. Aji rawa rontek pusat getaranya memakai sikap berdiri dengan salah satu kaki berpusing, atau berjingkat dengan berdiri bertumpu dengan salah satu kaki. Kalandana putih adalah aji yang pusat getaranya pada langit-langit mulut, dan masih banyak lagi.
Sedangkan getaran yang ditimbulkan oleh bayu sejati, dapat digunakan antara lain untuk: sambung rasa kepada para insan gaib. Dan sambung rasa sambang yang artinya dapat digunakan untuk menghadiri suatu tempat secara metapisis tanpa menggunakan raga, akan tetapi nampak kehadiranya berupa cahaya berwarna kristal.
Sambung rasa asmara yang dapat dipergunakan untuk memberikan kepuasan asmarawi kepada atau suami tercinta apabila secara kebetulan berada ditempat terpisah yang cukup lama, dengan tehnik pengiriman rasa senggama lewat impian. Dengan daya bayu sejati dapat pula untuk angracut aji bandhung budhawasa yang cara dan fungsinya hampir sama dengan sambung rasa asmara hanya saja tugas yang diemban oleh aji ini untuk menjaga rumah, manakala ditinggal pergi cukup lama. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan yang sengaja tidak penulis paparkan disini, karena akan lebih baik hasilnya apabila diajarkan lewat tatap muka secara langsung.
MAKNA KATA DAN ISTILAH DI DALAM MIJIL ;
Mijil artinya:
Metu lan amiji, artinya keluar dan (tetapi) menyatu. Yang keluar berupa getaran dan yang menyatu dan yang menyatu adalah jiwa dan raga yang terus bersambang dan bersambung rasa. Hal ini hanya mungkin dijalankan manakala seseorang sudah mengenal jati diri rohnya.
Sedya manjing sajroning rasa, yang artinya: kemauan masuk kedalam rasa. Kemauan yang dimaksud adalah semua khajad, niat dan cita-cita penyampaianya harus disalurkan dengan olah rasa perasaan yang halus. Sehingga membentuk suasana yang benar-benar komunikatif, baik untuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Sedya rasa manjing jroning raga, yang artinya; kemauan dan rasa menyatu di dalam tubuh. Maksudnya setelah kemauan memasuki rasa untuk dikomunikasikan, selanjutnya diharapkan dapat memperoleh apa saja yang dibutuhkan oleh raga. Baik kebutuhan materi maupun non materi.
Cipta manjing jroning sukma, artinya daya cipta memasuki sukma. Apabila sudah memasuki proses ini, maka daya cipta dapat memberdayakan sukma, yang pada giliranya proses manunggaling Gusti kawula sudah mulai dekat. Karena pada dasarnya hubungan makhluk dengan khaliknya yang paling tepat adalah bentuk hubungan sukmawi.
Dayaning Sukma rinasa ing raga, yang artinya keberadaan dan daya dari kekuatan sukma dapat benar-benar dirasakan oleh raga. Apabila proses pernah dilalui, orang akan benar-benar merasakan daya sukma itu, yang bersifat tahan benturan, tahan api, tahan angin dan juga tahan akan segala senjata. Pernah seseorang membuktikan, suatu ketika sedang gladian olah getaran, ada yang membentur batu karang pas bagian kepalanya akan tetapi tidak terluka ataupun merasakan sakit.
Rasa angagem kuwasane sukma sejati, yang artinya rasa perasaan dan rasa naluri sudah memakai kekuatan sukma sejati. Apabila sudah mencapai proses ini, apa yang menjadi angan-angan, kata-kata, maupun cita-cita sering gampang menjadi kenyataan. Dan diharapkan jangan sembarang bicara yang jelek atau menyumpahi orang. Karena kemungkinan akan fatal akibatnya. Dari itulah kenapa ada pantangan tidak boleh “nyepatani”.
Sukma Sejati sambung rasa marang Sukma Kawekas, artinya Sukma Sejati berhubungan secara rasa dengan Sang Maha Hidup. Pada tataran ini proses manunggaling Gusti Kawula sudah semakin dekat. Orang dapat merasakan kehadiran insan gaib secara wantah atau biasa pada alam nyata.
Sukma Kawekas Sambang Rasa marang Sukma Sejati, artinya Sang Maha Hidup memberi perlindungan kepada Sang Sukma Sejati. Apabila sudah sampai pada tataran ini seseorang sering memperoleh bukti yang benar-benar nyata atau suatu kejadian yang apabila tanpa perlindunganya, tak mungkin tertolong. Misalnya; bersepeda motor tertabrak mobil, mobilnya peok, penumpangnya terluka, akan tetapi sepeda motor dan pengendaranya baik-baik saja.
Sukma Sejati angobahake rasa tumuju marang paraning sedya, artinya Sang Hidup menggerakkan raga dengan menggunakan rasa mengarah kepada tujuan hidup. Pada proses ini sering dialami oleh seseorang, manakala suatu hari dalam keadaan payah karena benturan ekonomi, tiba-tiba ada getaran sulit dikendalikan pada kaki dan perasaan ingin menuju kesuatu tempat. Begitu kuatnya keinginan itu sehingga tidak dapat dicegah. Ternyata setelah sampai pada tempat tujuan bertemu dengan kenalan yang dapat mengarahkan ke dunia bisnis, dan akhirnya berhasil.
LAIN-LAIN ;
Angagem aji atau memakai ajian berarti memakai daya sukmanya sendiri yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Bahasa Jawa dikatakan angagem dayaning Sukma asal saka Gusti.
Singkir mijil yaiku ambalekake kaya asal kamulane. Yangartinya mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Lan angilangake kahanan ala saka jiwa raga pribadhi, artinya menghilangkan keadaan jelek dari diri pribadi.
Upacara Hagni Suci adalah adalah suatu kegiatan pengakuan dosa dan upaya penyuciannya dengan cara penghayalan seakan akan diri ini sedang dibakar api yang sangat besar, dengan upacara dan doa khusus yang menggunakan sarana kembang sepatu.
Nawala Tirta adalah suatu upacara ritual dalam upaya pengiriman berita insan gaib atau yang tergolong dengan Utusan Langgeng yang tataranya dibawah Ismoyo, dengan maksud melaporkan hasil perolehan atau suatu lelaku yang pernah dilaksanakan atas suatu “Dhawuh”. Untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut. Dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, diapungkan dilaut.
Walik mijil, adalah upacara ritual, dimana seseorang seakan-akan dilahirkan kembali (renatal), dengan cara dalam upacara ritual yang mengharuskan seseorang dilangkahi oleh ibu kandungnya sendiri. Apabila sudah meninggal, boleh diwakili saudara tua perempuan yang sedarah dengan almarhum ibunya.
KESIMPULAN:
Dari itu semua sebenarnya yang namanya Asma Sejati itu tidak lain adalah jati diri dari roh orang yang bersangkutan, yang diberikan oleh sesepuh atau kesepuhan yang dianggap sudah mumpuni atau menguasai olah spiritual sehubungan dengan gelar dan gulungnya Kunci, Paweling, Singkir lan Mijil.
Pada waktu manusia berada didalam kandungan ibu kira-kira usia seratus hari, kepada calon jabang bayi itu diberikan roh oleh Tuhan, dengan satu macam roh untuk semua manusia di bumi ini. Intinya semua orang diberikan roh yang hanya satu oleh Tuhan Yang Maha Satu.
Maka Asma Sejati disini dipergunakan untuk identitas atau jati diri yang membedakan antara si A dengan si B, si C dan seterusnya. Atau dengan perkataan lain untuk membedakan roh atau atma pada diri setiap orang itulah maka diperlukan Asma Sejati, yang apabila di Mijilkan akan berhubungan dengan dengan benar-benar menyatu antara raga dan jiwa.
Dari kedua pengertian tentang mijil dan satu pengertian tentang Asma Sejati, maka pengertian Mijil ing Asma Sejati adalah ngetokake daya rasa pracaya marang Ingkang Maha Tunggal kanthi nyawiji migunakake kekuatan atmane dhewe. Yang artinya mengeluarkan daya dari rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Satu dengan cara menyatu menggunakan kekuatan atmanya sendiri.
Demikian sekilas dan serba sedikit uraian tentang pengertian Kunci, Mijil, Asma Sejati, Paweling dan Singkir yang juga disebut Panca Gaib yang dapat penulis sajikan sebatas kemampuan dengan maksud dapatlah yang sedikit ini dijadikan pedoman seadanya dengan maksud untuk memberi jawaban atas pertanyaan dari berbagai kalangan dan kadang yang sampai tulisan ini dibuat belum ada yang sudi memberikan jawaban.
Sudah barang tentu jawaban ala kadarnya ini masih jauh dari makna dan pengertian yang terkandung didalam Panca Gaib yang memang sangat sulit, rumit dan serba luas, penuh kerahasiaan, halus serta tidak terukur oleh dimensi waktu maupun ruang.
Namun demikian penulis yang belum tahu apa-apa ini dengan sangat terpaksa memberanikan diri membuat uraian ini. Maka sudah barang tentu masih banyak kekurangan yang perlu penyempurnaan. Walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, begitupun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan, Rahayu.
Srandil
MANDHALA GIRI ;
Mandhala Giri berasal dari kata di dalam Bahasa Sansekerta, Mandhara dan Giri. Mandhara artinya dua buah berjajar hampir sama besar dan berdekatan sedangkan Giri artinya Gunung. Sedangkan kata Srandil berasal dari kata didalam Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih gunung tumpul yang puncaknya tampak seperti patah, sehingga hampir sama luasnya antara kaki dan puncaknya. Maka sebutan Gunung Srandil tidak hanya ada di Desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap saja, yang konon diceritakan ada pertapan, yang merupakan petilasan para leluhur Tanah Jawa.
Yang dimaksud para leluhur Tanah Jawa itu antara lain, disebutkan beberapa tokoh legenda, yaitu:
Di lingkungan Beteng
HYANG AGUNG HERU CAKRA
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA
IBU RATU RETNO DUMILAH
HYANG LANGLANG BUWANA (yang petilasan pertapaanya di puncak Gunung Srandil)
Di luar lingkungan Beteng
HYANG SUKMA SEJATI
HYANG WURUNG GALIH
HYANG KUMALA YEKTI (yang juga disebut KI SALINGSING, yang petilasanya berada agak jauh dari Gunung Srandil yaitu di tepi Pantai Selatan. Berupa makam ?)
Di sebelah barat Gunung Srandil, terletak sejajar seakan akan saudara kembar dari Gunung Srandil, ada Gunung Selok, yang konon di puncak gunung itu ada dua pertapaan yaitu Pertapaan Jambe Lima dan Pertapaan Jambe Pitu.
Pertapaan Jambe Lima merupakan sebuah petilasan, yang berada di dalam bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG CAKRA WANGSA
HYANG SUKMAYA RENGGA
Dan yang berada di luar bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG SABDA PALON
HYANG NAYA GENGGONG
Pertapan Jambe Pitu merupakan petilasan yang dipercaya sebagai Singgasana Gaibnya:
HYANG LENGKUNG KUSUMA
HYANG LENGKUNG SWIRI
HYANG WISNU MURTI
Lalu diluar lingkungan bangunan pertapaan ada petilasan HYANG JAPEN.
Di pantai curan Laut Selatan ada beberapa goa, satu diantaranya merupakan petilasan IBU SUCI RAHAYU dan IBU RATU SRI KENCANA WATI, yang terletak di Goa Suci Rahayu, kira-kira letaknya di bawah Jambe Pitu.
Sepertinya sudah menjadi naluri adat yang mendarah daging bagi sebagian Orang Jawa, mempunyai perilaku wayang sentries, yaitu berupa kebiasaan sikap hidupnya berkiblat kepada keberadaan wayang. Serta sebagian menganggap bahwa wayang mempunyai kekuatan magis tertentu. Di samping sebagai peninggalan hasil cipta, rasa, karsa dan karya para leluhur yang benar-benar adiluhung.
Salah satu contoh kebiasaan sikap yang nyata-nyata berkiblat kepada wayang misalnya: salah satu KOREM di beri nama MAKUTHA RAMA. Dimana Makutha Rama adalah “WAHYU KEPRABON” yang diberikan oleh para dewa kepada Sang Arjuna sebagai yang “BINELAH PANITISE” dari Dewa Wisnu yang juga menitis kepada Prabu Bathara Kresna.
Senjata Cakra milik Bathara Wisnu yang di anugerahkan kepada Bathara Kresna, dijadikan salah satu symbol kesatuan tentara, lalu candi-candi di Dieng dan petilasan-petilasan di Rahtawu Jawa Tengah, hampir semua tokoh legendanya diambil dari nama tokoh wayang. Juga Pulau Madura, dianggap sebagai Negara Mandura dan Gunung Semeru seakan-akan sebagai Gunung Mahameru di India sebagai negara yang menjadi asal-muasalnya Wira Carita dari wayang.
Disamping itu, sebagai Orang Jawa juga sering mempersamakan rupa dan perilaku seseorang pada tokoh wayang, misalnya ketampananya seperti Arjuna, Cantiknya Seperti Subadra, kumisnya tebal melintang seperti Gatotkaca, tinggi besar dan gagah seperti Bima, gemuk sekali seperti Limbuk, kurus sekali seperti Cangik, berambut panjang terurai tak karuan seperti Burisrawa, tukang Hasut seperti Sakuni. Arif dan bijaksana seperti Prabu Krisna, berlagak gagah seperti Dursasana, pemberang seperti Baladewa, sewenang-wenang dan serakah seperti Dasamuka, kembar mirip sekali seperti Nakula dan Sadewa dan sebagainya.
Buku Wira Carita yang bersumber dari salah satu bagian dari Kitab Weda yang berasal dari India, direka-reka seakan tempat, waktu dan tokoh ceritanya berasal dari Jawa. Disadari atau tidak perilaku seperti itu sudah berurat akar didalam perilaku sebagian Orang Jawa.
Dengan demikian, keberadaan beberapa pertapan di Srandil juga dianggap ada hubunganya dengan wayang. Intinya menyadur dari Kitap Wira Carita MAHABARATA yang diturunkan lagi dari Kitab PURWA CARITA dengan mengambil salah satu episode atau lakon SAMODRA MANTANA, yang menceritakan bahwa para dewa akan mengupayakan “TIRTA AMRITA” yang biasa disebut dalam wayang sebagai “TIRTA AMERTA” yang artinya Air Kehidupan, atau Air Pembawa Hidup dan juga disebut Air Penyebab Hidup.
Di ceritakan di dalam kitab tersebut, di Kahyangan Suralaya atau tempat bertahtanya para dewa. Ada dua buah gunung yang letaknya sejajar yang keduanya itu bernama Mandhara Giri. Hyang Jagad Giri Nata yang merupakan Raja dari para dewa memerintahkan kepada Dewa Wisnu untuk melakukan tiwikrama merubah jasad dirinya menjadi Hyang “AKUPA” yaitu sebangsa Penyu Raksasa yang mampu menggendong dua buah Gunung Mandhara Giri tadi, untuk di bawa menyelam sampai di bawah dasar Samodra Selatan dan meletakkanya dengan pucuk di bawah dan kaki gunung di atas. Dengan letak menungging tersebut akan dijadikan sebagai mata bor untuk melubangi dasar Samodra Selatan.
Sebagai tali pemutarnya, Hyang Jagad Giri Nata memerintahkan agar Hyang Ananta Boga, sebagai dewa dengan wujud Ular Raksasa, untuk melingkarkan dirinya pada dua buah gunung tadi, dengan lingkar yang melintangi kedua gunung tadi dalam bentuk angka delapan.
Sebagai tenaga pemutar di perintahkan kepada Para Sura atau Para Dewa untuk menarik kepala dan Para Asura atau Para Raksasa untuk menarik ekornya. Demikian kepala dan ekor Sang Ananta Boga di tarik-tarik secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga Mandhara Giri berputar bagai bor delapan tahun lamanya.
Setelah lapisan tanah dan batuan dari dasar Samodra Selatan berhasil di bor sampai puncak Mandhara Giri menjadi tumpul, maka akhirnya keluarlah:
NILA ANTAKA
Yaitu sebangsa cairan berbisa yang racunnya dapat menyebabkan Para Dewa bisa mabok sampai meninggal. Untuk mencegah kemungkinan kefatalan itu, maka Hyang Jagad Giri Nata atau Bathara Guru memutuskan untuk menelan NILA ANTAKA tersebut, agar di belakang hari tak lagi terminum oleh para Dewa, manusia, maupun raksasa.
Mungkin sudah kodrat Tuhan Yang Maha Esa, racun itu terhenti hanya sampai ditenggorokan saja, yang menyebabkan leher Hyang Jagad Giri Nata lebam membiru untuk selamanya. Dari kejadian ini lalu Bathara Guru diberi gelar Hyang Nilantaka atau Hyang Nilakanta karena lehernya berwarna Nila. Ini adalah pengorbanan dirinya rela cacat seumur hidup dengan maksud agar para penganutnya tidak menelan sesuatu yang menyebabkan rusaknya moral.
Berangkat dari kisah diatas, maka selanjutnya ada semacam kepercayaan bahwasanya seseorang dapat dianggap benar-benar dan sungguh-sungguh sebagai pembimbing spiritual di pertapaan Mandhara Giri Srandil, manakala bisa meniru sifat rela berkorban seperti Bathara Guru, dan orang tersebut baru dianggap sebagai “Guru Laku”. Bathara Guru di pewayangan di gambarkan bertangan empat dan menaiki Lembu Nandini.
“GURU” dituntut oleh kewajibanya harus bertangan empat. Dua buah tangan untuk mengerjakan keperluan pribadinya dan tangan lainya di gunakan untuk keperluan para “SISWA” nya yang biasanya di sebut para putra wayah yang berguru kepadanya.
Berdiri diatas Lembu Nandini melambangkan selalu berlandaskan kesucian Illahiyah, didalam pikiran, perkataan dan perbuatanya. Berani menelan Nilantaka yang maksudnya harus berani bersumpah di pertapaan Mandhara Giri Srandil “rela mati bila tidak berhasil memuliakan para putra wayahnya”.
Selain itu, yang lebih penting lagi, dalam dia berdiri sebagai pendeta, memang benar-benar atas pilihan kesucian Gaibnya Tuhan. Bila yang dianggap sebagai Guru Laku nyata benar demikian, biasanya, konon kulit dibagian tubuh tertentu ada “TOH” yaitu semacam bercak abadi yang berwarna biru keungu-unguan, dibagian leher atau ketiak kiri kanan, yang sebelumnya tidak di ketahui oleh dirinya sendiri, sebelum diberitahukan oleh orang lain yang secara tidak sengaja melihatnya.
GAJAH AIRA VATA ;
Yang juga bernama Gajah Era Wata yang di dalam pewayangan di sebut Gajah Era Wana. Yaitu gajah yang berasal dari sorga, berkulit putih dan kulitnya bercahaya terang, yang terkadang terlihat kadang tidak oleh penglihatan mata manusia biasa.
Selanjutnya gajah ini di anugerahkan kepada Batara Brama atau Hyang Agni sebagai kendaraan dinas jawatanya. Sewaktu ada lakon Begawan Bala Rama yang tak lain adalah Baladewa, Sang Begawan di anugerahi Gajah Puspadenta oleh Hyang Agni. Konon gajah ini keturunan dari Sang Aira Vata. Untuk meyakinkan kepada Baladewa bahwa gajahnya adalah keturunan dari Aira Vata, kelak bila menjadi Raja Mandura menggantikan Ayahnya, akan berpermaisurikan Dewi Erawati yang namanya berasal dari kata Erawata.
Di dalam lakon ASMARA DAHANA, diceritakan Sang Dewi Uma Parwati permaisuri dari Bathara Guru yang secara kebetulan sedang mendampingi sang suami, untuk memeriksa barisan prajurit Dandara yaitu pasukan dari Para Dewa di Repat Kepanasan atau Alun-alun di Kahyangan Suralaya. Dengan serta merta Dewi Uma Parwati menjerit kuat karena terkejut dan sangat takut melihat Gajah Erawata yang di tuntun oleh Bathara Agni.
Pada hal pada waktu itu secara kebetulan Sang Dewi sedang Hamil. Pada giliranya pada waktu Sang Dewi bersalin, melahirkan seorang bayi yang tidak lumrah sebagaimana bayi-bayi dewa yang lain. Karena bayi itu ternyata berkepala gajah dan berbadan raksasa laki-laki dan diberi nama Bathara Gajayana, yang setelah dewasa mengemban tugas sebagai Dewa Kearifan dan selanjutnya sekarang di pakai sebagai lambang sebuah perguruan tinggi di Bandung.
CUPU LINGGA MANIK ;
Adalah sebuah cawan yang bahanya dari batu permata berwarna ungu tua berbentuk segi delapan. Sebenarnya ada sedikit misteri di dalam kemunculan cupu ini. Karena secara kebetulan secara tiba-tiba saja sudah berada di dalam mulut sang Ananta Boga. Maka oleh Bathara Guru lalu di anugerahkan kepadanya.
Di dalam lakon lahirnya Dewi Sri dan Raden Sadana, Dewa Ananta Boga mendapat perintah dari Bathara Guru untuk bertapa delapan tahun lamanya, karena dia dipersalahkan terkesan tidak rela di dalam menjalankan tugas menjadi tali pemutar Gunung Mandhara. Karena ditengah pengeboran itu timbul rasa sengsara tak terkira, kenapa dia harus menjadi tali pemutar yang di tarik-tarik selama bertahun-tahun. Dia menganggap kodrat Tuhan atas dirinya sebagai dewa berbadan ular adalah ketidak adilan dari para dewa.
Maka bertapalah dia, atas perintah Bathara Guru yang juga sebagai hukuman khas para dewa yang dianggap melanggar, dengan mulut menganga melingkari Arga Kailasa selama satu tahun sehingga Cupu Manik didalam kulumanya terlepas. Dan diterimalah keprihatinan Sang Ananta Boga oleh Tuhan Yang Maha Tunggal. Tutup cawan berubah menjadi seorang ksatria tampan diberi nama Raden Sadana dan bagian wadah cupu menjelma menjadi putri cantik bernama Dewi Sri.
Selanjutnya Raden Sadana dan Dewi Sri diserahkan kepda Bathara Guru, oleh penguasa para dewa itu, Raden Sadana dan Dewi Sri diserahi tugas menjadi petani dan pemelihara padi di bumi. Sebagai anugerah atas keberhasilan tapanya, Ananta Boga diberi anugrah berupa Aji Kawastrawam yang dapat digunakan sebagai sarana untuk merubah wujudnya menjadi ksatria tampan, apabila ajian itu di watek atau diamalkan.
Sesuai kelaziman para dewa, walaupun Aji Kawastrawam adalah milik sah dari Sang Ananta Boga, akan tetapi tidak boleh sembarangan cara menggunakanya. Dalam arti ajian tersebut hanya dapat digunakan untuk sarana di dalam tugas-tugas Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Apabila ajian itu di watek, sebelum menjadi ksatria tampan, terlebih dahulu akan mengeluarkan minyaknya yang disebut LENGA TALA dan bekas kulit ari dari ular yang disebut WLUNGSUNGAN.
Lenga Tala dapat digunakan untuk menyembuhkan luka yang sangat parah dan bahkan dapat menyembuhkan orang mati yang belum waktunya. Sedangkan Wlungsungnya dapat digunakan untuk dapat merambah air tanpa harus tenggelam dan sebagai pelindung perisai diri yang sangat ampuh dalam menghadapi segala benturan.
Sebagaimana diceritakan di dalam lakon Subadra Larung. Diceritakan Sang Subadra yang adik kandung dari Sri Bathara Kresna, meninggal karena ditikam oleh Burisrawa, gara-gara menolak cintanya. Sebagai suaminya, menangis dan berdatang sembahlah Arjuna kepada Bathara Kresna, untuk maminta kesembuhan atas kematian istri tercintanya.
Prabu Kresna Raja Dwarawati yang dikenal sebagai titisan Dewa Wisnu yang memiliki Kembang Cangkok Wijaya Mulya, yang dapat menyembuhkan orang mati sebelum waktunya, atas firasat, yang diterimanya, Prabu Kresna tidak mau menggunakan Kembang tersebut untuk menyembuhkan, walaupun yang mati adalah adik kandungnya sendiri. Karena kembang itu keberadaanya masih ada hubunganya dengan kelaziman para dewa.
Maka selanjutnya di putuskan, bahwa Subadra bisa hidup kembali, tetapi harus dengan syarat mayatnya di larung atau dihanyutkan dengan sampan di lautan. Konon sesampai di tengah laut, di ketemukan oleh Raden Anantareja, putra Dewi Nagagini hasil dari perkawinan dengan Raden Wrekodara, yang karena tugas-tugas kemanusiaanya, terpaksa meninggalkan Nagagini sewaktu sedang hamil. Dan lahirlah Raden Anantareja yang sejak bayi sampai dewasa hanya diasuh oleh ibu dan kakeknya Anantaboga. Saat pun tiba Anantareja ingin melihat dan berbakti kepada ayahnya. Kecuali hal itu kesatria ini agaknya malu karena kakeknya seekor ular raksasa.
Berangkat dari beban rasa dari sang cucu, sebagai seorang dewa, Anantaboga pun menangkap filsafat, bahwasanya pada saat itulah ia harus menggunakan Ajian Kawastrawam. Maka keluarlah Lenga Tala yang berisi dua ajian, yaitu Upas Bento Geni yang berfungsi mematikan lawan manakala bekas pijakan telapak kakinya terjilat oleh pemilik Upas Bento Geni, siapapun orangnya termasuk dewa sekalipun.
Yang kedua Ajian Panglerepan yang berfungsi sebagai penghidup, penyembuh, pengawet muda dan pesona. Namun pada awal pemakaianya ajian ini hanya dapat digunakan sebagai penghidup dan penyembuh hanya satu kali ditelan oleh pasien. Sesudah itu, apabila pasien tadi berhubungan badan dengan seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan daya awet muda, tampan dan sangat mempesona lawan jenis, dan konon bidadaripun akan terpesona penuh kepasrahan manakala pernah bertemu, bersalaman, beramah tamah, apalagi sempat berciuman dengannya.
Kecuali Lenga Tala, terkelupaslah Wlungsungan yang disebut Wasunanda, yang dapat digunakan menyelam didalam tanah sebagaimana meyelam didalam air dan dapat mengambang diatas air sebagaimana berada di daratan. Lenga Tala dan Wasunanda semuanya diberikan kepada cucunda Antareja yang terperangah dalam kebahagiaan dan kebanggaan. Terperangah karena melihat Sang Kakek berujud ksatria, bahagia karena diijinkan mencari ayahnya dan bangga karena diberi bekal ajian tadi.
Berangkatlah Raden Anantareja dari dasar samodra dan kebetulan saja menemukan sosok mayat diatas rakit yang terapung-apung di laut lepas. Karena sebelumnya sudah mendapatkan petunjuk dari sang kakek, lalu digunakanlah Aji Panglerepan untuk menyembuhkan Subadra, yang langsung siuman, berkenalan dan sanggup menghadapkan Anantareja kepada Ayahnya yaitu Bima yang juga kakak ipar Subadra.
Dalam pada itu, Arjuna yang dirundung was-was didalam penantian, sudah hampir putus asa dan bermaksud akan melakukan bunuh diri secara diam-diam denga menelan Kala Wulung yang sedang bertelur. Kala Wulung adalah sebangsa serangga kala hitam yang berbisa sangat mematikan. Apalagi bila sedang bertelur. Akan tetapi sebagai pemilik keris Pusaka kala Nadah, bisa kala itu tidak membuatnya mati, bahkan menjadikan bahan ajian manakala sudah berhubungan badan dengan bekas pasien yang diobati dengan Aji Panglerepan.
Singkat cerita berbahagialah keluarga besar Pandawa atas pulangnya Subadra disertai Anantareja yang langsung dipertemukan dengan ayahnya. Dan setelah Arjuna melakukan hubungan badan dengan istrinya, maka menyatulah Kala Wulung dengan Panglerepan yang selanjutnya dinamakan Ajian Madiguna, yang artinya sperma berilmu.
Sebagai titisan Wisnu, Kresna waspada bahwa kematian sementara dari Subadra akan membawa hikmah dan faedah yang bernilai Ketuhanan, keadilan dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Dan dia tahu, Subadra tidak harus disembuhkan dengan Cangkok Wijaya Mulya miliknya. Karena kelak akan digunakan untuk menyembuhkan Arjuna dari kematian sebagai akibat dari perang tanding melawan Palgunadi dalam lakon Palguna Palgunadi.
Sebenarnya Prabu Palgunadi dari Negara Paranggelung bukanlah siswa resmi Resi Drona, karena perbedaan status social, yakni Prabu Palgunadi hanya raja kecil dari wilayah sempit, tidak boleh berguru kepada Resi Drona yang notabene adalah Guru Besar dari Raja Besar keturunan Bharata. Namun karena besarnya minat untuk berguru kepada Drona yang terkenal piawai didalam ilmu perang dan kanuragan itu, maka pada akhirnya ditempuhlah siasat untuk mencapai maksudnya.
Maka disuruhlah istrinya untuk mengabdi di padepokan Soka Lima tempat Resi Drona mendirikan Kampus Akademi Militer. Didalam mengabdi, Dewi Anggraini yang terkenal sebagai wanita yang sangat tinggi kesetiaan dan pengabdianya kepada sang suami itu, di suruh mengamati dan mencatat semua pelajaran dan kegiatan Soka Lima, dengan menyamar sebagai Sekretaris Rektor Urusan Kemahasiswaan, maka misi itu sangatlah mudah dijalankan.
Semua kegiatan perkuliahaan yang berhasil disadap dengan cermat oleh Anggraini, diberikan kepada Palgunadi yang berupaya belajar sendiri di tengah hutan dengan membuat patung Drona sebagai guru idolanya itu, untuk kemudian dipelajari, dianalisa lalu dipraktekkan dengan tekun dan seksama. Walaupun isi diktat lewat Anggraini hanya disampaikan dengan system tutor semata, akhirnya Palgunadi berhasil menjadi Sarjana Perang yang handal, setingkat lebih tinggi dari Arjuna, mahasiswa terkasih Drona.
Suatu saat, usai Wisuda Sarjana Soka Lima, seluruh insane almamater mengadakan wisata Purna Sarjana, dengan mempraktekkan kepiawaian masing-masing dengan berburu hewan dihutan. Hanya saja secara kebetulan hutan yang digunakan sebagai kawasan praktikum itu, sekawasan dengan kampus “Universitas Terbuka” dengan mahasiswa tunggal yakni Palgunadi. Pada kegiatan itu, sebagai sekretaris rector yang merangkap Kepala Urusa Rumah Tangga dari Universitas Soka Lima, Anggraini ikut pula.
Tidk ketinggalan anjing-anjing pelacak keberadaan hewan liarpun digunakan sebagai sarana. Singkat cerita, betapa terkejutnya Arjuna, yang melihat moncong anjingnya terluka parah karena tertancap lima anak panah sekaligus. Dengan geram Arjuna melacak asal muasal anak panah tersebut.
Dalam pada itu Anggraini cepat tanggap, atas kejadian itu tak urung bila pelacakan Arjuna sampai di kampus Palgunadi bakal terjadi keributan. Maka secara diam-diam Anggraini mengikuti Arjuna dari jauh. Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Anggraini, tanda-tanda keributan mulai nampak.
Apabila berbicara serius disertai senyum pertanda bahwa Arjuna sedang menahan amarah besar kepada Palgunadi. Nampaknya Arjuna cemburu melihat meliht kampus UT Swasta di tengah hutan, yang memperlihatkan kerapian managemennya. Palgunadi mahasiswa tunggal yang menempuh program non gelar itu berbadan kekar, dengan sorot mata yang tajam yang menunjukkan tingkat kematangan ilmunya.
Alat-alat perang tersedia dengan sangat cukup sebagai sarana dan prasarana praktikum. Jadwal kegiatan harian, bulanan dan kalender akademik tertata rapi dan tercantum frekuensi kegiatan yang sangat padat dan efektif, melebihi Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Diktat-diktat dari hasil serapan dan sadapan istrinya, dibukukan, disusun rapi dan lengkap tak ada yang tercecer.
Yang membuat arjuna semakin cemburu ilmu adalah, di kampus UT Swasta itu mempunyai perpustakaan jauh lebih lengkap disbanding Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Apalagi ditambah buku petunjuk praktikum susunan Sang Mahasiswa Tunggal itu jumlahnya cukup banyak dan tidak dimiliki oleh Soka Lima.
Kemarahan karena cemburu ilmu itupun makin menjadi-jadi manakala di halaman Kampus itu terpampang patung Drona sebagai symbol almamater. Yang demikian itu sangat menyinggung perasaan Arjuna sebagai mahasiswa terkasih dari Drona, yang karena dosen tetap dari Perguruan Tinggi Negeri itu cara penyelenggaraan kegiatan belajar terkesan seenaknya, teoritis, monologis, teks book dan dogmatis, dimana hal seperti itu sangat membosankan. Sebagai dampaknya hasil lulusan dari pendidikanyapun hanya layak title tetapi tidak layak pakai.
Disertai luapan amarah itupun dengan setengah menghardik, Arjuna bertanya: “Hai Ki Sanak, kaukah yang melukai anjingku?!” dengan tenang Palgunadi mengangguk. Dalam pada itu Anggraini sudah tiba dan langsung berdiri ditengah-tengah keduanya. “dengan satu persatu atau lima anak panah sekaligus, heh!” Tanya Arjuna ketus. Dengan kesabaran yang menunjukkan kematangan ilmu dan kedewasaanya Palgunadi sembari tersenyum, menjawab dengan isyarat memekarkan lima jari tangannya.
“Dari mana kau menyadap ilmu kami”, Tanya Arjuna sambil menunjuk ruang perpustakaan. Dalam pertanyaan ini sebenarnya Arjuna sangat malu hati. Karena para mahasiswa di Soka Lima enggan membukukan kuliah dari dosennya. Bahkan membuat sinopsispun jarang dilakukan. Membuat karya ilmiah kadang-kadang dengan menyontek dan mengubah judul. Penelitian ilmiahpun dapat didengkul. Dan apabila semua itu disyaratkan untuk mencapai kelulusan satu strata, jalan pintas dengan menyogok dosen yang semakin kaya itupun dilakukan, lebih-lebih oleh Mahasiswa dari Korawa yang notabene anak-anak pejabat tinggi dan sering mendikte dosen.
Dengan ramah Palgunadi menjelaskan, bahwa yang mensuplai diktat dan bertindak sebagai tutor sebenarnya adalah Anggraini, istrinya. Mendengar itu Arjuna berujar kasar: “pantas selama ini Anggraini rajin sebagai peninjau kuliahku…!”. Mendengar ini Palgunadi nampak cemburu berat melihat ketampanan Arjuna yang “nilai jualnya” lebih tinggi darinya.
Maka Palgunadi bertanya kepada Anggraini: “Benarkah apa yang dikatakan Arjuna , hai istriku?” Angrainipun mengangguk takut. Tahu rasanya bila Palgunadi cemburu berat, walaupun kenyataanya belum pernah sengaja atau tidak, ia bercinta dengan Arjuna, yang bintang kampus karena ketampanan dan kesederhanaanya itu. Bagi Anggraini hanya seorang laki-laki yang ia cintai, yaitu suaminya, betapapun nilai jualnya tak lebih tinggi disbanding Arjuna.
Kecemburuan Palgunadi makin membara, manakala ia ingat sewaktu membaca majalah dinding Kampus Soka Lima, yang sering memuat rubrik berisikan kepiawaian Arjuna di dalam bermain cinta, penyandang title sebagai raja cumbu rayu dan sanggup mencintai sejumlah wanita dalam waktu yng sama. Palgunadipun tertegun disertai perasaan dan khayalan yang memicu rasa cemburunya. Dalam pada itu Arjuna mengacak-acak perpustakaan Palgunadi sehingga berantakan tak karuan.
Bagai air bah dari bendunga pecah, kesabaran Palgunadi tak terkendali lagi. Diseretnya Arjuna dan duelpun tak dapat dihindari. Setelah perang tanding cukup seru dan lama, ternyata arjuna berhasil dibunuh oleh Palgunadi. Disitulah akhirnya Kresna menggunakan Kembang Cangkok Wijaya Mulya sebagai penyembuh untuk Arjuna.
Selanjutnya nasib Palgunadi menjalani eksekusi hukuman mati dengan tuduhan membunuh, menyontek ilmu dan melecehkan Guru Besr dengan mematungkannya dimana hal ini sangat menyinggung almamater. Dengan melewati proses peradilan yang penuh rekayasa, akhirnya Anggrainipun bela pati dengan bunuh diri, dan kekayaan kampus UT nya disita untuk negara.
KUDA AUCES RAWAS ;
Atau Kuda Uces Rawas yang juga disebut Kuda Swandana, yaitu kuda sebanyak empat ekor dengan warna kulit yang berbeda satu dengan yang lainya, yaitu merah, hitam, kuning dan putih. Keempat kuda dari surga ini dianugerahkan kepada Bathara Wisnu sebagai penarik kereta kedewaanya, agar menjadi sarana dalam menjalankan tugas sebagai dewa pembagi kebahagiaan.
Dalam Lakon Kresna Gugah keempat kuda itu dianugerahkan oleh Wisnu kepada Kresna, sebagai penarik kereta perang untuk Arjuna di dalam Perang Bharatayuda, yang di kusiri sendiri oleh Prabu Kresna. Dalam lakon itu, kecuali mendapatkan anugerah Kuda Swandana, masih ada partai tambahan untuk Kresna, berupa Kitab Jitab Sara, yang memuat kerahasiaan dan tata aturan di dalam Bharatayuda Jaya Binangun kelak.
Sebagai penyandang title Bhatara, Prabu Kresna yang mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda, juga masih saja terpaksa melakukan KKN. Di dalam Bharatayuda, Prabu Baladewa yang kakak kandung Prabu Kresna, sebagai kekuatan poros tengah yang cenderung memihak kepada Kurawa itu, di dalam Jitab Sara dia harus bertempur melawan Anantareja yang memiliki Ajian Bento Geni, dengan kemampuan dapat membunuh musuh hanya dengan menjilat tanah bekas pijakan telapak kakinya.
Agar Baladewa tidak mati konyol di tangan Anantareja, oleh Prabu Kresna di perintahkan untuk bertapa di Grojokan Sewu, sampai batas waktu yang tidak di tentukan, dengan tujuan agar tidak mendengar berita tentang Bharatayuda.
Anantareja sendiri ditipu oleh Prabu Kresna, dengan disanjung bahwa semua ksatria tidak ada yang mampu membawa Senjata Cakra miliknya, kecuali Anantareja. Namun harus dengan syarat, cara membawanya pada bagian tajamnya di biarkan bergulir di tanah sedang yang dipegang adalah hulunya.
Begitu dilakukan dengan cara tersebut, Cakra yang sangat ampuh itu, roda bergigi delapan bagian tajamnya cakra itupun akhirnya mengenai baying-bayang Anantareja, dan pada saat itu pulalah dia meninggal duni. Karena memang disitu letak kelemahanya, tak dapat dibunuh dengan cara apapun kecuali bila baying-bayang badanya yang kena tikam. Demikian Prabu Kresna melakukan KKN didalam melindungi keluarganya dari kematian, berhubung dia mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda dari Kitab Jitab Sara.
Demikianlah, walaupun Krisna adalah titisan Wisnu, Dewa pembagi kebahagiaan, agaknya tetap saja khilaf dan tergoda untuk melakukan KKN dan melanggar HAM. KKN karena memprioritaskan Baladewa yang kakaknya sendiri agar tetap bertahan hidup sampai usai perang Bharatayuda. Sedang pelanggaran HAM dia lakukan dalam merencanakan kematian Sang Anantareja.
Pelanggaran itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh pemegang Kitab Jitab Sara yang merupakan rahasia Para Dewa. Atas perbuatanya itu Krisna dipersalahkan dan dianggap berdosaoleh para dewa. Dan sebagai hukumanya dia tidak berhak masuk ke Nirwana untuk menuju Moksa didalam kematianya kelak kecuali atas pertolongan Prabu Yudistira titisan Bhatara Dharma, didalam lakon Pandawa Moksa.
TIRTA AMRITA ;
Tirta Amrita berasal dari kata Tirta yang artinya air, A artinya tidak dan Mrita artinya mati. Makna lengkapnya adalah air yang menyebabkan tidak mati atau air kehidupan. Dari mengambil makna ini maka menyebabkan tirta amrita dijadikan rebutan diantara Para Sura dan Asura yang menyebabkan pertempuran mirip tawuran antar kelompok di jaman ini.
Pada akhirnya Tirta Amrita yang didunia pewyangan sering disebut Tirta Amerta, yang keluar paling akhir dari perut bumi melalui dasar Samodra Selatan ini, oleh Batara Guru diambil alih dan disembunyikan disuatu tempat yang tidak diketahui oleh para dewa, raksasa dan manusia. Kecuali oleh seseorang yang nunggak semi atau dapat meniru perilaku Batara Guru didalam menelan Nilantaka yang merupakan bukti sikap rela berkorban demi kepentingan tiga dunia.
Semisal ada seseorang yang karena ketekunanya dan berhasil tahu Tirta Amrita disimpan, belum tentu tahu cara mengambilnya. Dan seumpama dia bisa mengambilnya, belum tentu tahu cara menggunakanya. Karena cara mengambil dan menggunakanya harus menggunakan cara tertentu dan khusus yang mensyaratkan berbagai macam laku, sarana dan prasarana khusus yang harus dipimpim oleh orang yang mempunyai cirri-ciri toh ungu seperti disebutkan terdahulu.
Demikian seklumit tentang hubungan pewayangan dengan pertapaan Mandhara Giri di Gunung Srandil dan Selok yang dianggap sebagai tapak petilasan dari lakon Samodra Mantana. Bila kita menganalisa lakon diatas, serta ditarik hikmah kesimpulanya, maka bagi siapa saja yang bermaksud hendak lelaku di pertapan mana saja khususnya di Srandil, seharusnya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Harus ada Guru Laku atau pembimbing spiritual yang dapat dipercaya dalam arti tidak hanya sekedar mengetahui tempatnya dan nama tokoh-tokoh legenda saja, maaf, sebagaimana juru kunci yang hanya sekedar menjual jasa pelayanan kepada peziarah, dengan bermodalkan anya dapat membaca yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Sedangkan “berdoa” tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Diharapkan sebagai pembimbing spriritual, minimal harus mampu berdoa dan mengetahui hal-hal gaib.
Mematuhi “dhawuh” atau petunjuk Guru Laku. Yang dimaksud adalah petunjuk yang mengandung kebenaran objektif dan bermanfaat bagi para pengikutnya, dalam hal: cara, aturan, etika dan yang lebih baku adalah tentang petunjuk bagaimana seharusnya perilaku di pertapaan yang sesuai dengan nuansa gaib yang baik dan benar, dengan kewaspadaan batin mengetahui mana yang dijalankan dan mana yang tidak.
Jangan open, maksudnya adalah jangan bernafsu memiliki sesuatu yang seharusnya bukan jatahnya. Jangan pula dengki dan konkiren atas apa yang diberikan oleh Guru Laku kepada semua siswanya. Karena sesungguhnya hanya atas petunjuk gaib, Guru Laku memberikan apa-apa kepada siswanya yang satu sedangkn yang lain tidak. Bukan berarti Guru Laku tidak adil. Semua itu disesuaikan menurut jatah masing-masing orang yang mestinya berbeda-beda berdasarkan kepentingan pribadi tiap siswanya, karena setiap orang mempunyai kepentingan, khajad, sifat dan kisah hidup yang berbeda-beda pula.
Maka sebaiknya janganlah meminta apa-apa yang tidak semestinya kepada Guru Laku. Namun demikian, berhubung Guru Laku juga manusia biasa yang tidak lepas dari lupa dan lalai, salah dan lemah maka para siswanya tentu saja boleh mengingatkan manakala Guru Laku kebetulan berkata dan berbuat yang menunjukkan kealpaanya.
Perlu pula diingat, berhubung Guru Laku biasanya besar rasa kasihnya kepada segenap siswanya, maka sering dirundung rasa tidak tega apabila ada siswanya yang merengek meminta sesuatu yang bukan jatahnya. Kadang diberikan begitu saja, meskipun bukan jatahnya atau belum jatuh waktu sang siswa memiliki apa yang di mintanya itu.
Begitulah kelemahanya, apabila seseorang sedang terbelenggu oleh objek cintanya. Dibalik kepintaranya terselip ketololanya dan dibalik kecermatanya akan nampak keteledoranya. Apa yang diberikan dengan cara diatas, karena dipengaruhi oleh ketololan dan keteledoran serta tergesa-gesa dan belum waktunya, lalu yang diberikan itu tidak menganut tatanan gaib. Maka biasanya akan terjadi sesuatu yang kurang baik bagi yang diberi sesuatu oleh Guru Lakunya itu.
Apa yang terjadi seperti dicontohkan diatas, biasanya tingkat kesulitan yang diterima oleh siswa yang menerima pemberian yang bersifat “Anggege Mangsa” itu, kejadianya sebagaimana yang tersirat dalam lakon wayang “Nara Singha”.
Pada waktu itu Kahyangan Suralaya berhasil dikuasai oleh Raja Raksasa Prabu Sumangliawan dan Patihnya Kala Mangli, yang sesungguhny kecuali mereka kakak beradik, kedua raksasa itu seperguruan dan satu pertapaan.
Mereka berdua sangat sakti, bahkan tidak dapat dikalahkan oleh dewa, ksatria maupun raksasa sendiri. Kesaktian itu mereka peroleh berkat keberhasilanya didalam bertapa dan memperoleh anugerah dari Dewa Hagni berupa “Sabda”, tidak dapat dikalahkan oleh dewa, manusia maupun raksasa. Dan agaknya Sabda Sang Hagni kini menjadi bumerang bagi para dewa sendiri, dimana sabda itu tidak mungkin ditarik kembali.
Akibatnya sewaktu mereka berdua melakukan “Demontrasi” dengan aksi pengerahan massa besar-besaran dengan tindakan yang cenderung anarkis di pusat pemerintahan para dewa, Raja para dewapun tidak sanggup untuk mengatasinya. Apabila akan mengatasi dengan cara kekerasan, kubu para dewa memang menang persenjataan dan prasarana. Akan tetapi dari segi jumlah massa dan tingkat kenekatan, kubu Sumangliawan lebih unggul.
Pada akhirnya pemerintahan para dewa mengadakan Sidang Kabinet mendadak dengan agenda tunggal membahas masalah mengatasi kerusuhan yang terkesan terorganisir dan terencana dengan rapi, disertai dukungan kekuatan massa yang sangat besar, yang kebanyakan dari kalangan raksasa, yang sudah barang tentu sangat kasar dan beringas. Mengingat latar belakang mereka memang demikian. Sedang aksi serupa yang dilakukan oleh manusia saja bisa kasar, beringas dan anarkis, apalagi oleh raksasa.
Secara analisis, kerusuhan sebagai akibat dari dua orang tokoh LSM kalangan raksasa itu, berawal dari intimidasi dan penetrasi terselubung oleh para dewa sendiri, terhadap niat mereka berkoalisi, dimana masing-masing dari mereka sebenarnya adalah mempunyai kekuasaan dan kewenangan wilayah sendiri-sendiri, sebagai kekhawatiran terhadap kemungkinan pengerahan massa yang mengarah ke makar. Dan ternyata kekhawatiran para dewa itu kini benar-benar terjadi.
Waktu itu yang ditugasi oleh Batara Guru untuk melakukan penetrasi dan intimidasi terselubung adalah Batara Hagni, yang disuruh memerintahkan kepada kedua raksasa itu untuk bertapa dengan janji imbalan kesaktian seperti tersebut terdahulu, dengan syarat selama bertapa tidak boleh mengadakan hubungan dan pendekatan kepada aparat penguasa para dewa.
Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan para dewa. Karena mereka bertapa dihutan “konsolidasi” yang memungkinkan untuk mengadakan pendekatan dengan arus bawahsecara intensif tanpa dapat dipantau oleh para penguasa. Sebagai akibatnya timbulah gerakan makar yang sangat kuat, bagai jebolnya bendungan besar, yang tak urung merepotkan para dewa sendiri.
Secara strategis, untuk mengatasi masalah ini diserahkan kepada Batara Wisnu, dengan cara melakukan tiwikrama merubah wujud dirinya menjadi Nara Singha, yaitu seorang ksatria berbadan raksasa, berkepala singa dan berperangai dewa. Ini adalah modal yang pertama. Sedang modal lainya berupa Bende atau terompet Panca Jannya dan Senjata Cakra Baskara.
Dengan kepribadianya, Dewa Wisnu yang disertai modal diatas, dapat dipastikan bisa mengatasi masalah. Sebagai Dewa Pembagi Kebahagiaan, Wisnu disenangi oleh semua kalangan, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berseberangan. Dengan tiwikrama, Wisnu mengetahui bahasa kebutuhan masing-masing kelompok yang berbeda.
Dengan Terompet Panca Jannya yang menurut makna kata adalah lima kelompok insan, Wisnu menggunakan tehnik-tehnik tertentu untuk menyampaikan pesan perdamaian, misalnya lewat jalur budaya, adat kebiasaan dan kekhawatiranyang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Senjata cakra yang berupa anak panah dengan bentuk roda bergigi delapan yang semuanya sangat tajam itu, dipergunakan untuk upaya penyelesaian masalah dengan cara berunding yang membutuhkaan ketajaman kata yang diplomatis, dimana hal itu merupakan bakat Sang Wisnu.
Akan tetapi betapa sulitnya hal itu dilakukan, karena ternyata Dewa Wisnu tidak ikut hadir didalam pertandingan itu, ternyata dia sedang bertapa dan tidak seorang dewapun berhasil membangunkanya. Lalu Batara Guru memerintahkan kepada Bidadari Wil Utama dengan diikuti empat puluh bidadari yang lain, untuk menggoda Wisnu agar terbangun dari tapanya, tetapi dengan syarat Wil Utama dalam keadaan apapun tidak sampai tergoda untuk berhubungan badan dengan Sang Wisnu, sebagai dewa yang terkenal tampan dan romantis itu.
Singkat cerita Wil Utama berhasil membangunkan tapa Wisnu, akan tetapi keduanya yang pada masa lalu pernah gagal didalam memadu kasih, akhirnya lupa daratan dan kisah-kasihnya kumat lagi, maka hubungan badanpun tak dapat dihindari. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Setelah usai berasik-masyuk, maka sadarlah Wil Utama bahwa dia telah melanggar pantangan dari Batara Guru.
Karena mendapat laporan tentang perselingkuhan antara Wisnu dan Wil Utama, Batara Gurupun marah besar. Setelah memerintahkan Wisnu untuk maju menghadapi perusuh dan berhasil dengan baik, walaupun nyaris gagal karena kesaktian dua raksasa kakak beradik itu, akhirnya Wil Utama diadili dan mendapat hukuman berupa kutukan dari Raja Para Dewa:”…Hai Wil Utama, yang kau lakukan itu perilaku seekor hewan…” Dan menangislah Wil Utama memelas sekali karena dia kini berubah menjadi kuda sembrani. Walaupun didalam hati Batara Guru iba kepada Wil Utama, namun sabda tak dapat ditarik kembali.
Akhirnya kepada Wil Utama dijanjikan akan diberi “grasi” apabila dia mau bertapa di tepi Sungai Gangga. Besok kelak apabila ada seorang ksatria mendapat kesulitan untuk menyebrang dan kuda sembrani yang jelmaan Wil Utama tadi berhasil menolongnya dengan cara “ditunggangi” oleh ksatria itu sampai keseberang, maka akan pulih wujud kebidadarian Sang Wil Utama.
Namun karena kuda betina yang harus menolong Raden Kombayana dari Atas Angin itu, tidak sekedar ditunggangi saja, tetapi lebih dari itu, maka kuda tungganganpun akhirnya bunting, dan melahirkan bayi manusia yang berkaki kuda, yang diberi nama Raden Haswa Suta Utama yang biasa dipanggil Aswatama. Sejak melahirkan itulah kuda betina berubah menjadi bidadari lagi dan segera kembali lagi untuk menunaikan tugas kebidadarian seperti sedia kala dan tak sempat diperistri oleh Raden Kombayana.
Demikianlah yang tersirat dari lakon ini, bahwasanya bagi siapa saja yang tidak mematuhi dan menurut ajaran Guru Laku dan tidak mau menerima pembagian secara jatah, serta anggege mangsa, akan berakibat kurang baik yang juga berdampak sampai kepada keturunanya.
Jangan mudah mengucapkan supata dan menyumpahi orang, yang maksudnya jangan mudah berkata-kata yang jelek, karena apabila sudah pernah merambah suatu pertapan yang tinggi nilai sakralitasnya, disekujur tubuh seakan-akan diselimuti daya gaib dari pertapaan itu. Akibatnya apa yang dikatakan manjur, sehat sentosa badanya, serta mudah terkabul cita-citanya. Layaknya seperti ada yang mengatur pola hidupnya dan selamat warga dan harta yang dimilikinya. Apabila sudah manjur apa yang dikatakan, pakailah nuansa itu untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Jangan digunakan bersupata dan menyumpahi orang karena akibatnya bisa fatal. Apalagi Pertapaan Mandala Giri Srandil yang konon merupakan petilasan dari Para Dewa Mengebor Tirta Amrita.
Jangan memperhitungkan untung dan rugi didalam penggunaan biaya selama dalam pertapaan, sebab dengan demikian akan terkesan tidak dengan suka rela. Padahal suka rela adalah modal utama dari laku bertapa dan bergaul dengan dunia gaib. Apabila proses gaib terbuka melalui azas sukarela dengan dilandasi rasa percaya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, maka akan terasa dekat kepadaNya. Dengan kedekatan kepada Tuhan, pada giliranya akan mudah terkabul segala doanya, karena semacam ada rasa yang sambung kehadiratNya.
Telaten, rajin dan bersungguh-sungguh, yang maksudnya jangan mudah putus asa apabila belum dapat mencapai apa yang menjadi keinginanya. Selalulah percaya kepada Tuhan yang senantiasa akan memilihkan yang terbaik kepada hambaNya, pada saat yang bertepatan dengan kebutuhan akan dapat mengatasinya atas Karsa Tuhan.
Telaten dalam pengertian jangan menolak rejeki yang hanya sedikit. Sebaliknya apabila mendapat rejeki yang banyak dan mendadak malah bingung cara menggunakanya. Akibatnya yang dibelanjakan hal-hal yang tidak bernilai guna dan mungkin apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Akhirnya apabila tidak tepat didalam pengelolaan rejeki, akan tanpa gunalah didalam menjalani laku pertapaan, ibarat membuang niat, kehabisan syarat tanpa mendapat berkat.
Menjaga tata-susila di pertapaan, baik kepada sesama peziarah maupun kepada sesama rombongan dan keluarga sendiri. Terlebih lagi tata-susila terhadap para leluhur yang akan diziarahi, walaupun hanya berupa suatu tempat yang merupakan petilasan. Tanamkanlah rasa didalam hati seakan-akan kita sedang berhadapan dengan beliau, saat sedang berdoa dengan menempati petilasan itu. Mengeluhlah kepadanya sebagaimana bila kita mengeluh kepada orang tua sendiri, dengan penuh rasa nelangsa yang disisipi cita-cita.
Sebagaimana tercantum didalam rangkaian kata didalam doa: “Bersujud kepada Tuhan Yang Maha Suci, sembah bakti kepada para pepunden sari…Sembah dihaturkan segala derita dan cita-cita, Derita memohon disembuhkan, cita-cita mohon dikabulkan. Mohon berkah perlindungan. Berkah mohon rejeki yang agung dan meyelamatkan, perlindungan mohon selamat di dunia sampai akhirat, meliputi warga dan harta benda kami, amin”.
Namun demikian tidak menutup kemungkinan, apabila doa tadi sudah dikabulkan oleh Tuhan, akan mengundang kecemburuan social dengan timbulnya sangkaan yang bukan-bukan, baik oleh tetangga, kenalan atau bahkan mungkin oleh kerabt dekatnya sendiri yang belum tahu pasti proses yang mendahuluiperolehan berkah itu.
Mungkin mereka akan meyangka kita melakukan KKN atau mendapat rejeki yang tidak halal. Bahkan juga pengalaman teman peziarah yang sudah terkabul cita-citanya, disangka nyupang atau memelihara sebangsa tuyul dan pesugihan lainya. Dan gangguan itu akan berkembang terus manakala peziarah yang sudah berhasil itu kurang peduli terhadap lingkungan dekatnya. Kita dikir memelihara setan dari Srandil. Padahal si pengira tadi belum tentu mengetahui keberadaan Srandil dan belum tentu tahu apa, siapa dan bagaimana setan itu.
Menurut pendapat penulis, tanpa ke Srandilpun seseorang dapat juga digoda setan, lebih-lebih bagi yang tipis imanya dan kurang rasa pasrahnya kepada Tuhan. Padahal dari agama apapun mengajarkan, orang yang tinggi imanya, tak mudah di goda setan. Dan kecenderungan mengumbar hawa nafsu itulah sebenarnya yang merupakan kendaraan setan menuju alam pikiran manusia. Dan seseorang yang selalu merasa dekat kepada Tuhan seharusnya tidak takut kepada setan dalam bentuk apapun, kecuali kepada Tuhan. Maka dimanapun dan kapanpun perilaku seseorang menunjukkan kemantapan dan ketetapan hati yang selalu taat dan percaya kepada Tuhan.
TOKOH LEGENDARIS ;
Sebelum hal ini diuraikan, perlu kiranya dipahami beberapa kata dan istilah yang disandangkan kepada Tokoh Legendaris pada pertapaan, terutama di Pertapaan Mandala Giri Srandil:
Hyang
Berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya kira-kira pemelihara.
Dewa
Berasal dari kata Div yang artinya cahaya Ketuhanan.
Batara
Berasal dari kata Batr yang artinya menemani.
Orang Jawa menyebut Hyang denga kata Eyang, Dewa dengan kata Dewa (baca:Dewo), Batara dengan kata Bathara dan Batr dengan kata Batir.
Berhubung tokoh-tokoh yang dianggap para leluhur di Pertapaan Mandala Giri Srandil tidak tercantum di dalam Buku Sejarah dan buku-buku lainya, maka untuk memudahkan kita meyebutnya tokoh legendaris, yang dipercaya bahwa pada saat hidupnya dahulu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu serta mempunyai keutamaan-keutamaan didalam ilmu Ketuhanan, keluhuran budi pekerti atau sifat lain yang utama, misalnya:
HYANG AGUNG HERU COKRO ;
Menurut kepercayaan, nama itu adalah gelar spiritual dari nama aslinya SULTAN AGUNG HANYOKRO KUSUMO, di mana nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang. Pada waktu menjadi Raja Mataram Islam, beliau bertapa dilingkungan Pertapaan Mandala Giri Srandil, yang pada waktu itu dilingkunganya masih merupakan hutan belantara yang masih rawan dan perawan dan terkenal sangat angker. Konon siapapun yang datang kesana hanya pulang namanya saja dan bahkan hewanpun akan mati apabila memasuki kawasan itu.
Tetapi karena beratnya misi untuk mengusir penjajah Belanda dan berencana akan melakukan penyerbuan ke Batavia, maka sebagai awal-mula dari niatnya itu, beliau perlu memperkuat jiwa dan raganya dengan bertapa di Gunung Srandil, dengan maksud seperti yang tersirat dalam Candra Sengkala “SIRNANING YAKSA KATON GAPURANING RATU”.
Candra Sengkala adalah pernyataan suatu bilangan angka tahun Çaka didalam bentuk perkataan yang disandikan dan mengandung pengertian didalam apa yang menjadi tujuanya. Serta mengandung pesan-pesan kefilsafatan yang sangat dalam maknanya. Dan biasanya hanya orang Jawa yang memahami Sastra Jawa saja yang tahu makna kata-kata dalam Candra Sengkala tersebut.
Apabila Candra Sengkala diatas dibaca dari belakang, maka mengartikan suatu bilangan 1610, yang menunjukkan angka tahun Çaka. Sedangkan makna kata di dalam Candra Sengkala itu merupakan pesan tersembunyi kepada rakyatnya, bahwasanya apabila Bangsa Indonesia ingin mencapai Gemah Ripah Loh Jinawi atau adil makmur dan tenteram, terlebih dahulu harus menyingkirkan angkara murkanya para penjajah Belanda.
Semenjak Pertapaan Mandala Giri Srandil ada, maksudnya sejak jaman purba, kawasanya belum pernah terjamah manusia. Dan Hyang Agung Heru Cokro adalah orang pertama yang berani memasuki pertapaan tersebut. Semenjak itu dan seterusnya, pertapaan itu bisa diziarahi oleh siapa saja dan tidak angker lagi, bahkan dapat melayani para pengalap berkah.
Itu semua karena Hyang Agung Heru Cokro, kecuali dikenal sebagai prajurit yang mempunyai kelebihan dalam olah pertempuran, beliau juga memiliki ilmu yang dapat memilahkan antara Gaib Hakiki dengan Gaib yang Mungkar. Gaib hakiki adalah gaib yang memiliki nilai Ketuhanan, sedangkankan gaib mungkar adalah gaibnya sebangsa setan dan jin. Dengan demikian Hyang Agung Heru Cokro berhasil mewariskan kegunaan Pertapaan Srandil kepada para penerusnya sampai sekarang.
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI ;
Ini merupakan nama dari gelar pada tokoh yang bernama DEWI NAWANG WULAN sewaktu masih menjabat sebagai bidadari. Diceritakan pada waktu sedang mandi bersama-sama dengan para bidadari yang lain di Sendang Sanjaya, pakaian jabatanya sebagai bidadari berhasil dicuri oleh seorang jejaka dari Tarub, yang lalai akan keluhuran budi pekertinya sehingga mencuri pakaian itu. Namun sebagian kalangan menganggap hal itu merupakan takdir Tuhan, untuk mengukir legenda yang sampai sekarang sebagian orang masih mempercayainya.
Jejaka dari Tarub yang kemudian disebut Jaka Tarub itu kisah legendanya menjadi berkembang dan sebagian masih ada yang menjadikan tradisi dari apa yang dipercaya telah dilakukan oleh Tokoh Jaka Tarub tadi. Di mana Tarub adalah sebuah kata yang artinya tempat persiapan pendirian suatu negara dan pemerintahan.
Dikatakan bahwa Tarub artinya suatu tempat persiapan sehari semalam sebelum didirikan suatu negara. Sehari semalam dalam arti tinggal sat langkah lagi dalam persiapan menuju pelaksanaan. Sudah barang tentu langkah-langkah sebelumnya sudah ditempuh dengan berbagai upaya. Sampai sekarang apabila Orang Jawa akan mengadakan khajatan mantu, sehari semalam sebelum pelaksanaan, dinamakan Tarub Mantri atau Midodareni. Tarub Mantri artinya Petugas atau Pejabat dari Desa Tarub, sedangkan Midodareni artinya kira-kira “membidadarikan” sang calon penganten perempuan.
Berhubung pakaian jabatan bidadari dari Dewi Nawang Wulan itu di sembunyikan oleh Jaka Tarub, maka dengan di paksa oleh kodrat, Dewi Nawang Wulan lalu di peristri oleh Jaka Tarub, yang nantinya Jaka Tarub ini menjadi Raja Mataram Hindu dengan gelar Prabu Sahanjaya yang juga disebut Prabu Sanjaya. Saha artinya disertai, Jaya artinya kekuatan.
Setelah melalui kurun waktu yang cukup lama, saatnya memastikan secara kebetulan Dewi Nawang Wulan menemukan tempat pakaian bidadarinya disembunyikan. Maka dengan serta merta dipakainya dan segera terbang ke alam bidadarinya. Akan tetapi sungguh malang nasibnya, kehadiranya di alam dewa-dewi tidak lagi bisa diterima. Karena sudah pernah berhubungan dengan manusia dengan diperistri oleh Jaka Tarub sampai dikaruniai anak bernama Nawangsih. Atas penolakan itu Sang Dewi bermaksud kembali ke Jaka Tarub, tetapi hal itu tidak mungkin karena penyandang title bidadari tak mungkin hidup didunia manusia. Maka selanjutnya Sang Dewi hanya dapat menempati alam di “antara” alam dewa dan manusia.
Selanjutnya secara legenda dipercaya bahwa Dewi Nawang Wulan diperbolehkan menguasai alam “ANTARA”, An artinya bukan dan Tara artinya makhluk bumi. Yang dimaksud adalah alam yang menjadi perantara atau menjembatani hubungan antara manusia dengan Gaibnya Tuhan. Alam antara luasnya tidak terukur secara dimensi. Sedang dibumi yang memiliki tempat yang sangat luas adalah antariksanya Samodra Selatan. Dari itulah Dewi Nawang Wulan dipercaya menjadi penguasa Samodra Selatan dan selanjutnya digelari nama Ratu Kidul atau Nyi Rara Kidul yang ceritanya menguasai dedemit Samodra Selatan.
Adapun anggapan dan pandangan yang secara kebetulan berbeda dengan anggapan penulis, itu hak masing-masing orang. Malah ada yang mengatakan bahwasanya Ratu Kidul terkadang meminta tumbal berupa manusia pada waktu-waktu tertentu, konon katanya Ratu Kidul sedang mempunyai khajatan dan sebagainya. Akan tetapi seandainya Ratu Kidul dianggap tokoh legenda yang sangar, dahsyat dan jahat karena sering meminta korban manusia yang mati tenggelam di Samodra Selatan, pandangan itu benar adanya. Dalam arti kebenaran secara fisik.
Kecuali dahsyat, kadang nyata sekali jahat dan tidak segan-segan minta korban nyawa manusia. Akan tetapi sudah barang tentu hanya kepada manusia yang kurang hati-hati atau dengan sangat terpaksa nyemplung Laut Kidul yang begitu dahsyat dan jahat gelombang, kedalaman dan badainya, lebih-lebih apabila kebetulan cuaca buruk. Siapa orangnya yang bisa bertahan hidup dengan menantang keganasan Samodra Selatan, apabila tanpa sarana yang memadai untuk turun dilaut itu. Jadi yang penulis maksud dengan pengertiankeganasan secara fisik adalah keganasan Laut Selatan itu sendiri yang memang laut terbesar didunia.
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA ;
Tokoh ini dikisahkan sebagai suami Nini Dewi Tunjung Sekar Sari. Dengan demikian dapatlah diterik kesimpulan bahwa tokoh ini tak lain adalah Jaka Tarub. Nama Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah gelar spiritual dari Jaka Tarub dimasa tuanya saat menjadi pendeta. Oleh karena itu Dewi Nawang Wulan menyesuaikan, lalu mempunyai title spiritual dengan sebutan Nini Dei Tunjung Sekar Sari.
Apabila ditarik makna kata demi kata; Kaki artinya lelaki tua atau dituakan, mempunyai ilmu yang bermanfaat. Ada juga yang menarik makna secara akronim, K artinya kawula A anggayuh, K artinya kagem dan I adalah ing pangreh atau aturan gaib. Dari penarikan makna agar sesuai yang diinginkan. Dianggap demikian juga boleh.
Tunggul artinya puncak atau pemuka, Sabda artinya perkataan yang mengandung kekuatan gaib, Jati artinya yang sesungguhnya, Daya artinya memberi kekuatan, Among artinya memelihara atau momong dalam pengertian sabar, rela dan menerimma didalam laku Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa dan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Adapun Raga artinya jasad ragawi yang memegang teguh sifat terpuji.
Selain itu Among Raga juga mengandung pengertian dapat menata perilaku raganya sendiri, didalam olah Yoga Pranawa. Yoga artinya laku atau ilmu tentang menyatunya insane dengan Khaliknya, sedangkan Pranawa artinya terang hati, didalam proses pengolahan ilmu kemasyarakatan sebagai modal didalam menjalankan tugas among. Ada tokoh pamomong didalam wayang yang disebut Semar, maka dari itulah kadang ada yang menganggap bahwa Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah Semar.
Menurut pemikiran penulis, sebagaimana yang pernah penulis uraikan dalam tulisan lain, bahwa Semar bukanlah tokoh personal, dalam arti bukan perwujudan suatu makhluk sebangsa manusia ataupun makhluk halus yang mempunyai keistimewaan tertentu. Kata atau istilah Semar adalah penokohansuatu predikat untuk seseorang yang mempunyai sifat pamomong. Maka dalam hal ini kecuali makna predikat, Semar juga mengandung makna sifat didalam predikat itu. Dari kedua makna ini maka kapan saja dan dimana saja ada tokoh Semar dalam arti kapan saja dan dimana saja ada tokoh yang mempunyai sifat pamomong.
Maka apabila ada seorang dukun yang pada waktu melayani pasienya lalu tertawa ngakak sambil menuding-nudingkan jarinya seperti layaknya Semar didalam pewayangan, sesungguh hal yang dilakukan itu sesuatu yang menggelikan. Walaupun dukun itu banyak penganutnya dan sebagian ada yang menganggap bahwa dukun itu konon kesinungan Semar, itu hanyalah isapan jempol belaka, apabila mengacu pada uraian diatas. Agaknya Sang Dukun pura-pura kesinungan Semar, dengan maksud untukmenumbuhkan citra dan menambah kharisma.
Apalagi bila kita membaca Kitab Purwa Carita didalam episode atau lakon Lahirnya Ismoyo. Syahdan saat itu di Kahyangan Alan-alang Kumitir tempat bertahtanya Sang Hyang Wenang, ada kejadian yang sangat aneh. Ada sebutir telur besar yang berputar-putar seperti mengelilingi orbit tertentu dan berjalan terus tanpa henti. Kemudian telur itu dapat ditangkap oleh Hyang Wenang selanjutnya dibanting. Maka pecah berantakan telur tersebut.
Namun aneh bin ajaib, telur yang pecah berantakan itu menjelma menjadi tiga Ksatria tampan. Oleh Hyang Wenang, ksatria pertama yang berasal dari cangkang telur, diberi nama Antaga dengan sebutan Hyang, pada waktu berada di alam kedewataan. Setelah turun ke bumi bernama Togog yang bertugas momong para ksatria dari seberang. Yang dimaksud adalah manusia yang sudah menyeberang dari kaidah keTuhanan. Antaga diturunkan kebumi karena dianggap bersalah pada waktu masih dialam kedewataan.
Ksatria kedua yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya. Yang karena kesombonganya berdua dengan Antaga mengadakan sayembara menelan gunung. Antaga yang tadinya tampan karena berupaya menelan gunung, sampai-sampai mulutnya menganga dan nyaris sobek bibirnya sampai kedua pipinya, namun tidak berhasil. Sedang Ismoyo berhasil menelan akan tetapi tidak berhasil memuntahkanya kembali, sesuai dengan aturan main yang disepakati. Akhirnya gunung itupun anjlog sampai kepantat dan berhenti sampai disitu.
Sayembara yang sebelumnya tidak diketahui oleh Hyang Wenang itu hanya atas kesepakatan antara Antaga dan Ismaya saja. Maka setelah mengetahui kesudahan dari kesudahan dari sayembara itu, keduanya dianggap tidak dewasa dalam arti dewa dalam rasa. Maksudnya belum dapat memaki perasaan sebagaimana para dewa. Untuk itu mereka berdua dipersalahkan dan diberi hukuman turun kebumi dan untuk Ismaya diberi nama Semar.
Sedang ksatria ketiga yang berasal dari kuning telur dan dianggap si bungsu diberi nama Manik Maya, yang dinobatkan menjadi Raja Para Dewa yang bertahta di Junggring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa dengan diberi gelar Hyang Jagad Giri Nata yang juga disebut Batara Guru. Disamping itu dikodratkan dapat mempunyai keturunan, sebab memang berasal dari kuning telur yang mengndung zat hidup. Sedangkan Antaga si cangkang dan Ismaya si putih tidak mempunyai keturunan.
Apabila ditarik pesan-pesan kefilsafatan dari lakon lahirnya Ismaya maka dapat dikatakan bahwa oknum dukun yang memproklamirkan dirinya sebagai yang kesinungan Semar, sangatlah tidak mungkin. Sebab secara nalar cerita, Semar tidak pernah dilahirkan, tidak pernah menitis dan yang lebih pentinguntuk diketahui Semar dan tokoh-tokoh pewayangan yang lain, hanyalah gambaran perilaku dan peri kehidupan manusia. Karena wayang artinya baying-bayang atau gambaran yang harus dikaji dan diamalkan isi ajaran yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakonya.
HYANG RATU RETNO DUMILAH ;
Tokoh ii dikisahkan sebagai penjaga “GEDONG CEPUK” yang koon berisi harta benda tak terhitung jumlahnya. Sebagai yang menjabat penunggu dan pembagi harta benda kerajaan, sepertinya tidak mungkin apabila dipilihkan tokoh dari kalangan luar istana. Diduga beliau adalah putrid Prabu Sanjaya dari istri Dewi Nawang Wulan, yang tidak lain adalah Dewi Nawangsih. Dimana sasana gaibnya berada di pojok barat laut di kaki Gunung Srandil, tepatnya pada batu yang tampak terbelah.
Ditempat inilah yang nyata-nyata mempunyai keajaiban secara fisik. Pada tahun delapan puluhan, saat penulis pertama kali ke Gunung Srandil batu belah itu masih sekitar setengah meter tingginya dan besarnya kira-kira seukuran bakul nasi. Akan tetapi sekarang (tahun 2000) tingginya sudah dua meter lebih dan besarnya melebihi gajah dewasa. Jadi batu yang sewajarnya ajeg besarnya, tidak demikian dengan batu belah itu.
Dari kenyataan itu dapat ditarik simpul nalar secara metafisik, sedangkan batu saja bisa tumbuh dan berkembang apalagi kehidupan manusia. Mungkin didalam itu semua mengandung pesan, barangsiapa ingin tumbuh kehidupanya, harus berupaya tanpa henti dan memohon kepada Tuhan untuk memperoleh ridhaNya dengan bersungguh-sungguh dan menumbuhkan daya kreatifitas secara ajeg berusaha.
HYANG LANGLANG BUWANA ;
Menurut perkiraan penulis, tokoh ini adalah Jaka Tarub, dimana pada waktu mempunyai rencana menjadi raja, melakukan pengembaraan keseluruh pelosok negeri dalam rangka konsolidasi dan penggalangan massa. Mulai dari rakyat sampai dengan pejabat semua dihubungi, agar apabila dia berhasil menjadi raja kelak, mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Karena pengembaraannya itulah beliau mendapat gelar Hyang Langlang Buwana. Dan sudah menjadi kebiasaan Orang Jawa, sering mempunyai banyak nama atau alias yang juga disebut Dasa Nama.
HYANG SUKMA SEJATI ;
Tokoh ini juga masih kerabat Prabu Sahanjaya, mungkin masih pamannya yang diberi tugas mengatur tatanan keagamaan dan olah spiritual lainya. Karena memang tokoh ini piawai didalam hal kasuksman atau ketuhanan, baik melalui jalur keagamaan maupun jalur budaya spiritual atau kebatinan.
Beliau terbiasa bertapa dan laku samadi dan terkenal tahan dan kuat di dalam olah tapa dan samadi, maka disebutkan beliau mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tokoh ini juga diserahi merawat benda-benda pusaka dan barang-barang spiritual milik kerajaan. Dan konon tokoh inilah yang mempunyai ilmu Pemecah Jasad. Diceritakan bahwa beliau dapat memecah jasadnya menjadi lima orang, maksudnya apabila dia melakukanya, akan tampaklah lima orang kembar.
HYANG WURUNG GALIH ;
Tokoh ini juga kerabat Kerajaan Mataram yang diserahi tugas menjaga keamanan wilayah ibu kota dan juga bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman keluarga raja, agar pengaruh-pengaruh jelek baik yang bersifat nyata ataupun maya tidak menimpa keluarga raja untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diingini, yang berasal dari wangsa lain, yang diduga akan merebut tahta. Maka boleh dikatakan bahwa tokoh ini ahli di bidang olah kanuragan atau ilmu kekebalan dan ilmu kebatinan yang lain.
Al kisah, Hyang Wurung Galih dikaruniai umur panjang, bahkan dia bisa bertahan hidup sampai jaman wali, dan sempat menjadi guru dali salah satu wali, yaitu Syekh Jakfar Sodiq yang disebut juga Sunan Kudus. Pada waktu menjadi guru dari Sunan Kudus, dia bernama Ki Selingsing yang juga bergelar Ki Ageng Pasir atau Hyang Kumala Yekti, yang konon makam beliau berada di pesisir Laut Kidul, dekat Gunung Srandil.
KI PAKU WAJA ;
Di sebelah selatan kaki Gunung Selok, ada gua kecil di tepi sungai yang bernama Goa Paku Waja. Dikatakan demikian karena merupakan petilasan pertapaan Ki Paku Waja. Tokoh ini tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Prabu Sahanjaya. Akan tetapi berkat kejelian pengamatan mata batin Sang Prabu, yang dapat melihat cahaya gaib yang bersinar kuat yang memancar keluar dari ubun-ubun Ki Paku Waja, yang sedang bersamadi di gua itu. Pancaran cahaya gaib itu adalah pertanda bahwa beliau berilmu tinggi dan mempunyai kewicaksanaan yang linuwih.
Beliau disebut Ki Paku Waja karena memang mempunyai sebuah paku yang terbuat dari baja yang ditancapkan di batu cadas pada goa tersebut sehingga mengeluarkan air yang menetes tiada henti dan mengandung karat.
Air dari cadas itu menetes terus menerus dan tertampung didalam lubang dengan ukuran kurang lebih 700 liter yang disebut Sendang Paku Waja.
Namun nama sebenarnya dari tokoh ini adalah Ki Guwarsa, yang konon berasal dari Hindia Belakang. Datang ke Jawa kira-kira 400 tahun sebelum masehi. Beliau berhasil bertahan hidup sampai menjelang berdirinya Kerajaan Mataram Kuna, karena memang dianugerahi umur panjang dan awet muda. Ceritanya dia bertapa di Goa Paku Waja beratus tahun lamanya.
Menurut kepercayaan, Ki Guwarsa adalah manusia yang mempunyai berbagai macam kelebihan, antara lain ilmu dibidang kenegaraan, hukum, ketuhanan, kesaktian, dan mampu menjadi guru para empu.
Al kisah, Prabu Sahanjaya beserta kerabat calon pejabat kerajaan yang sedang mempersiapkan pendirian Kerajaan Mataram, semuanya berguru kepada Ki Paku Waja. Dan dari dialah jaka Tarub dan rombonganya mendapatkan berbagai ilmu yang dapat digunakan sebagai modal pendirian sebuah kerajaan.
Lalu bagaimana halnya dengan Ki Paku Waja yang dimakamkan di Kaliwungu Kabupaten Kendal? Yang juga merupakan tokoh legendaris diwilayah itu. Mungkin dia ditokohkan sebagai mana Ki Paku Waja Selok, mungkin karena dianggap mempunyai berbagai ilmu linuwih pada jamanya. Hal semacam itu oleh Orang Jawa dinamakan nunggak semi dengan Ki Paku Waja. Yang artinya memiripkan diri dengan tokoh idolanya.
Menurut perhitungan jaman, antara Ki Paku Waja Gunung Selok dengan Ki Paku Waja Kaliwungu, tidak mungkin pernah bertemu, karena Ki Paku Waja Kaliwungu hidup pada jaman terakhir Wali Sanga, yang diperkirakan sekitar abad XVII.
Akan tetapi kemungkinan bisa saja terjadi, dapat bertemu dan berguru dengan Ki Selingsing, sesudah Syekh Jakfar Sadiq, dan nama Paku Waja untuk tokoh legendaris Kaliwungu, diberikan oleh Ki Selingsing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara Para Wali dan tokoh legendaris di Gunung Srandil, masih kalah tua dengan Ki paku Waja. Sampai pun dengan Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga, yang di percaya sebagai tokoh pamomong dengan memiliki sifat-sifat Semar. Karena yang di Srandil disebut sebagai kaki itu sebenarnya adalah Jaka Tarub.
HYANG CAKRA WANGSA atau Pak Cilik Cakra Wangsa
Mungkin tokoh ini paman dari Prabu Sahanjaya yang diberi jabatan sebagai Carik Negara atau menurut istilah sekarang mungkin Menteri Sekretaris Negara. Cakra Wangsa juga mempunyai keahlian memantau keberadan “Wahyu Keprabon” atau Wahyu Kerajaan. Hyang Cakra Wangsa mempunyai adik kandung yang juga mempunyai keahlian yang hampir sama dengan kakaknya, beliau adalah Hyang Sukmaya Rengga.
HYANG SUKMAYA RENGGA ;
Dua orang kakak beradik ini diberi jabatan hampir sama. Kalau Cakra Wangsa adalah Carik Nagara maka Sukmaya Rengga adalah Carik Jero atau kalau jaman sekarang mungkin adalah Menteri Sekretaris Kabinet. Kedua kakak beradik inilah yang paling akrab dengan Sang Prabu Sahanjaya, semenjak masih Jaka Tarub dalam semua kegiatanya. Lebih-lebih didalam mengupayakan serta memperoleh Wahyu Keprabon. Walaupun kedua orang ini sebagai pengikut namun apa yang menjadi petunjuk dan pengarahanya selalu dituruti oleh Jaka Tarub.
Sementara menjadi Carik Negara dan Carik Jero atau Carik Praja, kedua orang ini bernama Ki Sabdo Palon dan Ki Naya Genggong, yang petilasanya terletak di luar Bangunan Pertapan Jambe Lima. Sedang setelah menjadi Carik Negara dan Carik Praja, pada masa tuanya menjadi pendeta dan petilasanya kira-kira berada di Pertapan Jambe Lima.
HYANG LENGKUNG KUSUMA ;
Tokoh ini tak lain adalah putra sulung dari Hyang Sukmaya Rengga. Pada masa hidupnya mempunyai keahlian dibidang tata negara dan seni budaya, serta menguasai ilmu hukum kenegaraan dan terkenal pandai berbicara dan bijaksana.
HYANG LENGKUNG SWIRI ;
Beliau ini adalah adik kandung Hyang Lengkung Kusuma yang berarti anak kedua dari Hyang Sukmaya Rengga. Tokoh ini mempunyai keahlian yang sangat mirip dengan kakak kandungnya.
HYANG WISNU MURTI ;
Tokoh ini adalah anak bungsu dari Hyang Sukmaya Rengga yang juga mempunyai keahlian yang mirip dengan kedua kakaknya. Hanya saja si bungsu ini lebih menonjol dan lebih pintar serta bijak, bila dibandingkan dengan kedua kakaknya. Maka lalu diberi jabatan sebagai Pangarsa atau Ketua Dewan Sapta Prabu atau apabila disebut dengan istilah sekarang mungkin mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung, yang bertugas memberi nasihat kepada raja dan beranggotakan tujuh orang.
Para putra dari Hyang Sukmaya Rengga, ketiga-tiganya menduduki sasana gaib di Pertapan Jambe Pitu, kira-kira letaknya didalam lingkungan pertapaan. Adapun yang menduduki sasana gaib diluar Pertapan Jambe Pitu adalah Hyang Jepen.
HYANG JEPEN ;
Pada masa hidupnya tokoh ini mempunyai keahlian dibidang pertanian, diplomasi dan piawai mencari akal untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Kesukaanya mengembara, maka dari itulah beliau sangat jarang berada di dalam negeri sendiri. dan setelah tua dan menjadi pendeta, digambarkan tempat pertapaanya berada diluar bangunanya. Tepatnya diujung selatan bangunan Pertapan Jambe Pitu.
Selain dikenal sebagai tokoh yang nganeh-anehi atau eksentrik, beliau sering diminta bantuan oleh negara asing untuk mengatasi masalah kenegaraan. Selain itu, beliau sangat piawai menjadi penengah dan pendamai apabila ada beberapa negara yang sedang berselisih.
Mungkin apabila beliau hidup dijaman sekarang, pantas menduduki jabatan di PBB atau forum internasional lainya atau pantas menjadi penasihat antar kedutaan besar. Sebenarnyalah tokoh ini yang pantas menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Sapta Prabu. Akan tetapi karena beliau jarang sekali berada dinegaranya sendiri, maka jabatan itu lalu diserahkan kepada Hyang Wisnu Murti.
Keenam dari tujuh anggota Dewan Sapta Prabu adalah Hyang Wisnu Murti, Hyang Lengkung Swiri, Hyang Lengkung Kusuma, Hyang Sukmaya Rengga, Hyang Cakra Wangsa, Hyang Jepen dan yang ketujuh adalah Ibu Suci Rahayu.
IBU SUCI RAHAYU ;
Yang tidak lain adalah Ibu Suri dan menduduki sasana gaib di Goa Suci Rahayu, tepatnya didepan pintu goa. Karena dari tujuh orang anggota Dewan Sapta Prabu hanya beliau yang berjenis kelamin perempuan, maka dapatlah diduga yang menjadi keahlianya. Beliau adalah wanita sejati yang piawai mencari jalan keluar atas masalah kenegaraan, yang lebih khusus lagi masalah kewanitaan. Sedangkan yang menduduki sasana gaib di dalam Goa Suci Rahayu adalah Ibu Ratu Sri Kencana Wati.
IBU RATU SRI KENCANA WATI ;
Beliau ini tak lain adalah Putri Raja Sanjaya yang dilanda kecewa berat, karena beliau dilahirkan sebagai wanita. Dia kecewa karena merasa terlahir tidak memenuhi harapan ayahandanya, yang senantiasa terlahir anak laki-laki, dengan harapan kelak dapat menggantikan tahta dari ayahnya. Ibu Ratu Sri Kencana Wati ini lahir dari istri raja sebagai permaisuri yang bukan Dewi Nawang Wulan.
Atas kekecewaan dan dianggap sangat mengecewakan ayahnya itulah dia lalu bersumpah akan menjalani tapa tidur sampai mati didalam Goa Suci Rahayu, dengan ditunggui oleh Ibu Suri atau Ibu Suci Rahayu. Sampai sekarang petilasnya dapat diketemukan berupa sebuah batu besar yang bentuknya mirip orang dalam posisi tidur terlentang membujur kearah utara yang terletak didalam Goa Suci Rahayu.
DI PERTAPAAN ADA APANYA ;
Kebanyakan bagi yang sudah pernah berziarah ataupun laku lainya di pertapaan-pertapaan atau petilasan-petilasan, didalam batin mereka ada semacam pertanyaan seperti tertulis pada sub judul diatas. Pertanyaan tersebut sebetulnya wajib deberi jawaban, kalau bisa dengan jawaban yang masuk akal dan jelas apabila tidak bisa paling tidak harus ada keterangan yang mendekati penalaran yang mapan.
Sebab apabila mengikuti kegiatan wisata spiritual, hanya sekedar ikut-ikutan saja, menurut saja dan sekedar mengekor kepada yang sudah pernah kesana atau kepada juru kunci, diawali dengan serta merta saja hanya sekedar tertarik karena cerita orang atau sekedar terpengaruh ajakan teman, kenalan atau famili yang konon sudah berhasil memperoleh ketenangan hidup, itu semua rasanya kurang afdol.
Padahal pertapaan biasanya tempatnya jauh dari tempat tinggal masing-masing maka sudah barang tentu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan menghabiskan waktu serta tenaga. Maka ditengah proses ritual, mengorbankan uang, waktu dan tenaga serta menimbulkan kantuk.
Menurut pengalaman penulis, pertapan, petilasan dan tempat peziarahan lain yang dianggap keramat, biasanya mempunyai nilai lebih, berupa:
Tempatnya Asri
Terkesan agak sepi, udaranya segar mengenakkan dan layak dipergunakan untuk wisata alam maupun budaya. Karena pemandangan alamnya biasanya indah dan alami. Keadaan yang seperti itu biasanya menenangkan hati dan menentramkan batin.
Padahal setiap orang membutuhkan hiburan yang menimbulkan rasa senang, damai dan tentram, agar hilang rasa keruwetan-keruwetan yang melelahkan dalam kegiatan sehari-hari yang membosankan yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan pikiran.
Maka diharapkan setelah melakukan wisata, apalagi wisata spiritual, minimal beban pikiran menjadi lebih ringan. Apabila beban pikiran sudah terasa ringan, pada giliranya dapat memulai segala rencana dan melangkah pada pelbagai kegiatan yang menuntut prakarsa, tenaga dan kesiapan batin, agar dapat membuat prestasi yang selama ini belum bisa diraih, beserta kewajiban yang akan disandang, semua itu harus dilaksanakan dengan penuh semangat dan percaya diri.
Keramah Tamahan
Orang-orang yang mengadakan lelaku dan para peziarah lainya, sikapnya pada sesama peziarah, sepertinya ada semacam pengikat kebersamaan yang erat, yang memberi kesan rasa menyatu didalam laku prihatin, satu didalam niat dan derita hati. Diantara mereka dapat berkomunikasi dengan penuh keakraban bagaikan kenalan yang sudah lama bergaul. Tak segan-segan diantara mereka memberikan petunjuk dan sumbang saran untuk mengatasi kesulitan hidup. Komunikasi dan pembicaraan berlangsung dengan keramah-tamahan yang akrab. Malah didalam kegiatan pertapaan atau semacamnya tidak menutup kemungkinan dapat bertemu kenalan yang dapat memberikan petunjuk mengatasi permasalahan-permasalahan kita ataupun sebaliknya.
Kebanyakan dari orang-orang yang sering merambah pertapaan, jarang ada yang memiliki sikap yang terkesan sangar dan angker. Sebaliknya sikap malah selalu akrab dan bersahabat, sopan, murah senyum, mudah memberikan pertolongan dengan penuh rasa asah, asih dan asuh. Dari rasa asah dapat diperoleh hasil dari tukar pengalaman dan wawasan. Dari rasa asih dpat membuka kodrat kesucian manusia yang cenderung saling mengasihi. Dan dari rasa asuh sama-sama bisa memberi dan menerima rasa aman dan mengamankan sesamanya.
Kesan Sakral dan Spiritual
Kesan sakral dan spiritual selalu dirasakan dan dialami ditempat peziarahan, karena memang kesanya terasa angker dan menakutkan. Dengan demikian cara melakukan kegiatan spiritual sudah barang tentu diperlukan pemaksaan diri dengan khusuk dan hening yang sungguh-sungguh. Sebab sepertinya sudah menjadi kodrat atau kesan psikologis, manakala seseorang dirundung rasa takut dan ngeri, orang tersebut akan patuh dan bersungguh-sungguh dalam menjalani suatu perintah atau tuntunan tertentu.
Dengan kesan sakral dan spiritual pada akhirnya yang dirasakan dihayati hanyalah keberadaan Tuhanlah tempat meminta pertolongan. Suasana demikian itu apabila ditambah dengan keadaan yang sepi dan menentramkan seperti dikatakan diatas, rasa perasaan ini sepertinya selalu dekat dengan Tuhan. Dan dapatlah dipedomani bahwasanya mendekat dan “melihat” keberadaan Tuhan seharusnyalah dengan ketenngan hati yang jauh dari dengki.
Mengurangi Kebiasaan
Dipertapaan tidak seperti di tempat tinggalnya sendiri. bagi yang biasanya dirumah selalu dilayani, dipertapaan terpaksa harus mengurus diri-sendiri. yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berkecukupan, dipertapan fasilitasnya serba terbatas. Yang biasanya selalu ingin cepat dan terburu-buru disitu terpaksa tidak dapat bertindak egois, karena harus menghormati peziarah lain, misalnya diwarung, pelayanan mandi, cuci dan kakus harus antri dan sebagainya. Dengan keadaan demikian diharapkan akan menimbulkan kesadaran bahwasanya manusia sama derajatnya dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kesucian pikiran, perkataan dan perbuatannya kepada Tuhan, sesama dan alam sekitarnya.
Ada Daya Lebih
Daya lebih yang dimaksud apabila disebut dengan bahasa sekarang adalah daya yang berasal dari gelombang getaran elektromagnet dari badan seseorang atau gampangnya dinamakan bio elektrisitet. Getaran gelombang ini timbul karena laku dari para tokoh legenda dimasa lalu, ketika melakukan tapa, samadi dan melakukan ritual lainya, yang menggunakan daya hening cipta tingkat tinggi, hingga mampu mengeluarkan energi gelombang kekuatan prana, dengan menggunakan daya alam beserta daya pribadinya yang saling mengisi, maka terbentuklah kekuatan supranatural yang bersirkulasi secara simultan antara manusia, alam dan gaibnya Tuhan.
Dari proses ini menimbulkan daya berupa getaran energi yang karena proses sirkulasi tadi, kemudian energi tersebut menempel pada tempat dimana kegiatan ritual itu dilakukan. Dan penempelan daya itu tidak akan hilang selamanya, berdasarkan hukum alam bahwasanya zat dan energi tidak dapat dimusnahkan, biasanya hanya bersirkulasi melalui proses sikel dan daur ulang.
Berdasarkan keterangan diatas maka antara pertapaan dan petilasan, kiranya yang banyak mengandung tilas daya lebih adalah petilasan. Namun secara efek psikologis, lebih baik yang berupa makam, karena terkesan disanalah bersemayam jasad dari tokoh legenda. Dari itulah petilasan yang sebenarnya bukanlah suatu makam atas jasad tokoh tertentu, lalu direka-reka sepertinya makam sungguhan. Seperti halnya tokoh Syekh Maulana Maghribi yang makamnya ada dimana-mana.
Pada akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang dapat mengajarkan pembudidayaan getaran rasa sejati berupa perguruan ilmu kontak persilatan tenaga dalam, senam tenaga batin dan sebagainya. Walaupun bobot dan kualitasnya belum tentu dapat menyamai dengan daya yang dihasilkan oleh para tokoh tempo dulu, namun kiranya hal itu dapat dijadikan bukti bahwa getaran rasa sejati dapat dibudidayakan oleh siapa saja yang mau, terlepas untuk apa hal tersebut dimanfaatkan.
Tata Cara Ziarah Ke Makam……………..
Di depan pintu pertapan:
Bismillaahir rohmanir rokhim…..atau …“Hong amit tabik sekalian pasang keparengo marak sowan ing ngarsanipun………….”
Meletakkan sarana (bunga dsb.):
“Keparengo putro caos bekti, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”
Dupa/kemenyan:
Bismillaahir rohmanir rokhim……..atau……..“Hong wilahing jatimas tumono sidam sekaring bawono langgeng prapenku selo petak dupoku dupo mulyo guyuhno kamulyan ingsun, tak jaluk rilamu siro sun obong kukusmu mumbul ngawiyat ing ngarsaning GUSTI INGKANG MOHO SUCI tumurun dumateng……………”
Bakar dupa/kemenyan (sebelum akan dibakar):
Bismillaahir rohmanir rokhim ….atau ….“Hong hagni suci sucekno kamulyan ingsun, mulyakno kasucen ingsun, urupno uriping kawicaksanan ingsun.”
Ngesti:
Bismillaahir rohmanir rokhim………atau…….“Hong sumujud ngarso dalem Gusti Ingkang Moho Suci, sumungkem ngarso dalem……………… Sembah sedoyo panelongso dalah panjangka ingsun nyuwun tambahing berkah pengayoman. Sedoyo panelongso nyuwun usodho, sedoyo panjongko nyuwun sembodo. Berkah nyuwun limintuning rejeki ingkang agung rahayu, pengayoman nyuwun slamet sak rakyat sak bandane. Kerso saking kuasane:”
KUNCI
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito nyuwun wicaksono nyuwun panguwoso kangge tumindake Satrio Sejati. Kulo nyuwun kangge hanyirna’ake tumindak ingkang luput.”
PAWELING
“Siji-siji Loro-loro Telu-telonono,
Siji sekti loro dadi telu pandito,
Siji wahayu loro gat’rahino telu rejeki .”
SINGKIR
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito hananiro hananingsun wujudiro wujudingsun, siro………………(reruwet rubedo) sirno mati dening Satrio/Wanito Sejati ketiban iduku putih sirno layu dening……………(Asma Sejati)”
MIJIL
“………..(Asma Sejati) jeneng siro mijilo, panjenengan ingsun kagungan karso arso…………….(niat pribadi).”
Ngalap berkah:
“Gusti Hyang keparengo putro ngalap berkah (*kangge mberkahi) ngukup pengayoman (*kangge ngayomi).”
*.Tambahan untuk yang telah Hasamun Pinandito
Ngukup dupa:
“Purbaning Gusti wasesaning Sari”
“Purbaning Sari wasesaning Gusti”
“Purbo wasesaning Satrio/Wanito Sejati”
Lalu bacalah kalimah di bawah ini sebagai penutupnya ;
Palungguh :
(Asma Sejati) lungguho ingka prayugo. Ragane arso tentrem. Sun sangoni basuki. Kalis ing sambikolo. Kanti teguh rahayu selamet.”…..3.x….
Pamit:
“Gusti Hyang cekap atur kawulo berkah kulo tampi pengayoman kulo suwun. Keparengo madal pasilan paduko, nyuwun tansah tinuntun, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”
-ooo-
13. BAB ; Arsip untuk ‘MITOLOGI KANJENG RATU KIDUL’ Kategori.
Mitologi Kanjeng Ratu Kidul.
Mitos Ratu Kidul dadi pancadan paprentahan ing karaton
Kacihna majune teknologi komunikasi lan informasi nuwuhake budaya anyar lan nggawe ”rusake” kabudayan Jawa, ananging wong Jawa tetep ngugemi landhesan urip kang gegayutan kalawan anane titah ora kasat mata.
Landhesan urip kang isih ngugemi anane titah ora kasat mata iki raket gandheng cenenge kalawan kepriye sejatine wong Jawa urip ing donya. Lire, kapercayane wong Jawa ing babagan urip lang panguripan ora bisa uwal saka perangan jagad cilik (mikrokosmos) lan jagad gedhe (makrokosmos), keplase uga gegayutan kalawan alam kasat mata lan alam datan kasat mata. Salah sijine kapercayan kang dikarepake yaiku wong Jawa, mligine kang urip ing tlatah Yogyakarta lan Solo, nganggep lan yakin yen samodra kidul iku awujud karaton kang dikuwasani dening Kangjeng Ratu Kidul. Tumrap wong Jawa kaprah, lire ora duwe pangerten jero babagan filosofi kebatinan Jawa lan uga adoh saka karaton, Kangjeng Ratu Kidul dianggep sawijining titah badan alus kang wujude kayadene manungsa lan nglenggahi dampar keprabon, nyekel pengauwasa ing segara kidul. Lan isih ana panganggep liya kang wusanane mbabar dadi mitos Kangjeng Ratu Kidul.
Ing buku Mitologi Kanjeng Ratu Kidul, anggitane Y Argo Twikromo, weton Nidia Pustaka, 2006, dijlentrehake filosofi-filosofi kang gegayutan kalawan mitos Kangjeng Ratu Kidul. Miturut andharan ing buku iki, mitologi Kangjeng Ratu Kidul pranyata digunakake kanggo pancadan tumrap panguwasa Karaton Kasultanan Ngayogyakarta (lan uga Karaton Surakarta-red) nalika nglakokake paprentahan.
Wong Jawa nganggep manawa donya iku isine ana kang asipat wadag, pisik, bisa didulu mata lan donya kang asipat datan kasat mata, alus, ora bisa didulu mata wantah. Ananging ing donyane wong Jawa, kalorone kang asipat kasat mata lan datan kasat mata iku nyawiji dadi siji. Ing nyawijine ngalam kalorone iku kabeh sesambungan kang asipat antarane siji lan sijine padha-padha mbutuhake lan dibutuhake. Wusanane kabeh nggawe alam dadi tumata. Sesambungane manungsa ing alam kodrati (alam nyata, alam kasat mata) ora dibedakake kalawan titah ing alam adikodrati (alam supranatural, alam datan kasat mata).
Yen dipindeng kanthi srana kaca mata antropologis, mitos Kangjeng Ratu Kidul bisa dianggep minangka cultural universal kang disengkuyung dening sawetara laku budaya utawa cultural activities, kayata labuhan, crita rakyat utawa crita Panembahan Senopati, kegiyatan sosial lan kegiatan lelandhesan keyakinan agama lan maneka laku utawa ritual tradhisi liyane. Babagan iku nuduhake lan aweh tuntunan yen yektine kepriye wong Jawa mindeng mitologi Kangjeng Ratu Kidul ora bisa dipisahake saka laku ritual kang ndhasari utawa dadi panjurunge. Laku-laku kang lelandhesan keyakinan ajaran agama kang gegayutan kalawan Kangjeng Ratu Kidul, mujudake gegambaran alam pikiran lan kapercayane wong Jawa.
Adhedhasar apa kang diugemi wong Jawa, mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang urip ing ngalam pikiran lan kapercayan Jawa, digunakake kanggo sesambungan kalawan alam supranatural. Pangajabe supaya donya iki tetep harmonis, imbang lan tansah kalinton kaslametan lan karahayon. Ing bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ora mung asipat legenda. Tumrap kapercayane saperangan gedhe warga bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ana tenan. Ananging karana anane alam supranatural tumrap wong Jawa ora bisa dijlentrehake, kaprah sinebut suwung awang-awung, ndadekake anane laku-laku kang lelandhesan keyakinan agama kang ancase ngurmati panguwasa alam supranatural, kayadene Kangjeng Ratu Kidul. Ana candhake.
Keyakinan supranatural sarana ngupadi salarase donya saisine
Mitologi Kangjeng Ratu Kidul nuwuhake kapercayan tumrap wong Jawa yen ing segara utawa samodra kidul ana panguwasa kang asipat supranatural, datan kasat mata.
Kapercayan iku bisa didulu saka laku-laku kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni dening Karaton Ngayogyakarta (apadene Karaton Surakarta) kang ditujokake marang Kangjeng Ratu Kidul. Kanthi laku ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang biyasane mapan ing Parangkusuma iku, sacara mistis Karaton bisa mujudake imbang lan tentreme donya. Yektine, tumrap Karaton Ngayogyakarta (lan Karaton Surakarta) ora bakal bisa netepi kuwajibane yen durung bisa mujudake rasa tentrem ing batin tumrap kabeh rakyat. Rasa tentrem ing batin iku bisa kawujud kanthi laku nyedhak marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Kanthi mangkono, maneka rupa laku utawa ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama iku wusanane minangka srana kanggo nggayuh katentreman lan keslametan praja sakrakyate. Ing telenging pikir wong Jawa, raja utawa ratu duwe jejibahan ngayomi rakyate. Karana iku, raja ing Karaton Ngayogyakarta lan Surakarta tansah ngugemi laku kang asipat nyedhak kalawan daya kekuwatan supranatural. Ing bebrayan Jawa, raja iku nyangga godhan yang tanpa wates, mligine kang gegayutan kalawan panguwasane. Sanggan godhan kang asipat tanpa wates iku uga ngandhut tanggung jawab tunggal kang amba kanggo njaga murih donya tetep tumata.
Karana iku, raja kudu pinunjul. Lan tumrap wong Jawa, raja iku dianggep dadi siji-sijine paraga kang bisa mbangun lan njaga sesambungan antarane alam kodrati (kasat mata) lan alam adikodrati (datan kasat mata). Iki kang dadi pawadan ing budaya Jawa raja utawa ratu iku dianggep duwe panguwasa kang tanpa wates lan panguwasane iku ora bisa diatur kanthi cara-cara kang kaprah ing ngalam donya iki. Rakyat dhewe uga duwe pangarep-arep raja utawa ratu bisa ngrampungi sakabehing rubeda kang tuwuh saka alam kanthi srana kekuwatan gaib kang diduweni. Upaya ngugemi mitologi Kangjeng Ratu Kidul iki pranyata ora mung dilakoni dening raja utawa sentana dalem ing Karaton.
Para warga bebrayan ing tlatah Yogyakarta (lan Solo) uga duwe cara dhewe kanggo ngugemi keyakinan babagan Kangjeng Ratu Kidul iki. Mitologi Kangjeng Ratu Kidul dadi sarana kanggo tumindak lan nyawiji marang alam. Iku amarga saperangan gedhe warga bebrayan duwe keyakinan religius kang padha, magepokan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul. Laku lelandhesan keyakinan agama gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang dilakoni warga bebrayan racake ora padha kalawan kang dilakoni pehak Karaton. Ananging kalorone bisa lumaku bareng lan nyawiji kanggo mujudake katentreman ing donya.
Lan ing kabudayane wong Jawa (ing dhudhahan buku iki ateges tlatah Yogyakarta lan Solo-red) Karaton menjila dadi punjere kosmis kang asipat keramat. Sacara mistis dununge Karaton duwe gandheng ceneng rapet kalawan karaton-karaton asipat supranatural kang ana ing sakupenge. Karaton-karaton asipat supranatural iku kayadene Karaton Segara Kidul, Karaton Merapi, Kayangan nDlepih lan Karaton Lawu. Karaton-karaton iku mujudake lima karaton kang asipat keramat lan tansah sesambungan antarane siji lan sijine.
Kalimane bisa nyawiji lan mbangun tatanan donya kang tumata. Sesambungan antarane karaton-karaton iku asipat kayadene kulawarga lan sakabat. Wangunan kapercayan bebrayan Jawa kang bisa uga ditegesi agama Jawa, sejatine luwih ngeboti babagan katentreman batin, jumbuhe ngalam kodrati lan adikodrati lan imbang antarane kabeh isining ngalam. Pawadan iki, laku-laku ritual lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul digunakake kanggo ngupadi rasa tentrem, jumbuh lan salarase kabeh isining ngalam lan imbange donya saisine………
14. BAB ; PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL
Cerita Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam
Babad Tanah Jawi (the Story of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam
bahasa Indonesia yang puitis merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung
kultur-kultur Islam lokal, pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.
KINANTHI
(1) Alon tindak
kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar
ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.
Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama
mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang
Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.
(2) Mangke dyah
warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha
Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.
Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat
menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti
Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.
(3) Sakpraptanira
kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging
kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.
Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi
melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu
menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.
(4) Mring
warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen
narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.
Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam
hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang
keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.
(5) Udyana asri
dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre
(k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,
Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno,
jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa,
ranjang terlempar ke samudera.
(6) Dhawah teleng
samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung
retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.
Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh
mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah,
dan bermacam-macam batu jamrud.
(7) De jubine kang
bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih,
sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.
Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas
putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran
(8) Tinon renyep
ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gebyaireng
renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.
Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat
bercahaya yang sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari
terlihat meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.
(9) Gapurane
geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah
soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.
Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat
indah, memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang,
siang dan malam menjadi sama.
(10) Sigeg
rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan
kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.
Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi
tersebut sang senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan
Mintuno, mereka saling membuka hati.
(11) Yen tinon
warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya
murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.
Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi
Habsari di surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat
tingkah lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.
(12) Kadigbyaning
warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil
pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.
Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali
sehari, kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar
musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.
(13) Yen sedhawuh
jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna
wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.
Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya
meninggal, ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari,
seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.
(14) Lamun bedhug
kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar
pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.
Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari
terbenam seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali
sehari, ketika malam semakin bertambah cantik.
(15) Lawan sinung
sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala putra
pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.
Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk
halus, mampu berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga
berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.
(16) Sinten
ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya,
mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.
Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa
manusia di Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul
saja, mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.
(17) Ngardi Mrapi
Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut ngarga
miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.
Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja
Pace dan Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan
Ratu Kuwu semua hadir.
(18) Wringinpitu
Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya
wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.
7 Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin
putih, di tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan
tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.
(19) Wrata kang
neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among Galuh
kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.
Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua
memberi pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan,
menghadapi Krendhawahana aji.
(20) Wuwusen malih
Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah,
sangkep busana sarwa di.
Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang
senopati, lengkap dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang
melayani para gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.
(21) Bedhaya
sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa,
wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.
Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang
berbunyi nyaring, yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya
menawan hati, bermacam-macam gerakan penari.
(22) Senapati gawok
ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga, wilet
rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.
Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan
yang gemulai, sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan
hati, sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.
(23) Tan lyan kang
pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang dyah punjul ing warni,
kenyataning waranggana, sorote ngemas sinangling.
Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga
hanya kepada Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih
unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.
(24) Wuyunging
driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala, wau Risang Senapati, enget yen
dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.
Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus
mengumbar pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak
berhenti pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu
Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk
halus/jin.
(25) Rianos jroning
kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241) nggenira mrih
mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.
Dalam perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa
penasaran, agar berhasil tujuan, (k.241) untuk menguasai bumi, akan tetapi sang
Ratu sudah tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.
(26) Ngunandika
dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora
kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.
Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya
tidak perlu menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi
laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.
(27) De wis dadi
ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan, temah arsa
ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.
Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri
selamanya, menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku
mencoba, keangkuhannya menjadi-jadi.
(28) Wong agunge
ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar mesem
sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.
Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan
(suka tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan
mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.
(29) Duk liniring
mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh wong ayu
karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,
Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak
menentu perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan,
sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,
(30) Pesareyanta
durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen
kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”
Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat
tidurmu itu”, Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya
terserah Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”
(31) Wusira gya
jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon
lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok
ngeksi.
Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi,
datang ke tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas
permadani yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,
(32) Warneng
pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya,
“Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”
Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa
seperti syurga berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini
lah wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang
memiliki,”
(33) Kakung mesem
nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing yektine
angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.
Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum,
“Kasihan sekali kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi
semua istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.
(34) Pepajangan
sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes
lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.
Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat
tidur serba indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik,
pandai sekali merangkainya.
(35) Baya sungkan
yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung
sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.
Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah
melihat-lihat istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki,
jika ada yang memiliki pria baik
(36) Wanodyane
dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane
bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.
Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik,
yang setia kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai
anak banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.
(37) Dyah merang
lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak
pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngrego-(k.243)
ni.
Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum
berbicara halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami,
enak sendirian saja, tidak ada yang mengganggu (k.243).
(38) Eca sare
glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng
ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.
Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar
bersama guling, dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat
tersenyum, Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.
(39) Mung gawoke
Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya rena
wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.
Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir
pantai, apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah
digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.
(40) Jeng Ratu
kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya, mlerok
mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.
Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki
itu dicubit perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati
senopati, selanjutnya berbicara lembut.
(41) ”Ya sun pajar
mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang gerah, alama tan
antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.
“Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke
samudera karena sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa
syaratnya obat sakit asmara.
(42) Mider ing rat
nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah,
pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.”
Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi
penawar sakit tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa
menyembuhkan sakit asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”
(43) Sang dyah
maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana
usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir
Sang Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi
selalu berani dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda
ini hanya berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.
(44) Minta tamba
ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru darmi,
wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”
Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit,
sakitnya karena berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama
guru, sudah dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”
(45) Wusana dyah
matur kakung, “Kirang punapa sang (k.244) pekik, kang pilenggah ing Mataram,
lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah
galih.
Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah
sang pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak
bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.
(46) Yekti amba
dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe
nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.
Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan,
tidak mungkin menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para
raja-raja, yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.
(47) Kang
pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula
estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.
Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang
cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai,
jika dibutuhkan secara pasti.
(48) De selamen
lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu
tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.
Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami,
yang berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai
terhadap pria, karena terlilit kain.
(49) Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among
anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng
sang dyah, kemanisan dennya angling.
Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk
berbakti kepada Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi
sambil menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.
(50) Saya tan
deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira, “Dhuh
Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.
Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan
Dewi dipegang pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran
nanti sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan
saya.
(51) Asta kelor
driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram, mangsi
saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun runtik.
Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan
mengganti, meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”,
Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.
(52) Nggon sun
nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun u-(k.245) ning sotyanira”,
dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene
keksi.
Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima,
hanya mau melihat ( k.245) cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda
hanya mau melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.
(53) Yekti dora
arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter ing
galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”
Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang
jemari, pasti berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji
cinta kasih yang pasti.”
(54) Kakung mesem
sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kengis, esemnya mranani
priya, Senapati trenyuh galih.
Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya
merdu menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya
terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.
(55) Narpaning
dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa,
labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,
Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan
senopati, sang Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati,
terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.
(56) Lan titisnya
Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara, karenan
mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.
Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati
tanpa halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan,
seperti boneka golek gadhing.
(57) Binekta
manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa,
datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup
gadhing.
Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain
selendang, senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti
bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.
(58) Jim prayangan
miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor raras,
kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate
(k.246) lalis.
Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip,
kepada gusti yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena
tajam, mengadu merintih (k.246).
(59) Kagyat
katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam,
ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.
Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah
membanjiri di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau
semerbak harum, rusaknya pura samudera.
(60) Dyah
ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal,
sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah
kalih.
Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya
hilang, Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya
pelan-pelan, lalu keduanya duduk.
(61) Dyah sareyan
pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah
ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.
Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya
diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.
(62) Cinendhak
rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng
jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.
Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh
hari, Senopati tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan
Mataram.
(63) Kakung nabda
winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun kondur
mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,
Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya
semoga kamu bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku
sudah ditunggu-tunggu,
(64) Marang
wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa,
yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.
Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi
mendengarkan sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya,
menangis sedih, Rembulan menjadi menangis deras.
(65) Dereng dugi
onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono
(k.247) rasanya, wong tresna dentimbangi.
Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang
dicintai, perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “
Seperti ini lah (k. 247) rasanya mencintai yang dibandingkan.
(66) Kaya timbang
tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi
kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang retna di.
Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi,
menuruti semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati,
atas tangisan sang Ratna.
(67) Lon ngudhar
paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban, binekta
mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.
Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas,
Dewi disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil
dinyanyikan oleh Senopati.
M I J I L
(1) “Dhuh mas
mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger,
marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.
“Dhuh emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya,
jika lupa kepadamu, dari dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.
(2) Nadyan ingsun
pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya Angger, ingkang dadi teleng ingsun kang sih, mung
andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.
Walaupun saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik,
besar cintaku tidak lain adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta,
hanya dirimu adinda Gusti, kepadamu saya tergila-gila.
(3)
Malawija neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang
timbangana Angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan
sira masku,
Kenapa saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan,
hanya kakanda pula daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum
mendapatkan obat, tidak lain hanya lah kamu emasku,
(4) Ambirata
rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene,
tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”
Yang bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap
menunggu-nunggu, walaupun harus berjalan jauh sampai disini, tidak ingin
sembunyi berusaha, tetapi bagaimana dengan rakyatku Dinda.”
(5) Narpaning dyah
tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, (k.248)
dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun
tumrun.”
Hati Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang
manis minta dimengerti, (k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada
senopati berkata pelan, “Pangeran saya minta turun.”
(6) Sing ngembanan
wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur mring
kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan
kakung.
Sang Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk
diatas bunga, kembali Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon
sungguh-sungguh dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.
(7) Datan langkung
panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe,
tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras pinangku.
Tidak lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan
berubah sampai anak cucu nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung
memeluk, Dewi dipangku.
(8) “Ya mas Mirah
aja sumlang galih, sok bisaa klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge,
“Nggih Pangeran yen wus mangguh westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun
tulung.”
“Ya emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan
terjadi”, Dewi berbicara lagi kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi
sungkan nanti menghadapi perang, segera saya tolong.”
(9) Magut sang
dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng napase,
anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.
Kepala Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan,
“Sedekapkan tanganmu dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya
pasti datang, membawa pasukan mahluk halus.
(10) Lawan amba
atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine,
dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.
Bersama saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul,
Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat pengaruh besar juga, panjang umur pasti,
kekuatan tumbuh pesat.
(11) Lawan Lisah
Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya
nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.
Dengan minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi
padaku”, kedua hal itu sudah diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh
senopati, bertambah senang hatinya, mendapat sarana untuk perang.
(12) Malih sang
dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep
mring lelembut sakeh, Senapati wus
kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.
Kembali sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari
keraton (k. 249), yang tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah
menerima wangsit, selesainya Dewi memeluk erat Senopati.
(13) “Dhuh Pangeran
yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran
polah mami, yen paduka kondur.”
“Dhuh Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta
jangan cepat-cepat pulang, menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa
saya nanti, jika Paduka pulang.”
(14) Raka ngimur
mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe, myang
sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.
Kanda Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku
yang aku cintai, saya sudah jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit,
berpisah dengan mu emas merahku.
(15) Aja brangta
mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora
lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,
Jangan sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya
pulang ke kerajaan Mataram, tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera
ini, menjenguk engkau emasku,
(16) Saking labet
datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni prajeng”,
sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami, nggih
nuntena wangsul.”
Saya sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan
emasku, hanya karena berat beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi
kemudian jatuh memeluk pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang
kesini.”
(17) Dugi nggusthi
megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure,
asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.
Sampai akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta,
segera Ratu Kidul mengantarkan kepulangannya, saling menggandeng tangan
harmonis, sampai di Srimanganti,
Senopati segera melihat sang Dewi penuh rasa kasih.
(18) “Wus suntrima
sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta sihirangger,
srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih katresnane kakung.
“Sudah saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar
saya, hanya saya minta sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”,
Sang Dewi memberi cintanya kepada Senopati.
(19) Atur gantyan
manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit lathine,
sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lestantun.
Bergantian memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan,
mencium menggigit mesra, Sang Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu,
kunjungan selesai.
(20) Senapati
praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati
nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.
Senopati telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali
menghilang samudera dari penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti
memijak tanah, dia berjalan terus.
(21) Senapati
sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus
saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.
Senopati sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan
waspada kepada seseorang yang berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin
bahwa dia adalah Guru Senopati, yaitu Sunan Adilangu.
(22) Senapati gepah
nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane,
pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.
Senopati segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi
hormat tunduk, tangan guru menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda
diterimanya bakti sang Senopati, bergeser duduk sopan.
(23) Sunan Adi gya
ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab ingsun
arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.
Sunan Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur
anakku, aku bertemu denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang
sebenarnya terjadi dengan perjalananmu.
(24) Sira sinung
digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane, kita
ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,
Kamu sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya
saja tanda samudera yang kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan
saja, tetapi ingatlah hatimu jangan angkuh
(25) Riya kibir
sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka tuk
sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.
Sombong, riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang
Manon, nabi wali Allah juga membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang
Widi, diharapkan oleh Hyang tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.
(26) (k.251) Wong
gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang
murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.
(k.251) Orang yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang
patuh pada larangan Hyang Sukma yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan
riya adalah keangkuhan manusia, minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu
tidak lah pantas
(27) Amemadha
marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane,
ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.
Mempersamakan diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu
disemayami derajat dari raja-raja yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu
yang tidak angkuh, terlihat mempesona, berjalan anggun berwibawa.
(28) Saksolahe was
tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng, Senapati
tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu
Semua tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal
tentramnya hati saja, banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja,
Senopati benar-benar hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya
memperumpamakan lagi, yang tidak memiliki ilmu.
(29) Aja sira
pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan
ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.
Jangan lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi
gunung tinggi, dan samudera semua contoh, ya Kaki pemberian langit,
bermacam-macam manusia, mengandalkan yang luhur.
(30) Bumi kandel
jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung geng inggil,sagra
jro tirtaning, gurnita kang alun,
Tebalnya bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah
tidak ada yang melebihi kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan
tinggi, dalamnya samudera, gumelarnya ombak,
(31) Ngendelaken
digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana
polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.
Mengandalkan kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit
dan gunung seperti sifat manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit
berbeda dengan manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
(32) Yen sira yun
wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Je- (k.252) beng,
laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma
Gung.
Jika kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua
orang, jangan berhenti ikhtiarmu (k.252) Nak, berpasrah kepada Kang Murbeng
Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu terhadap
Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)
(33) Ginampangan
seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha
nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.
Secara mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah
pada pandangan/tujuanmu, jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja,
beribadah lah memeluk agama, selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.
DHANDHANGGULA
(1) Lawan
Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature,
“Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”,
dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira
bukti, yen wisa dadi apa.
Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari
segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad
yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian,
sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum
membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.
(2) Temah antuk
sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate,
sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang
garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi,
sabab nir manungsanya.
Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu
menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak
bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena
kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi
hilang wujud manusiamu.
(3) Maneh Jebeng
sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”,
Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng
(k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng
Senapati, kena ngayu sulapan.
Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka
kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya
sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253)
Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku,
itu hanya wujud yang disulap.
(4) Sabab sira
durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya
suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang
Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok
bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.
Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah
pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini
wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat
cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk
memperhatikan.
(5) Driya maksih
maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas
wus waskitha, Senapati
tyas sandeyeng, wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya
padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng
wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.
Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari
dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak
kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi”
setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.
(6) Sakpraptaning
jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih
nendra, nglenggorong langkung agenge,
lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan,
sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni,
tansah legek tan nebda.
Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul
sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan
suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam,
panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun
menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut
sampai tanpa bicara.
(7) (k.254) Sunan
Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu
mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina
warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe
rengating driya.”
(k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah
wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan
sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah
selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas
melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit
hati.”
(8) Wusnya nulya
kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi
Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira,
nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo
Jawi, wenang sinambat karsa.
Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan
Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul,
sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang
menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.
(9) Mayo padha
mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang
tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat,
sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati,
arsa ngyektekken srana.
Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”,
ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan
mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang,
Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur
dan minyak).
(10) Juga juru
taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu,
sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur,
samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale
krengkangan.
Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap
candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak
bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang
umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar
kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah
jatuh bangun.
(11) Senapati
wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku
ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon
matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi,
pangjanging umur saras.”
Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku
mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk
sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar
hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”
(12) “Yen wis
mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”,
Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala,
seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug
muni, wreksa sol sangking prenah.
“Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu
prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah
terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera
menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti
gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang
bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.
(13) Gya jenggeleg
warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged,
wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng
dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen
gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.
Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung,
dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku
melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang
Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan
menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.
(14) Sunan adi gya
ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang
Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban,
tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap
ngarsi,Sang Sena lon ngandika.
Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi
yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati
setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/
pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang
bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada
di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.
(15) “Bibi Panggung
mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong,
nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot
sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna
kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.
“Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya
coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti
sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton
segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.
(16) Saksirnanya
ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh
Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih
Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah
Gusti, de mawi tan katinggal.”
Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi
sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi
Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya,
yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti,
walaupun saya tidak terlihat.”
(17) Sunan Adi
lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo,
pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma,
mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing
Matawis, emongen gustenira.
Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si
Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti,
tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah
menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.
(18) Prayogane
Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing
enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut
ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh
mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.
Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan,
Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi,
menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman
yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.
(19) Katriya wus
kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane,
gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de
meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo
glar neng pegungan.
Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung,
Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya,
Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda,
Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar,
kerbau di tikungan.
(20) Tanpa
kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe,
karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan
ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru
kridha.
Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak
Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram,
semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah,
menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat
masalah.
(21) Becik
nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa lan
pepagere, kebo sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen
mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana
yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.
Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan
syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang
ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah
ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan
Hidup).
(22) Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan
lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe
Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih
solah muna lawan muni, pracina dadi nata.
Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat
raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada
Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah
laku dan berbicara selalu dijaga.
(23) Mengko Jebeng
ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe,
Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh
cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi,
tirta mungging lantingan.
Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat
kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat
di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh
mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi
air dengan alat.
(24) Nulya linggar
wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati
tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang
wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen
kuthanira.
Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan
dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil
membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak
Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.
(25) Jebeng rehne
tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259)
n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja
eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang
Kang Murbeng Alam.
Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur
menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga
kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau,
dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari
Kang Murbeng Alam.
(26) Lawan sira
diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen
ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum,
sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun
wuntat.
Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita
memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku,
sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak,
bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi
peninggalan.
(27) Jebeng yen ws
jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh,
netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang,
kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang
andarbeni, lestari tanpa kara.
Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah
menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang
Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa
semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa
perkara.
(28) Lan diweruh
kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging
kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang
dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging
(k.260) kalingan padhang.
Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata,
dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu
terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.
(29) Senapati
wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase,
de naluri kang tinut,
Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu
sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang
diikuti………………
-ooo-
15. BAB ; MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNA’AN
Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat
salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan
itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya
bungkusan tsb. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf
arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.
A. Tentang Macam Ilmu Manusia.
Adalah suatu yg pasti terjadi anakku, ketahuilah ini,
renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati
pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan
lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu
prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.
Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa
arti bahasanya jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa
adalah kuncinya. Kesungguhanlah yg pasti, itulah yg perlu benar2 engkau
mengerti. Jangan takut pd biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta
benda. Namun hanya niat ikhlas saja yg diperlukan.
Adapun ilmu manusia itu ada 2, anakku. Yang pertama adalah
ilmu kamanungsan yg lahir daru jalan indrawi dan melalui laku kamanungsan. Yang
kedua adalah ilmu kasampurnaan yg lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang
Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari
dalam. Yang dari luar, dilalui dg cara belajar. Sedangkan yg dari dalam,
dilalui dg cara menyibukan diri dg jalan bertapa ( bertafakur ).
Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dg belajar secara
lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak
seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma seorang murid
yg mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa sejati.
Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih
kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu2 seperti
itu tersimpan kuat pada pangkal suksma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah,
atau mutiara di dasar laut.
Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah
selalu berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu
bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah
daya potensial yg ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar.
Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai dan berdekatan dg suksma
sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan sbg yg meminta
manfaat, murid ibarat bumi atau tanah.
Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih
atau tepatnya seperti tumbuh2an. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia
akan menjadi seperti pohon yg berbuah, atau seperti mutiara yg sudah
dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti
murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ngelmu dg menyelami
kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai
manfaat.
Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam2 indra, berarti murid
lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yg
cair atau dalam bahasa arab dsb nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat
walau hanya dg berfikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan
oleh suksma yg beku nafs al-jamid.
Jadi, engkau bisa meraih ilmu dg cara belajar, dan bisa juga
mendapatkannya dg cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu juga
memerlukan proses tafakur. Dan dg tafakur engkau tahu manusia hanya bisa
mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.
Banyak ilmu2 mendasar atau yg dsb annazhariyyah dan
penemuan2 baru, berhasil dikuak oleh orang2 yg memilki kearifan. Dg kejernihan
otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal2 tsb
tanpa proses belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan.
Dg bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan
paraning dumadi . Dg begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga
persoalan tidak berlarut2 dan segera tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu.
Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, suksma tidak
bisa mempelajari semua yg di inginka, baik yg bersifat sebagian ( juz’i /
parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dg cara belajar. Ia harus
mempelajari dg induksi, sebagian dg deduksi sebagaimana umumnya manusia dan
sebagian lagi dg analogi yg membutuhkan kejernihan berfikir. Berdasarkan hal
ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah2 keilmuan.
Ketahuilah anakku.
Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan
seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam bentuk yg
merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan qiyas terhadap
berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa mempelajari
seluruh unsur obat2an untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala2 umum.
Dan setiap orang diobati menurut sifat masing2 Demikian juga para ahli
perbintangan, mereka mempelajari hal2 umum yg berkaitan dg bintang, kemudian
berfikir dan memutuskan berbagai hukum.
Demikian juga halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu
seterusnya, imajinasi dan karsa yg indah2 berjalan. Yang satu menggunakan
tafakur sbg alat pukul, semacam lidi, sedangkan yg lain menggunakan alat bantu
lain untuk merealisasikan.
Anakku jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana
cara bertafakur dg benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana
merealisasikan apa yg diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran
jadi terbuka dan daya potensial yg ada dalam diri akan lahir menjadi aksi
(perbuatan) yg berkelanjutan dan tak mengenal lelah.
B. Memahami Ilmu Kasampurnaan.
Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam,
Pertama, diberikan melalui wahyu.
Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna
segala sesuatu yg dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian
semu. Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap
manfaat serta limpahan cahayaNya.
Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan
Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan
menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada papan
tadi.
Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang
murid. Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa
proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa2 yg
tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).
Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu
mahluk2 yg lain. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari YME tanpa perantara.
Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dg kanjeng Nabi Adam. Sepanjang
usianya para malaikat terus belajar. Dan dg berbagi cara mereka berhasil
mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi mahluk yg paling berilmu
dan mahluk paling berpengetahuan.
Sementara itu Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia
tidak pernah belajar dan berjumpa dg seorang guru. Malaikat bangga dan dg besar
hati mereka berkata:” padahal kami Senantisa bertasbih dg memuji Engkau dan
mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).
Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas
beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia
menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh
nama2 benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah
berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda2 itu jika kamu memang orang2 yg
benar” (QS. Al-Baqarah:31).
Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu
mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dab besar hati,
justru yg ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci Engkau, tidak ada yg kami
ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kpd kami” (QS. Al-Baqarah:32).
Maka kepada mereka Adam diberitahukan bbrp bagian ilmu dan
hal2 yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu gaib
yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu yg
diperoleh dg penglihatan langsung.
Ilmu yg diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak
para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup
oleh Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling
berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dg budi
pekertinya menjadi baik.
Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih
mulia, dan kuat. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau
sama sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.
Ilmu Kasampurnaan yg Kedua,
disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati
terhadap suksma manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya
kesiapannya. Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan
penegasan perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh
dg wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yg diperoleh dg ilham itulah
sejatinya ilmu kewalian.
Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara
antara suksma dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya
dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut.
Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari
suksma sejati yg terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi
dg menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti
Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam.
Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna
dan lebih kuat dari disisi Allah dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma
sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk2 lain.
Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan
juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi
perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu yg
diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana suksma tanpa rasa atau wali tanpa nabi.
Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika
dinisbatkan kepada wahyu yg bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para
nabi dan wali
Ketahuilah, ilmu yg diperoleh dg wahyu hanya khusus bagi
para rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan
para rasul lain. Itulah yg menbedakan antara risalah dg nubuwwah .
Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan
rasionalitas2 oleh suksma yg suci kepada orang2 yg mengambil manfaat.
Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu suksma, tetapi ia tidak
berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan oleh sebab2 tertentu.
Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali,
sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pd dalil: “Dan yg telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).
Ingatlah ketika khalifah Ali berujar: “Kumasukan lisanku
kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yg pada setiap pintu
terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan bantal dan
aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum bagi penganut
Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil berdasarkan Injil mereka,
dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran mereka”.
Derajat seperti ini tidak bisa diterima dg melalui ilmu
kemanungsa semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg
telah mencapai derajat tsb telah dikarunia ilmu kasampurnaan.
Jika Allah menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan
menyingkap tabir atau hijab yg menhalangi dirimu dg suksma yg menjadi papan
itu. Dg demikian, sebagian rahasia dari apa2 yg tersembunyi akan ditampakan
pdmu. segenap makna yg terkandung didalam rahasia tsb akan terpahat pd
suksmamu. Dan suksma itupun mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena
dikehendakiNya..
Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan.
Selama engkau belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan
menjadi seorang arif.
Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi.
Dalilnya : ” Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa
saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia
benar2 telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang2 yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).
Hal itu karena orang2 yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan
tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan
berpayah-payah belajar. Orang yg demikian sedikit belajar, banyak mengajar,
sedikit capai, banyak istirahat.
Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu
risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau
utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah penyempurnaan
agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih tidak berdasarkan
kebutuhan.
Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah
ditutup. Pancaran cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena suksma
terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak
memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan sebagai
akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut oleh gelombang
syahwat.
Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi
hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala
sesuatu menyusun tingkatan2 supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut kepada
hamba2-Nya, memberikan rezeki kepada siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan.
Selesai sudah nasehatku tentang kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah
engkau bisa menggunakan sebaik mungkin.
Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri ) menerawang ke
depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan sendiri kata2 yg barusan
dibacanya. Digengamnya erat2 lembaran lontar itu, lalu didekapkan didada serasa
hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu makna dari nasehat orang suci yg
tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali Lanang / Syeh Awallul Islam (
Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia utama………..
-ooo-
16. BAB ; AL FAATIHAH ( BEBUKA )
Surat kaping 1 : 7 ayat
( Tumuruning wahyu ana ing Mekkah, tumurun sawuse surat
Al-Muddatstsir )
Bahasa Arab :
1. Bismillahir rahmaanir rahim
2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin
3. Arrahmanir rahiim
4. Maaliki yaumid diin
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in
6. Ihdinash shiraathal mustaqiim
7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi
‘ alaihim waladl dhlaal-liin
Bahasa Jawa :
1. Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih.
2. Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran,
Sesembahaning ‘ alam jagad-rat pramudita.
3. Kang Maha Murah Maha Asih.
4. Kang Ngratoni ing dina Piwelas.
5. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ‘
ibadah, saha namung dhumateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong
pitulungan.
6. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita
sadaya lumampah wonten ing margi ingkang leres.
7. Inggih punika margi, Agaminipun para tetiyang ingkang
sampun Paduka paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes
ingkang sami sasar.
Isi maksud ingkang wigatos ing Surat Al-Faatihah :
Intisari saking isinipun Al-Quraan punika sampun kaweca
pokok-pokok ingkang fundamentil wonten salebeting Surat Al Faatihah, kados
kasebut ing ngandhap punika :
1. Bab ‘aqaid utawi kaimanan ; punika kuwajiban ingkang
wiwitan kaampil, ingkang dipun da’wahaken dening junjungan kita Nabi Muhammad
s.a.w, makaten ugi dening para andika Rasul saderengipun. Ingkang baku inggih
punika ‘ aqidah-tauhid ( memundhi saha mangeran namung dhumateng
Panjenanganipun Allah piyambak ) ‘ Aqidah-tauhid wau dados jejering piwucal
Agami, sadaya para andika Nabi Utusaning Allah kautus ngampil tugas-pokok
mbangun Tauhid ing Allah, sarta ngrebahaken sadaya kamusyrikan, ugi ngajak
Ummatipun supados samia ‘ibadah ( manembah ) ing Allah piyambak, lan nilar
sadaya brahalanipun.
2. ‘Ibadah ; utawi ngumawula lan manembah ing Allah, ingkang
kuwajiban sadaya titah, langkung-langkung manungsa ( sabab manungsa punika
makhluk ingkang saged damel kabudayan wonten ing ‘ alam donya ). Ingkang baku
wonten sekawan, inggih punika : Shalat, Zakat, Shiyam lan kesah Haji. Saking
ingkang baku kasebut, lajeng tuwuh ‘ibadah memuji, ndedonga, dzikir lan
tafakkur utawi I’tikaf ing masjid. Saking zakat lajeng tuwuh ‘ ibadah qurban
sidqah, weweweh lan tetulung ing sasaminipun, lan saking Shiyam tuwuh watak
Wira’I 9 mboten ndremis lan mboten kathah sesambat ) sumingkir saking ingkang
nama lelangkungan ( gesang prasaja ). Lajeng saking Haji tuwuh semangat
ambelani sarta labuh ing agami.
3. Angger- angger Hukum lan Pernatan- pernatan : maksudipun
Syari’at Islam damel angger-angger hukum lan pranatan punika kangge
karaharjaning ummat manungsa ing Donya dumugi ing Akheratipun. Pramila ing
salebetingQuraan ngemot pinten-pinten norma lan katamtuwan, upami hukum,
politik, tatanagari, sosial, ekonomi, perang, dahme, sesambetan internasional,
kabudayan sarta kesenian, agami, sesambetaning manungsa kaliyan Allah, lan
lingkungan sapiturutipun.
4. Janji sarta ancaman : artosipun supados ngadeg keadilan
lan keleresan ingkang saestu, sanajan wonten Donya saged lolos saking hukuman,
nanging wonten ngarsaning Allah ing dinten Qiyanat tantu nboten saged lolos
malih.
5. Sejarah : maksudipun ingkang saged dados tepa-palupi ing
salebeting sesrawungan ummat manungsa, sampun ngantos agawe cidraning
liyan..............
WAJIB MA’RIFAT KEPADA ALLAH
Ma’rifat kepada Allah ta’ala diwajibkan setiap
manusia,jelasnya yang sudah akel balig,tidak boleh tidak haruskan mengenal
kepada Allah ta’ala.
AWALUD DINI
MA’RIFATULLAH TA’ALA
Artinya : permulaan agama itu ma’rifatullah (mengenal kepada
allah )mengenal kepada ALLAH,mengenal kepada apanya???Mengenal kepada sifatnya
dan af’elnya/perbuatan-Nya.
AWALU WAJIBI ALAL INSANI MA’RIFATULLAHI BI-ISTIQONI
Artinya ; Bermula yang permulaan wajib atas manusia,yaitu
ma’rifatullahi dengan yakin.
Sebab kalau sudah mengenal dengan yakin baru kita
menjalankan ibadahnya supaya syah diterima amal ibadahnya oleh Allah
ta’ala.Itupun amal harus dengan Ilmu???Oleh karena itu tidak dengan Ilmu
sesuatu pekerjaan atau perbuatan kita sia-sia,tidak ada manfaatnya untuk
akhirat,hanya dapat di dunia saja.
FAKULUMAN BIGHOIRIL ILMI YA’MALU A’MALUHU KARDUDATUN LATUK
BALU
Artinya : Barang siapa yang beramal dengan tidak Ilmu maka
amalnya itu dikembalikan kepadanya,ya’ni
tidak diterima.
Ilmu artinya tahu,tetapi bukan harus tahu sama syari’atnya
dan batalnya atau ibadahnya saja,tetapi harus tahu atau mengenal kepada Allah
ta’ala dan Rosululloh,karena Allah dan Rosulnya ibarat tempat atau gudang
/rumsh amal ibadah kita semua.
Umpama di dunia amal ibadah kita seperti perabot
rumah,kursi,meja,lemari dllnya.
Kalau Ilmu atau
mengenal kepada Allah dan Rosululloh,seperti kita mempunyai sebuah gudang atau
rumah kekar lagi besar,maka sudah barang tentu barang-barang yang kita usahakan
dengan susah payah harus kita simpan atau taro ditempat yang semestinya ,supaya
rapi dilihatnya,kerena barang-barang yang kita punyai itu bagus-bagus dan
halus,harganyapun sangat mahal.
Maka kalau kita tidak
mengenal atau ma’rifat kepada Allah dan Rosululloh,berarti kita tidak mempunyai
gudang atau rumah ,maka barang-barang itu,dimana harus ditaro atau
disimpannya???tentu barang-barang iti ditaro diluar gudang atau diluar
ruamah,panas-kepanasan,hujan-kehujanan,sudah pasti lama kelamaan barang-barang
itu akan rusak.
Oleh karena itu,ada
ilmu harus ada ma’rifat,baru ada Keni’matan.Karena maksud kita berbuat amal
ibadah itu untuk kita bawa pulang ke Negeri akhirat,maka selama di dunia ini
kita harus mengenal (ma’rifat ) kepada Allah dan Rosululloh,sebab disanalah
tempat kita pulang.
Selagi kita hidup di
dunia,belum juga kita ma’rifat atau mengenal kepada Alloh dan Rosululloh,atau
kita tidak tahgu tempat yang dituju untuk kita pulang,maka sudah barang tentu
kita tidak bisa pulang,karena tempatnya kita belum tahu atau kita tidak
mengenalnya.
Apalagi diwaktu
syakaratul maut,kita sudah tidak ditanya lagi,dan akal kitapun sudah tidak
ada,hanya kita merasakan sakitnya saja.
Oleh karena itu
,dikarenakan kita tidak bisa pulang kepada Allah dan Rosululloh atau kita tidak
tahu tempat asal kita tadi,jadi semua bisa membawa kita,masuk ke siluman atau
Iblis ditukar dengan Kekayaan dunia.
Maka dari itu selagi
kita masih hidup di dunia,kita harus ikhtiar atau sedia paying sebalum
hujan,jelasnya : Kita harus bisa mati dulu sebentar,kalau kita tidak bisa
mati,niscaya kita tidak bisa tahu akhirat.
ANATUL MAUTTU – QOBAL MAUTTU
Artinya : sebelum engkau mati,rasakan mati,
Hidup
didalam mati,mati didalam hidup.
Jika kita sudah tahu
urusan Akherat atau asal kita,maka harus dijalankan supaya jangan sampai
kesaasar atau bingung atau tidak tahu jalan.
JALAN – JALAN MA’RIFAT KEPADA ALLAH
Ma’rifat kepada Allah SWT ada dua jalan :
Dari bawah ke atas
Dari atas ke bawah
Jika dari bawa ke atas, kita harus pesantren atau ngaji
kitab Qur’an , terus menjalani ibadah rukun yang 5 (lima/perkara : yang begitu
dinamai ibadah dan mengenal kepada Allah , tetapi kebanyakan hanya sampai
Ma’rifat mengenal pada asmanya atau namanya saja . disebabkan keburu betah dan
merasa nikmat pada namanya, lantaran kenikmatan dari petunjuk atau nikmatnya.
Umpama diteruskan ma’rifat /mengenal pada Dzat sifat Allah ta’ala
tentu kenikmatanya lebih enak daripada mengenal sama namanya saja/asmanya.
Jika dari atas kebawah kita mengingat kata hadis :
AWALUDDINI MA’RIFATULLAHI TA’ALA
Jalanya tidak pesantren saja tetapi harus membersihkan diri
badan yaitu harus bisa tirakat dan ikhtiar untuk menanyakan kepada guru yang
mursyid, sebab tidak bisa tahu tanpa guru
Maka dimana saja kita harus cari atau susul karena tiada ada
tarekat wali yang tidak disusul / cari
AL ILMU YU’NA WALA YA’TI
Artinya (ilmu di datangi bukan mendatangkan)
Karena bisa ma’rifat kepada sifat-sifat Allah ta’ala yang
disebut johar awal itu hakekatnya Muhammad sebab apa tidak ada kelebihan pada
kta semua ??????
Demikian para tadi juga wali dengan kuat menjalani puasa
maksud untuk dicontoh kepada umat-umatnya Rasulullah supaya bisa pulang kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu selagi kita masih hidup carilash tarekat wali
karena kalau tidak ketemu tentu kita tidak bisa pulang kepada Allah ta’ala,
sudah pasti nyawa kita nanti jadi markayangan atau nitis manitis, tegasnya
balik lagi kea lam dunia.
INNA LILLAHI WAINA ILAIHI ROJI’UN
Artinya : (asal dari Allah akan kembali kepada Allah )
Karena itu kita semua merasa bingung, percaya juga lantaran
mengingat firmanNYa, tetapi kita tidak merasa pergi dari sana, turun kea lam
dunia yang fana ini, tetapi cepat saja kita mengakui dari Allah, tetapi akuanya
hanya di bibir, terpaksa kita mengakui karena kebanyakan tidak mau disebut kafir /kufur, sebab percaya
sama dalil tetapi hatinya tetap saja gelap atau tidak mengerti karena tidak
merasa dari Allah ta’ala.
Maka dari itu agar kita percaya dan merasa bahwa kita
asalnya dari Allah ta’ala : meNurut keterangan :
Maka dengan adanya itu kita harus selidiki dari bawah ke
atas agar kita mengerti dan masuk akal.
Kalau kita mengingat , kita dikeluarkan dari mana ?????
supaya di mengerti oleh umum.
Kita asal dari ibu, ibu asal dari nenek, nenek asal dari buyut
dan seterusnya sampai ke babu hawa, babu hawa asalnya dari iga burungnya nabi
Adam AS. Nabi Adam asalnya dari aci atau sari bumi,air,angin dan api. Dan aci
bumi, air, angin, dan api darimana asalnya.
Diterangkan dari hadis asalnya dari Nur Muhammad SAW. Cahaya
yang 4 (empat) perkara :
1. cahaya Hitam
hakekatnya bumi
2. cahaya putih
hakekatnya air
3. cahaya kuning
hakekatnya angin
4. cahaya merah
hakekatnta api
Dan Nur Muhammad dari mana asalnya ???. diterangkan hadis
asalnya Nur Maha Suci itu JOHAR AWAL sampai disini buntu. Karena tidak
diterangkan hadis dan Qur’an.
JOHAR AWAL asalnya dari tujuh lapis bumi dan tujuh lapis
langit, sampai ke isinya semua . demikianlah dalil dari Allah ta’ala, Johar
awal sifatnya terang benderang yaitu cahanya dzat dan sifatnya maha suci
begitulah kita ma’rifat kepada Allah.
1. cahaya merah
hakekat jadi lafat Alif
2. cahaya kuning
hakekat jadi lafat lam awal
3. cahaya putih hakekat jadi lafat lam akhir
4. cahaya hitam
hakekat jadi lafat ha
5. johar awal hakekat
jadi lafat tasdit
Jadi wujud lafat “ALLAH “ demikian keteranganya jadi cahaya
yang disebut di atas “ISMUDZAT” artinya
asma’nya DZAT LAESA KAMISLIHI atau asmanya “NUR MAHA SUCI” dan jika ahli
tafakur disebut lathifah.
Oleh karena sangat penting , harua diketahui untuk kita
pulang kesana,maka carilah tarekatnya atau ilmunya yang bisa membuangatau
membuka hijab atau dinding yang menggelapkan kepada Dzat sifatnya Allah ta’ala,
agar dapat diterima atau ketemu dengan hakekatnya btasdit Muhammad yang ada diwujud
pribadi dan itulah kunci Muhammad yang bisa membongkar kepada Allah.
Umpama dapat bertemu insya Allah tentu kita bisa pegang
perkataan MULI KA JATI PULANG KA ASAL baru ada rasa jasmani.
Sekarang kita balik lagi pada rasa tadi, waktu jadi NURULLAH
(JOHAR AWAL) dan pulang ke asal yaitu jasmaninya menjadi asalnya yaitu menjadi
“ NUR MUHAMMAD” cahaya yang 4 ( empat)
1. api cahayanya
merah
2. angin cahayanya
kuning
3. air cahanya putih
4. bumi cahayanya
hitam
Pulang ke asal katanya sempurna artinya habis bersih habis
rasanya habis jasmaninya.
INNA AKRO MAKUM ‘IN DALLAHT AT QOKUM
Artinya : Yang semulia-mulia kamu di sisi Allah, ialah yang
setaqwa taqwa kamu.,
MENCARI ALLAH
MANTHOLABBAL MAULANA BIGOIRI NAPSIHI FAQODDOLA DOLLALAN
BAIDA.
Artinya : Siapa siapa manusia berkata Allah ta’ala keluar
dari dirinya, maka sesungguhnya orang itu kesasar atau sesat karena didalam
hatinya merasa lebih jauh sama Allah ta’ala padahal ada dalilinya
WA NAHNU AQROBU ILAIHI MIN HABBIL WARID
Artinya : Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya,
atau Allah sudah tidak ada antaranya lagi sama kamu
sekalian. Oleh karena itu manusia lebih dimuliakan oleh Allah ta’ala.
WALAQOD KAROMNA BANI ADAM
Artinya : Allah memuliakan kepada anak cucu adam
LAQOD HOLAQNAL INSANA FI AHSANI TAQWIN
Artinya : Manusia itu kejadianya lain dari pada sesame
makhluk Allah ta’ala.
Jika kamu sudah tahu ke adaan dirimu niscaya kamu merasa
keanehan yang ada di badanmu.
MAN ‘AROFA NAFSAHU FAQOD ‘AROFA ROBBAHU
Artinya : Barang siapa yang kenal akan dirinya, niscaya
kenal dengan tuhanya
WAMAN ‘AROFA ROBBAHU FAQOD JAKILAN NAFSAHU
Artinya : Dan barang siapa yang sudah kenal pada tuhanya
tentu dirinya merasa bodo
Oleh karena jasmani kita tidak bisa berbalik jika tidak di
daya upayakan oleh Allah ta’ala. Memang benar jasmania itu seperti tempat untuk
menyimpan bahan, maka dari itu kita mengaji jangan ngaji kitab yang bisa rusak
saja, tetapi harus mengaji ktab yang langgenghatau kitab yang tentu dan kitab
yang ada padkita
IQRO KITABQA BINAFSIKA ALYAUMA ALAIKA HASIBA
Artinya : bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada
waktu ini sebagai penghisab terhadapmu
kamu harus mengaji kitab yang langgengyang ada di diri kamu
sendiri. Maka segera cari qodrat. iradatNya Allah pada diri kamu karena
didirimu lebih nyata barang-barangya umpama :
1. hidupnya Allah
didiri kamu
2. penglihatan Allah
didiri kamu
3. pendengaran Allah
didiri kamu
4. pengucapan Allah
didiri kamu
WAUWA MA’AKUM A’ENAMA KUNTUM
Artinya : Allah ta’ala itu bersam kamu, dimana saja kamu
berada disanalah waja allah
Bersama oleh Allah ta’ala itu yaitu bersama-sama qodrat ,
iradat dan ilmunya kapan benar di sifat 20 dirangkap-rangkap.
1. qodrat dan qodirun
= kuasa yang maha kuasa
2. hayat dan hayun =
hidup yang maha hidup
3. sama’ dan sami’un
= dengar yang maha pendengar
4. basher dan
bashirun = lihat yang maha melihat
5. kalam dan
mutakalimun = kata yang maha berkata-kata
QODRAT DAN IRADAT
Qodrat artinya kuasa !!! siapa yang kuasa didiri kamu itu
??? tidak ada lagi selain Ayat artinya hidup. Buktinya bisa bergerak.
Iradat artinya kehendak buktinya yaitu
1. mata bisa melihat
2. telinga bisa
mendengar
3. hidung bisa
mencium
4. mulut bisa
berkata kata
Itu sungguh-sungguh bukti dan sekarang tinggal mencari
barangnya saja
Dengan apa sifatnya qodrat dan sifatnya hayat,itu harus
diketemukan agar dapat dimengerti oleh akal. Jangan kita percaya sama kata-kata
orang tetapi kita harus yakin pada diri sendiri.
WAFII ANFUSIKUM
AFALAA TUBSHIRUN
Artinya : Dan pada dirimu mengapa tidak kamu perhatikan ????
IMAN DAN MA’RIFAT
IMAN artinya percaya
Ma’rifat artinya mengenal
Bukankah berlainan iman denga Ma’rifat ???? . Demikianlah kita percaya adanya Allah
ta’ala maka kita harus mengenal atau ma’rifat kepadaNya.
Umpama tidak dengan sungguh-sungguh imanya, maka dinamai
iman taklid, tapi mengakui atau percaya adaanya Allah ta’ala atau hanya kata
orang atau tahu dari kitab saja demikian paham semua.
Iman kepada Allah ta ‘ala batas percaya kepada adanya saj
seperti pada perbuatan Nya bumi dan langit maka dari itu sama saja yang memeluk
agama islam dengan agama lainya. Karena yang memeluk agama lain pun percaya
adanya allah ta’ala apakah bedanya agama islam dengan agama yang lain.
Umpama agama islam ada rukunya seperti syahadat, sholat ,
puasa, sedangkan agama yang lainpun ada syhadatnya dan sholatnya serta
puasanya. Perbedaanya hanya caranya dan
bahasanya saja yang lain tetapi maksudnya saya rasa sama saja.
Padahal agama islam yang semulia-mulianya dari pada agama
yang lain
INNADDINA INDALAHIL ISLAM
Artinya : Bahwasanya agama disisi Allah ialah islam
AL INSANU SIRRI
WA’ANA SIRUHU
Rahasia Muhammad itu rahasia Allah
Rahasia Allah itu rahasia Muhammad
Tahu Muhammad itu tahunya Allah
Tahu Allah itu tahunya Muhammad
Illa haqqo bila haqqin
Illa haqqin bila haqqo
Muhammad itu hak Allah, Allah itu hak Muhammad
Maka dari itu agama islam yang disebut semulia-mulianya dan
setinggi-tingginya dan juga sedekat-dekatnya kepada Allah ta’ala karena tidak
ada Allah kalau tidak ada Muhammad, tidak ada Muhammad kalau tidak akda Allah ,
tidak ada sifat kalau tidak ada dzat tidak ada dzat kalau tidak ada sifat, maka
Rasulullah disebut penghulu rasul-rasul atau babuning roh semua.
Karena agama islam yang setinggi-tingginya disebabkan ada
hak ma’rifatnya kepada Allah ta’ala buktinya Nabi Muhammad dapat ma’rifat
kepada Allah dan semua umatnya
Oleh karena Syarif Hidayatullah wali kutub Cirebon dapat
ma’rifat ketemu sama hakekatnya Nabi Muhammad SAW yaitu yang disebut JOHAR AWAL
jelasnya sifat NURMAHA SUCI yang bisa datang kepada wali-wali Allah
Maka sejatinya syahadat yaitu gulunganya Dzat dan sifatnya
ya yang maha suci. Jadi kita semua bisa ( dapat ) ketemu dengan hakekatnya Nabi
Muhammad SAW. Kalau mau menuntut atau memegang ilmu tarekatnya wali Allah,
mudah-mudahan kita dapat diakui menjadi umatnya Rasululla, kalau kita sudah
diakui insya Allah nanti semua bisa ditolong keselamatanya dari kesucianya.
Apabila kita belum nyata serta yakin kepada Rasulullah baik
pada majajinya maupun pada hakikinya tetap saja tidak syah mengakui jadi umat
Rasulullah, disebabkan rukun syahadat syah membacanya.
1. harus menetapkan
Dzat Allah ta’ala
2. harus menetapkan
sifat Allah ta’ala
3. harus menetapkan
af’el Allah ta’ala
4. harus membenarkan
Rasulullah
Nah demikian syah membaca syahadat, harus mengetahui dengan
sungguh-sungguh serta yakin kepada Allah dan Rasulullah. Sebab bagaimana bisa
mengatakan adanya Allah dan Rasulullah apabila kita belumtahu atau ma’rifat
pada sifat-sifatnya, maka untuk menentukan kita harus tahu/kenal pada
barang-barangnya yang ditetapkan baru benar-benar kita membacanya.
Sebetulnya kalimah syahadat itu bukan diucap saja, bila
diucap saja anak kecil pun juga bisa, maka wajib kita harus tahu/percaya, sebab
kalau kita tidak tahu/percaya atau mengenal sama saja kit abaca program bioskop
yang ramai, tetapi kita tidak menonton, bagaiman kenikmatanya bagi kita ?? ada
lagi yang tdak membaca program tetapi menonton maka mana yang lebih utama
Demikian bab agama atau ilmu, oleh karena itu jangan
cepat-cepat mengambil jalan yang lain da jangan cepat-cepat tidak percaya
karena ini jaman sudah akhir, pikiran manusia sudah begitu maju tidak mau
dibohongkan , karena orang sekarang mau bukti serta yakin.
Dan harus diingat sesungguhnya ilmu Rasulullah itu ada
4(empat) derajat atau pangkat
1. ilmu syari’at
2. ilmu tarekat
3. ilmu hakekat
4. ilmuma’rifat
tetapi jaman sekarang ilmu ma’rifat yang dikejar-kejar sebab
ingin melihat Allah dan Rasulullah.
WA’BUD ROBBAQO HATTA YA’TIYAKAL YAKIN
Artinya : Menyembah ke Allah itu harus sungguh-sungguh serta
yakin
Supaya syah dzatnya, syah sifatnya,syah af’elnya dan syah
asmanya, seolah-olah kita tidak merasa berpisah pada Allah dan Rasulullah siang
maupun malam.
Kalau kita sudah merasai yang demikian itu, maka tidak
mungkin kita bertingkah laku jelek seperti sirik pidik, jahil dan aniaya pada
sesame mahkluk, karena kita merasa diawasi oleh Allah siang dan malam, tidak
bisa disembunyikan segala hal perbuatan apa saja seperti Ujub, ria , takabur
karena diri kita merasa tidak ada
kekuatan seperti apes, hina do’if dan bodoh, bisa juga ada rezeki dari
pekerjaan itupun dengan pertolongan Nur maha suci yaitu qodrat, iradatnya yang
kuasa.
Maka sekarang bisa ditentukan manusia yang masih memakai
kelakuan seperti sirik pidik, jahil dan aniaya sesame mahluk Allah baik pada
hajinya ataupun pada santrinya kiyainya, masih tidak merasa dekat pad Allah dan
Rasulullah, lebih-lebih kelakuanya seperti ujub, Ria, dan takabur dan suka
mengaku, saya yang benar orang lain salah, saya pintar orang lain bodoh dan
saya islam orang lain kapir maka orang yang demikian seolah-olah mengakui
qodrat dan iradatnya sendiri tidak menerima qodrat dan iradatnya Allah jadi
orang ini merebut kekuasaan Allah.
Bukankah tidak mengaku islam, hanya untuk tuduh menuduh si
anu islam si anu kapir karena islam dan kapir hanya Allah dan Rasulullah yang
akan menentukan.
FA’LAMUU AYYUHAL IKHWAN ANNA AL’ADHOLA WAL ASAASA HUWA
MA’RIFATUL MA’BUUDI QOBLAL IBAADATI WADZA LIKA HAKIKATO MA’NA SYAHADAT
Artinya : Ketahuilah oleh kamu bahwa asal agama yaitu
mengetahui tuhan yang disembah sebelumnya membuat ibadat padanya, dan adalah
pengetahuan itu hakekat makna kalimah syahadat adanya
FAKHOLLAQU BI AKHLAQILLAH
Artinya : Tumbuhkanlah dalam diri kamu sifat-sifat Allah.
BAB ISLAM
Islam itu suci besih dari segala kotoran !!! apa yang
menjadikan kotoran ???? tidak lain dari hawa nafsu, siapa orangnya yang tidak
mempunyai hawa nafsu??? Orang yang berbuat ma’siat, itulah orang-orang yang
meNurutkan hawa nafsunya.
Karena di ahli agama juga ditetapkan nafsu yang berupa sirik
pidik, ujub, ria, takabur nafsu yang ingin dunia saja juga dinamakan nafsu yang
sudah kotor saja.
Demikian keterangnya: islam itu tidak dua tiga melainkan
hanya satu, itupun go’ib sifatnya, islam itu Nur yang tidak ditentukan oleh
nafsu, sebab tadi juga kita ada di alam Nur maka tidak punya nafsu ingin apa-apa, maka dari itu islam adalah
satu-satunya ialah Rasulullah SAW.
Kalau kita tidak kebagian pangkat islam, hanya kita sampai
umatnya saja,itupun yang mendapat pangkat umat tidak 1001 sebab kita harus tahu
dulu kepada Rasulullah dan menjalani perintahnya.
Tetapi kebanyakan sok mengaku-ngaku saja, seperti saya tahu
kepada Rasulullah dan tahu perintah-perintahnya tetapi banyak yang tidak
mejalani perintahnya.
Begitu juga rukun islam yang kelima, kita diwajibkan pergi
haji ke mekkah dan ziarah ke madinah ke pekuburan Rasulullah dank e baitullah.
Hakekatnya itu harus terang pada hakekatnya Rasulullah dan
keratonya Allah ta’ala yang ada di diri kita.
QULLU UMMATIN WA RASULULLAH
Artinya : Semua umat pada ketentuan Rasulullah rasanya Allah
Maka dari itu kita harus mencari, jangan sampai kita menjadi
ragu-ragu untuk mengetahui hakekatnya Rasulullah yang ada pada badan kita,
kalau kita pergi ke mekkah dan madinah tentu kita tidak bisa, karena
syarat-syaratnya tidak mencukupi.
Maka dari itu pergi haji ada 2 macam
1. haji majaji
2. haji hakiki
Haji majaji : yaitu yang sudah tahu atau pergi ke baitullah
dank e madinah
Haji hakiki : yaitu yang sudah tahu pada haekatnya baitullah
dan Rasulullah pada dirinya sendiri
Karena Rasulullah itu tidak mati, umpama Rasulullah mati
alam dunia ini juga tidak ada
Kalau kita ingin ketemu kepada sayidina Syarif Hidayatullah
wali kutub cirebon juga bisa, tetapi kita harus memegang ilmu atau tarekat,
itupun kalau kita ingin jadi umatnya Rasulullah yang disebut johar awal ilmu
tarekat di penghabisan para wali Allah
MENERANGKAN UMAT RASULULLAH
Ummat Rasulullah itu hak-haknya ada 4 yaitu
1. sahabat Abubakar
2. Sahabat Umar
3. Sahabat Usman
4. Sahabat Ali
Sebab yang empat itu segalang segulung siang dan malam dengan Rasulullah, apa yang
diperintahkannya dikerjakan oleh sahabat atau utusannya Rasulullah.
Tetapi sekarang semua orangjuga sudah tahu atau terang
bahwasanya sahabat yang empat itu sudah tidak ada atau mati padahal yang mati
adalah majajinya sedangkan hakikinya tidak mati, ada di badan manusia,
Rasulullah juga hakekatnya ada di manusia.
1. hakekatnya
abubakar nyatanya penglihatan
2. hakekatnya umar
nyatanya pendengaran
3. hakekatnya usman
nyatanya pengucapan
4. hakekatnya ali
nyatanya penciuman
penglihatan, pendengaran, pengucapan dan penciuman itu go’ib
dan semuanya tidak ada rupanya maka itulah hakekatnya sahabat
sahabat yang empat pun harus mengetahui hakekatnya Nabi
Muhammad SAW dan harus dapat disatukan agar dapat dirasakan bersama-sama siang
dan malam dengan Rasulullah
kadang-kadang sudah tidak terasa berpisah dengan Rasulullah
baru kita menjadi umatnya
jika kita sudah menjadi umatnya tentu nanti kita akan
disempurnakan atau didatangkan oleh Allah yang maha suci atau oleh asalnya
yaitu johar awal
demikian pula kalau sekarang kita tidak tahu atau tidak
merasa bersatu denga Rasulullah nanti juga terpisah saja atau berjauh-jauhan
saja, nyawa kita sudah tentu balik lagi kea lam dunia jadi markayangan atau
jadi jurig setan siluman atau nitis manitis lagi ke manusia atau ke binatang,
nyawa yang begini akan celaka , pasti masuk neraka sesudah kiamatnya alam dunia
karena nyawa yang begitu tidak bisa pulang kepada Allah dan sekarang ada di
alam barjah menanti-nantikan hukuman, tetapi ingat nanti akan ada hukuman yang
lebih besar dalam qiamatnya alam dunia.
WAL YAUMIL AKHIR
RUKUN IMAN
WALAQODRI KHOIRIHI WASARRIHI MINALLAHI TA’ALA
Artinya : Untung jelek dan baik, dari Allah sampai disini
orang percayanya
Maka dari itu jangan sampai keliru. Kita harus pikirkan yang
betul-betul karena Allah itu sifat yang maha suci
Apakah mungkin kepada Allah yang maha suci itu untuk
menyiksa dan menghukum mati di akhirat ??? umpama yang suci menyiksa, kalau
begitu Allah ta’ala menjadikan manusia mengharapkan paedah. Apakah sucinya
Allah ta’ala tidak sempurna??? Tetapi kita harus percaya sama dalilnya dan
harus percaya adanya surga dan neraka atau adanya nkmat tidak nikmat di
akherat.
Di dunia ini juga sudah ada kenyataanya dan dapat dirasakan
adanya nikmat atau tidak nikmat. Sebetulnya sorga dan neraka itu, bukanya di
Allah ta’ala, sebaliknya ada pada kita ialah dengan tekat, ucap dan perbuatan
kita selagi hidup di alam dunia yang fana ini.
Sebab Allah menjadikan manusia itu, dengan sekali jadi tidak
pakai satu-satu hanya sekaligus QUN FAYKUN tergelar cukup sama sekali hanya
perabotnya saja apakah perabot yang dikasih oleh Allah ta’ala ???
Yaitu anggota badan seperti : 2 tangan, 2 mata, 2 telinga, 2
kaki, 1 hidung, 1 mulud
Dan dengan nafsu yang empat : 1. Amarah, 2. loamah, 3.
mutmainah, 4. sawiyah.
Inilah keterangan
dalilnya Allah ta’ala
Maka dari itu jika kamu ingin ke neraka atau di tempat yang
tidak ada nikmatnya, maka kamu berbuat saja dengan tingkah laku yang kurang
baik, kapan prabotnya sudah diberikan oleh Allah ta’ala yaitu nafsu yang
dinamakan amarah, loamah dan sawiyah, demikian pula jika inginkan surga atau di
tempat yang ada nikmatnya, maka kamu perbuat saja dengan tingkah laku yang baik. Kapan
perabotnyasudah diberiksan oleh Allah ta’ala yaitu nafsu yang dinamakan
mutmainah dengan adanya itu maka Allah ta’ala adakan surga dan neraka.
Di dunia sama saja dengan di akherat, kalau kamu tidak
merasa takut pada hukum Allah, tentu
perbuatan kamu itu banyak yang jahatatau banyak yang ma’siat, kalau kamu takut
pada hokum Allah tentu perbuatanmu itu harus yag baik karena dalam perbuatan
kamu sehari-hari itu bukan untuk orang lain tetapi untuk kamu sendiri dalam
perbuatan kamu itu berlaku di dunia sampai ke akherat.
Oleh karena itu kita semua harus berhati-hati untuk
menggunakan perabot yang diberikan oleh Allah ta’ala dan harus dipergunakan
denga budi dan kebijaksanaan
Dan jangan selalu dipergunakan prabot nafsu amarah, loamah
dan sawiyah gunakanlah nafsu mutmainah. Demikianlah kita harus hati-hati dalam
perbuatan sehari-hari karena nanti di akherat hanya Allah yang akan menentukan
dalam perbuatan yang dilakukan selama di dunia yang fana ini.
HASIBU QOBDA ANTU HASABU
Artinya : Hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung.
Bagaimana akal agar dapat kita gunakan prabot
mutmainah???? Tidak ada jalan lain hanya
kita ma’rifat kepada Allahdan Rasulullah, agar kita dapat berhubungan siang
malam pada Allah dan Rasulullah, karena kalau sudah dapat berhubungan insya
Allah mudah-mudahan kita bisa baik, ibadahnya dan syah dalam perbuatanya
Negara juga tentu aman
1. annafsu al amorah
bisu = nafsu menyeru kejahatan
2. annafsu al lowamah
= nafsu mencela
3. annafsu al
mutmainah = nafsu yang tenang
4.
PASAL QUR’AN
Pasal Qur’an itu ada epat perkara
1. Qur’anul majid/majaji
2. Qur’anul karim
3. Qur’anul ‘azhim
4. Qur’anul hakim
Qur’anul majid yaitu Qur’an yang ada hurufnya, umum dibaca /
di uji ke kaum islam se alam dunia
Qur’anul karim yaitu Qur’an yang mulia nyatanya yang itu-itu
juga yang ada tulisanya karena itu yang mulia kan ke kaum islam-islam se alam
dunia
Qur’anul ‘azhim yaitu Qur’an yang agung, disebutkan
barangnya itu-itu saja juga Qur’an yang suka dibaca sebab itu Qur’an yang di
agungkan oleh kaum islam se alam dunia
Qur’anul hakim yaitu Qur’an yang suci dan yang langgeng,
ditunjuk barangnya itu-itu juga, buktinya Qur’an yang ada tulisanya karena yang
suci dan langgeng itu hukumnya dari dunia sampai akherat.
Demikan Qur’an yang empat perkara itu, didalam suratnya ahli
sar’i atau ahli inti jadi diborong saja walaupun ada empat tapi barangnya
itu-itu juga.
Jadi kalau begitu Qur’an tulisanya dianggap tepekong ?????
memang Qur’an itu sesungguhnya di tulis oleh manusia jadi mana yang disebut
Qur’an itu yang mulia yang agung yang suci dan langgeng ??? karena sesungguhnya
Qur’an yang ada tulisanya dapat rusak, kalau kaum islam teguh dalam tekadnya
Qur’an itu tidak ada bedanya dengan agama cina. Karena apa ?? karena cara
menyembahnya kepada ketuhananya pada barang yang baru.
Maka dari itu saudara-saudara kaum islam jangan sampai
keliru, dengan adanya itu maka saya disini akan menerangkan pasal Qur’an yang
empat
1. Qur’anul majid,
itu cocok barangnya ialah Qur’an majaji yang bukti ada hurufnya yang dibaca
semua kaum islam.
2. Qur’anul karim
artinya Qur’an yang mulia nyatanya tangan dan jari karena sesungguhnya tulisan
itu asal dari tangan dan jari jadi yang mulia itu adalah tangan dan jari karena
dialah yang memulai membuat atau menulisnya.
3. Qur’anul ‘azhim
ialah Qur’an yang agung nyatanya mata karena tangan dan jari tidak bisa menulis
kalau tidak ada mata maka yang agung itu ialah penglihatan yang pertama yang
mengetahui Qur’an.
4. Qur’anul hakim
ialah Qur’an yang suci dan langgeng nyatanya hidup karena tangan jari dan mata tidak bisa menjadikan kalau
tidak ada hidup maka yang suci dan langgeng ialah hidupnya yang pertama dapat
atau tahu adanya Qur’an.
Demikian keteranganya kalau kita ingin menguji kesucianya
dan kesempurnaannya dari Qur’an yang empat perkara.
Pertama kita harus membaca Qur’anul majiji yang ada hurufnya
itu bagia ilmu syari’at sesudah terus di aji supaya mengerti akan
maksud-maksunya dan dibaca dengan dikerjakan itu bagian ilmu tarekat sampai
terasa karena itu Qur’anul majid/majiji, untuk mengetahui kepada Allah dan
Rasulullah jalanya tidak ada lagi melainkan masuk ilmu tarekat yaitu qur;anul
karimartinya harus mengaji pekerjaan tangan dan jari, kita akan sampai Allah
dan Rasulullah, karena Allah ta’ala memberikan tangan dan jari pada manusia bukan
dipakai untuk menjadikan barang dunia yang dapat rusak saja, tetapi harus
dipakai petunjuk untuk mengetahui kepada Allah dan Rasulullah supaya tangan dan
jari kita Mulia
ASOBI AHUM FI AZANIHIM
MINAS SHOWA IKI HAZAROL MAUT WALLAHU MUHITUM BIL KAFIRIN
Artinya : Kalau tangan dan jari kita tidak dipakai untuk
jalan mati, tetap tangan dan jari kita , martabatnya jadi tangan dan jari hewan
kafir tentu akan ke neraka.
Dan qur’aul karim harus naik lagi ke Qur’anul ‘azhim itu
bagian ilmu hakekat harus mengaji pekerjaan mata kita yang menuju ‘azhim pada
barang yang agungyaitu hakekatnya Allah dan Muhammad, karena Allah memberikan
awas penglihatan pada manusia bukan bukan dipakai untuk mengawasi barang yang
baru yang dapat rusak tapi harus dipakai mengawasi pada hakekatnya Allah dan
Rasulullah yaitu yang disebut Qur’anul hakim yang langgeng atau sifatnya hidup
bibitnya tujuh bumi dan tujuh langit sekalian isinya semua karena dari sana
kita asal usulnya.
Demikian kita ma’rifat kepada Allah yaitu yang sudah tahu
dengan hakim pada hakekatnya Allah dan Muhammad, tegasnya johar awal, tetapi
jangan keliru, bisa menetapkan johar awal itu pada terangnya matahari yang
kelihatan oleh mata itu yang dikatakan johar firid yang disebut bagian sorga
loka Dewa tempatnya di gunung Himalaya.
Perkara johar awal yang sejati yaitu yang disebut johar
latif tegasnya qo’ib tidak bisa dilihat oleh mata yang ada.
RU’YATULLAHI TA’ALA FIDDUNYA BIL AINIL QOLBI
Artinya : Melihat hakekatnya Allah ta’ala di dunia harus
dengan hati.
Tegasnya hakekatnya Rasulullah sifatnya manusia tidak ada
yang bisa ma’rifat ke sana,maka manusia Cuma dipakai untuk tempat melihat
Rasulullah pada hakekatnya Allah.
Kadang-kadang wujud kita bisa menceritakan atau dipakai
tempat melihat Rasulullah pada Allah, tentu jari kita menceritakan atau tahu
pada Allah, sebab sudah diberi tahukan oleh Rasulullah jadi kita diberitahu dan
diberi nikmat oleh Rasulullah dari dunia sampai ke akherat.
Setelah itu kita tidak ingkar sebab sudah tetap kita merasa
jadi umatnya Rasulullah.
Maka dari itu dari sekarang juga kita sudah terasa tidak
terpisah dengan Rasulullah sebab wujud kita siang malam dengan Nur suci insya
Allah mudah-mudahan tekat denga tingkah laku kita tidak lama juga bisa terbawa
suci, setan-setan tidak dekat tetapi inipun yang ma’rifat serta tahuid.
Kalau tidak ada tahuidnya orang itu selalu ingkar
sajawalaupun orang itu sudah memegang ilmu tarekat tetapi tidak juga merasa takut dan malu maka tenang saja dalam
perbuatan dengan tingkah laku semau-maunya.
Jadi orang yang demikian disebut ma’rifatnya, ma’rifat
mikung maka di dunia tidak dapat syafa’atnya dari Rasulullah karena di duniapun
orang itu tidak lepas dari kesusahan dapat murka dari yang maha suci, ibarat
lampu dikurung semprong yang kotor, sudah tentu cahaynya menjadi gelap maka
dari itu kita harus suci sesucinya . suci isinya suci kulitnya agar di alam
dunia tidak lepas lag dari kenikmatannya sampai akherat.
Maka dengan adanya ini saudara-saudara yang sudah ada jalan
ke mar’rifatan tekat dan tingkah laku yang kurang baik itu harus dijaga
betul-betul jangan sampai asal tahu saja tapi harus dibarengkan dengan tekat
dan tingkah laku yang yang baik sebab kalau kita melakukan pekerjaan ma’siat
itupun sudah melanggar hukum syariat itupun kita sudah tahu dalam perbuatan
kita yang tidak baik atau yang baik.
Maka kalau kita kerjakan perbuatan semacam itu hukumanya
lebih besar dari pada yang belum tahu bedanya atau buktinya seperti di dunia
orang kampung mencuri ayam paling dihukum tiga bulan atau didenda coba kalau
lurah mencuri ayam tentu lebih berat hukumanya karena pangkatnya dicabut dari
jabatanya tentu perkaranya dua atau tiga perkara.
Demikian yang sudah tahu kepada Allah dan Rasulullah maka
harus ingat perjanjian guru Mursid : IBADAH BERSAMAAN DURHAKA BERPISAHAN
MENERANGKAN M,ARTABAT ALAM TUJUH
1. ALAM AHADIAT
HURUF A
2. ALAM WACHDAT
HURUF LLAH
3. ALAM WACHIDIAT
HURUF MU
4. ALAM ARWAH HURUF
HA
5. ALAM AJSAM HURUF
MAD
6. ALAM MISAL HURUF
A
7. ALAM INSAN KAMIL
HURUF DAM
Buktinya alam dunia juga isinya Cuma tujuh hari hakekatnya
yaitu lelakon Allah, Muhammad, adam, maka dari itu semua wajib mengetahuinya.
Umpama kita ingin tahu pada asalnya , kalau tidak diketahui dari sekarang
jalan-jalnya atau barang-barangnya sudah pasti kita bisa kesasar,kalau mati
bisa balik lagi pada asal sebab kita tidak ketemu sama jalanya sedangkan waktu
tadi sudah terang kita turunya dari Akherat ke Alam dunia
Sekarang saya ingin menerangkan martabat alam tujuh serta di
ibaratkan atau dibuktkan dengan gambar supaya gampang / mudah di artikan.
Tafsirnya huruf A sampai B-G sesuai denga gambarnya
ALAM AHADIAT = MARTABATNYA YANG MAHA SUCI
DZAT LAESA KAMISLIHI
Dzat yang tidak seumpama
Dasar bagaimana yang tidak bisa diumpamakan ??? apakah dasar
yang kuasa ??? apakah dasar yang satu-satunya??? dan apakah dasar yang agung
???
Dengan dasar ke kuasaan di dalam jaman itu belum ada
perbuatan, sebab dinamakan kuasa harus ada buktinya dulu yang dibuatnya, karena
di dalam alam ahadiat jangankan manusia sedangkan akherat dan alam dunia juga
belum ada.
Dengan dasar satu-satunya pada jaman itu belum ada dua
tetapi sesudahnya ada yang banyak
Dengan dasar agung belum ada yang hina di dalam alam ahadiat
sebab ada bahasa agung yang sesudahnya ada yang hina.
Bagaimana diartikanya ??? supaya dalil DZAT LAESA
KAMISLIHIjadi satu ??? maka mufakat alam ahadiat yang disebut pada dalil DZAT
LAESA KAMISLIHItegasnya dasar yang suci artinya bersih tidak ada sifat-sifatnya
dan tidak ada asmanya
Kalau begitu dengan apa diumpamakanya , kalau tidak ada
sifat-sifatnya ??? dengan dalil yang maha suci berbunyi BILLA HAEFFINartinya
tidak warna tidak rupa , tidak merah , tidak hitam tidak gelap dan tidak
terang. Billa maqonin artinya tidak arah tidak tempat, tidak di barat, tidak di
timur, tidak diatas , tidak dibawah demiianlah keterenganya.
Maka dari itu Nur Maha Suci tidak bisa diumpamakan,
jangankan ditempat-tempatatau ditunjuk di sini atau di sana karena terburu
lainsebab terhalang oleh bukti.
ALAM WACHDAT : MARTABATNYA SIFAT YAG MAHA SUCI
Di alam Wachdat DZAT LAESA KAMISLIHIjadi dzat sifat rupanya
terang –benderang yaitu disebut Johar Awal. Johar artinya cahaya , awal artinya
permulaan yaitu yang mula-mula sebelum ada bumi dan langit apalagi manusia.
Johar awal itu yang disebut hakekatnya hakekatnya Muhammad.
ALAM WACHIDIAT : MARTABATNYA ASMA’ YANG MAHA SUCI
Kejadian dari joha awal . alam wachdat tadi keluar cahaynya
jadi empa rupa yaitu :
1. narun cahaya
merah (amarah)
2. hawaun cahaya
kuning ( lau’amah)
3. ma’un cahaya
putih (mutmainah)
4. turobun cahaya
hitam (sauliyah )
cahaya yang empat itu disebut Nur Muhammad,kalau Nur
Muhammad, johar awal , barang Muhammad, cahaya yang empat itu disebut hakekat
adamyaitu asmanya yang maha suci .
1. cahaya merah jadi
hakekat alif
2. cahaya kuning
jadi hakekat lam awal
3. cahaya putih jadi
hakekat lam akhir
4. cahaya hitam jadi
hakekat ha
5. cahaya johar awal
jadi hakekat tasdit
syari’atnya jadi laffal Allah yaitu cahaya yang disebut
diatas yang menjadikan bibittujuh bumi dan tujuh langit dansekalian isinya
begitu juga agama asalnya dari sini.
Sesungguhnya semua juga dari asma’nya Allah hakekatnya ialah
Muhammad (Nur) cahaya yag empatperkara
kelima johar awal.
ALAM ARWAH : MARTABATNYA AF’ELNYA ALLAH TA’ALA
Allah ta’ala yang menjadikan alam dunia demikian kata akal
dalam perbuatnya seperti boskopyaitu istijradnya bangsa yang diceritakan yaitu
listriknya.
Kalau Nur Muhammad
alam wachidiat yaitu bacaanya
1. narun ibarat kaca
merah
2. hawaun ibarat
kaca kuning
3. ma’un ibarat kaca
putih
4. turobun ibarat
kaca hitam
Kaca yang empat rupa itu disenter oleh johar awal kejadianya
keluar bayangannya :
1. dari kaca merah
menjadi api alam dunia
2. dari kaca kuning
menjadi angin alam dunia
3. dari kaca putih
menjadi air alam dunia
4. dari kaca hitam
menjadi bumi alam dunia
Kuasa-kuasanya Allah ta’ala sekali ujud jadi alam dunia
yaitu jagad kabir, sesungguhnya alam dunia kejadianya dariNur Muhammad.
ALAM AJSAM : MARTABATNYA MANUSIA
SESUDAHNYA TERJADI ALAM DUNIA
Yang maha suci menghendaki lagi untuk membuat adam majaji
terus menyuruh kepada malaikat turun kea lam dunia untuk mengambil aci atau
sari api, angin. Air , bumi, setelah dapat aci-aci yang empatperkara itu lalu
dijadikan
Aci api kejadianya darah – daging
Aci angin kejadianya otot –sumsum
Aci air kejadianya urat- balung
Aci bumi kejadianya kulit -bumi
Kuasanya Allah ta’ala ujud saja jadi dalil MUHAMMAD yaitu
1. cahaya hitam jadi
hakekatnya huruf mim
2. cahaya putih jadi
hakekatnya huruf ha
3. cahaya kuning
jadi hakekatnya huruf mim
4. cahaya merah jadi
hakekatnya huruf dal
5. johar awal jadi
hakekatnya huruf tasdit (pantulan sad’dah)
Kejadian huruf Muhammad sebaliknya dari huruf Allah
mim awal huruf Muhammad tegasnya kepala
ha awal huruf Muhammad tegasnya dada
mim akhir huruf Muhammad tegasnya pusar
dal akhir huruf Muhammad tegasnya kaki
Tetapi sesudah berupa manusia masih belum bisa bergerak,
cepatnya terus dilobangkan empat di mata di telinga di hidung di mulut setelah
itu dimasukan dalam lobang-lobang itu oleh sorotan atau senter dari Nur
Muhammad kejadianya bisa bergerak seperti adam atau jagad kabir jadi
sesungguhnya sekarang juga hidupnya manusia, karena adanya cahaya, sebaliknya
matinya manusia karena tiada adanya cahaya pada jagad sogir atau jasad maka sudah tidak ada kekuatanya, buktinya
cepat berubah menjadi buruk atau jelek.
Demikian pula jagad kabir yaitu alam dunia yang paling kuat
karena masih diliputi oleh sorotanya Nur Muhammad, tetapi kalau sudah kiamat
alam dunia ini sebagaimana seperti manusia sudah tidak ada cahayanya yaitu
gelap saja, bulan bintang dan alam dunia pasti rusak yang ketinggalan hanya di
dalam bumi tinggal gelapnya di dalam air tinggal dinginya di dalam angin
tinggal hawanya , di dalam api tinggal panasnya.
Siapakah yang akan menenpati di dalam neraka ?????. yang
menempati di dalamnya yaitu IDAJIL LANATULLAH dengan kawan-kawanya dengan nyawa
manusia yang tidak bisa balik lagi kepada Allah, sebab waktu hidupnya di alam
dunia tidak dapat melawan penggoda-penggoda dari setan, karena tidak iman
kepada Allah dan Rasulullah.
Karena idajil lanatullah itu tadinya juga malaikat atau
kekasih Allah ta’ala sebelumnya ada nabi adam, setelah kejadian nabi adam,
semua malaikat diperintahkan untuk sujud kepada nabi adam hakiki, tetapi hanya
idajil yang tidak mau, karena dianggap kejadianya lebih tinggi dari adam
diwaktu itu. Allah ta’ala murka kepadanya,mulai hari ini kamu tidak boleh
kembali lagi ke surga, kamu harus tetap di alam dunia, tapi nanti kamu
ditetapkan di dalam dasar neraka sesudahnya kiamatnya alam dunia.
Karena sangat sombongnya idajil itu sanggup saja asal dapat
ijin untuk menggoda anak anak cucu adam atau umat manusia untuk temanya di
dalam neraka. Allah ta’ala mengijinkan dalam permintaanya, tetapi siapa-siapa
yang tidak iman kepada Allah dan Rasulullah.
Demikian kita balik lagi soal kejadian Adam Majaji. Kejadian
itu dari acinya api, angin, air dan bumi. Boleh saja barangkali yang membaca
atau mendengarkan ini kitab menyangka seperti api,angin,air bumi diperasseperti
sagu singkong.
Sebetulnya kejadianya bukan begitu, jadi yang disebut aci
api,angin,air , bumi buktinya yang jadi ditanah seperti pohon yang besar dan
yang kecil untuk membesarkan pohon itu harus dengan empat perkara yaitu :
1. harus diam
ditanah
2. harus kena panas
3. harus kena air
4. harus kena angin
misalnya cukup dengan keteduhan saja tidak menjadi buah oleh
karena pohon harus lama diam ditanah, lama kena panas, lama kena air, lama kena
angin jadi hawanya sudah masuk kedalam pohon setelah besar pohon itu lantas
keluar buahnya.
Begitu juga kejadian nabi adam, hanya bedanya kejadian adam
sama kita, adam dijadikan oleh Allah dan siti hawa, kalau kita umpama bebuahan
harus dimakan dulu baru ada kejadianya.
Wadi, madi,mani,maningkem itu sudah kontak dengan sorotanya
Nur Muhammad yaitu cahaya yang empat perkara.
Maka dari itu kalau barangnya sudah kumpul menjadi satu baru
berupa bayi didalam perut ibu, umpama tidak jadi yaitu tandanya tidakl kumpul
tegasnya tidak bertemu denga Nur atau roh.
Oleh karena Allah ta’ala kuasa menjadikan dan kuasa
meniadakan maka manusia itu tidak ada ke Kuasaanya hanya jadi perantara. Atau
hanya bisa mengadakan tempat roh saja yaitu sekedar yang dimakan, dan kalau ibu
– bapak kita tidak makan tentu tidak ada air maninya.
Kalau bayi waktu di dalam perut belum ada nyawanya yang ada
hanya hidup dengan roh suci. Maka tidak ada rasa apa-apa, barang keluar roh
suci tadi kontak dengan hawa alam dunia yaitu hawanya api, air,angin, dan bumi,
kejadianya pada bayi ada napasnya atau sifatnya, nyawa yaitu hakekatnya rasa
jasmani di dalam waktu itu. Mata bisa terbuka tapi tidak ada awasnya,kuping
berlubang tapi tidak ada pendengaranya, hidung berlubang tapi tidak ada
penciumanya, mulut terbuka tapi tidak ada cerita hanya ada suarnya saja,
setelah diberi susu dan makanan apa saja yaitu dari acinya yang empat perkara.
Demikian pula kejadian darah empat perkara yang disebut roh
jasmani. Darah yang empat rupa temu ketemu dari.
1.
darah hitam : kejadian dari aci bumi, ketemu dengan kulit membesarkan
kulit bayi, hawanya keluar dari mulut buktinya bisa bicara.
2.
Darah putih : kejadianya dari aci air, ketemu dengan tulang membesarkan
tulang bayi, hawanya keluar pada mata buktinya bisa melihat dan awas.
3.
darah kuning : kejadianya dari aci angin ketemu dengan sumsum bayi,
hawanya keluar pada hidung buktinya bisa mencium
4.
darah merah kejadiannya dari aci api ketemu dengan daging membesarkan
daging bayi, hawanya keluar pada kuping,
buktinya bisa mendengar.
Sesudah badanya bayi berubah keluar lagi hawanya yaitu nafsu
yang empat perkara. Amarah, loamah, mutmainah dan sawiyah. Buktinya segala keinginanya yang baik atau yang buruk
Demikianlah membesartkan jasad seperti tenaga, pikiran,
akal, tidak lain hanya pertolongan roh-rohnya bumi,air,angin dan api karena
tidak ada kejadian lagi disana, maka dari itu agar perabot –perabot yang
diberikan oleh Allah ta’alam harus digunakan untuk ibadah di jalan kebaikan dan
cari untuk mengetahui jalan pada asalnya kepada Allah, supaya nanti kita
terbawa sempurna, tegasnya supaya terbawa balik lagi kepada Allah karena
manusialah yang ditetapkan agama dan ketitipan ilmu yang akan bisa menyempurnakan roh-roh se alam
dunia untuk di bawa balik lagi ke Allah.
Maka semua roh-roh se alam dunia juga masuk ke manusia, dengan
roh-roh bumi,air,angin,dan api dan juga roh-roh hewan yang halal dan yang haram
yang bersih dan yang najis itu semuanya masuk ke manusia.
Demikianlah jalan-jalanya seperti pohon kayu, memang tidak
dimakan tapi kayunya dibuat centong atau sendok nasi, tentu rohnya masuk ke
nasi dan juga barang hewan yang haram, jenisnya tak dimakan, tetapi kalau mati
di air seperti bangkai dimakan ikan, ikanya dimakan manusia, maka manusia
sebagai jembatan pada roh yang ada di alam dunia untuk dapat balik lagi kepada
Allah ta’ala.
Maka dari itu Allah ta’ala disebut yang maha suci, karena
Allah ta’ala tidak menyiksa atau menghukum, sesunguhnya yang menyiksa atau
menghukum yaitu dari perbuatanya kita sehari-hari dan roh-roh segala macam yang
sudah masuk kepada manusia itu yang akan menyiksa sebab tidak bisa manusia
membawa balik kepada Allah ta’ala.
Roh api nanti yang akan menjadi neraka panas
Roh air nanti yang akan menjadi neraka dingin
Roh bumi nanti yang akan menjadi neraka gelap
Roh hewan yang menggigit pada nyawa manusia.
ALAM MISAL : MARTABAT ILMU
Siapakah manusia di
dunia yang sudah ma’rifat pada asal ujudnya ??? lautan adam.
Alam ajsam : ilmunya sudah sampai pada pangkat misal artinya
sudah tahu pada asal yaitu cahaya merah kuning, putih dan hitam, nanti kalau
matinya akan masuk surga didalam kenikmatan yang tidak ada bandinganya serta
langgeng tidak putus-putusnya.
ALAM INSAN KAMIL : MARTABAT KESEMPURNAAN
Kadang – kadang manusia di dunia sudah bisa ma’rifat nya lah
yang disebut johar awal atau wahdat pada ilmunya sudah sampai pada pangkat
insan kamil mukamil artinya sempurnaan dari pada sempurna, maka habis rasanya
habis jasmaninya, jadi lagi DZAT LAESA KAMISLIHIseperti waktu sebelumnya kita
turun kea lam dunia.
aaaammmiinnn
-ooo-
17. BAB ; Buka AURA …………
Hong....Sumujud Ngarso Dalem Gusti Ingkang Maha
Suci...Sumungkem Ngarso Dalem Para Pepunden Sari...Sari Utusaning
Gusti....Sembah Sedaya Panelangsa Dalah Panjangka Sedaya Titah...Nyuwun Berkah
Lan Pangayoman....Sedaya Panelangsa Nyuwun Ushada...Sedaya Panjangka Nyuwun
Sembadha...Berkah Nyuwun Lumintuning Rejeki Ingkang Agung Rahayu...Pengayoman
Nyuwun Slamet Sa'Rakyat Sa'Bandhane Ing Donya Dumugi Delahan....Mugi-Mugi
Tansah Lestari....Kerso Saking Kuwasaning Gusti Ingkang Maha Suci....
Buka AURA ;
Pengaktifan, Penyelarasan, Pengukuhan AURA
~Membangkitkan Keberuntungan
~Meningkatkan Inner Beauty & Kharisma
~Meningkatkan Daya Ingat, Kecerdasan & Kreatifitas
~Menambah Daya Tahan Tubuh
~Menggairahkan Semangat
~Menstabilkan Emosional
AURA adalah pancaran diri yang berasal dari PENCIPTA dan
kita miliki semenjak lahir. AURA sendiri tanpa kita sadari sebenarnya menujang
segala aspek kebutuhan hidup. Dimana bila saat pancaran diri mulai redup,
masalah yang kita hadapi akan terasa sangat berat. Berbeda dengan saat pancaran
tersebut sangat kuat. Beban hidup terasa seringan kapas.
Perputaran hidup manusia mengikuti perputaran alam yaitu
bulan yang berjangka 35 hari. Dalam kurun waktu tersebut terjadi gejolak dan
perubahan pada diri manusia. Maka mempengaruhi pancaran AURA pula. Pada saat
itulah berikan perhatian kepada AURA yang sepanjang hidup kita selalu
menyelimuti dan bias menghantar pada tujuan hidup yang diinginkan. Aktifkan,
selaraskan dan kukuhkan AURA. Bagaikan mesin yang perlu ganti oli dan perawatan
rutin. Namun bila sebelum 35 hari mengalami redup atau berubahnya pancaran
tersebut, ditandai dengan kurangnya pengendalian diri. Sebaiknya segera saja
berikan perawatan terhadapnya.
Berbagai macam manfaat AURA:
~Membangkitkan Keberuntungan
Pancaran AURA yang kuat menciptakan sebuah hubungan antara
Insan dengan Khaliknya (YOGA) semakin kuat pula. Membuat kita semakin dekat
kepada SANG PENCIPTA. Karena sebuah kedekatan denganNYA maka Berkah dan
Perlindungan akan selalu diterima.
~Meningkatkan Iner Beauty dan Kharisma
Secara tak disadari pancaran AURA yang bagus membuat kita
terlihat menawan, anggun dan bersahaja. Bagaikan seorang bayi yang baru lahir.
Menarik perhatian setiap insan yang memandang.
~Meningkatkan Daya Ingat, Kecerdasan dan Kreatifitas
Terbebasnya beban pikiran yang memusingkan mempengaruhi
kinerja otak semakin meningkat. Karena kebanyakan orang selalu membatasi dan
memenjara jiwa eksploritasi dengan pola pikirnya.
~Menambah Daya Tahan Tubuh
Keteraturan pola pikir mempengaruhi pola makan menciptakan
pola hidup. Pola hidup yang baik menjadikan kita selalu dalam kondisi sehat.
~Menstabilkan Emosional
Dengan memandang hidup tak serumit yang dibayangkan akan
membuat pikiran dan perasaan negatif menjadi positif. Pikiran dan perasaan
positiflah yang mengatur emosional bahkan hawa nafsu kita.
~Menggairahkan Semangat
Bara api semangat selalu berkobar dan selalu bergairah
manakala seseorang merasa berperasaan baik dan berhasrat bagus.
Pikirkan yang anda inginkan bukan yang tak diinginkan dan
isi dengan kebahagiaan. Ingatan, imajinasi, khayalan bukanlah pikiran.
Berpikirlah namun tak bersandar pada keadaan diri. Yakin dan mantaplah penuh
keberanian hadapi hidup dan kehidupan. Segala sesuatu mungkin dan bahkan bisa
terjadi di dunia ini.
MENJADI ORANG KAYA.
Pada jaman sekarang ini, seiring dengan pesatnya kecanggihan
tekhnologi yang semakin maju. Membuat orang semakin gelisah. Dikarenakan
kebutuhan dan gengsi yang selalu menuntut. Meskipun dirinya tak merasa
demikian. Apalagi sering kali terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan bahkan
berskala global. Semakin merasa berat pula beban yang dipikul di pundaknya. Bagaimana
tidak demikian? Setiap manusia adalah individu yang unik. Mana kala terjadi
sesuatu hal yang jauh dari jangkauan nalarnya, kecemasan dalam hati muncul.
Diiringi bayangan-bayangan nan menakutkan menghiasi kejernihan pikirannya.
Padahal belum tentu benar berita yang tersebar hingga terdengar di telinga.
Bila kita tak mawas diri, semua bentuk kejadian dapat melukai diri kita secara
tak disadari.
Dengan mengendalikan jiwa dan memusatkan pikiran pada hal
yang positif saja. Kita akan dapat melalui segala rintangan hidup. Rintangan
hidup sebenarnya berasal dari pribadi. Pribadi yang baik selalu dapat
mengendalikan jiwanya. Sering kali manusia menginginkan sesuatu yang lebih dan
berlebihan. Padahal sesuatu yang berlebihan dan dilebih-lebihkan biasanya akan
menjadi tidak baik. Rata-rata sering dijumpai manusia memperkaya diri dengan
jalan menyimpang dari norma dan susila. Banyak jalan menuju kebahagian, namun
banyak pula jalan menuju kesengsaraan. Terbukti dengan banyaknya kasus-kasus
kriminal, penipuan, manipulasi dan kesewenangan. Bersihkan diri pribadi dari
semua keangkara murkaan.
Dengan mengendalikan sifat-sifat manusiawi. Jiwa yang baik
pasti berkelakuan baik, ditandai dengan terlihat dari segala tindakannya yang
selalu baik. Cara berpikirnya pun pasti baik. Jarang menunjukkan dirinya sedang
dalam kesusahan. Walau harus kerepotan, dirinya rela membahagiakan orang-orang
terdekatnya, lingkungannya bahkan yang pernah menyakitinya. Raihlah kebahagiaan
mutlak, tinggalkan segala kepedihan derita hidup.
Derita hidup hanya untuk orang yang tersesat. Kebahagiaan
milik seluruh insan. Mengapa kita harus memikirkan terjalnya jurang tingginya
langit yang memusingkan kepala? Ada beberapa manusia yang selalu mengatakan
bahkan merasakan kesengsaraan. Sengsara sebenarnya berasal dari yang
menjalaninya sedang bahagia mutlak bawaan lahir. Bila di kaji lebih dalam,
bahagia atau sengsara semua ada pada diri pribadi. Hidup yang kita jalani
tergenggam dikedua telapak tangan kita. Pilihan selalu ada dan mengharap
sentuhan lentik lembut jemari tangan.
Manakala di persimpangan kebanyakan orang hanya duduk diam
termangu termenung dan akhirnya tersesat. Apakah hal ini selalu kita harap
dalam kehidupan? Hidup untuk menjadi kaya. Perkayalah diri dengan menjalani
merasakan menikmati kebahagian mutlak. Kesejahteraan kemakmuran kedamaian
hanyalah sebuah kiasan. Banyak masyarakat berlatar belakang berkelebihan materi
namun sering kali merasa kekurangan. Sebaliknya ada orang bersahaja kebingungan
harta.
Lalu bagaimanakah cara "MENJADI ORANG KAYA"
itu?????
Pikirkan yang kita inginkan bukan yang tak diinginkan, isi
dengan kebahagiaan. Ingatan, imajinasi & khayalan bukanlah pikiran.
Berpikirlah namun tidak bersandar pada keadaan diri kita saat ini. Berikan
perhatian positif pada pikiran kita. Ketenangan hati sangat di butuhkan dalam
kejernihan berpikir. Sadarilah bahwa segala sesuatu yang kita alami saat ini
adalah hasil dari buah pikiran kita di masa lalu. Dan segala keadaan kita di
masa yang akan datang adalah hasil dari buah pikiran kita saat ini. Kebanyak
orang mengatakan dirinya sengsara dengan hidupnya yang tak menentu arah. Dengan
demikian kebanyakan orang secara tidak disadari menghukum dirinya sendiri.
Padahal menghukum diri sendiri adalah perilaku yang kurang baik. Yang hanya akan
mendatangkan keadaan semakin terpuruk. Ingatlah ketika kita mengkhawatirkan
sesuatu keterpurukan. Maka datanglah keterpurukan itu.
Semakin dalam mengkhawatirkannya semakin dalam pula
keterpurukan terjadi. Dan bila masih terpikirkan datang keterpurukan lainnya.
Seandainya saja seluruh manusia di dunia ini tahu bahwa pikiran yang tak
menentu dan perasaan yang selalu gelisah dapat menjadikan dirinya seperti yang
diinginkannya. Seperti saat merasakan kebahagiaan dan memberikan perhatian yang
lebih pada kebahagiaan tersebut. Maka datanglah kebahagiaan yang lainnya. Hal
ini bukanlah sebuah khayalan semata. Yang hanya merupakan angan-angan belaka.
Namun benar-benar sebuah kenyataan. Pada saat kita mengingat
masa lalu, sama halnya kita menginginkan hal tersebut. Sewaktu berimajinasi
kita hanya menambah beban pikiran kita. Hanya pikiran dan perasaan baguslah
yang dapat menghantar pada tujuan hidup kita. Melalui hal tersebut maka
terpancarlah sebuah kekuatan yang berasal dari SANG PENCIPTA dan disebut AURA.
Setiap manusia memiliki Aura semenjak lahir, namun terkadang
kurang diperhatikan. Segala sesuatu yang kurang diperhatikan akan menjadi tak
terawat dan tak terurus. Parahnya lagi menjadi rusak. Bila telah rusak untuk
memperbaikinya membutuhkan waktu dan ahlinya. Terpancarnya Aura yang bagus
membuat keyakinan dalam diri. Yakin terhadap segala hal. Lingkungan sekitarpun
merasakan kemapanan terhadapnya.
Di tandai rasa percaya diri tinggi dan banyak orang menyukai
dan mengaguminya. Sama halnya ketika kita melihat seorang bayi yang baru lahir.
Manakala mengalami suatu keterpurukan, keruhlah pancaran diri. Dan selalu
menghadapi masalah berbentuk tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar diri.
Terlihat murung, emosional bahkan putus asa.
ILMU KAMUKSAN.
“Peksi Nala“
a. Sallahu allaihi wasallam;
Peksi Nala,
mulih he muliya,
he; Rengkulu, Saka Guru,
Sumuruping Kadratullah,
murub mumbul ing ngawang padhang,
haningali, hawang-hawang.
b. Awang dalem tinut dening iman;
Seg, padang teka padhang,
lah padhang, adoh katon cedhak,
katon byar padhang,
teka padhang,
Peksi Nala, wengakna lawang suwarga,
inepen lawang neraka.
c. Repp…. gregg….hiya iku Peksi Nala;
Kang misesa liyeping Karsa Mulya,
tan ana kerasa,
sampurna ing badane,
selamet sak parane,
teka sakajate! Amin, Amin, Amin!!!!
Bahasa Indonesia
a. Sallahu allaihi wasallama;
Peksi Nala,
Kembali…. hei…. kembalilah,
hei, Rengkulu, Matahari, Saka Guru,
yang meresap dikodratullah,
menyala dan membubung diangkasa cemerlang,
melihati langit dan angkasa.
b. Wahana-MU diturut oleh iman;
Seg, teranglah dan terang,
okh, terang, sekalipun jauh terlihat dekat,
kelihatan…. pyaar…. cemerlang terang,
sekonyong-konyong………. terang,
Peksi Nala, bukalah pintu surga ini,
tutuplah pintu neraka ini.
c. Repp…. gregg….yaitu Peksi Nala;
Yang misesa liyepnya Karsa Yang Mulia,
tiada terasa apa-apa,
sempurnalah dibadannya,
selamatlah kemana perginya,
sampailah segala niatnya! Amin, Amin, Amin!!!!
Makna bait-bait wirid di atas khusus bagi orang yang akan
menuju keakhir kejadian, atau sewaktu kita hendak ajal! Karenanya, dilarang
untuk bahan pembicaraan, menjaga kemurnian sastra tersebut, kalau memang
diperlukan hanya dua kali di ucapkan untuk “menolong” orang-orang yang akan
meninggal dunia, artinya hanya di peruntukkan dua orang pada hari itu bilama
(di desa) tempat kita terdapat kematian!
Kalau wirid dibait-bait tersebut hanya dibaca saja tanpa
pengertian yang mendalam samalah artinya kalau kita sewaktu meneriakkan
slogan-slogan reklame; seyogyanya dihafal serta mengerti satu persatu apa dan
dimana, surga, neraka dan akhirat serta bagaimana cara menyelaraskan wahana
tersebut. Saya yakin apabila tidak disebar luaskan, maka Ilmu Kamuksan di atas
akan lenyap bersama orang-orang Tua-tua yang mempunyai Ilmu itu atau Wirid Ilmu
Khaq Sejati yang sempurna, dikarenakan uleh dua faktor:
Pertama, orang Tua-tua kita masih merahasiakan, Kedua,
dibawa oleh puputnya umur orang-orang tersebut!!!
Sungguh-sungguh akan berterimakasih para jiwa-jiwa yang
meninggalkan badannya setelah mendapat “wisikan atau bisikan” bunyi ilmu
tersebut, karena peribahasa memberikan tongkat
orang yang akan tergelincir, atau memberikan obor orang yang sedang
kegelapan!!!
Cara untuk mengamalkan ilmu tersebut (kepada siapa ilmu itu
diberikan), terserah kepada para pembaca, kalau tidak dengan wajar sebagaimana
Guru mengajar muridnya, (seyampang orang-orang selagi hidup) setidak-tidaknya
“berikan ilmu” ini terhadap orang yang akan menemui ajal dengan cara
membisikkan melalui telinga kirinya!!!
Dengan demikian mulai sekarang, dari pada kita dicekam rasa
kecewa dibelakang hari, sebab pada alam Sakarotilma’oti tidak seorangpun akan
dapat menolong kita, sekalipun dengan suatu “matram” yang dianggap ampuh!!!
Untuk lebih memudahkan dan meresapi dalam mengamalkan ilmu
tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. “Peksi Nala” artinya : Peksi = burung, sedangkan Nala =
hati (dari bahasa Kawi), jadi maksudnya hati laksana burung.
Sedangkan “Ilmu Kamuksan” berasal dari bahasa Kawi yang
artinya : mati dengan disertai badannya, wadagnya atau jasadnya, hal-hal mana dulu banyak
dilakukan para leluhur kita seperti para Raja-raja, Pandhita-pandhita pada
zamanya!”.
“Rengkulu, Srengenge-srengenge (matahari), Soko Guru”
artinya : Rengkulu = bantal, Srengenge-srengenge = sifat panas, Soko Guru =
tiang rumah yang jumlahnya empat; kiasannya, hati manusia itu
sadar-taksadar-selalu bersandar kepada empat nafsu yang selalu panas!”.
“Sumuruping Kodratullah” bahasa ini mempunyai dua makna :
“sumuruping” atau dapat diartikan meresap atau telah mengetahui. Bila “sumurup”
ini disamakan dengan “surup” akan menjadi “kesurupan” artinya dimasuki; jadi
yang tepat adalah “meresapi”, jelasnya semua pekertinya bathin yang berpangkal
dari “hati” itu, benar-benar diresapi oleh kodratnya Allah atau hati adalah
benar-benar bekerja atas kuasanya Allah! Ingat bahwa semua yang lahir maupun
yang bathin adalah kehendak dan af’al-Nya!.
b. Yang terpenting dalam pengamalan Peksi Nala sewaktu
“mendobrak” pintu surga dan neraka, selanjutnya surga dan neraka adalah
“jodohnya” atau dapat diganti dengan sebutan : senang atau susah, sehat dan
sakit adalah satu rasa yang dirasakan oleh hati, di dalam dalil Qur’an
diterangkan bahwa azab neraka berpangkal dari tiga pintu, tetapi pintu-pintu
yang sebenarnya berjumlah tujuh!.
Uraian-uraian selanjutnya sejajar dengan Wirid Hidayat Jati.
Inilah hakekatnya dari pada Roh dan Hati Surga dan Neraka :
1. HATI PU’AT : ialah jantung, pintunya di puser, rohnya
disebut Rohullah; Surganya dinamakan Jannatul Na’iem, maksudnya lebih nikmat,
buktinya tidur pulas. Nerakanya Jahanam, artinya lebih panas, buktinya lapar
dan sakit perut!
2. HATI MUZARAT : YAITU Syulbi, pintunya di zakar, rohnya
Roh Qudus, Surganya Jannatul Adnin, maksudnya lebih elok, buktinya keluar mani,
Nerakanya Zakinn, artinya lebih dingin, buktinya waktu mandi zinabat, atau
kencing!
3. HATI TAWAJUH : yaitu perut, pintunya di anus (zubur),
rohnya Roh Syirikul’alam, Surganya Jannatul Thawwab, maksudnya puas, buktinya
kentut dan berak; Nerakanya disebut Wailun maksudnya lebih sakit, buktinya
waktu sakit berak dan berak darah!
4. HATI SALIM : yaitu ginjal, pintunya di hidung, nafsunya
Mutmainah; warnanya putih, kerjanya mencium, membau, rohnya Roh Ruhkani; Surganya Jannatul Firdaus, artinya lebih lama, buktinya keluar
masuhnya nafas; Nerakanya disebut Asfala’safilien, maksudnya sesak nafas,
tandanya sakit mengi (sesak nafas)!
5. HATI SANUBARI : yaitu limpa, pintunya di mata, nafsunya Sufiyah,
warnanya kuning, pekernya melihat, rohnya Roh Rabani; Surganya Jannatul Syamsi,
artinya lebih terang, buktinya mengetahui segala yang ada; Nerakanya Syahhir,
artinya gelap, nyatanya sakit lamur atau buta!
6. HATI MAKNAWI : yaitu empedu, pintunya di telinga,
nafsunya Amarah, warnanya merah, rohnya
Roh …. (?); Surganya Jannatul Ma’oti, artinya lebih elok, buktinya perpaduannya
suara; Nerakanya Laliem, maksudnya pepet, nyatanya sakit telinga atau tuli!
7. HATI SAWADI : yaitu usus, pintunya mulut, nafsunya
Aluamah, rupanya hitam, pekertinga bicara, rohnya Roh Ilafi, Surganya Jannatul
Syukhri, artinya lebih suka, nyatanya tertawa; Nerakanya Sukhra, maksudnya
risi, nyatanya waktu menangis!
Makna sebenarnya dari Ilmu Kamuksan diatas terletak
bulat-bulat pada kesempurnaan badaniah yang mengharuskan kesehatan disamping
latihan bathin yang khusus bagi kebatinan! Apakah hanya dengan membaca wirid
Ilmu Kamuksan tersebut akan otomatis begitu saja setelah ajal kita sampai,
kemudian badan dan jiwa sempurna dan lenyap? Syukurlah kalau wirid diatas tanpa
dipelajari dan tanpa syarat-syarat apapun dapat menyempurnakan pati dan hidup
kita! Kalau jawabannya “belum” percumalah, walaupun bagaimana keampuhan
wirid-wirid tersebut tetap tidak akan dapat menolong! Sesuai falsafah Jawa,
asal kita dapat melatih Semedi pada jam-jam tertentu dengan melatih juga
“mengembalikan” kondisi aslinya indriya-indriya tersebut misalkan : kembalikan
suara, artinya melatih tidak mendengar sesuatu, kembalikan bau artinya hidung
berhenti dulu tidak membau dan sebagainya; bukan berarti seperti zaman yang
sudah-sudah kita diharuskan mengembalikan “suara kepada yang punya suara”,
dalam pemikiran timbul gugatan “Siapa yang punya suara”?
Menurut Wirid Hidayat Jati “Iradatnya Dat” dalan bahasa
Indosnesia-nya kurang lebih sebagai berikut : ………. karena sebenar-benarnya yang
menjadi larangan atau pantangan dari para ulah Ilmu Kasampurnan itu hanya
terletak pada “nafsu”. Kalau dapat mengikis (mengurangi) biasanya timbul hati
yang awas dan ingat (awas lan emut, Jawa).
Karena benar-benar bahwa kita hidup melulu pengemban rasa
dengan keterangan-keterangan Hidayat Jati tersebut benar dan nyata bahwa surga
dan neraka yang berpintu tujuh dari poko asalnya (salurannya) berpintu tiga
bukan di “sana-sana” tetapi disilah, dibadan kita yang keselurahannya minta
perhatian khusus, agar tidak nyeleweng yang dapat menimbulkan rasa-rasa yang
kita inginkan! Sesungguhnya memang Peksi Nala-lah yang dapat mempengaruhi,
misesa, memerintah atau mengendalikan semua hasrat-hasrat lahir bathin;
karenanya benar-benar sukses atau tercapai segala tujuan, hanya terletah pada
hati!.
Harap diingat bahwa wirid tersebut sekali lagi hanya dapat
“MERINGANKAN” jalannya Roh waktu meninggalkan badan sewaktu ajal, agar tidak
terperosok ke alam penasaran, lebih-lebih kalau mulai sekarang kita amalkan dan
hayati sesuai petunjuk Guru masing-masing, insya’allah ajal kita menuju
sempurna, kembali ke asal awalnya “DARI TIADA RASA KE TIADA RASA”!! Amin, Amin,
Amin.
Bab. (1)
TINGKATAN-TINGKATAN ILMU
(KAWERUH – JAWA)
Kata Tingkatan itu artinya dari jenjang bawah sampai atas
untuk menyembah (shalat) kepada Allah (Hyang Widi – Jawa), tingkatannya adalah:
Syari’at, artinya artinya pedoman yang sudah ditentukan
harus patuh (wajibul yakin), jadi ahli Syari’at itu harus patuh keyakinannya
(apa katanya) amalannya menurut hukum halal haram, yang diyakini betul-betul
dan hukum membedakan halal dan haram, peraturannya, sembahyang, zakat, fitrah,
puasa dan naik haji kalau mampu. Semua dijalankan berdasarkan ikut-ikutan
menurut kemauan orang banyak, lalu ikut-ikutan menyembah kepada Allah, menurut
peraturan agamanya masing-masing, jadi begitupun wajib harus begitu disebut
imannya Wajibul yakin.
Bung Karno presiden Indonesia asal dari Ngebang (blitar)
sekarang menjadi Presiden Indonesia, dia mengetahui hanya cerita orang banyak,
jadi kalau cerita itu salah, kepercayaan itu tetap salah. Umpama diteliti
(telaah) pendapat tadi dengan jernih, tingkatan Syari’at setiap hari
menunjukkan kedisiplinan bertindak menurut hukum yang ditentukan. Mengenai
tentang pendapat Prof. Dr Usman dekan markas Angkatan Darat berbicara begini;
ngerjakan rukun Islam itu pertama menanam rasa disiplin, jiwa atau jasmani,
membersihkan diri , mempunyai semangat yang tinggi, watak kasih sayang, selalu
sedekah (memberi pertolongan bagi yang membutuhkan), budi pekerti yang tinggi,
yang saya lihat; saya bangun bagi lalu belum sembahyang (shalat) merasa malu
kalau disebut bukan orang muslim, jadi berbuat karena malu.
Tarikat, meningkat mencapai kebathinan (Qalbu – Arab),
melaksanakan puasa mengendalikan pikiran. Jadi tarikat itu melaksanakan
berdasar pengetahuan mengendalikan pikiran (mengasah pikiran), membaca
buku-buku agama, wirid, berguru, bertanya, dan musyawarah tentang ilmu Allah.
Tarikat mempergunakan pikiran untuk mengupas (mencari) tanda-tanda saksi Allah.
Jadi tahu kalau basil-basil itu hidup memiliki apa, membuat keyakinan menguat.
Zaman dahulu para ahli kitab masih termasuk tingkatan Tarikat, artinya hanya
tahu saja (mengerti), karena pengetahuan sudah mantap lalu imannya disebut
Ainul Yakin, contohnya begini; pengetahuan (mengetahui) kalau Bung Karno itu
Presiden, memang sudah melewati Istana Presiden dan mendengarkan pidatonya,
jadinya kira-kira rumah Bung Karno sudah Tahu tetapi belum pernah jumpa dengan
Bung Karno sendiri.
Tataran (tingkat Tarikat) itu walaupun sudah mengetahui
tidak pernah meninggalkan Syari’at agamanya, jadi Tarikat itu hanya naik kelas
(tingkat). Pada tingkatan itu para pengikut menerima ajaran guru seperti
berpuasa, tekadnya hanya meniru sifatnya Allah saja, sucinya dan adilnya,
disitulah terbukanya ilmu itu supaya keterima ilmunya harus praktek (shalat
Tarikat) mengendalikan pikiran. Ahli Tarikat itu bisa membedakan yang benar dan
yang salah dari orang lain ataupun diri sendiri, lalu bisa mempunyai sifat
kasih sayang dan sayang kepada seluruh umat-Nya (Allah), besar wibawanya,
mengetahui kemauan dirinya sendiri. Semua itu membuat terbuka hatinya. Apa
sebabnya kita harus kasih sayang kepada umat-Nya (Allah), yang mengendalikan
hawa nafsu (mengupas hawa nafsu). Menurut Wedaran Wirid Tarikat itu jalannya
hati (Qalbu), karena hati mempunyai kemauan yang sangat cepat seperti kilat,
lalu Tarikat memerangi pengaruh yang berupa keinginan yang timbul dari hati.
3. Hakikat, yang disebut Hidayat Jati, Hakikat itu Shalat
sejati yang tidak merasa geraknya aku (jasmani, pikiran, perasaan sudah
disingkirkan / dikendalikan), jadi gerak (makarti-jawa) aku tidak merasakan
aku. Hakikat itu imannya para Mukmin (Aulia), imannya disebut Haqkul Yakin,
artinya Nyata (benar). Percaya kalo Bung Karno menjadi Presiden karena sudah
masuk rumahnya tetapi belum jumpa langsung/berhadapan dengan Presiden Sukarno
(Qalamullah – Arab). Ditingkat itu terbukanya Kijab atau batas antara manusia
dengan Allah (kawulo – jawa), cocok dengan Hadist Nabi : “siapa yang
betul-betul mengetahui dirinya benar mengetahui Allahnya”, karena Hakikat itu
Sembahnya (Shalat) Roh (jiwa), keadaannya diliputi tidak merasa apa-apa, lalu
para ahli suluk, Sufi, tapa dan mempunyai pendapat atau keterangan begini :
“aku ini tidak ada, yang ada yang mengadakan (yang menciptakan)”, keterangan
atau ketentuan tadi membuktikan sempurnanya Hakikat dan bisa menguasai
jasmaninya melalui Rohaninya, kata lain sifat dan Hakikatnya DAT sudah menyatu
(manunggal-jawa). Di tingkat yang begitu sebutan sakit, pening/pusing, panas,
dingin dan mati itu tidak ada, yang benar yang disebut menyatu (Widhatul Wujud
– Arab). Di kitab Suluk disebut begini : “hatinya yang beriman berdirinya Roh
kita”, Hakkikat itu menuju sejatinya kemauan, yaitu tingkatan jiwa yanng
menyerahkan diri pada Allah (Hyang Widi – jawa), karena sudah tidak mempunyai
perasaan tidak ikut-ikut memilki, Iktikat itu serupa dengan menyebut serupa
yang disebut satu, perjalanan sehari-hari orang yang sudah begitu menurut aku
pada kemauan DAT (sifatnya Dat).
4. Ma’rifat, tingkatan itu imannya para Arifin yang disebut
Isbatul Yakin, artinya sudah sempurna, sempurna keterangannya begini : sudah
kerumah Bung Karno, sudah salaman dan berbicara langsung/berhadapan dengan Bung
Karno. Keterangannya sudah Ma’rifat semua ilmu, pengetahuan, amal ibadah,
filsafat dan lain-lainnya sudah menjadi satu, sudah mengetahui sebab dan
akibat, disebut diwirid Hidayat Jati : Zikir azalalah, artinya zikirnya rasa
didalam alam cahaya disebut zikir Ma’rifat, sempurnanya tidak merasa apa-apa.
Keterangan tersebut diatas tadi disebut tingkatan Islam. Kata Islam sebenarnya
bukan agama, itu hanya kebisaaan orang mengatakan, jadi nama-nama agama menurut
yang menyiarkan, umpama agama Budha yang menyiarkan Sang Budha, Kristen yang
menyiarkan Yesus Kristus, jadi agama Islam disebut agama Muhammad, artinya
tidak menjadi masalah, sebab yang menyiarkan Nabi Muhammad, Islam itu kata-kata
penerangan (menunjukkan) sesuatu, barangnya tidak bisa dijangkau tetapi bisa
dirasakan, jadi Islam itu sesuati iktikat yang luhur (suci). Kata suci
keterangan lahir dan batin, kasar dan halus (nampak dan gaib), tidak bisa
berubah. Kata suci (Islam) itu artinya tidak apa-apa (tidak bisa dijangkau),
itu sebabnya kata Islam disebut suci bisa dikatakan telah bersujud pada Allah.
Kata bersujud (pasrah) itu bukan main-main, hanya yang bisa yang melaksanakan
Nabi, Wali, Aulia, Pandita, Guru yang sudah semprna. Bukti untuk sehari
walaupun hanya kata-kata (nama) sebagaimana tertera dalam wirid Hidayat Jati
itu, tidak ada apa-apa, jika diteliti kata tidak ada apa-apa tadi waktu
menginjak dunia yang pertama dikatakan lahir didunia melalui tidak tahu
apa-apa. Jadi kata sehari-hari Islam yang kita bicarakan dari bahasa Arab,
artinya bersujud suci (sunyi senyap tidak ada apa-apa), jadi bebasa dari
keinginan. Dalil di kitab Al Qur’an surat Al-Baqarah : 131 :
“ketika Allah berfirman, “kamu harus Islam bersujud kepada
Allah”, Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
Jadi yang namanya Islam itu umpama sudah menjalani yang
empat tingkatan tadi dari yang Syari’at, lalu mencapai tingkat Ma’rifat disebut
bersujud (Islam/suci) terhadap Dat yang wajib adanya, berdasarkan ukuran Layu
kayafu (tidak bisa dijangkau), artinya jika kita mau bersujud (sumarah-jawa)
harus memakai pakaian Layu Kayafu (tankeno kinoyo ngopo – jawa), contoh : jika
tentara mau menghadap Presiden harus memakai pakaian seragam lengkap, pangkat,
sikap tegak dan lain-lain baru dapat diterima, apalagi manusia menghadap Allah,
harus lebih lengkap lagi, umpama Tauhid, pikiran bersih, hati bersih, pasrah,
tidak ingin apa-apa (merasakan apa-apa) dan Islam, itu baru tingkat Ma’rifat.
Jadi menjadi Islam itu kalau sudah bisa menyingkirkan aku
pribadi, yaitu sudah diterima At-tauhidnya, sementara orang bisaa memerlukan
makan, lalu belajar Ma’rifat selagi masih hidup, kalau tidak lulus (mencapai
Ma’rifat) lain perkara, rahasianya begini : siapa yang (waktu) didunia belum
bisa Islam (sumarah) nyerah diri, tidak bisa meninggalkan keduniaan At-tauhid
(menyatu), kalau sewaktu Sekaratil maut (menjelang ajal)/koma, akan mengalami
yang menakutkan dan mengalami seperti dialam kubur, sebaliknya umpama bisa
At-tauhid (Islam) suci menghadap kepada Allah; itu nanti kalau Sekaratil maut
(menjelang ajal) Insya Allah langsung menghadap kepada-Nya (Allah) yang disebut
Inalillahi Wa inalillahi Roji’un, kalau Budha melewati alam Nirwana. Orang yang
sudah Ma’rifat itu disebut Arifin, artinya Muslim, siapa yang ingin mencapai
tingkatan Ma’rifat, contohnya seperti dalil dibawah ini, pesan Nabi Ibrahim As
dan Nabi Yakub kepada anak cucu; Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 132 ;
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati
sebelum jadi Islam (Ma’rifat)”
Jadi jelas sekali yang ditakuti sewaktu Sekaratul Maut
(menjelang ajal). Keterangannya begini : siapa yang hidup mencapai Islam, maka
seperti sudah bisa menghadap dihadapan Allah (lihat tentang Bab pengetahuan
mati), karena Islam itu bagi orang Ma’rifat menjalaninya melalui jalan yang
tidak bisa dijangkau (Layu Kayafu), hanya sekali itu sudah menjadi Islam, ada
yang selalu mengalami, ada yang seumur hidup hanya sekali, tergantung dengan
yang menjalani. Menurut Dalil tadi para leluhur agama Islam pasti tujuannya
suci. Jadi Islam suci sesungguhnya sudah diuji pada zaman sebelum Nabi
Muhammad, jadi Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Isa as dan Nabi
Muhammad SAW itu satu tujuan, yaitu Islam (mencapai Ma’rifat).
Menurut Kyai Agus Salim, Islam berasal dari bahasa Arab,
asalnya kata Salama, artinya Selamat, sentosa tidak kurang dan tidak rusak.
Kata tadi menjadi kata Aslama, kata tadi berusaha menyelamatkan (menyucikan)
dari yang tidak baik, pertama pada diri pribadi, kedua pada manusia dan
makhluk-makhluk-Nya. Selain itu kata Aslama itu sama dengan pasrah menghadap
kepada Allah, jadi kata Islam itu sudah mengandung arti keseluruhan.
Dari keterangan diatas agama Islam itu Azazan, perintah
untuk menyelamatkan manusia dan alam raya seisinya, selain dari itu kata Aslama
artinya menyerahkan diri sepenuhnya, jadi kata Aslama itu pokoknya kata Islam.
Kata Islam berarti sumber dari segala kata (pokoknya). Dari keterangan di atas,
kata Islam itu bukan sekedar nama, umpama Hindu, Budha, Kristen, kata-kata tadi
artinya supaya dipahami menurut buktinya (artinya).
Agama Islam itu ajaran, perintah dan petunjuk manusia dan
alam seisinya tunduk kepada Allah, jadi harus dinyatakan dengan gerak,
kata-kata, budi pekerti untuk menjaga keselamatan dunia dan akhirat.
Kata Kyai Agus Salim seperti diatas itu umpama diteliti
dengan benar, menunjukan perbedaan antara satu agama dengan agama lain,
singkatnya agama-agama tadi tidak satu tujuan dengan agama Islam, jadi Islam,
Budha, Kristen itu hanya nama agama.
Menurut dasar surat A-Israa : 15 terdahulu (Bab I ), semua
itu hanya sebutan sekedar nama, tidak beda sebutan (nama-nama), ada yang
mengatakan Allah, Got Theo, Gusti Allah, Hyang Widi dan lain-lain, itu semua
yang memberi nama hanya manusia sendiri. Menurut Wirid (ajaran) kata Islam itu
sebutan salah satu agama, bukan kata sebutan, tetapi kata Saik yang artinya
seluruh manusia tidak membedakan agamanya yang penting bisa menyatu dengan
Allah (At-tauhid). Sebenarnya kata Islam itu Ma’rifat, akan tetapi ada kata
Budha, Islam sejati. Islam sejati itu hanya untuk orang jika dicubit merasa
sakit.
Arti Rahasia hanya tanda yang digunakan oleh orang yang
membutuhkan tetapi semangat saja yang sama, yaitu mencari kebenaran Allah.
Kata Ma’rifat itu asal dari bahasa Arab yaitu Arafah,
artinya melihat, tetapi bukan memakai mata atau pikiran (pengetahuan).
Kata-kata melihat itu bukan pakai mata tetapi mengarah ke ilmu, dan Ma’rifat
itu tahap mengetahui Wirid (pelajaran); melihat Allah tidak memakai alat mata
dan tidak memakai pikiran. Melihat Allah terhadap Wirid artinya siapa saja bisa
mencapai Ma’rifat, tetapi apa yang akan di Ma’rifati jika tidak tahu tentang
hal ketuhanan (Allah), dan Ma’rifat itu bertekad, sudah pandai melakukan Zikir,
Sholat Tauhid, Semadhi (Yoga) saja tetapi disertai ta’at, patuh dan yakin
kepada agamanya. Umpama ta’atnya para ahli Syari’at hanya karena takut kepada
peraturan; sholat, puasa, zakat, fitrah, naik haji merasa sudah menjadi Islam.
Tetapi terhadap Ma’rifat selain menurut perintah agama lalu disertai tekun
(kuat) terhadap sesuatu tujuan sehingga patuh (ta’at) terhadap tujuan untuk
membuktikan Allah itu ada.
Orang olah (melatih) batin terhadap orang Ma’rifat itu
membuktikan bukam gampang, sebab orang-orang itu batinnya sudah memiliki sifat
Allah, umpama sifat kasihnya yang biasanya lalu menjadi watak kasih sayang
terhadap sesama. Kata Kasih Sayang menurut Allah (Rahman dan Rahim- Arab),
tidak beda-beda, buktinya para Nabi, Wali, Mukmin semua mempunyai sifat kasih
sayang, sudah ditujukan untuk diri sendiri menjadi untuk semua (universal),
walau begitupun masih ada ingin perang dan membunuh musuh, begitulah orang yang
sudah mengerti bahwa perang atau membunuh musuh itu mestinya pasti merusak
rumah tangga. Tetapi terhadap orang yang sudah mengetahui rahasia alam, itu
tidak mengherankan hanya menjadi kewajiban (tugas). Perang dan membunuh
terdorong oleh kasih sayang dan suci, daripada menjadi hancurnya dunia (merusak
ketentraman), maka harus dibunuh (dimusnahkan). Jadi para bijaksana
melaksanakan tadi sama menuju keselamatan dunia, tujuannya menyelamatkan dunia
dari semua penghalang, begitulah eloknya / sempurnanya Ma’rifat.
Bab. (2)
DALIL, HADIST, IJEMAK DAN QIYAS
Umumnya di kampung, kota dan lain-lain; pengikut Agama
walaupun berbeda Agamanya yang dituju terlebih dahulu terhadap ilmu, yang
dituju terlebih dahulu pasti sempurnanya kematian, maksudnya umpama mempunyai
niat ingin mencoba merasakan kematian, merasakan bagaimana mati itu. Perkataan
dalam Wirid; hidup yang menyebutkan sekali, itu sebenarnya bekal ilmunya Allah
SWT, itu disebut kenyataan (kasunyatan – Jawa) itu tidak dusta dan bisa
dibuktikan. Bahasa Arab ilmu Haq, artinya nyata. Jadi kebisaaan jawa ilmu
Kasunyatan atau nyata. Di pedesaan murid-murid disumpah (diwejang – jawa) bisa
juga ditakut-takuti, umpama kalau kamu melanggar maka perutmu pecah. Bagi orang-orang
yang disedikitpun belum mencapai Tarikat, benar salahnya terdapat pada
perbuatan, walaupun pintar atau bodoh, karena murid itu mengerjakan karena rasa
takut, jadi keadaan masyarakat menjadi tentram. Murid satu perguruan dan lain
perguruan saling tidak sepaham dan sering kali berdebat soal pendapat,
menyebabkan pecah dan simpang siur mencari kebenaran sendiri-sendiri, perkara
ilmu yang belum pasti benarnya.
Keterangan diatas untuk contoh jangan sampai tersebarnya
kebatinan (ilmu Qalbu) di tengah masyarakat berlarut-larut terus menjadikan
orang panatik, artinya patuh terhadap ajaran gurunya, yang tujuannya bisa salah
arah tujuan semula, menyembah selain Allah, lalu harus bersujud kepada Allah
serta memohon petunjuk Allah supaya diberi petunjuk (dibukakan hatinya).
Allah berfirman, Al-Qur’an surat Al-Israa : 72
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya
di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar)”
Mengingat Firman Allah itu lalu timbul pertanyaan; “Apa
sudah benar pelajaran guru itu” lihat surat Al-Israa diatas, siapa yang
tanggung jawab didunia dan akhirat, kalau ilmu gurunya itu salah. Terbukanya
ilmu itu mesti bergaul, bertanya, membaca buku-buku tentang ketuhanan.
Kita sendiri yang teliti, yaitu akal / pikiran harus
digunakan, yang penting mau menjalankan, keterangan disini dan seterusnya, baru
bisa jadi mendapatkan ilham dari sifat-sifat Allah. Hasilnya menjalankan dan
membersihkan diri, lalu mendapat keterangan yang sejujur-jujurnya
(selurus-lurusnya).
Sekarang mengenai belajar ilmu, yang penting si Guru harus
waspada memilih, karena banyak orang yang mengaku-ngaku karena peringatan
(wulangreh – jawa). Kalau berguru ilmu harus :
1. memililah manusia
benar.
2. yang baik
kelakuannya (terpandang).
3. Serta mengetahui
hukum.
4. Yang beribadah dan
mengetahui.
5. Kalau bisa orang
yang sudah bertapa (menjalankan shalat Hakikat).
6. Yang sudah tekun.
7. Tidak mau
mengharapkan orang lain.
8. Itu pantas kita
jadikan Guru.
9. Sama-sama kita
ketahui.
Nasehat di Wulangreh (syair jawa) :
1. Manusia yang jelas
statusnya; bukan seperti gelandangan (Avonturer), bukan tukang tipu, yang lupa
janji, tetapi orang yang pantas dipercaya perkataannya.
2. Yang baik
martabatnya, yang baik budi pekertinya.
3. Yang mengetahui
hukum; orang yang telah mempelajari seluruh bidang hukum; hukum pidana, hukum
tata negara, hukum perdata dan hukum agama yang penting.
4. Yang beribadah
(tawaduk – Arab) dan orang yang taat kepada peraturan agama Islam, Kristen,
Budha dan lain-lain, Wirangi artinya orang yang segala tindak tanduknya
(perbuatannya) tidak sembarangan.
5. Orang yang
bertapa; orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya.
6. Orang yang tekun;
orang yang tidak mau menjadi beban orang lain.
7. Tidak mau
pemberian orang lain; artinya tidak mau jasa orang (sepi pamrih – jawa), tidak
mau di puji (takabur).
8. pantas di Gurui;
untuk simurid harus memilih terhadap siapa yang pantas digurui, yang memenuhi
syarat-syarat seperti diatas.
9. Harus kamu
ketahui, itu peringatan bagi simurid harus banyak pengalaman walaupun tidak
pandai, harus menerima dan mempunyai perasaan, karena sebagai murid harus
mempunyai rasa malu walaupun tidak memberi, umpamanya karena siguru tidak
pernah meminta, lalu kita diamkan, itu salah seorang mempunyai perasaan pasti
malu jika tidak memberi imbalan kepada gurunya. Orang salah sangka dengan umum
walaupun siguru masih muda dan tidak mempunyai tempat, orang yang terbuka
pikiran itu tidak perduli muda atau tua, banyak yang sudah tua tetapi kosong
tidak berilmu, tetapi dizaman sekarang banyak pemuda yang mempunyai satu
perguruan (membentuk suatu perguruan). Tuhan (Allah) membuka hatinya menurut
kehendaknya, seperti dalil Al-Qur’an surat Yusuf : 22 ;
“Dan tatkala dia cukup dewasa (29) Kami berikan kepadanya
hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik.” 9]. Nabi Yusuf mencapai umur antara 30 – 40 tahun.
Kata dewasa (ahqil baliq) terhadap siapa saja yang sudah
dewasa, pikirannya sudah dewasa, buktinya begini; sang Sidarta adalah putra
mahkota kaya dan pandai, ia putra Raja dipegunungan Himalaya, Raja Shudadana,
lahirnya Sidarta lalu ibunya meninggal dunia, pada umur 29 tahun (muda belia)
lalu ia bertapa memohon kepada Yang Maha Benar, sesudah terbuka pikirannya lalu
menjadi Budha, pelajarannya sampai sekarang masih hebat dan benar. Dan lagi
tentang Nabi Isa as. (Yesus Kristus) putra Mariyam, siapa saja langsung heran
kepada Nabi Isa as. pada waktu lahir Nabi Isa umur 3 (tiga) hari langsung bisa
bicara dan berdiri sebagai Nabi utusan Tuhan, ingat baru umur tiga hari belum
dewasa sangat muda. Terakhir Nabi Muhammad SAW itu menjadi pengembala kambing
(domba) ikut pamannya semasa Nabi Muhammad umur 30 tahun, didorong oleh kemauan
sendiri lalu Nabi Muhammad bertapa di gua Hira mengendalikan semua kemauannya
(nafsu) mencari Dat yang benar (Allah), langsung menjadi Rasul (utusan) sampai
menjadi penegak Islam. Allah membuka pikiran para orang mencari kebenaran,
ternyara orang-orang yang masih muda-muda sesudahnya memilih (membedakan) yang
benar dan salah, berdasarkan dalil (firman Allah) atau tidak, artinya Dalil
pedoman, tanpa Dalil (unik seperti tahayul). Jadi orang yang ingin menjadi guru
harus memakai 4 landasan yaitu :
1. Dalil itu Firman-firman Allah di kitab suci Al-Qur’anul
Karim. Sampai sekarang dicetak supaya tidak berubah isinya, hanya Al-Qur’an
sendiri, artinya begini; Qur’an itu bahasa Arab, ayatnya 6666 dan sudah disalin
beratus bahasa, siapa saja mau merubah isinya atau ditambah tulisan lain tentu
ketahuan, karena asli bahasa Arab masih utuh.
2. Hadist itu pendapat/perbuatan Nabi Muhammad yang benar
semua, pengetahuan yang tidak ada terdapat di Al-Qur’an, Hadist suci itu
disebut Hadist Syahih, Bukhari, Muslim, Hadist selainnya, Hadist lainnya kurang
dipercaya, membacaya harus dicocokan dengan angka-angkanya, apalagi Al-Qur’an
harus dicocokkan dengan Jus, Ayat-ayat dan Surat-surat, apalagi sekarang banyak
Hadist dan Al-Qur’an berbahasa Jawa.
3. Ijemak, yaitu pendapatnya para Ulama agung pada zaman
Nabi Muhammad atau pendapatnya para sahabat empat yang akrab dengan Nabi
Muhammad, yang teliti (cerdik), yang tidak berdasarkan Mahsab (pendapat orang
yang bisa diubah-ubah). Sedang Ijemak itu dasarnya ulur tarik menurut akal
pikiran, jadi Ijemak itu pendapat dimasa zaman terdahulu yang disetujui para
Ulama lebih dari 5 (lima orang ulama).
4. Qiyas, yaitu pendapat berdasarkan akal/pikiran, artinya
keterangannya tidak berdasarkan Al-Qur’an atau Hadist, tetapi menurut
akal/pikiran saja. Intisari semua keterangan ilmu itu apa keluar dari dalil
atau hanya asal bicara saja, sebab itu harus diteliti (koreksi) berdasarkan
akal/pikiran, bisa diterima atau tidak (umpama bisa) pokok utama iman, umpama
tidak berarti masih sangsi-sangsi kalau sangsi-sangsi itu tidak mengenakan
pikiran berarti haram atau batil. Siapa saja bisa mempelajari kenyataan sifat
Allah, menjalani (melaksanakan) pasti tidak susah, memang sudah dikerjakan,
umpama kurang semangatnya, tujuan hati untuk mencari ilmu Allah pasti tidak tercapai.
Untuk menjadi guru itu; tua, muda bukan pekerjaan yang
main-main, karena murid zaman sekarang pikirannya sudah maju, akalnya banyak
dan tidak bisa menerima begitu saja tetapi hanya mendengarkan saja, apa yang
kuranng dipahami (susah) atau kurang diterima oleh akal pasti akan ditanyakan,
umpama mengenai wejangan (nasihat) seperti dibawah ini :
“Sebenarnya tidak ada apa-apa yang dulu selain Adam”,
artinya Adam itu kosong (suwung – jawa), manusia asal dari Adam tadi, itu
sebabnya manusia berdiri sendiri (hidup sendiri) sebelum Allah dan Malaikat
ada, adanya Allah itu dari manusia, artinya adanya Allah dari manusia karena
manusia yang mengatakan, jadi wajib disimpan seperti menyimpan nyawa sendiri.
Sebenarnya umat dan Allah artinya satu tidak pisah (bersatu), jadi dimana saja
manusia berada pasti Allah tetap menyertainya, tidak ada manusia tidak ada
Allah. Pelajaran yang disebut diatas tadi sebenarnya kurang dapat dicerna
(diterima oleh murid), jadi timbul banyak pertanyaan. Menjadi guru selalu marah
sebab gurunya sendiri tidak bisa menerangkan, karena siguru dapatnya hanya
menerima begitu saja, jadi siguru belum pintar (mempunyai ilmu) hanya
menunjukan kepanatikannya. Jadi bila ada guru yang begitu tadi bisa menjadi
salah arah pada muridnya (masyarakat umum).
Disebutkan dalam kitab Al-Qur’an bahwa Adam itu satu-satunya
Nabi, orang yang sudah dikehendaki Allah mempunyai sifat-sifat 4 perkara :
1. Sidik, yaitu jujur atau tidak dusta;
2. Amanah, yaitu bisa dipercaya atau tidak khianat.
3. Tablik, yaitu menyampaikan perintah Allah, sifat mokalnya
Kitam.
4. Pathanah, yaitu bijaksana atau tidak bertindak bodoh.
Sifat wenang (kuasa) hanya Cuma satu yaitu yang disebut Aral
Bashri, artinya yang tidak cacat (membuat cacat kerasulannya).
Seperti itu sifatnya Nabi yang dikehendaki oleh Allah. Beda
dengan orang bisaa, orang bisaa kebanyakan hanya memakai sifat mokalnya
(sebaliknya), maka dengan itu Nabi itu salah satu penuntun yang bisa
menerangkan bahwa Adam itu yang disebut kosong (Suwung – jawa).
Dikitab Al-Qur’an surat Al-An’aam : 98 ;
“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka
(bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan
tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”
Kata-kata Seorang diri yang diatas mengandung arti jasmani,
tubuh orang. Jadi kesimpulan dari arti itu bahwa asal dari Rahim ibu, lalu ada
Qur’an yang menyebutkan Adam Nabi yang terdahulu umat yang mulia di Surga.
Umpama dibalikan kepelajaran guru yang disebut diatas, Adam diartikan Suwung
(kosong), menjadi asal usul manusia, apa tidak salah umpama diartikan orang,
karena seorang diri (jasmani) masih memasang dasar asalnya dari orang. Jadi
jika ada yang mengartikan (Qiyasan) asalnya dari yang kosong (suwung-jawa) itu
tidak masuk akal, karena semua asalnya orang dari rahim sang ibu, oleh karena
itu Adam itu asalnya dari orang.
Jadi Qiyasan (pendapat) kata kosong (suwung) tadi terhadap
Wedaran Wirid (buku ini) keterangannya begini; semua isi Jagad raya (alam dan
makhluk) asal dari Hakikatnya DAT yang wajib adanya Allah SWT dan mereka yang
menciptakan yang disebut Allah, artinya yang kita sembah tetapi tidak nampak.
Karena tidak nampak jadi disebut kosong (suwung). Selanjutnya mengartikan kata
ADAM, walaupun dikatakan kosong, kenyataan bisa menciptakan Jagad raya
seisinya, jadi yang berasal dari Dat dikatakan kosong tidak hanya manusia saja
tetapi seluruh isi alam ini; malaikat, setan dan jin, semua berasal dari Dat
Allah (kosong/suwung-jawa), maka terhadap manusia dari tidak ada (kosong), bayi
lahir dari ibunya tidak tahu apa-apa. Kata lahir tidak tahu apa-apa itu alamnya
bayi sewaktu keluar dari rahim ibu tidak tahu apa-apa, lahir dirumah, di rumah
sakit atau di hutan, toh tidak tahu apa-apa (kosong), kenapa kalau memang kosong
manusia bisa lahir sendiri, kenapa tidak mau mengakui kalau asalnya dari tidak
ada (kosong)?, kenapa hanya ikut saja yang dikatakan Qodrat dan Irodat.
Salahnya penngetahuan (pengertian) tentang kosong tadi disebabkan kurangnya
penerangan atau memang tidak tahu sama sekali (bodoh).
• Menerangkan bahwa
ADAM itu namanya Nabi/Rasul menurut agama Islam dalam Al-Qur’an ADAm itu nabi
yang diusir dari Surga ke dunia bersama istrinya Siti Hawa, kata ADAM itu
berasal dari bahasa Ibrani, yang artinya orang laki-laki. Di Al-Qur’an tidak
menerangkan bahwa Hawa itu asal dari tulang rusuk Adam. Pendapat itu sebenarnya
Adam itu orang yang bergerak dari orang.
• ADAM itu kosong
(suwung-jawa), artinya manusia berdiri sendiri sebelum Allah dan Malaikat ada
itu tidak benar, yang benar kosong itu sebenarnya adanya DAT yang satu adanya,
tidak nampak tetapi ada, artinya ada tetapi tidak bisa diraba atau tidak bisa
dijangkau oleh manusia, sebab sifatnya layu kayafu, sama dengan tidak ada
tetapi bisa menciptakan seluruh Jagad Raya dengan kekuasaannya (Qodrat).
Kata ADAM (kosong) itu sendiri sewaktu diutus hidup didunia
sebenarnya memberi pengertian terhadap keterangan itu mudah jika sudah
mempunyai pegangan (keyakinan). Dan bagi yang tahu sedikit-sedikit ilmu dalam
menerima pelajaran dan dihati harus bisa membandingkan dengan apa sudah kita
dengar dan menjadi tekadnya. Bisa menambah terang, umpama dibandingkan dengan
ilmu lain (gebengan-jawa). Oleh karena ilmu itu bukan dapat dari sendiri tetapi
dari tanah jawa, maka perguruan lebih baik para muridnya diberi kemudahan untuk
bertanya, jangan terikat dengan peraturan yang melarang para murid menyamakan
ilmu/pendapat orang lain. Maka dari itu ilmunya, Allah itu bisa diketahui hanya
melalui manusia yang tujuannya hanya satu (benar). Ditanah jawa ilmu itu yang
seperti bertingkat. Kata ilmu itu bahasa Arab, dalam bahasa jawa yaitu kaweruh.
Menurut Prof. Dr. Hazairin, ilmu itui tingkatnya hanya
nampak (melihat); Si A pernah melihat Radio tetapi belum pernah menghidupkan
apalagi memperbaiki, berarti si A belum mempunyai ilmu hanya melihat (buta
ilmu). si B pernah melihat Radio, bisa menghidupkan dan bisa memperbaiki
kerusakannya, berarti si B mempunyai ilmu dan mengetahui rahasia-rahasia Radio
tersebut.
Bab (3)
MACAM-MACAM KEPERCAYAAN DAN PENDAPAT
TENTANG TUHAN (ALLAH)
Qur’an surat Al-Hadiid ayat 4-6;
4-“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy) Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepada-Nya). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
5-“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada
Allah-lah dikembalikan segala urusan.”
6-“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Ilmuwan zaman dahulu Anaxagoras dari Clazomini (yunani), ia
adalah seorang ahli ilmu pasti yang disebut sebagai seorang kafir, karena tidak
percaya dewa-dewa, dan ilmunya dinamakan Atomistik, ilmuwan itulah yang
menyiarkan; bila roh-roh itu tidak ada batasnya dan mewujudkan gerak tertib,
selanjutnyanya roh-roh menyatu dengan tuhan-tuhanan, dan ia bertekad mengatakan
roh-roh itu maha kuasa dan maha tahu. Ilmuwan lain yang sam pada waktu itu
Anacagoras yaitu Anaximander dari Milete Ionia; kepercayaannya kealam raya
(benda), tujuannya; asalnya benda-benda itu dari zat tanpa awal tanpa akhir dan
tidak bisa ditebak, zat itu disebut Apeiron, artinya kekal (abadi), menurut
kepercayaannya (Apeiron) adalah tentang jiwa (roh), pendapatnya bila roh-roh
itu seperti Hawa dan Angin. Ilmuwan Ibnu Araby Al Halady dan syeh Siti Jenar
sama pendapatnya, jika manusia itu berasal dari Hakikatnya Maha Agung, artinya
penyempurna DAT, dan Faham itu disebut Widatul Wujud. Pendapat memutuskan Allah
dan manusia menyatu, dalam bahasa Wiridan disebut Chaliq, dan makhluk itu satu
(menyatu), begini keterangannya; DAT Yang Maha Kuasa itu meliputi adanya sifat
Ujud, tidak luar tidak didalam, tidak bertempat, tidak zaman, tidak laki-laki
tidak perempuan, tidak beranak tidak diberanakan, tetapi meliputi Jagat Raya,
lihat firman Allah, surat Al-Hadiid : 4-6, seperti diatas.
Artinya ayat-ayat tadi Al-Hadiid 4-6; kepada siapa saja yang
diciptakan tidak dibeda-bedakan (pilih kasih), yang sifat baharu semua diliputi
Zat Allah. Semua itu untuk membuktikan kepada orang yang berpendapat Allah itu
pilih kasih dan ada yang disayang karena dari adanya pendapat yang
bermacam-macam lalu ada ada golongan yang memberanikan bahwa Allah bisa
dijumpai dengan manusia dengan memuja cara masing-masing. Sebelum adanya
peraturan agama, ada peraturan yang menetapkan bisa jumpa dengan Allah karena
menyembah kepada benda untuk perantara. Faham tadi dinamakan Animisme yang
menambah kepercayaan golongan tersebut. Manusia itu mempunyai hidup terus
sesudah mati, oleh karena hidup itu Hakikatnya Allah. Allah itu meliputi semua
maka menjumpai memakai (memuja) kayu, batu, patung; paham (kepercayaan) itu
bisa saja percaya ada DAT yang wajib adanya, tetapi tanpa keterangan, jadi
pekerjaan tadi hanya yakin ada dan cinta, jadi faham yang tidak terang, tetapi
didalam hati bisa menciptakan/mengarang bahwa Allah itu ada dan menyatu, faham
tadi disebut Antropormophisme. Ujud/nyata disini berarti karangan-karangan yang
timbul dari angan-angan lalu ada golongan yang nebak-nebak bahwa Allah itu bisa
menjelma menjadi orang, dan orang itu disebut Allah. Kitab Injil, Taurat asal
pertamanya terjadi Jagat Raya;
• Allah menciptakan
manusia melalui cahayanya.
• Tidak ada orang
yang bisa dekat dengan Rama (Allah), kecuali tidak keluar dari Rama aku, umpama
kamu bisa mengenalku pasti kamu mengenalku (Rama).
• Orang yang bisa
melihatku, jadi sudah bisa melihat sang Rama, sang Rama ada berada padaku.
Kata Citra tersebut diatas maksudnya sinar yang memancar,
itu kata karangan, dalam perkataan Wirid disebut Hakikat, sudah sebenarnya
manusia itu asal Hakikatnya Tuhan. Menurut trilogy Kristen; Tuhan sifatnya Rama
sang Putra dan Rohulkudus/Rohsuji (perkataan sang Rama lebih kurang adalah DAT
yang wajib adanya) Tuhan yang disembah yang paling tinggi sekali. Sang Putra
sinarnya Rama (Hakikatnya cahaya tuhan) atau yang dinamakan Citra yang sifatnya
makhluk yang memiliki sifat 20, Rohul kudus itu roh suci yang menempati
sifatnya manusia. Karena manusia sifatnya sempurna, lalu manusia memiliki Rohul
Kudus, Rohul kudus itu bisa disebut sejatinya aku, lebih-lebih tentang kemajuan
rasionalnya (akal pikir) orang saja.
Surat Injil diatas tadi lalu ada perkataan; “orang yang bisa
melihat aku, jadi sudah melihat sang Rama”. Keteranngannya; orang yang sudah
mengetahui / melihat aku sama seperti sudah mengetahui / melihat Allah. Jadi
kata melihat artinya bukan dengan mata, tetapi melihat melalui hati, yakin
dengan diri sendiri, aku itu meliputi Hakikatnya Allah.
Wihdatul Wujud asal dari bahasa Allah, Pembagiannya begini :
• Wihda dari kata Wahdat, artinya Satu.
• Wujud artinya Ada.
Jadi Wihdatul Wujud itu adalah Satu dan Ada (Kahanan Tunggal
= Bahasa Jawa), yang menciptakan dan yang diciptakan, bahasa Ilmu (Wirid)
Chaliq dan Makhluk, artinya lebih kurang Chaliq tidak ada dan Makhluk tidak
ada. Sebaliknya kalau Manusia tidak ada, maka Manusia dan Chaliq tidak ada yang
menyebut. Dibagian keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud banyak para Ulama yang
tidak sepakat pendapatnya atau sama tidak percaya pendapat tadi karena keadaan
tunggal itu pecahan para Pertapa, Sufi, Filsuf. Ada pendapat yang simpang siur,
yang satu mengatakan Chaliq dan Makhluk itu Dua, artinya Allah disamakan berada
disuatu tempat dan makhluk ada tempatnya masing-masing. Di Jawa menurut surat
Wirid dan sejarah-sejarah ada seorang Wali mempunyai pendapat bahwa Wihdatul
Wujud itu namanya Syeh Siti Jenar, ditanah Jawa dulu ada Wali 9 (Songo=Jawa)
didemak, para Wali menurut sejarah mereka tidak suka kepada Syeh Siti Jenar,
karena tidak sepaham dengan para Wali, lalu dimusuhi dan ilmunya sampai
sekarang diketahui.
Ditahun 858 Masehi di Persia ada pujangga namanya Al Hallaj,
dia terkenal didunia barat dan timur dengan bukunya dan buku-buku tersebut
ditulis dengan bahasa masing-masing negara/daerah, pendapatnya mengakui
Wihdatul Wujud (Yang Kuasa) adalah Tuhan Esa, dan Al Hallaj tadi dihukum oleh
pemerintahan dizamannya, karena khawatir pengetahuan tadi berbahaya bagi
masyarakat awam/umum.
Kepercayaan Wihdatul Wujud disebut keadaan satu. Menurut
pendapat Sarjana, Filsufi; Plato, Aristoteles, Al Hallaj, Syeh Siti Jenar dan
menurut keterangan itu menebak bila Manusia sebenarnya penyempurnaan Dat Allah,
keterangannya umpama Manusia dan Makhluk itu seperti Air yang jernih yang
berada dibak air dan Allah di ibaratkan seperti Surya diatas langit yang
memancarkan cahaya ke 1000 bak air tadi, dan isi 1000 bak air tadi jika dilihat
masing-masing terdapat matahari/surya yang memancarkan sinarnya dari langit
tetapi sebenarnya matahari tadi hanya satu.
Leluasa artinya benda, manusia, besar, kecil bergerak karena
memiliki Dat Allah, seperti Bak Air tadi ada Mataharinya, dan bergerak menurut
keadaannya (kodratnya). Ada lagi kepercayaan yang berpendapat Chaliq dan
Makhluk itu ada dua. Keterangannya kalau Makhluk-makhluk dilihat dari Chaliq
(melihat matahari) keadaannya tetap satu, kalau dilihat dari makhluk (bak air
tadi) matahari lebih dari satu, yaitu Makhluk (bak air) satu, Chaliq (tuhan)
dua, artinya Matahari ada 1 (satu) dibak dan 1 (satu) dilangit.
Al-Qur’an surat An-Najm : 43-44 ;
43. “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan
menangis,”
44. “dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan,”
Yang menyebabkan tertawa dan menangis itu Allah, artinya
Manusia sudah memiliki sifat Qodrat / Irodatnya sifat 20, lalu yang memberi
sifat tadi mengikuti tertawa, menangis, jadi pendapat tadi berpedoman kepada
ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebenarnya Allah itu meliputi kita semua (manusia);
1. Dat Allah; tidak
nampak, layu Kayafu, Nukat Gaib, orang tidak bisa melihat tetapi bisa
menguasai, bisa menghidupi, bisa mematikan, bisa menangiskan dan bisa
mentertawakan.
2. Arti keterangan
diatas mengatakan tidak diragukan lagi karena Hakikatnya DAT (sifat 20) tadi,
karena umat manusia tidak berhak mengatakan bahwa manusia sama dengan Allah,
walaupun memiliki DAT (sifat 20) yang lengkap, karena manusia tidak mempunyai
kekuasaan (Wenang – Jawa).
Oleh karena itu lalu ada pendapat bila Allah dan Umat itu
dua (Allah,Umat), ada yang mengatakan Allah dan Umat itu satu (Esa); Datnya
sama, geraknya sama, Hakikatnya sama, karena semua sama-sama yang menguasai dan
yang dikuasai, lalu diartiikan satu Dat Allah. umpama Siti itu bisa merubah
diri apa saja, Dat Siti sama geraknya dengan Siti, tetapi Siti sulit untuk
menyebut badannya sendiri, seolah-olah bertanya kepada diri sendiri “dari mana
asalnya ini?”. Jadi keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud asal dari satu DAT
bisa menjelma apa saja.
Mempelajari Pelajaran (Wedaran Wirid – Jawanya) Bab Sifat 20
itu memang sulit, karena yang diterangkan tentanng mengenai Allah (Tuhan), jadi
memang sebenarnya para leluhur dizaman dahulu memikirkan tentang yang sangat
sulit, karena memikirkan kalau salah menerima bisa membahayakan hidupnya
sendiri dan masyarakat umum.
Almarhum Mahatma Gandhi (India) sangat memuji kepada
kepribadian Nabi Muhammad SAW, karena satu tujuan yaitu menyembah kepada Satu
Allah, kalau dilihat kepercayaannya, Mahatma Gandhi itu pujangga Budha, dan
Nabu Muhammad penyebar Agama Islam. Kalau difikir tujuan Mahatma Gandhi tentang
Tuhan (Allah) adalah satu, hanya beda nama tetapi tujuan sama.
Pujangga Islam Syeh M. Abdul pernah berteman dengan pujangga
Kristen Graaf leo Tolstoy, dan berpendapat Nabi Muhammad SAW tidak beda dengan
Mahatma Gandhi. Menurut surat-surat M. Abdul dan Tolstoy sama-sama mempercayai
agamanya masing-masing. Adanya hubungan tadi hanya menyatukan tekat yang
dikatakan MONOTHISME, artinya menentukan Allah itu Satu utuh (Esa). dari
contoh-contoh itu lalu jelas Kitab Allah itu bahwa walaupun beda namanya tetapi
sama tujuannya, yaitu menetapkan Allah itu satu (Monothisme). Beda keterangan
yang terdapat pada kitab-kitab tadi yaitu :
• Agama Islam; Allah – Sifat 20;
• Agama Kristen; Trimurti – Tuhan Rama;
• Agama Budha; Tuhan Trimurti sang Budha.
Semua itu hanya sebagai pedoman, artinya untuk contoh
jalannya ilmu pengetahuan, lalu ada pendapat yang berbeda-beda, itu dapat dari
turun temurun, Allah mengutus para Nabi, penganutnya sama-sama meyakini ajaran
Nabi Musa pada zaman itu, dan sampai sekarang tetap tidak setuju dengan
pendapat lain, karena dihati yakin terhadap ajaran Nabi Musa yang dianggap
benar;
• Ajaran Nabi musa
yang utuh terdapat 10 (sepuluh) ajaran, dan pada zaman dahulu masyarakat belum
seperti sekarang kemajuannya, turun temurun penganutnya sama-sama membenarkan
ajaran Nabi Musa, dan sampai sekarang tidak setuju pada agama lain, karena
ajaran Nabi Musa dinggap paling benar.
• Ajaran Nabi Isa
itu menjadi ukuran masyarakat zaman dahulu sampai sekarang, turun temurun tetap
menjadi kepercayaan (dianut).
• Ajaran Nabi
Muhammad SAW, begitu juga membenarkan pada ajaran-ajaran Nabi-nabi, walaupun
beda-beda tempat dan kemajuan cara berfikir, ajaran-ajaran tetap bertekad
membenarkan Allah itu satu (Esa).
Bila demikian adanya keterangan 3 macam bisa disimpullkan
dengan menurunkan kitab-kitab perantaraan Nabi-nabi Allah, menilai keadaan
masyarakat bahwa Al-Qur’an itu kitab yang diturunkan untuk menutup segala
kitab-kitab yang diturunkan, dengan isinya yang lengkap dan meliputi politik,
ekonomi, bermasyarakat, pernikahan, hukum tata negara dan lain-lain, dan semua
yang terpenting Al-Qur’an itu sifatnya Allah.
Seketika ada pertanyaan begini; “jika semua agama-agama itu
kemauan Allah, kenapa baru sekarang menyatunya agama. Jawaban dari pertanyaan
itu benar atau salah dinyatakan di Surat Al-hajj : 67 ;
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan Syari’at tertentu
yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam
urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu
benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Keterangan dari ayat diatas begini; Agama contoh peraturan
yang dikehendaki oleh Tuhan (Allah), intisarinya menuju yang benar, walupum
agama tadi harus ditaati, walaupun lebih tua (lebih dahulu mencul) atau lebih
tebal kitabnya, semua perintah menurut orang zaman dahulu tetap benar (lurus),
yang membenarkan adalah orang yang sudah maju, menurut pendapat pasti benar
untuk orang dizaman dahulu, walupun dikotak-katik (diubah-ubah) tetap benar
(lurus), walupun yang membenarkan itu orang dizaman sekarang, Allah mengatakan
“hati-hati, segala urusan agama itu jangan dibuat perdebatan”, sebab yang penting
agama-agama itu merupakan perkataan-perkataan Allah (Firman Allah). Allah itu
pujaanmu (Sembahanmu), Allah itu ada. Bila diteliti dari agama Budha, Kristen,
Islam, Majusi, Sinta, Hindu, Tao, Zorowaster; semua itu seperti sungai yang
mengalir deras, panjang, lebar dan mengalir pelan; semua mengalir kearah laut
(samudra). Ada pertanyaan begini; “apakah agama tadi bisa bersatu dengan
upacara !!”, ada yang mempunyai tekad menyatukan agama-agama itu, ia seorang
Cendikiawan Sufi dari Persia yang terkenal, namanya Al-Hallaj, sebelum
Cendikiawan tadi wafat, ia mempunyai tekad satu, yaitu peraturan Allah untuk
Allah, umpamanya tercapai dan bisa menyatukan bangsa berjuta-juta.
Tekadnya Anaxagoras tentang Hakikatnya Roh, itu umpama
diteliti belok dari tujuannya yang berwujud benda, barang dll, itu sampai
sekarang belum ada satu manusiapun yang membuktikannya, umpama ada orang yang
cerita bisa melihat Roh, sebenarnya hanya bisa menjerumuskan, dan firman Allah
surat Al-Isra : 85 ;
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.”
Kata sedikit itu tidak berarti barangnya, hanya
sepengetahuan, buktinya orang bisa memilih hidup itu apa.. walaupun nanti
pikiran manusia sudah maju, mengenai Esa itu belum ada Nabi, Wali, Mukmin,
Sarjana, Profesor, Doktor dan lain-lain yang bisa memegang Roh, walaupun Roh
semut, yaitu yang dinamakan Gaibnya Allah.
Didunia modern sangat membingungkan tentang Allah, lalu ada
paham Athisme yang membantah ada Allah.
Menurut Paham tadi Allah tidak ada, hanya ciptaan manusia.
Penafsiran ketuhanan itu tidak bisa untuk landasan mencari hukum kejadian dan
sebabnya. Francis Bacon mengatakan dizaman kemajuan ilmu, zaman makmur semakin
banyak orang yang tidak percaya kepada Allah, kenapa waktu miskin, gembel,
perut lapar, sakit lalu manusia mencari pegangan (kepercayaan) kepada Allah.
Bacovan Ferulame berkata demikian; sorang Athist itu
orang-orang yang hatinya palsu, tidak jujur. Untuk penutup tentang Ikhtikat
macam-macam untuk ketuhanan, disini perlu tambahan pendapat tentang ajaran
Sidarta Gaotama, yaitu Sri Budha Gaotama, begini; menurut berabad-abad
kebudhaan itu bukan agama, tetapi suatu pendapat bahwa sebenarnya kebudhaan
agama Tuhan, sebab yang menyiarkan adalah seorang ahli tapa, dan kata dari
Tuhan melalui sang petapa Sri Budha Gaotama, bedanya apa?, Nabi Muhammad
bertapa di Gua Hira di tanah Arab, sang Gaotama bertapa di pohon Budhi dan
dua-duanya mendapat kitab.
Ajaran kebudhaan menghilangkan (melepaskan diri) dari
kesengsaraan (kesusahan) menggunakan kekuatan diri sendiri, dan Maha Budha
hanya memberi hidayah, taufik dan berkah, maksudnya pusat azas abadi atau
pusatnya sumber yang ada (Jagat Raya).
Pelajaran itu ternyata merupakan kebutuhannya manusia dan
membenarkan bahwa kesengsaraan (penderitaan) itu sumbernya adalah Nafsu, maka
nafsu itu harus dikendalikan, jalannya harus konsentrasi, meditasi, yaitu
Dhiyana atau Semedi (At’tauhid bahasa arabnya) menurut keyakinan menuju kebudi
(Qalbu bahasa arabnya) dan bersama melalui tata tertib susila, sesudah bisa
mengendalikan Nafsu, baru bisa menerima pelajaran bila Budi (kesadaran diri)
pribadi itu tiak ada, jadi hidup merasa sendiri (individu) itu salah,
sebenarnya harus merasa hidup menyatu, berdiri tidak sendiri-sendiri
(universalisme) dicocokan dengan sifat Afhngalnya Allah.
Selanjutnya bila sudah bisa menyatu dengan keabadian tidak
terikat dengan suatu sebab dan akibatnya (Karma) yang berubah-ubah, karena
dengan perbuatan sendiri menyebabkan penderitaan, dengan tujuan yang baku
(utama) menuju ke alam Nirwana, alam yang tidak terjamah oleh apapun.
Budisme (agama Budha) itu tidak mengakui adanya roh (jiwa)
pribadi, manusia itu hanya membuktikan paduan dari kumpulan zat yang hanya
selalu bergerak berubah-ubah tidak kekal, karena perbuatan sendiri, dan
perbuatan orang lain, keterangannya lebih kurang sebagai berikut :
• Masuk Agama Budha;
• Mengerjakan perintah yang Suji;
• Menjalankan Puja (menyembah).
Artinya ;
a. Darma itu
undang-undang Tarikat yang untuk ke Budhaan (agama Budha)
b. Jalannya untuk
menuju kebebasan kecuali semedi harus memenuhi syarat-syarat; berbicara harus
yang benar, tekad yang benar, pikirang yang benar, pekerjaan, hidupnya
sederhana, watak yang benar, jujur dan Suji (Ikhlas).
Keyakinan (kepercayaan) Hindu, yang disebut Trimurti atau
bentuk sifatnya Allah itu :
1. Brahmana sifat
yanng menciptakan Jagat Raya dan umat;
2. Whisnu sifat yang
menggerakkan semua yang tercipta;
3. Shiwa, sifat yangn
merusak semua yang tercipta, yaitu kalau diteliti sifat Allah yang Irodat dan
Qodrat yang dimilliki manusia terdapat keadaan hidup, berkeluarga dan matinya.
Jadi Trimurti tadi untuk tanda saksi, kekuasaan Dat yang
wajib tadi untuk kehidupan manusia, hewann tumbuh-tumbuhan, bakteri, Jin; tidak
kekal (tidak abadi) tetapi Dat yang berkuasa tadi kekal (abadi).
Ajaran Budha tentang Nyuiji terhadap Allah azas abadi itu
umpama diteliti dengan ajaran Islam tepat sekali; tidak salah, yaitu bahasa
Arab bahasa Tauhid (ketuhanan Theologi) keterangan seperti ini; kata Tauhid
dari kata hitungan Wahid (satu), lalu menjadi At’tauhid menjadi ilmu Tauhid.
Wahid bahasa jawa, kalau Sunda Ngawahid, bahasa Indonesia mewahid, karena
bahasa Arab menjadi menjadi Tauhid, artinya menyatukan (menyatu dengan Dat
tadi). Begitupun ajaran Sariah Islam menyatukan dengan Allah, bukan menduakan
Tuhan (Syirik) dan At’tauhid ilmu yang menyatakan tentang ketuhanan, ilmu
tentang mengupas sifat-sifat Allah yang lengkap.
Keterangan dalam Wirid, kata menyatu (menghusyukkan –
Arabnya) menyatu dengan yang satu (unversalisme – Budha) menghilangkan perasaan
lebih dari satu (husyuk – Arabnya) itu hilang dari perasaan. Jadi ilmu Tauhid
itu suatu ilmu menyatu dengan Dat Allah wajib adanya atau ilmu yang mengatur
cara-cara menghilangkan perasaan, pikiran yang bekerja sendiri-sendiri
(individual) supaya merasa dirinya sendiri (universal – Budha). Begitu pula
yang penting, ilmu yang menerangkan cara untuk menyucikan diri dengan Dat yang maha
kuasa dengan cara membuktikan dengan rasa menyatunya umat-umatnya dan Tuhannya
(Chaliq dan Umatnya). Lalu tidak hanya pengetahuan (cara berfikir) pasti harus
membuktikan dengan Meditasi, Yoga (Semedi). Umpama saya yakin betul dengan Dat
Allah tidak pisah dengan kita (manusia) itu termasuk masih dalam pengertian
(pengetahuan) harus kita buktikan dengan jalan atau ilmu; semedi, Tafakur,
Yoga, Meditasi, yang penting menuju ketuhannya. Tuhan itu tidak bisa dijangkau,
Dat yang tidak bisa dijangkau itu disebut Tarikat, keterangannya sebagai
berikut :
Kita harus berguru, membaca buku tentang ketuhanan,
maksudnya pengetahuan yang menggunakan pikiran, akal bisa dikatakan ahli kitab.
Ahli-ahli kitab itu Tarikat, walaupun berhenti dipengetahuan, jadi kalau
disuruh membuktikan tidak bisa, lalu Tarikat tadi harus menjalani dulu sebelum
Ma’rifat, sebab Tarikat disebut kaya pengetahuan, menuju cerdasnya pikiran
(perasaan) umpama nanti bisa mencapai Ma’rifat tidak bisa ditipu. Hidup
bergerak-gerak kalau sudah bisa menyingkirkan perasaan yang bermacam-macam
menjadi aku (ingsun-Jawa) yang satu sebenarnya, baru nama tingkatan yang kita
lalui belum ada apa-apa, masih jauh. Bila memakai perasaan sendiri atau aku
satu itu tadi masih merasakan. Sempurnanya tujuan harus melalui Ma’rifat.
Bab (4)
KETERANGAN SIFAT 20
Manusia ditakdirkan/diciptakan sempurna karena mempunyai
pikiran/akal dan alat perasa serta jasmani, Maka Ulama di zaman dahulu
mempunyai pendapat bahwa Allah sebenarnya yang menciptakan, dan sebahagian
besar menyebutkan sifat-sifat manusia sendiri adalah panca indra seperti Mata,
Hidung, Mulut, Telinga dan Lidah. Beda dengan makhluk lain seperti binatang,
walaupun mempunyai alat seperti manusia tetapi tidak lengkap, oleh karena itu
hidupnya makhluk-makhluk tadi ikut kodrat masing-masing, bisa melihat, berjalan
dan makan tapi tidak punya akal untuk berusaha dan sudah pasti hidupnya kurang
lengkap. Berdasarkan keadaan, maka para orang bijak mempunyai pendapat ; bila
manusia itu sifatnya lengkap dan tidak bisa berubah artinya Allah itu tidak
kekurangan sifat seperti yang diciptakan. Walaupun semua Ulama sudah sampai
disatu pendapat, tetap tidak bisa menemukan Allah SWT.
Maka dalam Wirid/pelajaran, Allah itu tidak bisa dijangkau
oleh alat apapun bahkan oleh pikiran/perasaan. Jadi para ulama menyebut Dat
yang maha agung yang bisa menciptakan Jagad raya.
Selanjutnnya keterangan sifat 20 (dua puluh) begini; Atas
nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, terlebih dahulu dikutip dari
buku Wirid Hidayat Jati tinggalan Ronggo Warsito;
Sebelum ada apa-apa yang ada hanya Allah yang berada dalam
NUKAT GAIB yang diberi nama Qun, yaitu DAT sejati, Nukat artinya bibit, dan
Gaib adalah samar/tidak nampak oleh mata yang disebut Nur Muhammad, yaitu
Cahaya yang terang sekali tanpa bayangan, yang disebut sifat sejati QUN lalu
FAYAQUN. Qun artinya Allah Bersabda (berkata) dan Fayaqun artinya Terjadi semua
Afhngal (selamanya). Semua itu menjadi asalnya yang terjadi disebut Anasir
Sejati. Jadi Allah memiliki 4 Anasir yaitu Dat, Sifat, Asma dan Afhngal.
Umpama penerimaan salah, pelajaran yang diatas tadi ada kata
tempat di Nukat Gaib (benih yang tidak nampak) itu pasti dapat menimbulkan
pendapat bahwa Allah itu berada disuatu tempat, karena disebut Layu Kayafu, itu
semua salah, Allah tidak bisa disentuh atau dijangkau oleh apa saja, tidak ada
yang menyerupai, karena semua itu sifat Baru (yang sudah ada).
Almarhum Kyai Agus Salim pernah berbicara; bahwa dasar agama
Islam itu lebih dulu mengetahui nama Allah dan selanjutnya seluruh yang ada
(Jagad Raya). Mustahil kalau tidak ada yang menciptakan, karena yang
menciptakan wajib adanya (mokal dan wajib). Itu sebabnya manusia hanya
menjumpai yang sudah ada dan tetap tidak bisa berubah. Kata mempunyai atau yang
terjadi itu dalam bahasa Wirid/Pelajaran yaitu menyatu dan berpisah artinya
sama, karena pusatnya itu Allah.
Wirid Hidayat Jati tersebut diatas akan diterangkan hanya
soal 4 Anasir saja, oleh sebab itu akan dijumpai dibacaan ke-2. penelitian
tentang 4 Anasir menurut catatan pelajaran agama yang tersebut dibawah ini:
1. Dat Allah yang tidak bisa dilihat tetapi
mencakup/meliputi seluruh yang diciptakan semua yang dijumpai makhluk. Terbukti
Layu Kayafu (tidak bisa diganggu oleh apapun), semua keterangan ada dibelakang.
Umpama ada ikhtikat kepercayaan menceritakan manusia dapat / jumpa atau
menghadap maju mundur dengan Allah, karena lupa dengan yang disebut Layu
Kayafu.
2. Sifat itu sebetulnya perkataan sesudah ada Dat, artinya
kekuasaan Dat Allah yang sebenarnya bisa menciptakan apa saja dan mempunyai
sifat seluruh yang diciptakan.
Dengan kehendak Allah sifat itu apa yang telah diciptakan,
sifat itu berjuta-juta (milyaran) warnanya, seperti yang tertulis dikitab
Al-Quran, yang menyebutkan kekuasaan, keagungan dan Daya keperkasaan, umpanya
bisa menidurkan, membangunkan,
menangiskan, menghidupkan benih. Oleh karenanya sifat-sifat yang begitu
terdapat pada manusia. Para Ulama zaman dahulu kala sama-sama membicarakan satu
keputusan bahwa sifat DAT yang wajib adanya itu menguasai manusia yang banyaknya
20+20+1, maksudnya itu mempunyai sifat
20 yang wajib (tidak berubah-ubah), 20 lagi sifat Mokal (bisa rusak/berubah) dan yang 1
adalah kuasa (wenang dalam bahasa jawa).
Jika difikir dengan benar bahwa sifat 20 itu menyatu dengan manusia,
maka itulah disebut cukup alatnya. Oleh sebab itu manusia diwibawai dengan
sifat 20 tadi, umpamanya melihat,
mendengar, hidup, bicara dan lain-lain. Semua sifat-sifat Allah tersebut disebutkan dibawah ini;
SIFAT 20 ARTINYA
1. WUJUD = ADA
2. QIDAM = TIDAK ADA YG MENDAHULUI
3. BAQA = KEKAL
4. MUHALAFALIL HAWADIS = BEDA DENGAN YG BARU
5.QIYAMUH BINAFSIHI = BERDIRI SENDIRI
6. WAHDA NIYAT = MENYATU
7. QODRAT = KUASA
8. IRODAT = KEHENDAK
9. ILMU = PENGETAHUAN
10. HAYAT = HIDUP
11. SAMAK = MENDENGAR
12. BASHAR = MELIHAT
13. QALAM = BERKATA
14. QADIRAN = YANG MEMPUNYAI KUASA
15. MURIDAN = YANG MEMPUNYAI KEHENDAK
16. ALIMAN = YANG MEMPUNYAI ILMU
17. HAYAN = YANG MEMPUNYAI HIDUP
18. SAMIAN = YANG MEMPUNYAI PENDENGARAN
19. BASIRAN = YANG MEMPUNYAI PENGLIHATAN
20. MUTAKALINAN = YANG MEMPUNYAI PERKATAAN
Menurut pelajar Usuluddin bahwa sifat 20 itu diringkas
menjadi 4;
1. Sifat kesatu disebut Nafsiah yaitu untuk badan (jasmani)
nyata.
2. Sifat kedua sampai keenam disebut Salbiyah, yaitu sifat
yang kekal.
3. Sifat Ke-7 sampai Ke-13 disebut Ma’ani, yaitu yang
memiliki sifat Nafsiah, jika diteliti bekerjanya badan manusia bisa langsung
bicara, mendengar dan berfikir.
4. Sifat ke-14 sampai ke-20 disebut Maknawiyah, yaitu yang
memiliki sifat Ma’ani, artinya bisa bergerak, berkuasa, mempunyai kemauan dan
ilmu.
Itu semua sifat yang utuh untuk menggerakkan, terdapat pada
sifat ke-7 sampai ke-13, yaitu yang menghidupi badan manusia sehingga bisa
bergerak dan yang menggerakkan terdapat pada sifat ke-14 sampai ke-20. Supaya
jelas Dat Allah bisa menciptakan apa yang dikehendaki, lalu ada bentuk (wujud)
manusia yang disebut Nafsiah, Karena hidupnya manusia mempunyai sifat-sifat 20.
jadi bekerjanya sifat Ma’ani untuk manusia oleh karena manusia mempunyai
sifat-sifat ke-14 dan ke-20. Tanda-tanda bukti (terbukti) sifat Qodrat (kuasa)
itu sifatnya tetap berkuasa. Untuk manusia kekuasaan itu hanya memakai
akibatnya daya yang memiliki kekuasaan Allah, contoh salah satunya sifat DAT.
Umpama sifat ke-18 : (Sami’an) yang mendengarkan itu berada ditelinga, jadi
ditelinga bisanya mendengarkan memiliki sifat Samak, dan terjadinya sifat
Maknawiyah itu karena mempunyai sifat Ma’ani. Jelasnya Dayanya sifat Samak
langsung bisa untuk mengetahui itu sesudah mempunyai sifat Wujud (ujud)/nyata
yaitu telinga yang dimiliki manusia. Kalau salah penerimaan, kadang menjadi
lupa dan menganggap Allah itu bertempat pada manusia, sebenarnya manusia itu
hanya memakai Hakikatnya sifat-sifat Allah. Walaupun tidak berada ditelinga,
Allah itu bisa mendengar, oleh karena Allah yang memilki semua sifat tersebut.
Maka dari itu membaca Hidayat Jati itu harus dikaji, karena satu-satunya
induknya pengetahuan, artinya Hidayat Jati itu tidak salah, tetapi yang
membacanya saja harus berfikir. Umpama membaca sifat-sifat yang disebutkan
diatas harus diulang-ulang, baru dapat merasa tentram dan terang, baru suasana
menjadi merasa terbuka pikirannya, Firman Allah Qur’an surat Ar-Ra’d : 28;
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.”
Dipelajaran semua sifat tadi lalu diulas (dibahas) lagi nama
dan perkataan dibawah ini;
a. Sifat ke-1 disebut sifat Jalal, artinya Maha Agung, yang
dinamakan agung itu DAT yang menyelimuti/melingkupi apa yang diciptakan.
b. Sifat ke-2, 3, 4, 5 disebut sifat Jamal, artinya Maha
Elok/Sempurna, yang sempurna itu sifatnya, sebab tidak ada yang sama
(menyerupai). Bukan laki, bukan perempuan, bukan banci, tidak beranak, tidak
diperanakan (walam yalid walam yulad walam yakullahukufuan ahad) tidak bisa
dijangkau dan tidak nyata.
c. Sifat ke-11, 12, 13 dan sifat ke-18, 19, 20 disebut sifat
Kamal, artinya Maha Sempurna dan Afhngal yang menciptakan keadaan tanpa cacat,
sebab tidak ada makhluk yang mengherankan.
d. Sifat ke-6, 7, 8, 9, 10 dan ke-14, 15, 16, 17 disebut
sifat Kahar, artinya Maha Wisesa (Maha Menguasai), melayani semua tanpa pilih
kasih (tidak membeda-bedakan) walaupun Jin, syetan, Manusia, dan Hewan, oleh
karena itu Allah disebut Suci, jadi siapa saja yang hidup bisa menyebut Allah
dengan caranya masing-masing.
3. Asma/NAMA (julukan) itu hanya kata manusia, hanya untuk
menyebut nama Allah wajib adanya, karena manusia berhak menolak dan menerima,
hanya terbawa diri sendiri karena bisa bicara (ngomong) mengatakan penguasa
tinggi adalah Allah. Yang Maha Kuasa disembah/dipuja dan tidak bisa dilihat
(tidak nyata), karena Hakikatnya menyelamatkan umat manusia, lalu menyebutnya
macam-macam menurut pengetahuan masing-masing.
Keterangan : satu-satunya orang menyebut Allah ada.
Hidayat jati menerangkan Allah hanya nama pribadinya,
pribadi itu bentuk manusia yang lengkap memiliki Datnya Allah. dan Datnya Allah
meliputi Jagad Raya.
Firman Allah menyatakan Qur’an surat Fushshilat (Hammim
As-Sajdah) : 54
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan
tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha
Meliputi segala sesuatu.”
Karena Dat itu meliputi seluruh yang ada, manusia langsung
mengakui bahwa Allah itu meliputi tidak diluar dan tidak didalam, seperti
sirih; akar, pohon dan daun baunya sama. Oleh karena umpama Datnya Allah itu
seperti rasanya sirih, karena sulit untuk ditebak, dinyatakan “tidak diluar dan
tidak didalam”
4. Afhngal (geraknya Allah).
Karena Afhngal (gerak) semua makhluk yang diciptakan apa
saja, Atom, seluruh zat gaib; Syetan, Malaikat dan manusia. Semua mengandung
zat Allah. Jadi Jagad raya itu tidak pernah berubah (tetap) geraknya.
Bekerjanya Dat itu yang wajib sifatnya; tertib, Tentram,
Adil, Suci, tidak membeda-bedakan, benar, tidak pernah berubah kekuasaannya.
Umpama mau membuktikan setiap hari; ada orang membuat mainan dari kaleng diberi
perputaran (as), minyak bensin dan roda, umpama mainan dibunyikan bisa
berjalan, itu kerja yang membuat bisanya jalan barang tadi pasti sudah
direncanakan dan memang pintar, kepintaran membuat barang disebut hakikatnya
Dat yang membuat. Allah itu maha cerdik, lalu apa yang dikehendaki pasti jadi,
pasti bergerak, itu contoh lain bagi tanda saksi bekerjanya (bergeraknya) DAT
wajib adanya. Dari zaman dahulu kala jutaan tahun; bumi, matahari, bulan,
bintang, udara dan lain-lainnya itu tarik menarik selamanya tanpa berubah,
menjadikan daya alam (hukum-hukum alam) yang tertib seperti; siang, malam,
panas, dingin tidak pernah berubah, tidak dapat diukur seberapa kekuatan DAT
itu. karena sangat tertibnya dan tenang lalu timbul menuju arah satu, tidak
cerai berai; terhadap manusia tiap hari tetap saling membutuhkan, contohnya
begini;
a. Di hutan ada lebah madu glodok, madu kesukaan manusia dan
lebah.
b. Karena madu lebah untuk jamu/obat, karena membutuhkan
lalu mencari kehutan.
c. Di Hutan banyak bunga-bunga, itu saling dibutuhkan
manusia, lebah, kupu-kupu saling mengisap.
d. Adilnya Yang Maha Kuasa; supaya kupu-kupu tadi selamat
dari serbuan lebah dan manusia, sayapnya diciptakan satu warna dengan
bunga-bunga tadi agar manusia dan lebah tidak bisa membedakan mana yang bunga
dan mana yang kupu-kupu dikarenakan sayap kupu-kupu seperti bunga-bunga yang
ada dihutan. Lama-lama manusia berusaha supaya lebah tadi semua berkumpul
kerumahnya, lalu dibuatkan rumah-rumahan dari kayu yang dibuat seperti
sarangnya, oleh karena itu manusia juga mempunyai kekuasaan mengatur lebah.
Jadi terjadinya manusia sebab dari yang satu (Allah), kalau
difikir betul bentuk tentran ya DAT Allah SWT dan menuju yang satu menyebabkan
terjadinya benar dan selamat. Apa buktinya bila manusia mempunyai kekuatan dari
Allah, kata-kata mempunyai kekuatan bisa ditafsirkan manusia itu sama dengan
Allah bagi orang yang salah tafsir (salah pendapat). Yang diatas menyatakan
bila Allah itu mempunyai sifat 20 wajib, 20 mokal (sebaliknya) dan sifat
berkuasa (Yang Maha Kuasa / Wenang dalam bahasa jawa), kuasa artinya yang
menciptakan semua yang ada didunia ini.
1. WUJUD (Ujud) artinya ada (Allah), yang telah menciptakan
Jagad Raya atau sebagai tanda saksi Bumi, Langit, Bintang, Matahari,
Makhluk-makhluk semua dan Manusia Makhluk sempurna dan DAT yang tidak nampak
itu wajib adanya. Keterangan itu orang bisa mengatakan ada (Ujud) karena
diciptakan yaitu merupakan jasmani, hanya Cuma pinjam. Karena itu kitab
Usuludin mengatakan sifat Ke-1 WUJUD untuk jasmani, itu sebabnya manusia bisa
bergerak-gerak, kalau tidak ada berarti mati, sebab mati itu tidak bisa
mengatakan (bicara) apa-apa.
2. QIDAM / Dulu tidak ada yang mendahului, maksudnya Allah
itu Allah itu tidak ada yang lebih dulu dari padanya. Jadi jika ada sifat yang
mendahului itu berarti bukan Allah. Jikalau ada yang mendahului itu pasti bukan
Allah (Allah lebih dari satu), Allah 1 dan Allah 2 berebut kekuasaan, jadi
manusia mengatakan Allah itu tidak ada.
3. BAQA (Abadi/kekal), maksudnya tidak bisa berubah
selamanya. Jagad Raya yang diciptakan tadi tetap ujud tidak pernah berubah
(abadi), Allah itu tidak seperti barang. Baru itupun yang mengatakan orang yang
hidup. Sifat Allah yang bisa kita rasakan; Abadi itu sifatnya Allah sendiri
sifat ke-1 sampai ke-20. Bukti untuk ukuran manusia, lidah tidak bisa merasakan
manis/kelat sawo itu bila dimakan (dirasakan). Jadi sawo manis dan kelat bisa
dirasakan, tetapi manis dan kelat itu sifatnya (langeng dalam bahasa jawa)
kekal walaupun tidak dimakan orang. Kekalnya manusia karena bergerak, kekalnya
sawo karena manis. Abadi itu batasnya masih hidup (sebelum mati). Jadi adanya
senang, susah, dingin, panas yang memiliki (merasakan) orang hidup. Walaupun
orang sudah mati siabadi tetap disebut abadi oleh orang yang masih hidup.
4. MUHALAFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru), artinya
sifat-sifat Allah yang tidak bisa disamakan (diungguli) oleh siapa saja, karena
semua itu ciptaannya. Untuk manusia semua beda bentuknya disebut sifat Baru
(beda dengan yang baru). Manusia dilahirkan dengan sifat baru, bisa
berubah-rubah karena namanya manusia didunia dimanapun beradanya pasti sama,
bersuku-suku, mempunyai mata, kaki, telinga dan lain-lain. Walaupun kata-kata
beda dengan yang Baru manusia, beda dengan hewan walau sama-sama hidupnya
(lembu dan kambing), 10 juta lembu dan kambing ya bentuknya sama semua. Misal
Manusia ada 10 juta ya sifatnya sama. Allah SWT itu jika menciptakan makhluk
satu dan yang lain berbeda antara Manusia, Binatang, tumbuh-tumbuhan. Maha
Bijaksana Allah menciptakan isi Alam ini bisa membeda-bedakan ciptaannya,
itulah yang disebut MUHALIFAH LIL HAWADIS (beda dengan yang baru). Didunia
banyak makhluk-makhluk yang mengherankan, semuanya berbeda-beda; Manusia,
Lembu, Kambing, Lebah semuanya barang baru, beda dengan yang baru lagi. Semua tadi
membuktikan (saksi) Allah menciptakan makhluknya menurut kehendaknya.
5. QIYAMUH BINAFSIHI (berdiri sendiri), artinya tidur nyeyak
bangun sendiri, benih timbul sendiri dan Matahari, Bulan, Bintang, Siang, Malam
bergerak sendiri tidak pernah berubah-ubah. Jadi yang bergerak itu mempunyai
sifat Qiyamuhu Binafsihi, contoh lain Atom, Neutron, Positron, Elektron semua
itu bisa (Makarti dalam bahasa jawa) atau bergerak karena mempunyai sifat
berdiri dengan sendiri otomatis. Ilmu Kesehatan Plasma darah tetap jalan
sendiri, sebab kena daya panas, umpama plasma itu bisa dipecah-pecah sampai
halus walaupun tidak kena/tersentuh panas jika menempel ketubuh masih bisa
berjalan sendiri. Semua ilmuwan mengakui bahwa Plasma-plasma itu hidup. Contoh
lagi yang membuktikan memakai mikroskop ukuran 10,000 disitu terbukti Plasma
tersebut bisa berjalan/bergerak-gerak (6 mm/jam). Ternyata habisnya pendapat
tentang Allah yang menggerakkan makhluknya.
6. WAHDA NIYAT (satu), artinya tunggal, sifat itu mudah
diterima karena bukan dua atau tiga, artinya satu itu meyakinkan bahwa adanya
Allah. Untuk manusia adalah DAT, karena manusia asal dari DAT (zat) yang satu
itu. Semua tujuannya benar, karena Dat Allah itu satu (Wahda niyat) yang
memiliki sifat 20.
7. QODRAT (kuasa), keterangan itu begini; orang duduk
dikursi akan berdiri dan langsung berdiri karena mempunyai sifat Qudrat /kuasa,
sanggup memerintah dirinya. Qudrat air (kuasa air) tidak bisa memerintah, hanya
mengalir ketempat yang lebih rendah dan merata (waterpass), bisa dilihat dari
daya alam surya, panas, udara dingin menghembus, air (hydrogen) atom plus/minus
bisa jadi elektrik. Yang Kuasa langsung membuat hukum-hukum alam yang teratur
tidak bisa mengalami benturan. Qudrat itu diberikan kepada manusia tinggal
pakai. Perkataan Qudrat jauh sekali, maka alat-alat manusia; Panca indra,
pikiran dan nafsu itu dikodratkan oleh Allah karena manusia tadi mempunyai
sifat Qudrat. Jadi semua tadi tinggal menggunakan Qudrat tadi. Qudrat Allah
yang diciptakan semua sempurna dan mempunyai daya sendiri.
8. IRODAT (Kemauan/kehendak), jadi kehendak itu yang
menguasai gerak, sifat Irodatnya diam (tidak bergerak), Irodatnya Allah yang
melebihi (tidak wajar), umpama bayi kembar siam, bayi berkepala duapun di
ciptakan.
9. ILMU (ilmu), manusia mempunyai pengetahuan karena
mempunyai ilmu, dari sifat Allah Ilmu, manusia bisa membaca, menulis karena
terbuka hatinya baru menulis karena terbuka hatinya baru mempunyai ilmu
pengetahuan. Menuntut ilmu bisa terlaksana sempurna jika terbuka hatinya
(Kijabnya), benar Firman Allah Qur’an surat An-Nissa : 126 :
“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di
bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”
Begitupun orang yang tidak tau apa itu, bukan karena bodoh,
tetapi karena memang masih belum terbuka hatinya (terbuka kijabnya). Terbukanya
hati terhadap orang-orang jaman dahulu terjadinya para wali Allah.
Ilmuwan/sarjana, Pujangga, yang terbuka hatinya menuju kepada ilmunya Allah
yang sejati. Dan ilmu lainnya hanya untuk bermasyarakat, itu setiap orang bisa
belajar (mempelajari).
10. HAYAT (hidup), yang dibilang hidup ialah makhluk yang
bergerak karena memiliki sifat ke-10 (HAYAT) dan sifat mokal (sebaliknya,
Mati), manusia hidup lebih sempurna sifat hidupnya dari pada makhluk lain.
Manusia sifat Hayat lebih sempurna dari zat-zat hewan dan tumbuh-tumbuhan,
sebab manusia apa saja yang dikehendaki mesti tercapai walaupun perlahan (tidak
merasakan) walaupun sifatnya gaib, sperma, basil, molekul-molekul yang tidak
nampak, tetapi bisa dilihat dengan alat mikroskop maka terlihat bergerak-gerak.
Itulah tanda bahwa DAT wajib adanya, sebab sifat Hayat meliputi Jagad Raya,
dimana saja sifat Hayat tadi memberi daya. Intisarinya hidup itu bukan Allah,
tetapi sifatnya mendayai (memberi daya) apa saja yang nampak dan tidak nampak
(gaib). Gundik (jawa) Raja rayap itu dibungkus rapat dengan tanah liat sehingga
tidak ada udara tetapi Raja Rayap tadi bisa hidup dan bertelur. Itu membuktikan
sifat 20 meliputi seluruh keadaan, jadi hidup itu dimiliki semua makhluk, beda
dengan manusia sifat hayat itu sempurna karena memilki sifat 20 yang lengkap
sehingga bisa meneliti sifat-sifat Allah;
a. Tumbuh-tumbuhan hidup tetapi mempunyai sifat 20
b. Hewan hidup tetapi hanya memiliki sebagahagian sifat 20.
11. SAMAK (mendengar), memilki alat telinga mokalnya (jawa)/
sebaliknya tuli. Wirid Hidayat Jati yang asli halaman 12 baris kedua dari atas;
DAT Allah Yang Maha Suci itu kalau melihat memakai mata kita, kalau mendengar
melalui telinga kita, DAT ke-11 itu salah satu sifat Allah, walaupun punya
telinga bila tidak dialiri sifat ke-11 (Samak) hanya telinga-telingaan. Pokok
kata Dat sama walaupun tidak memakai telinga tetap mendengar, karena Allah yang
memilki, manusia hanya memakai. Selanjutnya Datnya manusia adalah sifatnya
Allah. Sebelum ada DAT tidak bisa mengetahui sifat (tidak ada), karena DAT
Allah itu berada pada manusia dan manusia itu luhur (sempurna) karena itu hanya
manusia yang memiliki sifat 20.
12. BASHAR (melihat), terhadap manusia dan hewan bekerjanya
melalui mata, bukan berarti Allah melihat melalui manusia dan hewan, Allah itu
melihat melalui mata kita kenapa kita tidak bisa melihat sebelum terjadi, sebab
Allah melihat apa yang akan terjadi. Jadi pertanyaan salah menelaah tetapi benar,
sebab terhadap umum (pendapat) pasti melihat itu karena mata yang melihat,
sebab setiap melakukan pekerjaan selalu nampak jadi dinamakan Bashar. Jadi mata
yang terang jika tidak dialiri sifat Allah yang namanya Bashar tentu tudak bisa
melihat (buta), sifat mokal namanya. Bagaimana ukuran bagi Allah tentang sifat
Bashar itu artinya Allah melihat tidak memakai mata karena Dat/sifat Bashar
tadi memang sudah mempunyai daya sendiri, contoh orang tidur; mata tidak bisa
melihat (bekerja) kenapa bisa melihat yang belum pernah dilihat atau mimpi
(diwaktu mimpi). Jadi Dat yang memiliki sifat Bashar itu sebenarnya bekerja
sendiri (Makarti dalam bahasa jawa). Dat yang bisa mengetahui tadi bisa
dimiliki semua orang aktif (hidup), bekerjanya (Makartinya) tidak memerlukan
pelajaran dan belajar, sebab anak-anak, orang dewasa selalu melihat yang belum
pernah dilihat, sebab itu terjadinya bagi orang yang sempurna, orang bisaa
bisanya melihat dengan tidak sengaja menurut kehendak Yang Maha Kuasa (Dat
Bashar), sebab itu Dat Bashar itu salah satunya sifat Allah, lalu disebut Allah
Yang Maha Melihat.
13. QALAM (berbicara), bicaranya Allah itu menurut sifatnya
manusia bicara, burung berkicau dan lain-lain. Sifat-sifat yang baru dan semua
isi Jagad Raya yang baru kehendaknya (Allah) atau sifat Allah yang dimiliki
para Nabi, Wali dan Rasul-rasul Allah, yang maknanya menuju kebenaran, seperti
kitab Al-Qur’an yang mengatakan Allah itu Rasullullah (Nabi Muhammad). Ukuran
manusia sifat mokalnya / sebaliknya yaitu bisu, Sabda Allah menuju kebenaran.
Orang yang bisa menunjukkan kesalahan menuju kebenaran adalah orang yang sudah
memiliki sifat Qalam, umpama para Rasul, contoh manusia bergaul selalu salah
menyalakan, Rasul lalu meluruskan (para Nabi), karena Rasul membawa Firman
Allah, contohnya sifat ke-2 Qidam; dulu tidak ada yang mendahului, sifat ke-4
Muhalafah Lil Hawadis (sifat baharu/barang baru). Kata-kata yang benar itu
tidak ada yang mendahului, artinya tidak ada ulur tarik dan tidak ada sifat
mokal (saleh). Al-Qur’an itu semua tujuannya tdak ada yang berlawanan, terhadap
perkataan yang dimiliki manusia, Wali, Mukmin yang telah sempurna, yang
dibicarakan hanya perihal tentang Allah, perkataannya pasti benar, karena itu
satu orang tidak sama oleh karena membuktikan, mereka mendapat Wahyu allah
(sifat Qidam). Dan perkataan Allah beda dengan yang baru hanya terdapat pada
manusia sendiri, artinya manusia berbicara berbeda dengan makhluk lain.
Makhluk-makhluk yang memiliki sifat Qalam tidak hanya yang bisa bicara, tetapi
semua bisaa bersuara karena dialiri oleh sifat Qalam.
14. QADIRAN (Yang Berkuasa), yang kuasa itu menurut ukuran
manusia, umpama sudah mempunyai sifat Qudrat, karena memiliki sifat tadi,
manusia bisa mengerjakan perintahnya, contoh mata; kalau tidur terpejam lalu
bangun terbelalak-belalak, karena manusia mempunyai sifat Qadiran; bisa
mejamkan mata dan membuka mata. Kuasanya manusia semua alat badan sebenarnya
tidak tetap konsisten (tetap), tetapi berubah-ubah sebab manusia tidak bisa
memerintah kodratnya mata, sewaktu mata tidak mengantuk; manusia tidak bisa
membuka mata sampai lama dan pasti terasa pedih, memejamkan mata terus-menerus
(lama) pasti tidak tahan karena tidak merasa mengantukl, jelas sifat Qadiran
itu manusia bisa menundukkan alat tubuh jika tidak berlawanan demgan sipat
kuasanya (kodratnya).
Keterangannya sipat Qadiran itu menyebabkan manusia bisa
memerintah alat-alatnya karena alat sudah tercetak ucap kerja sama (constant)
tidak pernah diperintah jadi yang bisa di perintah itu hanya alat-alat yang
bekerja menurut kodratnya, karena manusia bisa merintahnya, itu karena memiliki
sifat Qadiran. Yang lebih tinggi tingkatannya yaitu sifat Qodrat, sebab sifat
Qodrat itu yang memiliki dan sifat Qadiran yang diberi.
15. MURIDAN (yang berkehendak), sifat itu terdapat (dimiliki)
oleh manusia, artinya sesudah manusia memiliki sifat Irodat, Karena diberi
sifat tadi (Irodat) manusia lalu disebut memilki sifat Irodat, contoh anak
menulis itu mempunyai (mengerjakan), menulis itu pekerjaan (sifat). Untuk
ukuran manusia sifat Muridan tadi terbukti rasa kemauan gerak, sebab dari gerak
kemauan sebenarnya mannusia mempunyai sifat Irodat (kehendak), jadi bisa bicara
karena mempunyai sifat Irodat, sifat Irodat bentuknya menjadi sifat sebagai
yang memiliki (manusia).
Keterangan: diatas itu termasuk sifat-sifat ke-16, 17, 18,
19 dan 20, dan keterangan yang terakhir; sifat-sifat ke-1 sampai ke-20
sebenarnya hanya salah satu sifatnya Allah sendiri dan manusia seharusnya
berterima kasih kepada Yang Maha Suci Allah, karena diciptakan memiliki
sifat-sifat-Nya yang lengkap, begitu juga sifat Allah sendiri sifat 20+20+1; 20
Wajib + 20 Mokal (sebaliknya) + 1 Adil. Menurut para ahli, sifat-sifat yang
dimiliki manusia itu disebut INGSUN (jawa), Purusha (Sansekerta), IKHEID
(Belanda), Rabbi/Illahi (Arab), Pangeran/Gusti (jawa), Tuhanku (Indonesia}
-ooo-
18. BAB ; WIRID MAKLUMAT JATI :
Mengku wolung wiwiridhan – yaiku kasebut =
……….Wirayat – jati
……………………Laksita – jati
………………………………Panunggal – jati
………………………………………………Karana – jati
………………………………………………………….Purba – jati
…………………………………………………Saloka – jati
……………………………………….Sasmita – jati
……………………………..Wasana – jati
WIRID MAKLUMAT JATI :
Manggih wedharing ilmu kabatosan {kebatinan} sejati
UILAHENG HONGMANGARCARA, MATAYA, AWIGNA MASTUNA MASIDHEM,
UPAH MAYANA SIWAHA
Suraosipun : dhuh hem adhuh, kawula nembah ing suksma,
dununging panembah, sageda tinarimah lan angsal ganjaran saking kamirahanipun
sanghyang guru, ingkang mengku sakliring papadhang.
I. WIRAYAT- JATI
Anenggih punika pituduh ingkang sanyata,anggelaraken dunung
lan pangkating kawruh kasampurnan, wiwinih saking pamejangipun para wicaksana
ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitedah kasajatining kawruh kasampurnan,
tutuladhan saking kitab taswuf. Panggelaring wejangan wau thukul saking
kaweningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning pangeran, rinilan ambuka
wedharing pangandikaning Pangeran dhateng Nabi Musa Kalamola, ingkang
saraosipun mekaten
: ING SABENER-BENERE
MANUNGSA IKU KANYATAHANING PANGERAN, LAN PANGERAN IKU MUNG SAWIJI.
Pangandikaning Pangeran ingkang mekaten wau, imggih punika
ingkang kawedharaken dados witing kawruh kasampurnan, ingkang lajeng
kawedharaken deninng para gurunadi dhateng para ingkang sami katarimah puruitanipun.
Dene wonten kawruh wau, lajeng kadhapuk 8 papangkatan sarta pamejangipun sarana
kawisikaken ing taliwang kiwa. Mangertosipun : asung pepenget bilih wedharing
kawruh kasampurnan, punika boten kenging kawejangaken dhateng sok tiyanga, dene
kengingipun kawejangaken, namung dhateng tiyang ingkang sampun pinaringan
Ilhamipun Pangeran. Tegesipun tiyang ingkang sampung tinarbuka papadhanging
budi pangangen-angenipun (ciptanipun)
Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos serat
punika ayuginipun sinembuka nunuwun ing Pangeran. Murih tinambuka ciptaning
saged anempeni saha angcupi suraosing wejangan punika, awit suraosing pancen
kepera nyata yen saklangkung gawat. Mila kasembadanipun saged angecupi punapa
suraosing wejangan punika, inggih muhung dumunung ing ndalem raosing cipta kemawon. Mila inggih
mboten kenging kangge wiraosan kaliha tiyang ingkang dereng nunggil raos,
inggih ingkang dereng kepareng angsal Ilhaming Pangeran. Hewa dene sanadyana
kangge wiraosing kaliyan ingknag sampun nunggil raos, wedaling pangandika ugi
mawia dudugi lan pramayogi, mangertosipun kedah angen mangsa lan empan papan
saha sinamun ing lulungidaning basa.
Menggah wonten wejangan 8 pangkat wau,
1. Wewejangan
ingkang rumiyin, dipun wastani : pitedahan wahananing Pangeran, sasadan
pangandikanipun pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. makaten pangandikanipun:
sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji,
kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun sajatine kang urip
luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat, sipat, afngal).
Menggah dunungipun mekaten : kang binasakake pangandika ora
ana Pangeran anging ingsun, sejatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih
gesang kita punika rinasuk dening Pangeran kita, menggahing warna nama lan
pakarti kita, punika sadaya saking purbawisesaning pangeran kita, inggih kang
sinuksma, tetep tinetepan, inggih kang misesa, inggih wang’ (daean inggih kang manuksma,
inggih kang sinuksma, tetep tinetepan, inggih kang misesa, inggih kang
kawisesa, umpami surya lan sunaripun, maben lan manisipun, sayekti boten saged
den pisaha)
2. Wewejangan
ingkang kaping kalih, dipun wastani : Pambuka kahananing Pangeran, pamejangipun
amarahaken papangkatan adeging gesang kita ing dalem 7 kahanan, sasadan
pangandikanipun pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. makaten pangandikanipun :
satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha
sanalika saka kersa lan pepesteningsun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa
lan pakertiningsun, kang dadi pratandha.
Kang dhihin, ingsun gumana ing dalem alam awang- uwung kang
tanpa wiwitan tanpa wekasa, iya iku alam ingsun kang maksih piningit.
Kapindho, ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun
dumunung ana ing alam pasenedhaningsun
Kaping telu, ingsun anganakake wawayangan, miinangka
panuksma lan dadi rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji.
Kaping pat, ingsun anganakake suksma, minangka dadhi pratanda
kauripaningsun, dumunung ana ing alaming getih.
Kaping lima, ingsun anganakaken angen- angen kang uga dadi
warnaningsun, ana ing dalem alam kang lagi kena kaupamakake bae.
Kaping enem, ingsun angaakake budi, kang minangkan
kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing dalem alaming badan
alus.
Kaping pitu, ingsun anggelar warana kang minangka
kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasebut nem prakara ing duwur mau
tumitah ana ing dunya iya iku sajatining manungsa.
Kacarios wontening warana wau, kadadosaken saking
pakartining pramana, warni sosotya kang darbe sorot mancawarni. Ing nalikanipun
mosik lajeng ngawontenaken warna tigang perangan, ing satunggal-tunggaling
perangan sami angawontenaken warni nigang perangan malih kadosta.
a. Huruh, ngawontenaken : 1. kulit, daging
sapanunggalipun 2. Manik, manah, jantung, sapanunggalipun. 3. Herah, mani,
sungsum, sapanunggalipun.
b. Kukus,
ngawonyenaken : 1. napas lan kaketeg. 2. pancadriya. 3. napsu.
c. Toya,
ngawontenaken : 1. suksma, utawi nyawa. 2. rahsa utawi cipta. 3. Cahya
Sadaya wau inggih punika ingkang sami dados warnaning
Pangeran dumunung ing badan kita pribadi, sampun uwas sumelang ingpanggalih.
Sebab kw\awontenanipun ingkang gumelar ing jagad ageng lan jagad alit, punika
sampun kawengku wonten salebeting warana, kaprabawan dening purbawisesaning
Pangeran kita.
3. Wewejangan
ingkang kaping tiga, dipun wastani gegelara kahananing Pangeran. Pamejangipun
ambabaraken ingkang dados kanyatahan lan karsaning Pangeran, nalika anggelaraken
kahanan miwah panguasanipun, inggih punika ingkang anedhahaken waktu badhe
dhatengipun pejah, kang ugi sasadan pangandikannipun pangeran dhateng Nabi
Muhammad s.a.w
Mekaten pangandikanipun : sejatine manungsa iku
rahsaningsun, lan ingsun iku rahsaning manungsa, karana ingsun anitahaken wiji
kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaningsun, iya iku sasamaning geni
bumi, angin lan banyu, ingsun anjingi limang prakara. Yaiku : cahya, cipta,
sukma (nyawa). Angen-angen lan budi iku kang minangka embanan panuksmaningsun,
sumrambah ana ing dalem badaning manungsa.
Wejangan ing nginggil punika chunduk kaliyan pangandikanipun
para wicaksana ing Atasangin. Makaten : rupa sajati punika asal saking
sajatining rupa, sajatining rupa punika inggih warnaning Pangeran kang sajati,
kababar wonten rupa kita sejati, inggih punika tuladha surating Pangeran. Utawi
sajatining Pangeran punika dados tiladhaning nyawa utawi sukma sajati, nyawa
sajati dados tuladhaning warna sajati, warna sajati punika dados tuladhaning
rupa kita sajati, sampun uwas sumelang malih, sabab kahananing manungsa punika
tuturutan wahananing Pangeran, katandha saking prabawaning cahya kang
anglimputi ing warna kita pribadi.
Amung dumugi samanten kemawon tetapalupining pralambang,
menggah sumelehing panggalih kasumanggakaken, angger katuwuhan budi wicaksana,
sayekti saged anempeni suraosipu sadaya wajangan punika wau.
4. Wejangan ingkang
kaping sakawan dipun wastani : Kayektening Pangeran, inggih punika katedhahan
tataning karaton. Duktinata wonten ing uteking manungsa. Sajatosipun inggih
namung kangge pitedahan kayektening wujud satunggal-satunggal, anadhahaken
kadadosan karso, ingkang boten ewah gingsir ing kahananipun. Wejangan wau
inggih anggelaraken bab sampurnaning manungsa, kang ugi sasadan pangandikanipun
Pangeran dgaten Nabi Muhammad s.a.w. makaten pngandikanipun : Sajatine ingsun
anata palenggahan , dumunung ana ing enggon parameanningsun, jumeneng ana ing
sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang gagandengan ana ing
antarane utek iku manik, yaiku telenging netra, aran pranama. Sajroning manik
iku budi, sajroning budi iku napsu, kang uga ingaran angen-angen. Sajroning
napsu iku suksma, kang uga ingaran nyawa, roh utawa getih. Sajroning suksma iku
rahsa, kamg uga ingaran cipta, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran
anging ingsun, sajatining, urip kang angliputi sagunging kahanan. Menggah
dunungipun makaten :
a. sirah, sajatining
enggen parameyan
b. Utek, kandanging
cahya, pambukaning netya.
c. Manik, sajatining
pramana, pambukaning paningal
d. Budi, sajatining
manah, pambukaning pamicara.
e. Napsu, sajatining
angen- angen, pambukaning swara.
f. Suksma,
sajatining nyawa, pambukaning swarga.
g. Rahsa, sajatining
gesang, pambukaning pangraos.
Peperangan ing nginggil punika, sajatinipun boten sanes
witing pangawasa wau, inggih saking purbawisesaning pangeran kita.
5. Wejangan ingkang
kaping gangsal, dipun wastani : kanyatahan wahananing pangeran, inggih punika
ambuka panataning palenggahan, duk jumeneng wonten salabeting jantunging
manungsa, punika sajatosipun inggih namung minangka pitedahan kayektening
kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kadadosaning karsa engkang langgeng
mboten mawi ewah gingsir saking kahanan jati. Makaten ugi ngemot cariyos bab
kasampurnaning manungsa, sasadan pangandikaning pangeran dhateng Nabi Muhammad
saw mekaten pangandikanipun : sejatine ingsun ananta palenggahan ana sajroning
jantunging manungsa, iya iku enggon laranganingsun jumeneng ana dhadhaning
manungsa, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang gegandengan ana
saantaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku
jinem, tegese angen-angen, sajroning jinem iku duksma, sajroning suksma iku
rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana pengeran anging ingsun, sajatining
urip kang anglimputi sanguning kahaman, menggah dunugipun mekaten :
a. Dhadha, tegesipun
griya kang ka’awisan
b. Ati, tegesipun
pacadriya, inggih napsu, wahyaning napas
c. Jantung,
tegesipun ganggal inggih birahi, wahyaning keteteng
d. Budi, tegesipun
kawaspadan, inggih karsa, wahyaning pamicara
e. Jinem, tegesipun
panggraita, inggih swara, wahyaning pamiarsa
f. Suksma,
tegesipun erah, inggih cipta, wahyaning pangganda
g. Rahsa, tegesipun
urip, inggih kang kawasa, wahyaning pangraos.
Perangan ing nginggil punika, inggih sami kemawon maksudipun
kaliyan perangan ing wewejangan ingkang kaping sekawan.
6. Wejangan ingkang
kaping enem, dipun wastani : kayekten kahananing pangeran, inggih punika
pembuka tataning pelenggahan duk tinata wonten kontholing manungsa, inggih
saking karsaning pangeran engkang amesti, punika sajatosipun inggih amung
minangka pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kada
dosaning karsa ingkang boten mawi ewah gingsir ing kahanan jati. Makaten ugi
ngemot carios bab kasampurnaning manungsa ingkang ugi sasadan pangandikanipun :
sajatine ingsun anata palenggahan ana sajroning kontholing manungsa , iku omah
danunging pasucianingsun, kang ana sajroning kongtol iku pringsilan, kang
anglimputi ana sa’antaraning pringsilan iku mani, sasarining mani iku madi,
sasarining madi iku wadi, sasarining wadi iku manikem, sajroning manikem iku
rahsa, sajroning rahsa iku ingsun.
Ora ana pangeran anging ingsun, sajatining urip kang
anglimputi sakliring tumitah, jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun
mahanani sosotya kang ndingin kahanan kabeh, maksih dumunung ana alaming wiji,
laju manggon ana ing alam pambabaring wiji, laju temurun ana ing alaming
suksma, iya iku getih, laju tumurun ana ing alam kang durung kahana, iya iku
alam kang ingaran upama laju temurun marang alam dunya, iya iku alaming
manungsa urip, lan iya iku sajatining warnaningsun. Menggah dunungipun mekaten
:
a. Konthol, sinebut
griya kang sinucekaken
b. Pringsilan, nyataning
birahi, bubuka semseming manah
c. Mani, nyataning
hawa, bubuka semseming pandulu
d. Madi, nyataning
karsa, bubuka semseming pamireng
e. Manikem,
nyataning pangraos, bubuka semseming pangambu
f. Rahsa,
nyataning pangawasa, bubuka sengseming salulut
Penggenahipun malih :
a. Mani = pejuh,
ingkang kados toya, warnanipun surat biru
b. Madi, sarining
mani, warninipun surat dhadhu
c. Wadi, sarining
wadi, warninipun surat jene
d. Manikem, sarining
wadi, warninipun pethak maya-maya kadi retna
e. Wiji kang
piningit, inggih punika rahsa sajati
f. Sosotya ing
dhihin, inggih manik embaning rahsa sajati, ing ngriku wontening papangkatan
pambabring wiji, dumunung pitung kahanan inggih punika nalika kita taksih
dumunung wonten wonten guwargabaning rena (biyung) inggih punika :
1) Duk kendel 1
wulan, kita dumunung alaming wiji
2) Duk kendel 2
wulan, kita dumunung wonten pasenedhaning wiji
3) Duk kendel 3
wulan, kita dumunung wonten pambabaring wiji
4) Duk kendel 4
wulan, kita dumunung wonten alaming rah
5) Duk kendel 5
wulan, kita dumunung wonten alaming upama
6) Duk kendel 6
wulan, kita dumunung wonten alaming badan
7) Duk kendel 7, 8,
9 wulan, kita dumunung wonten alaming manungsa.
Ing ngiku kita tetep jumeneng kasampurnaning manungsa
(insankamil), sampun darbe pekerti kita badhe lahir saking guwargabaning ibu,
tumitah wonten ing donya.
Dene wejangan punika manawi tumanduk dhateng tiyang estri,
wenang kesantunan pamangsitipun makaten : ingsun anata palenggahan jumeneng ana
bagane Siti Kawa, kang ana sajroning baga iku purana, kang ana antaraning
purana iku reta, sajroning reta iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning
wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun lan
salajengipun kados wejangan tumrap ing priya kasebut ing nginggil.
7. Wewejangan
ingkang kaping pitu, dipun wastani : panetepan santosaning pangandel, bubuka
saking kawruh kang winastan sahadat, awit dene pamejangipun amangsit ingkang
dados pikekah pangandel kita, anggening angestokaken dhateng kayektening gesang
kita pribadi manawi sampun tetep rinasuk dening pangeran kita, kados kasebut,
kitab mahdus.
Menggah lampahing pejah ingkang sampun kinarwuhan,
anyariosaken sajatining pangidep, ingkang terus dumugi kencenging pangesti,
pipiridan saking cipta sasmitaning Nabi Muhammad saw ingkang kawasitaken
dhateng Bangedha Ngali, makaten : ingsun aneksani, satuhune ora ana. Pangeran
anging ingsun, lan anekseni satuhune ora ana. Pangeran anging ingsun, lan
anekseni satuhune Mohammad iku utusaningsun. Dene dunungipun mekaten : ingkang
dipun wastani pangeran, punika inggih jumeneng gesang kita pribadi, sebab
sajatosipun, sakathating pasebutan punika boten wonten, mila binasakaken boten
wonten panderan, punika tetepipun inggih amung gesang kita pribadi, ingkang
sinebut inggih ingkang anebut, lahiring pangeran wonten ing manungsa lan
bathining manungsa wonten pangeran. Dene ingkang dipun wastani mohammad, punika
cahya kita pribadi, mila kaaken utusan, margi cahya kita punika dados
panengeraning pangeran. Lenggahipun mekaten : sayrkti temen kabeh tumengka
marang sira utusaning pangeran metu saka ing awak ira, mungguh utusan iku
nyambadani barang saciptanira, yen angandel sayekti antuk sih pangapuraning pangeran.
Menawi sampun saged anampeni pitedahan ingkang makaten
punika dipun awas ing panggalih, inggih gesang kita pribadi punika jumenenging
nugraha lan kanugrahan. Nugraha punika gusti, kanugrahan punika kawula, tunggil
tanpa wangenan wonten ing badan kita pribadi, sampun uwas sumelang malih.
Wejangan wau menawi kawiridaken hdateng tiyang estri,
kawewahan mekaten : ingsun anekseni satuhune ora ana. Pangeran anging ingsun,
lan anekseni Mohammad iku utusaningsun, lan fatimah iku umatingsun.
8. wewejangan ingkang
kaping wolu, dipun wastani : paseksen awit pamejangipun kinen aneksakaken
dhateng sanak kita, inggih punika sagunging dumadi ingkang gumelar wonten ing
donya kadosta : bumi, langit, surya, wulan, lintang, latu, angin, toya lan
sapanunggalipun, samiya aneksana yen kita samangke sampun angakeni jumeneng
pangeran, dados warganing pangeran ingkang sajati.
9. wawarah punika
mendhet saking suraosipun kitab mahdhus, ingkang anggelaraken bab jamaning
pejah, bab punika inggih nunggil kemawon kaliyan ingkang kasebut ing wewejangan
ingkang kaping pitu, sami wirid saking cipta-sasmitaning Nabi muhammad saw,
ingkang kawedharaken dhateng Bagendha ngali makaten :
ingsun aneksani ing urip ingsun dhewe, satuhune ora ana
pangeran anging ingsun, lan ingsun aneksani Mohammad iku utusaningsun lan
sajatine kang aran Allah iku badaningsun, rasul iku rahsaningsun Mohammad iku
cahyaningsun, iya ingsun kang urip ora kena pati, kang eling ora kena lali,
langgeng ora owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita ora kasamaran
ing sawiji-wiji, tetep ingsun kang murba-masesa, kang luwih wicaksana, byar
sampurna padhang trawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung ingsun
kang mengku alam kabeh, kalawan purbawisesa pepesteningsun.
Menggah dunungipun mekaten :
Kasbut ing dalem dikir : lailah haillallah mukhammadu
rasulullah, tegesipun : boten wonten pangeran, anging Allah, Muhammad punika
utusaning Allah. Ananging sajatosipun ingkang dipun wastani Allah, punika
pakartining rasul, rasul punika inggih Muhammad lan Muhammad punika sajatosing
cahya kita, sajatos gesang punika inggih gesanging pangeran kayekten kasebut
pitedahing qur’an, manawi pangeran punika kuwasa mijilaken gesang saking pejah,
wilijing pejah ing wekasan boten kenging pejah. Tetep gesang ing dunya, tuwin
ing delahan, boten kesupen ing gesang kita, boten ewah gingsir kahanan jati.
Dados pepunthoning pangidep ingkang bonthos dhateng pelenging pangesti,
sampuraning gesang kita punika boten karaos punapa-punapa sampun uwas sumeleng
malih.
2. LAKSITA – JATI
Amratelakaken lampah pangluluhaning raga supados yen kita
pejah badan kita wadhag saged nunggil kaliyan badan kita ingkang alus, kasebut
badan rohani utawi badan suksma.
Menggah janjinipun, badan wadhag lan alus punika boten
kenging pisah, sangkan paranipun anunggil kahanan jati, upami satu munggeng
rimbagan. Ananging wawangsulan, ing tembe badan wadhag punika luluh sampurna
wonten salebeting badan alus, kalimputan dening kayu dhahim, tegesipun : badan
wadhag dumunung selebeting badan alus. Kala badan wadhag taksih dados
embananing badan alus, pramblangipun : curiga manjing warangka tegesipun :
badan alus taksih dumunung wonten salebeting badan wadhag. Mila lajeng wonten
adhah-adhahing babasan makaten.
Jasad embaning budi, budi embaning napsu, napsu embaning
karsa, karsa embaning suksma, suksma embaning rahsa, rahsa embaning cipta,
cipta embaning kawasa, kawasa embaning wisesa.
Wondene pangluluhaning badan, badan wadhag wau, kalampahana
budi : rila, legawa, trima, temen, bener, susila lan utami. Punapadhene tansah
anyipta ajal antukna makaten : jagad bumi malam kabeh sumusupa marang badan,
badan sumusupa marang budi, budi sumusupa marang napsu, napsu sumusupa marang
nyawa, nyawa sumusupa marang rahsa, rahsa sumusupa marang cahya, cahya sumusupa
marang atma, atma sumusupa marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi.
Kajawi punika ugi kedah nyegah 7 perkawis, kadosta :
1. sampun carobo,
nanging kedah taberi susuci
2. sampun anguja
dhahar, nanging dhahara yen sampun luwe.
3. sampun angembong
unjukan nanging ngunjukna menawi sampun ngelak
4. sampun karem
nendra nanging tilema menawi sampun arip
5. sampun receh ing
wicara nanging nendika’a janji angen wahyaning mangsakala
6. sampun angujo
karesmen nanging sanggama’a menawi sampun kangen sanget
7. sampun tansah
ambibingah penggalih sanadjan kasukan inggih angger boten tilar ing dugi
prayogi, muhung angladosi angarah sukapirenaning para mitra
Makaten ugi ing ngagesang sampun ngantos kasandangan
pangrencana 8 prekawis
angumbar nafsuhawa
anguja suka-suka
dora paracidro tindak panganiaya
ulah resah
lampah nistha
tingkah deksura
kesed sungkanan sabarang karya
lumuh nastapa pujabrata
Inggih punika bekaning ngagesang ingkang mumurung lampah
jalaraning kandeg boten saged dumugi saesthining panedya sebab bebasanipun
mekaten
nistapapa tiyang nista manggih papa
dhustalara tiyang dhusta manggih pisakit
dorasangsara, tiyang dora manggih sangsara
niayapati, tiyang niaya manggih papati
mila mekaten margi kalakuaning ngagesang puniko kados
kumandhang upamanipun, punapa padhamel ingkang katandhukaken ing liyan sayekti
badhe tumempuh dhateng badanipun piyambak.
Sayoginipun tiyang gesang kedah anglampahana tapa brata
kados ing ngandhap puniko
tapaning badan, kedah anoraga lan taberi ulah pandamel sae
tapaning manah, narimo lan sepen pangangsa- angsa gunging
pakarti druhaka
tapaning napsu, rila lan sabar ing coba bilai, sarta
ngapuntena kalepataning tiyang
tapaning suksma, temen lan boten dahwen panasten
tapaning rahsa, rereh sabarang karsa miwah agung ing
panalangsa
tapaning cahya, eneng ening tegesipun eneng santosaning
pangesti , ening pelenging paningal
tapaning gesang, awas sarta emut.
Kajawi puniko menggahing anggotya ugi sami darbe wewenang
piyambak-piyambak kadosta
1. tapaning netra,
cegah sare lan mengo dhateng kamilikan
2. tapaning karna,
cegah nepsuhawa lan lumuh miarsa ing paraben
3. tapaning grana,
cegah panguswa lan lumuh angisep-isep awoning liyan
4. tapaning lesan,
cegah dahar lan boten angraosi awoning liyan
5. tapaning purusa,
cegah sahwat lan boten resah ing sanggama tegesipun lampah bandrek
6. tapaning asta,
cegah colong celer calimut lan boten cengkiling
7. tapaning suku,
cegah lumampah padamel awon lan taberi ndalu kalayan samadi
utaminipun anglampahana saungeling babasan kados ing
ngandhap punika
Turua yen arep nepsu, nesua yen arep perang, perangan yen
arep mangan, mangana yen arep lumaku, lumakua yen arep turu.
Utawi. Ketimbang turu, becik tangi. Ketimbang tangi becik
melek, ketimbang melek becik lungguh, ketimbang lungguh becik ngadeg, ketimbang
ngadeg becik lumaku.
Wondene prayoginipun sadaya lampahpunika den saged anyamun,
sampun ngantos ungas lan kawistara sarta tansah prayitna ing gesangipun sarana amatrapna mekaten
1. solahbawa den
angkah-angkah
2. wedaling wicara
den irih-irih
3. pasanging ulat
den amanis
inggih makaten punika sejatining tatkrami, dene sampurnaning
lampah wau empanipun animbanga ing empanpapan, patrapipun sampun tilar ing
dugiprayogi
tumandhukipun animbang watawis linaksanan kaliyan riringa
waspada wedaling mangsakala tepanging sambawa lan sambada inggih punika
pepetinganing lampah, sebab lestantuning
solah bawa sumingkir saking celaning sarira ateges pangleburan kuciwaning raga,
kadosta :
1. kusuting busana,
kalingan dening jatmika
2. kasloroning ujar,
kalingan manising wicara
3. kuciwaning warna,
kalingan dening mrakati
4. cacading raga,
kalingan dening netra sumeh
5. taliti sudra,
kalingan dening legawa wicaksana
Pramila den sami santosa ing pangesti, margi yen boten
sampurna tapabratanipun kasebut nginggil, saged dumawah ing jaman paniksaning
gesang ingkang dumunung 7 pangkat, dumawah kasandhang salah satunggal utawi
langkung inggih punika.
1. jamaning
kemlaratan, witipun saking boros
2. jamaning
kawirangan, witipun lena tanpa prayitna
3. jamaning
kabodhohan, witipun kesed sungkanan
4. jamaning angkara,
witipun budhuk mumuk
5. jamaning
sangsara, witipun resahing lampah
6. jamaning sasakit,
witipun tuwuk nedha
7. jamaning kabilaen,
witipun remen amaeka
Menawi saged suminggah saking rencananing ngagesang 7
prakawis wau bokmenawa angsal marmane pangeran saged lumebet 7 pangkat saking
salah satunggal utawi langkung saking jamaning kamulyan inggih punika :
1. jamaniung
kabegjan, witipun nastiti teki-teki
2. jamaning
kabrajan, witipun budi welas
3. jamaning
kaluhuran, witipun taberi andhapasor
4. jamaning
kawicaksanan, witipun talaten bibinau
5. jamanaing
kasekten, witipun puruita lan tapabrata
6. jamanaing
karaharjan, witipun awas emut
7. jamaning
kayuswan, witipun sabar trima lila tapa
Aliya kasebut ing nginggil wau sayoginipun ngagesang punikia
angena ciptasasmita ingkang medal saking tutuwuhaning budi ingkang paparengan
kaliyan undhaking yuswa. Dhene tutuwuhaning budi atas ngagesang saestu santun
sumantun inggih punika
Tuwuhing kaengetan, tuwuhing pamarsudi, tuwuhing sarenging
sedya, tuwuhing pangatos-atos, tuwuhing bubudi, tuwuhing kasantosan, tuwuhing
rumaos, tuwuhing lereming panggalih, tuwuhing jatmika lan tuwuhing beka pepeka.
Ananging ngagesang ingkang umuripun langkung saking 72 taun
sareng ngenggeni bubuden kala lare alit malih
Murih sampun ngantos kalampahan makaten, boten sanes mung
kedah nyegah saliring nepsuhawa sarta marsudi sampurnaning ilmu. Wonten wewarah
semu pangerang-erang kasebut ing kitab Manganiharki mekaten :
Ageng-agenge dosa tiyang punika ulah elmu makrifat ingkang
magel, awit saking dereng kabuka ing pambudi dados boten sumerep ing
suraosipun.
Dhene ingkang sampun padhang, kuwasa anampeni suraosipun
ilmu sadaya temtu manggih kamulyaning sangkan paran. Ksaebut ing kadis
salebeting kitab insan kamil mekaten
Sinten ingkang sumerep ing pangeranipun saestu inggih
sumerep ing badanipun. Sinten ingkang sumerep ing badanipun saestu inggih
sumerep ing Pangeranipun.
Tegesipun ingkang sumerep dhateng pangeranipun puniko inggih
ingkang sampun sumerep ing suraosipun ilmu makripat sadaya
Tegesipun ingkang sumerep dhateng badhanipun meniko inggih
ingkang saged nyumerepi dhateng gesangipun jiwa raganipun piyambak.
Kejawi kasebut nginggil ugi kedah tansah emut yen ngagesang
punika boten wande newmahi pejah, mila sampun pegat pinelenga ing pangesti
sagedipun waluyajati paworing kawula gusti. Sarana taberi tansah anyuwungaken
pancandriya sarta angengkoki jumeneng sarira bathara inggih punika winastan
pangabekti ingkang langgeng (sholat dhaim)
Bebasanipun salat ngiras nyambut damel, lenggah, sinambi
lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan
tilem, tilem kaliyan melek, yen temen-temen insya allah jinurung sampurna
waluyajati
3. PANUNGGAL JATI
Punika wewarah sanyata, nedahaken kahananing pangeran
ingkang binasakaken saklangkung samar, tanpa rupa tanpa swara dede jaler, dede
estri lan dede wandu, tanpa prenah tanpa anggen, dinulu boten katingal, dinumuk
boten kantenan.
Punika teteping kahanan wonten ing ndalem cipta sasmitaning
kang wasikta, pramila para guru anggenipun suka pitedhah dhateng muridipun
kaumpamakaken makaten.
Sejatine ora ana apa-apa, sakehing kawujudan, rurupan
wawarnan lan pasebutan, iku dudu sejati lan dudu panuksmaning Pangeran, dene
kang kadunungan panguwasa lan kamulyan ing sabarang kabeh iku muhung ingsun.
Menawi dereng saged nampeni wewejangan makaten wau prayogi
sami den talatos marsudi maksuding suraos, sarana angimpun sakathahing
wewejangan sedaya miturut kawruh ingkang sanyata kados ing ngandhap punika :
Ing sadewengipun gumelar sagunging kahanan ing marcapada lan
mukswapada (dunya lan akherat ) punika ingkang rumiyin amung gesang kita,
jumeneng wonten salebeting wiji kang piningit. Sayektosipun inggih gesang kita
punika ingkang tetep sinuksma ing Pangeran kita, mila den saged sami rumeksa
ing gesang kita pribadi, saran ngatos-atos ingkang gemi nastiti ingkang dados witing panggesangan
sampun ngantos kapinten boten saged jumeneng gesangipun, beda kaliyan manungsa
ingkang sampun tinarima sampurna kawruhipun tetep ing pangandel boten bade
katempelan ing pangrencana tegesipun boten susah ing kaluwen kamlaratan lan
panuju kataman ing sasakit boten ajrih dumugi ing pejah. Dhene menawi kasebut
tiyang limrah kemawon kedah anglampahi pangupaya ingkang ndadosaken santosaning
gesangipun
Dhene gesang kita tetelanipun menawi sanyata rinasuk dening
Pangeran kita, kayekten saking solah bawa kita punika sayektosipun teterusan
saking karsaning pangeran kita menggah panuksamaning Pangeran anggenipun
rumasuk ing badan kita punika mawi warana ing ndalem pitung kahanan kados ing
ngandhap punika ;
1. sejatining gesang kita. 2. Nur (cahaya) 3. sir (rahsa) 4.
roh, nyawa, suksma, herah 5. napsu (angen-angen) 6. ngakal (budi) 7. jasad
(badan)
Dhene papangkatan warananing pangeran ingkang dumados saking
pitung kahahan ing nginggil wau menawi
karingkes dumunung ing tigang kahanan inggih punika ;
1.Suksma, mengku jamaning kamukswan 2. rasa mengku jamaning
supena ( tilem ) 3. budi mengku jamaning dunya
9melek)
Wondene kayu punika purwaning ngagesang, ingkang anglimputi
sakathahinh warana nem pangkat wau sedaya wusana kita kawasa saged mobah mosik
lan saged nyembadani pakertining pancadriya, kadosta, pakertining paningal,
pangambet, pamiarsa, pamicara lan pamiraos, punapa dene ambegan, sedaya punika
tuturutan saking pakertining Pangeran kita.
Ananging wonten ugi prabedanipun, menggah wataking kawula
lan gusti
Dene wataking gustyi inggih punika : wungu, tuwuk, ayem,
parem, sareh, emut, tetep waspada santosa, bingah, saras lan raharja.
Menggah titimbanganipun wateking kawula inggih punika :
arip, luweh, ngelak, sahwat, sereng, supe, bingung, pangling, uwas, susah, sakit
lan bilahi. Menggah liring bebasan
ingkang makaten punika inggih saking pakertining papasten kita pribadi.
Wondene santosaning pangesti menawi badhe angyektosaken
tandhanipun, ngadat wonten kaelokan ingkang andhatengi, medadl isaking sarira
kita pribadi katingal saking pramananing netya karaos ing dalem rahsa. Nalika
punika menawi saged katarima saged kadumugen punapa saestining nggalih
Menggah pratikelipun menawi badhe mangesti utawi manekung
miturut piwulang ndalem kanjeng Panembahan Senopati ing alaga mataram mekaten.
wiwitipun kedah ngingirangi dahar sare lan sahwat punapa
dene ngingirangi saliring kakjengan. Lajeng anglowong (boten nedho lan mboten
ngombe ) sarta mbisu tigang dinten tigang ndalu mboten kenging ngemu panggalih
sereng.menawi nglowongipun kirang sadinten sadalu, mboten kenging sare. Ing
wanci tengah dalu lajeng susuci raga, siram busana sarta geganda,
dhidhipangajengaken keblatipun piyambak. Inggih punika ing jaja. Yen sampun
dumungi wanci bangun lajeng pejah raga, nutupi pancadriya, ayegah turas, sarip
tuwin susuker.
Dene manekung : jempol suku, polok lan dhengkul, kiwa tengen
ka’abena. Pajaleran kasipat kaliyan jempol suku, asta kakalih ngrangkul jengku,
driji ngapurancang, jempol ingaben, kasipat pucuking grana, lidah katekuk
minggah madal ing cetak, waja gathuk, lati mingkem, lajeng anata lebet wedaling
napas, inggih punika : panariking napas saking puser ( napas mlebet )
kasengkakna minggah anglangkungi cethak dumugi ing susuhunan ( utek =
embun-embunan ), panariking napas wau kedah alon-alonan ( sareh ), sarta
kasarengan panebut mungel : h o e, naming kabatos kemawon, sumengkaning napas
wonten susuhunan kaendelna sawatawis dangunipun. Manawi sampun krawos awrat,
inggih lajeng kaedalna ( kawedalaken ) ingkang sareh alon-alinan dumugi ing
puser, dene wedaling napas wau ugi kasarengan panebut mungel : Allah, ugi
naming kabatos kemawon. Dados panebut wau mungel: h o e- A l l a h. makaten
punika katindakaken marambah-rambah ( terus ) sadangunipun manekung, sarana ugi
mawi ngereh ebahing badan ( badan mboten mobah mosik ), punapadene angeningaken
cipta, sarta amatrapaken adeging gesang kita. Yen tinarimah adat lajeng angsal ciptasaasmitaning
gesang kita, punapa ingkang sinedya.
Dene panengkungan wau, manawi sampun lantih, kenging dipun
cancutaken , boten mawi cecegah sapanunggilanipun, punapa dene boten angen
wanci, tanpa sarana, angger karaos sumenteging dalem cipta sarta kenceng ing
pangesti, inggih punika nandhakaken yan badhe tinarimah.
Mangreh lebet wedaling napas, ingkang sarana tinata sarta
manebut : hoe-Allah punika kedah ajeg katindakaken ing rinten ndalu,
langkung-langkung manawi kaleres saweg manekung. Inggih lampah makaten punika
ingkang kawastanan salat daim. Utawi salat batos, inggih salating suksma,
inggih salating nyawa ( nyawa= ambegan = napas ). Dene napas utawi ambegan,
punika lebet wedaling angin.
Wondene nglampahi penekukngan wau, sayoginipun kedah saben
wulan sapisan, langkung-langkung yen ing wektu dinten panggenaning tinarimah,
utawi kasebut dinten ijabah, inggih dinten dhawahing lahelatulkadar, inggih
punika : ing tanggal 9 sura, 12 Mulud,
27 Rejeb, 21 Ruwah, 21, 23, 25, 27, lan 29, Pasa, Saha tanggal 8 lan 9 Besar.
Dene wiwiting manekung ing wanci : serap surya, tengah dalu, bangun enjing
utawi tengange.
Kajawi punika ing saben dintenipun inggih kedah mangreh
lebet wedaling napas sarana panebut : hoe-Allah, langkung-langkung bilih mapan
sare ing wanci ndalu: inggih lampah makaten punika ingkang nama : ajeg
panembahe, lumintu salate. Manawi sampun saged tumindak makaten, inggih punika
ingkang winastan salat dhaim, inggih
sajatining salat, tanpa antawis ing wektu, tanpa mawi angetang rekangat,
bebasanipun : salat ngiras nyambut damel, lenggah sarwi lumampah, lumampah
kaliyan adhepok. Lumajeng salebeting kendel, mbisu kaliyan cariyos, kesah sarwi
tilem, tilem kaliyan melek. Sebab salat dhaim punika kakekating salat, mila
tanpa ruku tanpa sujud, among dumunung wonten rahsa telenging gesang.
Dene tandhaning adegipun, inggih gesang kita pribadi,
rukukipun paningal kita sujudipun pangganda kita, ikhtidalipun pamiarsa kita
wawosaning ayatipun pamiraos kita, lenggahipun teteping iman kita, tahyatipun
manteping tekad kita, salamipun makripat islam kita, pujinipun lebet wedaling
napas kita, dikiripun awas emut kita, keblatipun madhep dhateng ening-ening
kita, sampun sampun was sumelang ,alih. Mila makaten sebab jumeneng dat, sipat,
asma, afngal kita, punika sampun dados kur’an sajati, mratandhani sajatining
salat sedaya, dipun wastani , salat
dhaim.
Manawi iptitahipun salat dhaim makaten : Niyatingsun salat
dhaim, kanggo salawasing uripingsun, adage iya urip ingsung, rukuke
paningalingsun, iktidale pamiarsaningsun, sujude pangambuningsun, wawacane ayat
pangucapingsun, lunggune tetepe imaningsun, tahyate mantepe tikidingsun, salame
makripat islamingsun, pupujine lebu wetune napasingsun, dhikire awas
elingingsun, keblate adhepe eneng-enengingsun, perlu anglakoni wajib saka
kodrat iradatingsun dhewe. Makaten punika pasrah analangsa sanubari dhateng
dating gesang kita pribadi, sampun was sumelang.
Dene salat dhaim punika, manawi kasemak kaliyan kaketaning
rukuning islam, utawi kaliyan katimbang kaketaning pikekahing iman, suraosipun
inggih nunggil misan kemawon, liripun makaten :
Rukuning islam wonten 5 prakawis, inggih punika :
1. Sahadat, menggah
hakekatipun wonten lampah temen, dumungipun ing pamiraos ( wicara ). Angger
nuhoni wicantenipun. Inggih punika teteping sahadat.
2. Siyam,
kaketanipun wonten lampah trima, dumunung ing pangganda, angger marem
katandukan ambet ingkang menginaken ( boten angisep-isep saliring piawon ),
inggih punika tetep siyamipun.
3. Jakat,
kaketanipun wonten lampah utami, tegesipun sabar dumung ing pamiarsa, angger
saged mutakaken netra, inggih punika anetepi jakat.
4. Salat,
kaketanipun wonten lampah utami, tegesipun sabar, dumunung ing pamiarsa, angger
saged anulekaken talingan. Inggih punika anglenggahi salat.
5. Kaji, kaketanipun
wonten ing pahalangsa lan netepi janji, dumunung ing pangraos lan solahbawa,
angger saged nyirnakaken pangraos tuwin amejahi sarira, inggih punika
anglampahi kaji.
Rukuning islam ing kekatipun wau, lajeng dipun pralampitani:
lesan mbisu, irung pepet, mripat wuta, kuping tuli, badan mati. Inggih makaten
punika ingkang nama tetep kuwasa nindaaken rukuning islam sajati, sebab sanyata
kuwasa mati sajroning urip, urip sajroning pati, inggih urip salawase.
Pikekahing iman wonten 6 prakawis, inggih punika :
1. Angandel ing
Allah, menggah kekatipun angestokaken gesanging jasat kita, sarta rumaosa
manawi dados sipating Allah sajati, liripun angger jasad kita tansah sinucenan,
sarta samubarang tindak ngenggeni ing kautamaan, makaten punika nama ngandel
ing Allah.
2. Angandel ing
malaikat, kakekatipun angestokaken
wahyaning paningal, pamiarsa, pangganda, pangraos, pamiraos, liripun angger
kita tansah angatos-atos anggen kita matrapaken tanduking netya kaliyan wiraos
sapanunggilanipun, inggih punika kaketipun tetep temen-temen angandel ing
malaikating Allah. Sabab kakekating malaikat punika dumunung wonten salebeting
pancadriya inggih punika : Malaekat Jabarail dumunung ing pamiraos. Mikail ing
pangganda. Israpil ing paningal. Ngijrail ing pamiarsa, kaliyan ing rahsa,
Haruman ing nyawa. Mungkarun Wanakirun kalih pisan ing napsu. Kiraman lan
Katiben Sakaliyan ing budi.
3. Angandel ing
utusan, kakekatipun angestokaken wahananing rahsa, liripun angger kuwasa
angendelaken pangraos lan anengingaken paningal lereming cipta, makaten punika
tetep temen-temen angandel utusaning Allah.
4. Angandel ing
kitab, kakekatipun angestokaken kahananing nyawa, liripun awas lalampahing
gesang saha emut lan mangretos ing kadadosan kita, makaten wau angger tansah
awas emu ting dalem batos inggih punika tetep temen-temen angandel kitabuning
Allah.
5. Angandel untung
sae untung awon saking Allah, Tegesipun hatenging begja cilaka atas saking
takdhiring Allah, kakekatipun angestokaken manawi babarang napsu punika saking
wedharing budi lan pribadi, liripun angger enggal-enggal pasrahanalangsa
dhateng dat kita, inggih punika tetep
temen-temen angandel ing takdhiring Allah.
6. Angandel ing
dinten kang ngakir, tegesipun dinten wekasan.
7. Kakekatipun
angestokaken ing papstening pejah saking
wisesaning dat kita pribadi, liripun angger asring anindakaken ing
iktekad kita kang santosa, punika tetep temen-temen angandel ing dinten wekasan
saking wisesaning Allah
4. KARANA-JATI
Punika andunungaken menggah kakekatipun dating pangeran
ingkang mahasuci, sarehne binasakaken sakalangkung gaib, tanpa rupa tanpa
warna, asipat dede jaler, dede estri, dede wandu, sarta boten mawi jaman makam,
boten arah boten enggen, dinulu boten katingal, dinumuk boten kantenan, punika
isbatipun among cipta sasmita dumunung wonten ingkang waskita, mila dipun kiyas
makaten :
Sajatine ora ana apa-apa, sakabehing asya kang kasebut iku
dudu tajalining dat kabeh, tegese dudu pangejawantahing pangeran kang mahasuci
sajati, iya kang murba masesa kang kwasa mungguh ingsun, kang mahamulya
Mahasuci mungguh ingsun.
Enggah wiwisikan makaten punika manawi dereng saged anampeni
ing panggalih, mugi den taberi amarsudi ing suraosipun pangimpuning wewejangan-
wewejangan sadaya makaten :
Ing sadurunge ana apa-apa, kahananing alam kabir lan alam
sahir saisine during padha dumadi kabeh, kang ana dhihin dhewe among dat kang
mahasuci, sajatining dat kang Mahasuci iku kang asipat hesa, kabasakaken dat
mutlak kadim ajaliabadi, tegese asipat siji, kang mesthi dhihin dhewe, rikala
ijih awing- uwung, salawase kahanan kita yaiku jumeneng pribadi ana ing
sajroning nuked gaib, kang langgeng dumung ing urip kiat, kayektene yaiku urip
kita iki tajalining dat kang Mahasuci sajati, mulane wajib padha bisaa rumeksa
marang urip kita pribadi, marga saka ngati – ati, gemi nastiti kang dadi
sangkaning panguripan, away nganti kapiran nora jumeneng ing uripe, pahe kang
wus tinitah mukmin kas, kareksaning uripe saka wis bias anetepi tokid angantepi
iktekad, sabab ing babasan : nora susah Manawa nandhang kamlaratan, nora uwas
yen kaluwen, nora marasa yen lagi ginanjar lara, nora miris tekaning pati.
Manawa taksih tinitah kawula ngam, kudu tumindak ikhtyar kang andadekake
kasantosaning urip.
Menggah gesang kita punika tetelanipun manawi dados
tajalining dat kang mahasuci sajati, dene kayektosan ing ngriku boten pahe
kaliyan kang kawasa amedharaken kodrat iradat, liripun inggih kodrat iradat
kita pribadi punika sayekti terusaning kodrat iradatipun kang kawasa asipat
kayat, tegesipun asipat gesang, inggih gesang kita pribadi. Mila wujuding
gesang kita punika babaripun mawi papangkatan dumununging dalem 7 kahanan,
inggih punika minangka warananing dat, dados wahananing sipat asma afngal kita sadaya, kados kapratelakaken
ing ngandhap punika :
1. kayu, tegesipun
gesang, anunggil kahananing dat.
2. Nur, tegesipun
cahya dumunung sawijining gesang.
3. Sir, tegesipun
rahsa, dumunung sajawining cahya
4. Roh, tegesipun
nyawa, dipun wastani suksma, dumunung sajawining rahsa.
5. Napsu, tegesipun
angkara, dumuning sajawining suksma.
6. Ngakal, tegesipun
budi, dumunung sajawining napsu.
7. Jasad, tegesipun
badan, dumunung sajawining budi.
Dene kayu punika mila anunggil kahananing dat. Awit ingkang
kapasrahan pangawasa, kinarsakaken anggesangi cahya, rahsa, suksma, napsu,
budi, badan, sadaya, sarta sumarambah saking wiwitan dumugi ing wekasan,
menggah wiwijanganipun kados ing ngandhap punika :
1. Ing nalika kayu
anggesangi kahanan cahya. Sumarambah ing netra, wahananipun andadosaken saged
aningali inggih punika paninggaling dat angagem netra kita.
2. Ing nalika kayu
anggesangi kahananing rahsa, , sumarambah ing grana, wahananipun dados saged
anggada, inggih punika panggadaning dat angagem grana kita.
3. Ing nalika kayu
anggesangi kahananing suksma, sumrambah ing lidhah, wahananipun dados saged
angandika inggih punika panggandikaning dat angagem ing lisan kita
4. Ing nalika kayu
anggesangi kahananing napsu sumrambah ing talingan, wahahanipun dados saged
amiarsa, inggih punika pamiarsa dat angagem ing karna kita
5. Ing nalika kayu
anggesangi budi sumrambah ing manah , wahananipun dados saged birahi andarbeni
karsa, inggih punika karsaning dat angagem ing manah kita
6. Ing nalika kayu
anggesangi kahananing jasad sumrambah ing erah, wahananipun lajeng dados saged
ambegan, lajeng nuwuhaken wulu, kuku lan sasaminipun inggih punika afngaling
dat angagem ing saulah kita saestu boten pahe ing nalika amratandhani afngal
salebeting alam lajeng saged amolahaken surya wulan angin ing sapanunggalanipun
saisen-isening alam sedaya, sami dumunung wonten purbawasesaning dat kados
ingkang kasebut ing ngandap punika.:
1. Dat kapurba kayu,
tegesipun dat punika witing gesang, ambabar waskita, kasebut nama Mahasuci.
2. Kayu amisesa nur,
tegesipun gesang punika amengku wahyaning cahya, ambabar wisesa , kasebut nama
Mahamulya
3. Nur, amisesa sir,
tegesipun cahya punika amengku gesanging rahsa, ambabar kawasa kasebut nama
Mahawisesa
4. Sir, amisesa roh,
tegesipun rahsa punika amengku gesanging suksma, ambabar cipta, kasebut nama
Mahakawasa
5. Roh, amisesa
napsu, tegesipun suksma punika amengku gesanging napsu, ambabar esti kasebut
nama Mahaluhur
6. Napsu amisesa
ngakal, tehgesipun napsu punika amengku gesanging budi, ambabar karsa kasebut
nama Mahaagung
7. Ngakal, amisesa
jasad, tegesipun budi punika amengku gesanging badan, ambabar nyawa kasebut
nama Mahayekti
8. Jasad,
angleksanani pancadriya, tegesipun badan punika muhung nglampahi gesanging
pancadriya, ambabar ulahing sarira sadaya, kasebut nama Allahtangala
Menggah wangsulipun mekaten :
1. Jasad kawisesa
dening akal, tegesipun ebahing badan punika kaprabawan saking osiking budi,
mila dipun basakaken Allahtangala, dados tandane Hyang Mahayekti, awit dene
badan punika pratandhaning afngaling budi.
2. Budi, kawisesa
dening napsu, tegesipun osiking budi punika kaprabawan saking hawaning napsu,
mila dipun basakaken Hyang Mahayekti, dados kanyatahaning Hyang Mahaagung awit dening budi punika anartani afngaling
napsu.
3. Napsu, kaisesa
dening suksma, tegesipun hawaning nafsu punika kaprabawan saking wahananing
nyawa, mila dipun basakaken Hyang Mahaagung, dados embahing Hyang Mahaluhur,
awit dene napsu punika anerusi afngaling suksma.
4. Suksma kawisesa
dening rahsa, tegesipun wahananing nyawa punika kaprabawan sakingpramananing
rahsa, mila dipun basakaken Hyang Mahaluhur, dados tandhaning Hyang Mahakawasa,
awit dene suksma punika amimbuhi afngaling rahsa.
5. Rahsa, kawisesa
dening cahya, tegesipun pramananing rahsa punika kaprabawan saking pranawaning
cahya, mila dipun basakaken Hyang Mahakawasa, dados sengkeraning Hyang
Mahawisesa, awit dening rahsa punika amengkoni afngaling cahya.
6. Cahya, kawisesa
dening kayu, tegesipun pramananing cahya punika kaprabawan saking kawasaning
gesang, mila dipun bahasakaken Hyang Mahamulya, awit dening cahya punika
anglimputi afngaling atma.
7. Kayu, kapurba
dening dat, tegesipun kawasaning gesang punika kaprabawan saking
purbawisesaning dat , mila dipun basakaken Hyang Mahamulya dadossusulihing
Hyang Mahasuci, awit dene atma punika amumpuni afngaling dat sadaya.
8. Dat punika tanpa
dunungan, among anjanggreng jumeneng akadiyat, sebab purbawasesanipun sampun
wonten gesangkita pribadi. Milanipun wahananing gesang punika tanpa
wangenankaliyan ananing dat , inggih gesang kita punika dating gusti kang
Mahasuci sajati kayekten wonteneipun babasan 3 pangkat makaten :
Ingkang rumiyin sipating gesangpunika tansah kanggenan 4
afngal, inggih punika : 1. Arip, timbanganing melek 2. Luwe, timbangane tuwuk,
3. Ngelak, timbanganing ayem, 4. Sahwat, timbanganing lerem, punika sami
afngaling napsu sadaya.
Ingkang kaping kalih, sipating ngagesang punika kadunungan
sekawan afngal inggih punika : 1. Sereng, timbanganing sareh, 2. Supe
timbanganing emut, 3. Bingung, timbanganing lana, 4. Pangling, timbanganing
waspada, punika sami afngaling suksma sadaya.
Ingkang kaping tiga sipating ngagesangpunika terkadang
kasandhangan sekawan afngal inggih punika : 1. Uwas, timbanganing santosa. 2.
Susah, timbanganing bingah. 3. Sakit, timbanganing saras. 4. Bilai timbanganing
harja, punika sami afngaling rahsa sadaya.
Menggah liripun babasan 3 pangkat kasebut ing nginggil,
punikasaestunipun inggih saking kodratiradating dat kita sadaya sampun was
sumelanging nggalih.
Dene pambabaring gesang kita ingkang mawi pepangkatan
dumunung ing dalem 7 kahananwau menawi kagerba papangkatipunpunika among
dumunung ing ndalem 3 kahanan inggih minangka warangkaning dat, dados
wahananing sipat , asma lan afngal kita sadaya, kapratelakaken kados ing
ngandhap punika :
Roh dipun wastani atma, dados kahananing gesang, anglimputi
ing ndalem sarirakita, mengku jamaning ngakerat
Malaikat, dipun wastani pramana, dados kahananing gesang
angreksa indak lumungsuripuning dalem sarira kita , amengku jamaning alam
supena.
Setan nanging dede iblislanat inggih punika napsu dipun
wastani hawa, dados kahananing gesang anyolahaken karkatipun ing dalem sarira
kita, amengku jamaning alam donya.
Menggah santosaning pangesti kayektosan ingkang dados
tandhanipun, punika manawi pinupus salebeting nggalih sarwi manekung anungku
puja samandi pineleng manegesing karsa.
Adat ingkang sampun kalampahan bilih katarima, lajeng wonten
mangunah dhateng kabekta ing utusan
medal saking sarira kita kang
Amahmulya , amawa tandha katingal saking pranamaning netra, karaos ing ndalem rahsa,
ing ngriku ingkang cinipta dados, ingkang sinedya wonten, ingkang kinarsa
dhateng, inggih saking parmaning kang mahakwasa.
Ing samangke mratelakaken urut-urutanipun wahananing dat
ingkang sampun kasebut ing ngajeng wau sadaya, inggih punika :
I. Kayu, tegesipun gesang, dipun wastani
kayun, tegesiupun panggesangan, dipun wastani malih kayat, tegesipun
anggesangi, dipun wastani malih kayu dhaim, tegesipun gesang kang tetep.
Ananging sajatosipun inggih naming satunggal kayu punika . Makaten ugi
sasaminipun ingkang nama dhaim, sipat dhaim, iman dhaim, saat dhaim, punika wau
sadaya sami dumunung ing ndalem kayu dhai m sadaya, tegesipun tetep wonten
kahananing gesang kita pribadi.
II. Nur, tegesipun cahya, punika
sajatosipun inggih naming satunggal, ananging dipun nameni 5 pensebutan, inggih
punika : 1. Nuriyat, tegesipun cahya samar, warninipun cemeng. 2. Nurani,
tegesipun cahya nelahi, inggih punika chaya keeping kalih, warninipun jenar. 4.
Nurbuat, tegesipun cahya kang sentosa, warninipun ijem . 5. Nurmohammad,
tegesipun cahya kang pinuji, warninipun pethak. Menggah gerbanipun sadaya
punika kasebut nama Norollah, tegesipun cahyaning Allah.
III. Sir, tegesipun rahsa, punika
sajatosipun inggih naming satunggal, ananging dipun wastani dados 6 pasebutan,
inggih punika : 1. Sir Iptadi, tegesipun rahsapurba. Inggih punika dados
wahyaning hasmaranala. 2. Sirkabari, tegesipun rahsa wisesa, dados wahyaning
asmaratura. 3. Sirkamali, tegesipun rahsa sampurna. Dados wahyaning
asmaraturidha. 4. Sirngaji, tegesipun rahsa mulya, dados wahyaning
asmaraturidha. 5. Sirkakiki tegesipun rahsa sejati, dados wahyaning
hasmaratantra . 6. Sirwahdi, tegesipun rahsa tunggal , dipun nameni sirgibi,
tegesipun rahsa gaib, dados wahyaning hasmaratantra gama, menggah garbanipun
sadaya punika kasebut nama sirurllah.
IV. Roh tegesipun nyawa utawi suksma punika
sejatosipun inggih nanmung setunggal , nanging lajeng dipun wastani dados 7
pasebutaninggih punika :. 1. Roh jasmani tegesipun nyawaning jasad, inggih
punika wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken anggotaning badan, dipun
ngibarataken roh hewani, tegesipun kaupamekaken nyawa ingkang anggesangi
satokewan. 2. Roh nabadi, tegesipun nyawaning tumuwuh, inggih punika
wewayanganing nyawa ingkang anuwuhaken wulu kuku sapa nunggilanipun, tumanen
dados gesanging budi. 3. Roh napsani, tegesipun nyawaning napsu, inggih punika
wawayanganing nyawa ingkang anggesangaken hawaning napsu, 4. Roh rokani,
tegesipun nyawaning suksma , inggih punika wewayanganing nyawa ingkang
ngagesangaken warnaning suksma. 5. Roh rohmani, tegesipun nyawaning sipat murah
dipun wastani roh rabani tegesipun nyawaning pangeran inggih punika
wewayanganing nyawa ingkang ngagesangaken kahananing rahsa. 6. Roh nurani,
tegesipun nyawane cahya, inggih punika wewayanganing nyawa ingkang
ngagesangaken wahananing cahya. 7. Roh ilapi tegesipun sasandhanging nyawa kang
awening , dipun wastani roh kudus, tegesipun nyawa kang asuci, inggih punika
wewayanganing nyawa ingkang anggesangaken ananing atma, menggah gerbanipun
sadaya punika kasebut nama rohullah tegesipun nyawaning allah
Wiwijanganing roh kasebut nginggil, rujukipun kaliyan dawuh
dalem Kanjeng sinuwun Sultan Agung dateng Kyai Pangulu Ahmad Kategan, mekaten
pangandika dalem.
Sejatine roh iku sawiji, minangka kahananing rahsa,
binasakake nyawa, utawi jiwa kasebut aran suksma prabedane pada mawa tandha
sowing-sowang, yaiku : 1. Tandhaning roh iku anganakake getih , 2. Tandhaning
nyawa anganakake keketeg, 3. Tandaning jiwa anganakake napas, 4. Tandhaning
suksma anganakake rahsaning jasad.
Ananing suksma iku ana papangkate 7 warna, kaya kasebut ing
ngisor iki.
i. Patemone jasad lan
napas, iku den arani suksma wahya, tegese suksma lahir.
ii. Patemone napas lan budi
, iku den arani sukma jatmika, tegese sukma batin,
iii. Patemone budi lan
napsu, iku den arani suksma lana, tegese suksma tetep.
iv. Patemone suksma lan
nyawa iku den arani suksma mulya, tegese suksma mulus,
v. Patemone nyawa lan
rahsa, iku den arani suksma jati, tegese suksma nyata, den arani maneh suksma
rahsa, tegese suksmane rahsa.
vi. Patemone rahsa lan cahya iku den arani
suksma wasesa, tegese suksma wenang.
vii. Patemone cahya lan
urip, iku den arani suksma kawekas tegese suksma pungkasan
Dene patemone suksma kabeh iku den arani suksma hadiluwih,
tegese suksma utama , binasakake retna embanan salaka, yen kumpul dadi retna
inten jumanten , binasakake retna embanan kancana, iku ibarate martabat
wakasiyat, sampurna dadi sasraludira, binasakake retna embanan sosotya, iku
ngibarate martabat wahdat sampurna dadi sotyaludira, binasakake retna embanan
padha retna, iku ibarate martabat akadiyat, waluya dadi manikmaya windradi,
binasakake retna embanan cahya gumilang tanpa wewayangantegese bali dadi dating
nukatgaib, mulih marang ajali – abadi, telas pangandika dalem ingkang sinuwun
kangjeng Sultan Agung. Kyai Pangulu Ahmad Kategan nembah matur : sampun
kasinggihan dawuh dalem punika , wonten bebasanipun menawi teranging ngelmi
kasampurnan punika gumantung ing kawicaksanan.
Ing samangke wangsul amratelakaken urut-urutan namaning
wahananing dat.
V. Napsu tegesipun angkara, sejatosipun
inggih naming satunggal nanging dipun wastani dados 4 pasebutan inggih punika :
1. Napsu luhama, tegesipun angangsa, darbe hawea amurugaken dhahga, arip, luwe
sapanunggilanipun, wahyaning saking
lesan kasebut dados ngibarat kahananing manah, ingkang asorot cemeng,
sampurnaning anarik leburing wulu kuku, 2. Napsu amarah tegesipun sereng, darbe
hawa murugaken angkara, panasten, duduka sapanunggilanipun, wahananing ing
ampere, wahyaning saking karna, kasebut dados ngibarating manah ingkang kasorot
abrit sampurnaning anarik leburing kulit erah. 3. Napsu supiyah, tegesipun
meles dipun wastani napsu supiyah , tegesipun adreng darbe hawa murugaken
murka, pepenginan pakareman kabiraen sapanunggilanipun , wahananing ing
lilimpa, wahyanipun saking netra kasebut dados ngibarat wawahananing manah
ingkang sorot jene sampurnaning anarik daging otot. 4. Napsu mutmainah,
tegesipun jinem darbe hawa murugaken loba , inggih punika loba dhateng kautaman
kadosta, anglampahi pujabrata, ingkang kalantur-lantur boten mawi watawis,
wahananipun ing babalung wahyanipun saking grana, kasebut dados ngibarat
kahananing manah ingkang asorot pethak, sampurnaning anarik leburingbalung
sungsum.
Dene manawi kapatitisaken witing napsu punika saking utek,
wedalipun andarbeni pangawasa, menawi dumunung ing manic dados cipta, andarbeni
pangraos. Menawi dumunung ing lesandados raos, andarbeni pamiraos, lajeng
amedalaken swara, menawi dumunung ing manah dados birahi, andarbeni karsa.
Menawi dumunung ing jantung dados angen-angen, andarbeni panggraito wedalipun
saking jantung lajeng dados nupus, katampen ing wadhuk lajeng dados ampas,
katampen ing ampere lajeng anunggil lampahing rah dados tanapas, angambah
dateng maras lajeng dumunung ing limpa dados napas, sumrambah ing jasad lajeng
dados keketeg, amratandani karkating solahbawa, menggah sangkaning saliringafngal
wau medal saking hawaning napsu sedaya
VI. Ngakal tegesipun budi, punika
sejatosipun inggih naming satunggal nanging dipun nameni dados 5 pasebutan.
Inggih punika : 1. Budi maknawi inggih manah maknawi tegesipun wahyaning budi
2. Budi sanubari , inggih manah sanubari tegesipun wahananing budi. 3 budi
suweda, inggih manah suweda tegesipun woding manah, dados ngibarat kahananing
budi, budi puat inggih manah puat, tegesipun woding jajantung, dipun nameni
budi jati, tegesipun manah suci, dados ngibarat pramananing budi. 5. Budi siri,
inggih manah siri, tegesipun rahsaning manah, dipun wastani budi napi, utawi
manah napi, tegesipun manah wening, dados ngibarat pangsraosing budi.
Dene yen kapatitisaken pakartining budi punika kapilah dados
2 perangan, inggih punika :
1. Dipun wastani
Pancamaya, tegesipun osik gangsal, inggih punika pangawasaning budi ingkang
taksih sinuksma ing ndalem rahsa , wijangipun wonten 3 papangkatan sarta sami
anggangsal pakarti inggih punika :
1. Dipun wastani
locita, tegesipun karenteging batos kasebut nama langgamaya, tegesipun
jumenenging osik kadosta ambeg, watek, graita, esti, cipta. 2. Dipun wastani
Artika tegesipun pangraosing batos, kasebut nama ciptamaya, tegesipun
wahananing osik, kadosta angkara, birahi, sedya, karsa, garjita.3. dipun
wastani Hunandika, tegeseipun wedahing osikkadosta pangraos, panginten,
panyana, panyakra, panjangka.
2. Dipun wastani
pancadriya , tegesipun manah gangsal, inggih punika pangawasaning budi ingkang
sampun kawedar ing dalem rahsa, wijangipun ugi 3 pangkatan lan sami anggangsal
pakarti inggih punika : 1. Dipun wastani Karmendriya, tegesipun purbaning budi,
kadosta paningal, pamiarsa, panggada, pamiraos, pangraos. 2 Dipun wastani
Antarengdriya tegesipun antawising budi , kadosta keketeg, napas, kedheping
netra, rosining lidhah, kenyaming lati. 3. Dipun wastani Jayaningdriya
tegesipun wisesaning budi , kadosta raosing kulit, parji, jubur, asta, suku.
VII. Jasat tegesipun badan, punika punika
sejatosipun inggih namung satunggal, ananging dipun wastani dados 2
pasebutaninggih punika : 1. Jasat turas, tegesipun badan kadadosaken saking
lebu, winastan jisim dipun basakaken badan jasmani, inggih punika badan wadhag,
jasat latip, tegesipun badan alus, winastan jisim dipun basakaken badan rohani
inggih punika badan suksma.
Menggah badan wadag kaliyan badan alus punika boten kenging
pisah, sangkan paranipun anunggil kahananing jati, upami satu munggeng
rimbagan, ananging wawangsulan, ing tembe badan wadag punika luluh sampurna
wonten salebeting badan alus kalimputan dening kayu dhaim, tegesipun gesang
ingkang tetep dumunung ing kahanan kita pribadi mila dipun pralambangi warangka
manjing curiga, tegesipun badan wadag dumunung ing salebeting badan alus. Kala
badan wadag taksih dados embanan, pralambangipun curiga manjing warangka,
tegesipun badan alus taksih dumunung wonten salebeting badan wadag. Mila lajeng
wonten andhah-andhahing bebasan mekaten : jasat embaning budi, budi embaning
napsu, napsu embaning karsa, karsa embaning suksma, suksma embaning rahsa,
rahsa embaning cipta, cipta embaning kawasa, kawasa embaning wisesa.
Ingkang dipun basakaken jasat, punika badan wadag, dene
budi, napsu, lan sapanunggilanipun punika badan alus. Ing sarehne sampun cetha
bilih badan wadag lan badan alus punika
sanyata boten kenging pisah, sangkan paranipun anunggil ing kahanan jati, mila
sampun kendhat ing salebeting batos kedah anyipta’a mekaten. Jagad bumi ngalam
kabeh sumurupa maring badan, badan sumurupa maring budi, budi sumurupa maring
napsu, napsu sumurupa maring nyawa, nyawa sumurupa maring rahsa, rahsa sumurupa
maring cahya, cahya sumurupa maring atma, atma sumurupa maring dat, dat
sumurupa maring ingsun, ingsun jumeneng pribadi tanpa timbangan tanpa lawanan
ana ing kalaretingsun kang Mahamulya Mahasuci sejati saka ing kodratingsun.
Bilih badhe manungku puja samadi saderengipun wiwit anekung prayogi anyipta
kados makaten punika.
5. PURBA JATI
Amratelakaken wahananing dat murih anggampilakeun
panyuraosipun,mila perlu dipun dihaerahaken menggah papangkakataning saking
wontenipun dat wau,makaten :
Dat mutlak kadhim ajali abadi,tegesipun jenggerengipun kang
asipat hesa rumuhun piyambak,kala taksih awing-uwung ing kahanan kita,kasebut
wisesa terangipun makaten : Dat punika tanpa tuduhan,amung dumunung anarambahi
wonten salebeting gesang kita pribadi.Ananging khatah ingkang sami katambetan
(boten sumerep),Awit sakalangkung samar,binasakaken boten jaman makam,tegesipun
tanpa arah tanpa enggen,tanpa kanta rupa warna,sepen saking ganda rasa
swara,asipat elok,dede jaler,dede istri,dede wandu,dipun pralambangi kombang
anganjap ing tawang,mila ing dalem martabat kasebut : Latekyun,sebab saking
dereng sanyata ing kahananipun,menggah terangipun : Gesang inggih sipating
Hyang Maha Suci,punika sumunuk angliputi saindenging jagat
saisen-isenipun.Pipindhanipun kados dene wontening hawa anggenipun sumusuk
angliputi jagad raya saisen-isenipun sadaya,dados boten wonten papan ingkang
boten kadunungan hawa,ing salebeting sela,salebeting brama,salebeting toya lan
sanes-sanesipun sami sinusupan hawa,ateges ing saindenging jagad raya kebek
hawa tanpa sela,ing jawi,ing lebet,inggih angliputi lan linimputan.inggih
makaten punika pipindhan wontening dat inggih Pangeran ingkang maha suci inggih
gesang kita pribadi.
1. Kayun,tegesipun
kang urip(Agesang),inggih punika atma,kasebut wasesa,minangka tajalining
dt,awit kasorotan purbaning dat sajati,dipun pralambangi kusuma anjrahing
tawang,tegesipun sekar dhawah ing tawang (tumuwuh ing awing-awang),mila ing
ndalem martabat kasebut takyun awal,dene wiwit sanyata ing kahananipun
(kanyatahan pisan).
2. Nur
(Cahya),kasbut pranawa,minangka tajalining kayu,inggih punika dados
sasandhaning gesang,awit kasorotan saking wisesaning atma sajati,dipun
pralambangi tunjung tanpa talaga.Tegesipun sekar terate gesang tanpa mawi
toya.Mila ing dalem martabat kasebut takyunsani,dene sampun sanyata ing
kahananipun,sebab takyunsani punika ateges kanyatahan ingkang kaping kalih.
3. Sir,tegesipun
rasa kasebut pramana,minangka tajalining Nur(cahya),awit kasorotan wisesaning
pranawa sajati,dipun pralambangi isining wuluh wungwag,tegesipun boten
kawistara.Mila ing ndalem martabat kasebut akyansabitah,dene sanyata tetep
titis ing kahananipun,(titis = tumutis = tetes = tumetes = dhawah,inggih
dhawahing raos).
4. Roh,tegesipun
nyawa,kasebut sukma,minangka tajalining rasa,awit kasorotan wisesaning pramana
sajati,dipun pralambangi tapaking kuntul ngalayang,tegesipun boten mawi
tabet,tapaking kuntul anglayang punika.Mila ing dalem martabat kasebut
akyankarijiyah,dene sanyata medal ing kahananipun.
5. Napsu,tegesipun
angkara,minangka tajalining roh,awit kasorotan sukma sajati,dipun pralambangi
latu murub ing telenging samodra,tegesipun kaelokan urubing latu wonten
salebeting toya punika.Mila ing dalem martabat kasebut akyanmukawiyah,dene
sanyata gesanging kahananipun.
6. Ngakal,tegesipun
budi,ugi kasebut ing griya,minangka tajalining napsu,awit kasorotan wisesaning
angkara sajati,dipun pralambangi kudha ngerap ing pandhengan,tegesipun kudha
nyander yang kakarungan punika nama kaelokan awit kapal taksih kinarung wonten
salebeting jajaran dados upacara teka saged angerat,punika mokal.dados
suraosipun dadi kaliyan pralambang lumpuh angijeri jagad.mila ing dalem
martabat kasebut akyanmaknawiyah dene sanyata kawedhar ing kahananipun.
7. Jasat (Badan),tegesipun
warana,minangka tajalining budi,awit kasorotan wisasaning sipat,punapa dene
dados embaning mudah,makaten ugi sadaya sorot sami sumarambah maradini saliring
anggotaning badan jasmani sadaya,ateges sampun asipat (Mahujud).Mila manawi
taksih jamaning sipat,dipun pralambangi kodhok kinemulan ing leng,tegesipun
kodhok punika ngibarating mudah ingkang wonten salebeting jasat,dene leng
punika ngibarating jasat ingkang wonten sajawining mudah,inggih punika
kahananing dating gusti taksih kalingan dening sipating kawula.Pahe manawi
jamaning dat ing ndelahan,dipun pralambangi kodhok angemuli ing leng,tegesipun
jasat gentos dumunung wonten ing lebet,inggih punika kahananing sipating kawula
sampun kalimputan dening dating gusti,dados sami tarik tinarik,tetep tinetepan,kados
kasebut ing kadis ingkang ungelipun makaten :
Teteping dat punika anarik dhateng kayu.
Teteping kayu punika anarik dhateng nur.
Teteping nur punika anarik dhateng sir.
Teteping sir punika anarik dhateng roh.
Teteping roh punika anarik dhateng napsu.
Teteping napsu punika anarik dhateng ngakal.
Teteping ngakal punika anarik dhateng jasat.
Sawangsulipun :
Teteping jasat punika tinarik dening ngakal.
Teteping ngakal punika tinarik dening napsu.
Teteping napsu punika tinarik dening roh.
Teteping roh punika tinarik dening sir.
Teteping sir punika tinarik dening nur.
Teteping nur punika tinarik dening kayu.
Teteping kayu punika tinarik dening dat.
Ing samangke amratelakaken menggah dating gusti punika
kaotipun kaliyan kawula dening andarbeni pangawasa,wenang ambabar prabawa sarta
anarik dhateng wedharing gelar kukudan,kados upaminipun manawi karkating jasat
katarik ing pangraosing budi,pangraosing budi kairup ing hawaning
napsu,hawaning napsu kasirep dening wisasening sukma,rerem salebeting betalmakmur.lajeng
amuntu ing wiwaraning pramana,anglerem saniskaraning pancadriya,mangka
kaprabawa dening pangawasaning suksma,anggelar pangraosing cipta, wahananipun
lajeng tilem,kahananing jasat kita ing ngriku saking pangraos katingalan
alaming supena.kaleksanan saliring solah bawa.
Manawi pangawasaning suksma sampun ambabar pancadriya,sarta
ambuka wiwaraning pramana,lajeng anggrenjetaken hawaning napsu,anuwuhaken
pangraosing cipta katampen ing budi ngantos sumarambah ing ndalem jasat
sadaya,ing mriku wahananipun dados tangi kahananing jasat kita,lajeng uninga
malih dhateng saniskara ingkang katingal ing ngalam donya,mila dipun
pralambangi anenun senteg pisan anigasi,tegesipun saweg sakedhap paningaling
ngalam supena,lajeng saged wangsul uninga ingkang katingalan ing ngalam dunya
malih.
Kados mekaten ugi manawi karkating jasat katarik ing
pangraosing budi,pangraosing budi kairup ing hawaning napsu,hawaning napsu
kasirep gdening wisasening suksma,wisasening suksma kakukud dhateng
pangawasaning rahsa,lajeng luluh manjing dhteng pranawaning cahya,anunggil
kaliyan purbaning atma,mantuk dados dat mutlak kang khadim ajaliabadi,ing
ngriku wahananipun dipun wastani pejah kahananing jasat kita,ananging
saestunipun boten pejah,amung ngalih panggenan kemawon,malah waluya gesangipun
langgeng wonten ing kahanan kita kang amahamulya,mahasuci sejati,mila dipun
pralambangi tanggal pisan kapurnaman,tegesipun dereng lami tumitah wonten ing
ngalam dunya,lajeng wangsul malih dados manungsa sejati ingkang sampurna sarta
waskita ing saniskara,boten mawi kasamaran dhateng kang gaib-gaib sadaya.
Inggih makaten punika riwayating dhalil kadis ijemak
kiyas,ingkang katata urutipun satunggal – satunggal,supados muktamata kaliyan
suraosing ngelmi makripat,sebab wonten pangerang-eranging ngelmi makripat mekaten :
1. Sinten ingkang
taksih jibar-jibur ambruwah lumuh dhateng kasutapan,saking ngadat luwangipun
dumugining dinten wekasaning tembe,jisimipun bosok dados siti,alusipun
angalambrang kados kinjeng tanpa soca.Hewadene yen kinntenan lampah taberi
asuci lahir batos,inggih terkadhang boten mekaten kadadosanipun ndhelahan.
2. Sinten ingkang
anggentur siyam tanpa antawis,saking ngadat luwangipun dumugining dinten
wekasaning tembe,jisimpun wetah dados sela anyangaraken siti,alusipun dados
dhanyang kang smarabumi.Hewadene yen kinantenan lampah trima,tegesipun ingkang
dhinahar narima ing sawontenipun kemawon,inggih terkadhang boten makaten
kadadosanipun ing ndhelahan.
3. Sinten ingkang
banter wungu tanpa watawis,saking adat luwangipun dumugining dinten wekasan ing
tembe,jisimipun wungu kapanjingan brekasan ingkang amedosi,alusipun nitis
dhateng bangsanipun satokewan.Hewadene menawi kinantenan lampah rila,tegesipun
wungu ing sapakantukipun angiras dana mumule ing sakadharipun,inggih terkadhang
boten makaten kadadosanipun ing dhelahan.
4. Sinten ingkang
anglantur cegah sahwattanpa watawis,saking adat luwangipun dumugining wekasan
ing tembe,jisimipun amrajang dados lelembut,alusipun asring anjalma utawi
ngemladean.Hewadene menawikinantenan lampah temen,tegesipun boten nate anyidra
resmi bandrek jijinahan,inggih terkadhang boten makaten kadadosanpun ing
dhelahan.
5. Sinten ingkang
sabar, saged amekak napsuhwa, purun anglampahi pejah salebeting gesang,
tegesipun samubarang tansah ka’angkah – angkah, ulat sumeh, wuwus sareh, solah
angrapepeh, sarta mawi dudugi lan prayogi, miwah anggage watawis, saking ngadat
luwangipun dumugining dinten wekasan ing tembe, jisimipun sampurna gesang
anunggil kaliyan alusipun dados Maha suci sejati, sebab saking istingaharipun
saget gesang salebeting pejah, menawi kinantenan lampah utami, kados saya
lestantun pamoring kawula gusti ing dhelahan.
Awit saking punika, mila lajeng wonten pangerang – erang
makaten : sapa kang tansah kasalimur dening rajah tamah satwa hawa, amesthi
tuna pangestine ing dhelahan, sebab patang perkara mau binasakake dadi
pamurunging laku, lire :
1. Rajah, Tegese
kabungahan, dumunung ing sandhang panganggo.
2. Tamah, tegese
kamukten, dumuning ono ing pangan turu.
3. Satwa, tegese
karesmen, dumunung ono ing sosomahan.
4. Hawa, tegese
kamurkan, dumuning ono ing nafsu.
Dene Manawa ora kalimputan dening patang prakara mau,
pagenea teka kadhung ora bias tutug saparaning cipta.
Pramila ugi sami anebihana ing iman kakalih, inggih punika
iman mardhut lan iman tagayur. Nanging sami marsudia supados saged kasandhangan
iman bahsan, tegesipun kasantosaning manah ingkang sae,sarta dadosa iman
sabitah,tegesipun iman ingkang tetep.dumunung ing gesang kita,kados ing
ngandhap punika :
1. Iman
idayat,dumunung ing gesang kita dados pitedahing awas.
2. Iman
mupasal,dumunung ing gesang kita dados palilahing pasilahaning emut.
3. Iman
sadrah,dumunung ing gesang kita dados pambukaning budi.
4. Iman
khalir,dumunung ing gesang kita dados pangestining birahi.
5. Iman
maksum,dumunung ing gesang kita dados pangreksaning napsu.
6. Iman
mahtup,dumunung ing gesang kita dados panuntuning eneng.
7. Iman
makbul,dumunung ing gesang kita dados panarimaning ening.
8. Iman
mujemal,dumunung ing gesang kita dados kaelokaning wirangi.
9. Iman
gaib,dumunung ing gesang kita dados panuksmaning suksma.
10. Iman
tayibah,dumunung ing gesang kita dados pasucianing rasha.
11. Iman
kamilmukamil,dumunung ing gesang kita dados kasemprnaning pranawa.
12. Iman
dhaim,dumunung ing gesang kita dados panetepaning asma.
Bilih kasembadan lampah kados kasebut ing nginggil wau temtu
ginangtungan kanugrahan ingkang tanpa timbang wonten ing donya dumugi ing
ngakerat pisan.
6. SALOKA JATI;
Anggelaraken kawontenaning pralambang tegesipun
pangumpamening babasan ingkang sami minangka pasemon saking arah dununging
kawula gusti,miwah dayaning pakerti,ingkang sami nyantosakaken wewahing
pangandel dhateng pangeran kita pribadi,kados ing ngandhap punika :
1. Gigiring
punglu,tegesipun gegering mimis,punika ngibarat kaelokaning dat,inggih
pangumpamening gesang kita,deneyekti tanpa arah tanpa enggen,sayekti muhung
dumunung ing gesang kita pribadi.
2. Tambining
pucang,tegesipun punika ngibarat kaelokanipun sipating dat,dene kahananing
pangeran punika binasakaken dede jaler,estri lan dede wandu,lan dede punapa –
punapa,kados punapa saestuning sipatpun,sayekti amung dumunung wonten sipating
gesang kita.
3. Wekasaaning
langit,tegesipun punika ngibrat wawangenipun soroting cahya.Inggih soroting
cahya kita,dene tanpa wangenan,sumarambah dumugi kahananing sipat kita.
4. Wekasaning samudra
tanpa tepi,tegesipun punika ngibarat wawangenanipun pengawasaning
rahsa,sumarambah dumugi sanyataning warna kita.
5. Galihing
kangkung,tegesipun punika ngibarat wahananing suksma,ngarambahi ing badan kita.
6. Latu
sakonang,angasataken samodra,tegesipun punika ngibarat wedal ing hawa
napsu.ingkang sasana salebeting pancadriya.
7. Peksi miber
angungkuli langit,tegesipun punika ngibarat rosaning budi tuwuh salebeting
afngal kita.
8. Baita amot
samodra,tegesipun baita punika ngibarating badan ,dene samodra pangupamaning
manah.
9. Angin katarik ing
baita,tegesipun punika ngibarat pakendelaning napas,dening wedalipun saking
badan.
10.
Susuhing angin,tegesipun punika ngibarat pekendelaning napas,inggih
punika wonten ing jantung.
11. Bumi
kapethak ing salebeting siti,tegesipun punika ngibaratipun wontening badan
kita,ing nguni asal saking siti,ing tembe yekti pakubur ing siti,inggih punika
wahananipun dados daging.
12. Mendhet
latu adadamar,sami kaliyan latu ing salebeting latu,utawi latu binesmi ing
latu,tegesipun punika ibaratipun badan kita asal saking latu tansah angedalaken
latu,inggih punika upami wedaling kanepson.
1. Barat katiyup ing angin,sami kaliyan angin anginte
prahara,tegesipun punika ngibaratipun badan kita asal saking angin,tansah
angedalaken angin,inggih punika napas.
2. Tirta kinum ing
toya,sami kaliyan angangsu rembatan toya,utawi toya salebeting toya,tegesipun
punika ngibaratipun badan kita asal saking toya,tansah kailenan utawi
angilekaken toya,inggih punika rah.
3. Srengenge
pinepe,sami kaliyan kaca angemu srengenge,tegesipun punika ngibaratipun
wontening cahya kasorotan ing surya,wonten salebeting cahya,inggih punika
kahananipun dados pramananing netra,saking urubing cahya tansah kasorotan ing
cahya.Terangipun,inggih punika netra,dene saking urubing cahya tansah kasorotan
ing surya.
4. Wiji wonten
salebeting wit,lan wit wonten salebeting wiji,tegesipun punika ingkang dipun
basakaken pangleburing papan tulis,inggih amastani dene sajatosipun pangleburan
papan tulis,inggih amastani dene sajatosipun gusti punika wonten ing kawula lan
kawula wonten ing gusti.
5. Kakang barep aine
muragi,tegesipun punika ngibaratipun martabat insan kamil,ing nalika tanajul
dhawah wonten ing wekasan piyambak,sereng tarkinipun ing tembe dados
wiwitan.dene insane kamil punika inggih wahananing gesang kita
pribadi.terangipun : Gesang kita samangke dhawah wekasan,ing tembe dhawah
wiwitan.
6. Busana kancana
retma boten boseni,sami kaliyan busana wastra tanpa seret,tegesipun punika
ngibarating jasa ing lebet,busana wastra wahananing kulit.terangipun : Amastani
dhateng badan kita ingkang wadag,miwah ingkang alus,punika tetep langgeng
wontenipun.
7. Tugu manic ing
samudra, tegesipun punika ngibarat panthenging cipta ingkang terus dumugi
pelenging paningal.
8. Sawanganing
samudra retna, tegesipun punika mibarating babularbat tegesipun palawanganing
pangeran, kakekatipun amastani palawangan ing dat, inggih punika babahan sanga
winastan kori selamatangkeb tegesipun melar, mingkuping waras, utawi menga
mingkeming lati.
9. Samudra winontan
kilat, tegesipun punika mibaratipun wot sirotolmustaqim, suraosipun amastanning
pesating yatma;dumugi ing ngabyantara ning pangeran kita. Wonten ingkang
kamastani bilih wot sirotolmustaqim punika wedaling pamicara.
10. Bale
tawang gantungan,tegesipun punika ngibaratipun ngaras kursi,tegesipun
ngaras,karaupan,punika kakekatipun pasewakaning dat,dumunung ing sirah lan ing
jaja,tegesipun kursi,palenggahan,inggih punika kakekatipu palenggahing
dat,dunungipun ing utek lan ing jantung.
11. Wiji
ing sela,tegesipun punika ngibarating lohkilmahpul,loh-kalam tegesipun roh =
papan,tegesipun kilmahpul=pareksa,ateges papan : kang rineksa,inggih punika
kakekatipun sipating dat,dumunung wonten ing jasat,sarta rineksa malaikat
kirman.dene tegesipun kalam=panyeratan,punika kakekatipun wayanganing
dat,dumunung wonten ing budi tumuwuhing angen-angen,rineksa malaikat katiban
suraosing tipikajengan : amastani telenging gesang,punika dumunung ing badan
kita.
12.
Tengahing arah,tegesipun punika ngibaratipun mijan,tegesipun
mijan=teraju,inggih punika kakekating panimbangan dat,dumunung wonten ing :
paningal,pamiarsa,pangganda,pamiraos lan pangraos.suraosipun amastani dhateng
panimbanging gesang kita inggih punika dumunung wonten ing pancadriya.
13.
Katingal pisah,tegesipun punika ngibaratipun wahananing dat kaliyan
kahananing sipat,punika saengga kados wijang piyambak.ananging sajatosipun dat
punika boten saged pisah kaliyan sipatipun.sebab wonten wiji tumuwuh tanpa
cangkok,nanging cangkok boten tuwuh yen tanpa wiji.terangipun amastani dhateng
jejering kawula gusti,dene kados wijang piyambak-piyambak,nanging sajatosipun
inggih nunggil kemawon.
14.
Katingal boten pisah,tegesipun punika ngibarating solah kaliyan
bawa,tegesipun solah,ebahing badan,tegesipun bawa,osiking batos.wontenipun
solah lan kreteg punika katingal boten pisah,punika kaparengan dening karsa.
15.
Katingal tunggal,tegesipun punika ngibarating dating pramana kaliyan
sipating netra boten sanes,tegesipun amastani bilih pangawasaning netra
kaprabawan dening pramana.
16. Medal
katingal,tegesipun punika ngibarating wedaling dat,ateges pangawasaning
pangeran,punika katandha saking kedaling lesan adarbe swara.
17.
Katingal amedalaken,tegesipun punika ngibarat wedaling napas,dene
kanyataan kados wonten ingkang angedalaken.
18.
Manawi pejah boten kenging risak,tegesipun punika ngibarating suksma
kaliyan raga,yen raga risak,suksmanipun langgeng kemawon.kasebut alip
mutakalimun wakib,tegesipun sipat kang ngandika sakecap tanpa karna
lesan,inggih punika kang ngarupa sajati dumunung ing suksma,inggih roh kita
pribadi.
19.
Manawi karisak boten saged pejah,tegesipun punika ngibarating napsu
kaliyan rahsa,upami napsunipun kapekak,rahsanipun boten saged sirna margi
rahsaning cipta taksih karaos dumunung ing rahsa kita pribadi.
20. Sukalila
tega ing pejah,tegesipun punika ngibarat tiyang badhe pejah,anglampahi tigang
prakawis : Sapisan,suka dene rumaos badhe angsal kabingahan ing jaman
kasampurnan.
Kaping kalih,lila dene sampun rumaos lila dhateng barang
tilaranipun.kaping tiga,dene sampun tega tilarsih katresnan lan sadaya
pakaremanipun,punapa dene kawelasanipun,inggih punika anak bojo ingkang sami
katilar kantun sadaya.
Wondhene sakathahing babasan ingkang kangge
cacangkriman,menggah pradikanipun amung kawawas kados ing ngandhap punika.
Sadaya ingkang binasakaken :
Ageng,wiyar,inggil,panjang,langkung,inggih punika ingkang kangge pangumpamen
dhateng ananing dat,inggih kahananing pangeran kita.Dene sadaya ingkang
binasaken : Alit,ciut,celak,andhap,kirang lan sapanunggilanipun,inggih punika
kangge pangupamen wahananing sipat,inggih wujuding kawula.
Wondene ingkang kasebut ing babasan makaten :
bothok,bantheng,winungkus ing ghodong asem kabitingan alu bengkong.Menggah
pradikanipun bothok bantheng,sanepa ananing dat,inggih gesang kita
pribadi,ghodong asem,sanepa wahananing sipat,inggih embaning gesang
kita,kanyatahan saking warna kita,dene alu bengkong,sanepa kahananing afngal sadaya,inggih
pakertining gesang kita.menggah dunungipun makaten : adeging gesang kita punika
asisinglon warna kita,katandha saking solah bawa.
Liya ingkang kasebut ing nginggil,wonten wardinipun malih
makaten bhotok bantheng,punika mani,ghodong asem,punika pawestren,alu
bengkong,punika purusa ananing wardi ingkang makaten wau mboten prayogi menawi
kangge raraosan ing ngakathah kenging dipun wiraosaken,prayogi namung kaliyan
ingkang sampun tunggil kawruh,utawi dhateng ingkang sampun katuwuhan ing
dudugi.Manawi kawiraosaken dhateng ingkang taksih kirang ing dudugi,mindhak
karumiyinan ing pangangkuh,margi dereng dumunung knyektosaning tumuwuh kaselak
amiyagah.
1. SASMITA JATI
Punika minangka pangemut-enut patraping pitegahan
sadaya,bubukanipun amratelakaken riwayating kadis,manawi sampun pare king
mangsa tegesipun utusaning pangeran ingkang maha suci,andhawuhaken janji
dhatengngalam donya,inggih punika malaekat jabarail kinen mundhut sadasa
pangkat kados kasebut ing ngandhap punika :
1. Mundhut berkting
bimi,tegesipun sudaning warna.
2. Mundhut adiling
ratu,tegesipun gingsiring pancadriya.
3. Mundhut lomaning
sugih arta,tegesipun sudaning kikiyatan.
4. Mundhut
wirangining pandhita,tegesipun ewahing budi.
5. Mundhut tapaning
ngawerdha,tegesipun tansah muring-muring.
6. Mundhut sabaring
sudra,tegesipun sugih kanepson.
7. Mundhut sahing
kadang warga,tegesipun petinging angen-angen.
8. Mundhut wiranging
pawestri,tegesipun sudaning kajatmikan.
9. Mundhut imaning
mukmin,tegesipun ngingganging nyawa.
10.
Mundhut sastraning kur’an,tegesipun ingseding rahsa
Manawi sampun rumaos sasmita kados kasebut ing nginggil
punika,kita asring darbe welas dhateng badan kita pribadi,lajeng rumaos
angangkat wijang raga kaliyan nyawa,ing ngriku tanda sampun pare king
pejah.Kawistara sakathahing panengeran angajengaken dinten kiyamat,tegesipun
kiyamat,jumeneng inggih punika kiyamating badan kita,badhe jumeneng kaliyan
pribadinipun(Pejah).Kawistara saking panengeran,kados kasebut ing kitab bayan
maot makaten wawarahipun :
1. KIRANG 3 TAHUN
Kawistara rumaos sayah gesangipun,serta rumaos bosen
anguningani sagunging kamulyan,ingkang gumelar ing dunya punapa dene asring
nandang sakit mumet,asring supena kesahan purugipun mangaler,serta ical
legeanipun salebeting sare.Ing ngriku enggening prayitna,tegesipun kita kedah
enget,yen gesang punika boten wande dumugi pejah.
2. KIRANG 2 TAUN
Kawistara kita asring rumaos darbe kangen dateng kaluearga
ingkang sampun sami tilar dunya serta asring ngunek-unek raosing panggalih,elik
dhateng sakathahing pakareman,punapa dene asring supena dandos-dandos dalem
padaleman.Ing ngriku enggening nastapa.tegesipun cecegah.
3. KIRANG 1 TAUN
Kawistara asring uninga wujud ikang boten katingal,asring
geter senthiling jangga,utawi lajeng nandhang
Sakit,ingkang dadosaken sudaning kikkiyatan,netra
pucet,balungan ngeres linu,sudaning pamuring-muring,raosing lidah suda,ing
ngriku enggening ambater tapa
4. KIRANG 9 WULAN
Kawistara asring sumerep netra kita pribadi,asring karaos
marlupa,lampahing rah asring kendel,kanepson suda ing ngriku tansah anyiptaa
pejah salebeting gesang wonten ing marcapada
5. KIRANG 6 WULAN
Kawistara asring miring barang ingkang pancen boten kapiyarsa,asring
gumrebeg salebeting karna,andadosaken sudaning pamireng,terkadang boten darbe
karkat,tanpa pepenginan,asring tanpa kawelasan.ing ngriku nggoning wektu kedah
tansah anglampahi pandamel sae,kareksa’a sumehing netya,manising wicara alusing
solah bawah.Angecani manah sesamining gesang.
6. KIRANG 3 WULAN
Kawistara asring mambet gandhaning lelembut kados menyan
kobar tuntung amis,utawi mambet gandhaning sesakit,Asring karaos asrep
salebeting grana,suda bantering napas,sarwa kasesa sabarang karsa,ing mriku
pangenaning karem anyepen,tegesipun kedah asring angedalna ing saniskara,sarta
ananamur lampah,punapa dene remen dadana dhateng para sekeng
7. KIRANG 2WULAN
Kawistara asring cidera paningalipun,kadosta : Srengenge asring katingal cemeng,langit katingal
abrit,latu katingal cemeng,wawayanganipun piyambek katingal kalih,netra
katingal tanpa wawayangan.Ing ngriku pangenanging wewarah serta piweling
dhateng putra wawayah sasaminipun,amrih anglampahana pandamel sae dhateng
saliring kautaman.
8. KIRANG 40 DINTEN
Kawistara manawi dariji asta dipun pekak pekuk,kapetelaken
dhalah epek-epekipun dariji manis ka angkat,yen sampun ka,angkat ajungjung
dariji manis wau,utawi darijinipun sekawan sami dipun pekuk,kapetelaken dhalah
epek-epekipun,dariji panunggul ingkang boten katekuk ka angkat,manawi sampun ka
angkat ajungjung darijinipun panunggul wau,inggih ugi kirang 40 dinten.Punapa
dene asring kejeng otot-ototipun,ula-ula kumedhut,asring supenanipun.ing ngriku
pangenaning panelangsa,lan ngapuntena dhateng ingkang sampun kalepatan,lan
anyuwun pangapunten dhateng sasami sami ingkang kaserikaken.
9.KURANG 10 DINTEN
Manawi mawas asta darijinipun katingal kalong,utawi
ugel2ipun katingal pedot.ing ngriku panggenan amatrapaken pikekahing ngelmi
kasampunan,inggih punika : Iman,Tokid,ma’ripat,Islam. Tegesipun iman,ngandhel
ingkang dipun andhel kodrat kita,inggih kawasa kita pribadi,dumunging wonten
ing eneng.tegesipun tohid,muhung satunggal.inggih punika pasrah dhteng irodat
kita,inggih karsa kita pribadi,dumunging wonten ing ening.tegesipun
ma’ripat,waskita.ingkang dipun waskitani ngelmu kita,inggih punika anguningani
dununging dat,sipat,asma,afngal,(khantha,rupa,aran,pakerti utawi
panggawe).Anggenipun ngawuningani dumuning ing awas tegesipun islam,wilujeng
ingkang wilujeng punapa kayat kita inggih gesang kita pribadi,duunung wonten
ing enget,inggih enget dhateng pangeran kita pribadi.punika datipun,dene
angliputi ing alam sadaya.tegesipun jamal elok,ingkang elok punika
sipatipun,dene dede jaler,dede estri,dede wandu,serta boten jaman makam,boten
arah boten enggen,tanpa warna tanpa rupa.tegesipun kahar,misesa,ingkang misesa
punika asmanipun.dene boten nama sinten-sinten,anjawi namung asmanipun pribadi
kang amiisesa. Tegesipun, sampurna,ingkang sampurna punika apngalipn
pandamelipun, dene saged, gumelar sami sanalika saking kawasa tanpa sangsaya.
10.KIRANG 15 DINTEN.
Kawistara asring
katingal warnanipun piyambak. Ing mriku panggenaning pamuja, aneges, karsaning
kang maha kawasa, patrapipun manawi badhe sare mawi angendelna ing saniskara.
Pamujanipun makaten : ana pupujaningsun sawiji, date iya datingsun, sipate iya
sipatingsun, asmane iya asmaningsun,afngale iya afnglingsun. Ingsun puja ing
patemon tunggal saka hananingsun, sampurna kalawan kodratingsun. Ing ngriku nyipta’a
amuja tunggal, inggih punika : bapa biyung, kaki nini, garwa putra, wajah lan
sasaminipun ingkang dados pelenging sih, sadaya wau nunggila wonten jaman
kalanggengan.
11.KIRANG 8 DINTEN.
Manawi sampun
anandhang gerah, terkadang boten kersa dahar, boten saged sare ing ngriku
panggenaning martabat. Patrapipun menawi bade sare utawi mentas wungu sare mawi
angendelna ing saniskara,dene. Tobatipun makaten : ingsun nalangsa marandat
ingsun dewe, regeding jisimingsun, gorohing atingsun, serenge napsuningsun,
laline uripingsun salawase, ing mengko sun ruat sampurna sadosa ingsun kabeh,
saka kodtingsun.
12.KIRANG 3 DINTEN.
Manawi panggalih bingung, angraosaken gerah uyang, terkadang
angedalaken tinja taun, utawi tinja kalong, punapa dene angedalaken cacing
kalung utawi tembagi, pucuking purasa katingal karaos asrep, wani terag. Ing
ngriku panggenaning anekseni datheng dat kita pribadi, mawi angadelaken
saniskara. Anggenipun anekseni makaten : ingsun anekseni ing datingsun dewe,
satuhune ora ana pangeran, nanging ingsun, lan anekseni ingsun, satuhune
Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang aran alloh iku badan ingsun, rosul
iku rasaningsun, iya Muhammad iku cahya ingsun, iya ingsun kang urip ora kena
ing pati, iya ingsun kang eling kang kena lali, iya ingsun kang langgeng ora
owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita tan kasmaran ing
sawiji-wiji, iya ingsun kang amurba amisesa kang kawasa serta wicaksana ora
kakurangan ing pangerti, biar sampurna padang trawangan, ora krasa apa-apa amungingsun
kang liputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.
13.KIRANG 2 DINTEN.
Manawi babahan hawasanga sami karaos medal angin, terkadang
darbe welas dateng badan kita pribadi. Ingriku panggenaning anucekaken
sakatahing anasir bangsa, inggih punika bangsaning anasir khak ingkang dumuning
wonten ing : dat, sipat, asma, afngal, kadosta anasiring badan asal sakinh
bumi, latu, angin, lan toya, punika sadya kacipta’a suci mulia mantu datheng
asalipun,sampuna’a anunggil kalian anasiring roh, ingkang sukanda wonten
kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud. Tegesipun wahana inggih punika roh,
amargi roh punika dados kanyatahaning roh. Tegespun ngelmu, paninggal, inggih
punika paninggaling netra balaka amargi paninggal punika dados pamawasing
roh.tegesipun nur, cahya, inggih punika cahya, kang angliputi sarira, amargi
cahya punika dados pathandhaning roh. Tegesipun suhud, saksi, inggih punika
napas, amargi napas punika dados saksining roh. Dene anggenipun nyuci kaken
mawi angandelaken ing sanikara, sarta nyebut ing dalem cipta makaten: ingsun
anucekaken saliring anasir ingsun kang bangsa jasmani, suci mulia sampurna
nunggal kalawan saliring anasiringsunkang bangsa rohano, nirmala waluyajati ing
kahanan jati dening kodratingsun.
14.KIRANG 1 DINTEN.
Manawi otot ing ugel-ugel suku kita sampun kendho, utawi
sarira kita sampun angedalaken riwe kumyus, punika kita terkadhang darbe rumaos
angangkat wijing raga kaliyan sukma. Ing ngriku panggenaning angawinaken badan
kaliyan nyawa, mawi angandelaken saniskara, mawi nyebut salebeting cipta
makaten : Alloh kinawinake, winalenan dening rosul, pangulune mohammad, saksine
malaekat papat, iya ingsun kang angawin badaningsun, sapatemon kalawan
sukmaningsun, winalenan dening rahsaningsun, kaunggagahake dening cahyaningsun,sinaksenan
dening malaekatingsun papat, jabarail
yaiku pangucapingsun, Mikail pangambuningsun, Isropil paningalingsun, Ngijoil
pamirsaningsun,srikawine sampurma saka kodratingsun.
15. LALAMPAH.
Manawi kulit sampun boten pera kumrisik, lajeng asrep,
keketeg ugel-ugeling asta sampun sirna,andadosaken oncating kanaka tanpa
cahyapramananing tinggal sampun sepen,paningal bawur grebeging talingan
sirep,andadosaken pinggeng sanalika,lajeng gringgingen saranduning salira,sarta
mambet gandaning sawa.ingriku kedah santosa ing panggalih,sampun liya ing
pangesti,sebab wektuning badhe kadhatengan rancana ageng saking idajilanat lan
panggodaning sadherekipun pribadi sekawan kalmia pancer,mila lajeng karwat
salebeting cipta,makaten :
Ingsun angruwat kandang ingsun papat kalmia pancer,marmati
kakang kawah adhi ari-ari getih puser,sakehe kadang ingsun kang ora katon lan
kang ora karawatan,kadangingsun kang metu saka margaina,sarta kadangingsun kang
metu bareng sadina,kabeh padha sampurna’a nirmala waluya jati saka kodratingsun.Lajeng
nyipta pangukudan,makaten : Ingsun andadhekake ngalam donya iki saisen-isene
kabeh iki yen wis tutug wawangenane,nuli ingsun kukud mulih mulya sampurna dadi
sawiji,kalawan kahanan ingsun maneh,saka kodrat ingsun.Lajeng nyipta pamancadan,makaten
: Ingsun mancat saka ing alam insane kamil,tumeka marang alam ajean,nuli tumeka
marang alam missal,nuli tumeka marang alam arwah,nuli tumeka marang alam
akadiyat,nuli tumeka marang alam insane kamil maneh,sampurna padhang trawangan
saka kodratingsun.
Sadaya wau muhung kaliyan nyiptakemawon sebab tataning
sarengat tarekat,hakekat,makripat,sampun kinukud.Dene sarengat punika lampahing
badan,dunungipun ing lesan.Tarekat lampahing manah dunungipun ireng
grana.Hakekat lampahing nyawa,dunungipun ing talingan makripat lampahing
rahsa,dunungipun ing netra.dene ingkang kinukud rumiyin paningaling
netra,kaumpamekaken bawuring kacawirangi,utawi esating toya jamjam.nunten
pamiarsaning talingan,kaumpamekaken rentahing godhong sajaratiyomuntaha,utawi
kangsrahing kajarswad.nunten panggandaning grana,kaumpamekaken guguring
ikrap,utawi rebahing redi tursina punapa dene sugaring wukir jabir,sirahing
jurang mukadasituwa.Nunten pamiraosing lesan,kaumpamekaken bibrahing wot
siratalmustakim,utawi risaking katbatulloh.
Ing ngriku tan liya namung mangesti
nyipta manunggaling kawula gusti,anata sarira,patrapipun makaten : Asta
sidhakep,dariji ngapurancang,jempol ka’aben sami jempol,tumumpang ing jaja,suku
salonjor,jempol polok dhengkul kiwa tengen ka’abena ingkang rapet,pajaleran
palandhungan sampun ngantos kaindihan,nunten mawas pucuking grana kasipat
kaliyan jaja,puser,pajaleran dumugi jempol suku waja gathuk,lati
mingkem,pucuking lidah madal ing cethak,lajeng ngeremna netra kang alon,sarta
lajeng nata lebet wedaling napas,pratingkahipun sampun kasesa,napas lumebet
nyipta : HOE,napas medal nyipta : ALLAH,dados : HU-ALLAH.punapa dene dipun
santosa ing pangesti,manawi katingal punapa-punapa,poma sampun dipun
paelu,punika rencananing pejah,dipun tansah jinem ing cipta.
` Ing ngriku
wiwiting rahsa kita mingsed saking
jempol suku,dumugi ugel-ugel,lajeng dumugi dengkul,kaparengan panariking rahsa
kita saking pucuking dariji asta,lajeng dumugi walakang,kaparengan panariking
rahsa kita saking pucuking urat,lan saking urat kendel ing puser,kang
njaja,kang saking sikut dumugi salang lajeng kempal wonten ing njaja,lajeng
minggah dumugi ing tenggak,lajeng dumugi ing utek,sareng sirnaning napas
kita,serta sirnaning keketeging jantung,amung kantun keketeging utek,lajeng
ngambah alaming nyawa,budi cahya,dumugi alaming pangeran,lajeng kasat mata ing
ndalem cipta,kados gebyaring calcret,boten mawi antawis malih paworing kawula
gusti anunggil gesang wonten salebeting cahya kita pribadi,ingkang tanpa gesang
kita wangsul kados kang rumiyin,tetep gesang ingkang tanpa wiwitan lan tanpa
wekasan,inggih gesang ing donya ndhelahan,langgeng ing salami-laminipun.
Ing mangke
mratelakaken panengeraning manungsa ingkang badhe dumugi ing janji,ingkang
kawistara saking panawaning liyan,kados ing ngandhap punika :
1. KIRANG 3
TAUN.Terkadhang kados angsal panglulu gesangipun.
2. KIRANG 2
TAUN.Terkadang ghadhah lageyan ewah saking adat.
3. KIRANG 1
TAUN.Terkadang angenggal-enggali solah bawanipun.
4. KIRANG 6
WULAN.Terkadang salin lalabuhanipun,lajeng tanpa hawa kadosta tiyang
kereng,dados alim,tiyang remen ing parameyan,dados karem
ingasepan,sapanunggalanipun.
5. KIRANG 3
WULAN.Terkadhang wangsul wawatekanipun kados lare.
6. KIRANG 1
WULAN.Terkadhang katingal surem cahyanipun,tandha badhe nandhang sakit.
7. KANTUN NGENSTOSI
SANGAT,urubing netra,sampun dhoyong sarta katingal sampun sirep amung kantun
gilar-gilar,lajeng kamisawangen,kedhet kendhel,imba tikel.
8. DUMUGI
JANJI.lajeng ical matinipun,netya pucet,karna pengeh,grana mingkup,grayanging
badan sampun asrep,keketeg sadaya sepen,lajeng mambet gandaning sawa.
Dene menggah patrapipun pamawas,pucuking grana kita kasipat
kaliyan jajanipun ingkang sakit,lajeng winawas kliyan megeng napas,angeningaken
cipta,angesti paworing kawula gusti,ing ngriku enggening waspada.
2. WASANA – JATI
Kacarios
bilih kita bdhe pejah, keketging jantung sampun sampurna, namung kantun keketeg
salebeting utek kemawon lajeng karaos nikmat salir anggota ning sarira sadaya.
Wektu sirnaning warana lajeng katingal ing jaman karamaulloh, tegesipun jaman
kamulyaning alloh. Pangraosipun ing ndalam ngadanrukini dathengipun sakathaing
cahya ingkang ngilmputi dathing karaton, amawa tandha kapiarsa salebeting cipta
kados wonten susra rame surak ambal-ambalan. Sampun ngantos kaget, sabab punika
kumaraning hawa kita ingkang sirna sampurna, ing ngriku namung amusti
pupuntoning tekad kang santosa, kados ngibarating aksara alip kang aljabar jer
apes, ungelipun : A,I,O tegesipun : aku iki urip, lajeng anyipta’a branta
ingkang dat supados sampun kengetan dhateng ingkang katilar kantun sadaya ing
nalika punika boten mawi atawis lajeng byar katingal ing alam kabir,kados
wawangsitipun S. kali jaga ingkang badhe kalampahan wonten salebeting jaman karamtulloh
kaetosan ing ndalem ngadamrukmi katingal saking pangraos kados ing ngandhap
punika :
1. Ing sakawit
katingal alam rokhiyah,tegesipun alaming nyawa, apadhang dede padhaning rahina,
tanpa keblat wetan ler kidul kilen tengah miwah ngandhap nginggil. Ing ngriku
aningali saganten tanpa peti, punika wahananing manah kawimbuhan cahyaning utek
satengahing saganten wonten duryat panca maya, tegesipun sosotya, saking osik
gangsal warni, kados teja gumawang cahyanipun. Punika wahananing jantung
kawimbuhan cahya ning joharawal, inggih punika manik. Ingkang panca maya lajeng
liput jatining manah, dados pangrasaning sarira, jumeneng wonten telenging
samudra tanpa tepi wau. Empanipun angawasaken amung dumunung wonten ing cipta,
papanipun anyidikaken dumunung wonten ing paningal, pamiarsa, pangganda,
pamiraos miwah pangraos saklebeting cipta lajeng asa rupa jalma, dipun wastani
mukasipat. Dene kuwasanipun namung anuntun sakaliring sipat sadaya, ing nalika
punika sampun ngantos kasamaran dhateng panengeraning rupa sajati, inggih rupa
kita pribadi jumeneng alip mutakalimunwakid, tegesipun sipat kang angandika
sakecap tanpa lesan. Ing ngriku dipun mantep ing iktekad, sabab wawayanganing
roh sampun ngatingali salebeting pramana, inggih roh kita pribadi,
sampurnanipun anunggil kahanan dhateng alaming rahsa, inggih rahsa kita
pribadi.
Sasirnaning alam rokhiyah,katingal alam siriyah,tegesipun
alam ing rahsa,pandhngipun anglangkungi pandanging alam rukiyah,ing ngriku
dhateng cahya sekawan warni,cemeng,abrit,jene,pethak,punika wahananing budi
amedalaken kahanan ing napsu hawa sekawan prakawis,ingkang sami dados
durgamaning rahsaning manah.katingalipun tumaruntun satunggal-tunggal,ingkang
wiwit katingal rumiyin cahya cemeng,punika kahananing napsu aluhamah,hawanipun
nalika gesang amurugaken dhangga,arip luwe sapanunggalipun,wahananipun ing
wadhuk,wahyanipun saking lesan. Kadosanipun salebeting cahya cemeng katingal
sakaliring satokewan wah gegemrotan sami angragodha kados anganggep
pangeran,prabawanipun bumi gonjing,alaming napsu dipun wastani
1. alam nasut,tegesipun supe. Poma dipun enget sarta
santosa,sampun ngantos korup wonten salebeting cahya cemeng,bok manawi lajeng
nitis dhateng satokewan utawi gegemrotan.
Boten antawis dangu cahya cemeng sirna,nunten kaingal cahya
abrit,punika kahananing napsu amarah,hawanipun ing nalika gesang amurugaken
angkara,panasten jail drengki sapanunggilanipun,wahananipun ing
ampere,wahyanipun saking karna,kadadosanipun ing salebeting cahya abrit
katingal saliring budi srani brekasakan,inggih sami angragodha ang anggep
pangeran,prabawanipun latu ageng amurub angalad-alad alaming napsu dipun
wastani alam jabarut,tegesipun sereng,ing nalika punika panggenaning
rekaos,poma dipun sareh sarta santosa,sampun ngantos korup wonten salebeting
cahya abrit,bok mawi anitis dhateng brekasakan.
Boten dangu cahya abrit sirna,nunten katingal cahya
jene,punika kahananing napsu supiyah,hawanipun ing nalika gesang amurugaken
murka,pepenginan pakereman kabingahan sapanunggilanipun,wahananipun ing
limpa,wahyanipun saking netra,kadadosnipun ing salebeting cahya jene sakaliring
peksi miwah bangsa iber-iberan,inggih sami angragodha kados anganggep
pangeran,prabawanipun angin pancawara ageng,alaming napsu,dipun wastani alam
laut,tegesipun gingsir,ing nalika punika panggenaning lenggang saliring
anggotaning salira,poma dipun tetep sarta santosa,sampun ngantos korup wontun
salebeting cahya jene,bok manawi nitis dhateng peksi miwah iber-iberan.
Boten dangu cahya jene sirna,nunten katingal cahya
pethak,punika kahananing napsu mutaminah,hawaning nalika gesang amurugaken
lobaning kautaman sapanunggilanipun kadosta anglampahing pujabrata angalantur
boten mawi watawis,wahananipun ing babalung,wahyanipun saking
brana,kadadosanipun salebeting cahya pethak katingal sakaliring ulam loh,miwah
bangsanipun ulam toya wonten saganten rahmat,inggih sami angragodha kados
anganggep pangeran,prabawanipun toya wening tanpa sangkan,alaming napsu dipun
wastaning alam malakut,tegesipun karaton,ing nalika punika panggenaning uninga
ing karaton,poma dipun waspad sarta santosa,sebab dede sajatiningkaraton kang
rinakit maha mulya,sampun ngantos korup selebeting cahya pethak,bok manawi
nitis dhateng ulam roh miwah bangsanipun bubujengan toya.menggah sampurnanipun
sakawan pisan unika sami nunggil kahanan dhateng alaming cahya,inggih cahya pribadi.
2. Sasirnaning alam
siriyah,katingal alam nuriyah,tegesipun alaming cahya,padhangipun anglangkungi
padhanging alam siriyah,ing ngriku dhatenging cahya amanca
warni,cemeng,abrit,jane,pethak,ijem,gumelar sareng sami katingal karaton sarwa
raras sadaya,unikawahananing pancadriya kawimbuhan cahyaning pramana,alaming
pancadriya dipun wastani alam idayat,tegesipun pitedah,dene anedahaken
panggenanipun gumelaring karaton,ananging dede sajatining karaton kang rinakit
maha mulya,punika karatoning panasaran,kadosta karaton ingkang katingal
salebeting cahya cemeng,punika karaton dating satokewan miwah gegremetan
ingkang katingal wonten salebeting cahya abrit,punika karaton dating brekasakan
ingkang katingal wonten salebeting cahya jene,punika karaton dating peksi miwah
bangsa iber-iberan. Ingkang katingal wonten salebeting cahya pethak,punika
karaton dating ulam loh miwah bangsaning bubujengan toya. Ingkang katingal
wonten salebeting cahya ijem,punika karaton dating tutuwuhan.
Anunten ing nalika punika wonten kapiyarsa swara kados
tangising bayi kala lahir,lajeng amangsit anedahaken karaton ingkang
amahamulya,pomadipun jinem,sarta santosa sampun ngantos anyipta milih salah
satunggal,bok manawi kalebet karaton panasaran.menggah sampurnanipun ingkang
katingal punika,sami anunggil kahanan dados cahya wening wonten salebeting alam
nuriyah,inggih taksih cahya kita pribadi.
3. Taksih salebeting
alam muriyah,ing mriku katingal cahya uning,salebeting cahya wonten huruf
satunggal,angadeg sasada lanang agengipun,darbe sorot wolung
warni,cemeng,abrit,jene,pethak,ijem,biru,wungu,dhadhu,gumelar sareng sami
katingal sowarga sarwa asri sadaya,punika wahananipun warnaning
pramana,kawimbuhan dening suksma,alaming pramanadipun wastani alam
miskat,tegesipun bira’I,dene panggelanipun rumaos branta dhateng gumelaring
swarga,ananging dede sajtining swarga kang maha suci,dede panggenan kang
anikmat mafangat rahmat,unika kahyanganing jim sadaya,amung panggenan kamukten
kemawon,kadosta ingkang katingal sawarga,sarwa cemeng meles meleng – meleng
mindha mustikaning bumi,punika kadadosan saking kanistaning cipta,yen njumeneng
wonten ing ngriku,bok manawi dados retuning jim cemeng. Ingkang katingal
sawarga sarwa abrit amartaka;mimba soroting sosotya genihara,punika kadadosan
saking dustaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku,bok manawi dados retuning
jim aprit. Ingkang katingal swarga sarwajene sumunar mimba retnadumilah,punika
kadadosan saking doraning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku,bok menawi dados
retuning jim jene. Ingkang katingal sawarga sarwa pethak maya-maya wenes mimba
manik maya punika kadadosan saking setyaning cipta,yen jumeneng wonten ing
mriku,bok manawi dados retuning jim pethak. Ingkang katingal swarga sarwa ijem
angu nguwung mindha manic tejamaya,punika kadadosan saking kasantosaning
cipta,yen jumeneng wonten ing ngriku, bok manawi dados ratuning jim ijem.
Ingkang katingal swarga sarwa biru nguyek mindha manik nilapakaja,punika
kadadosaning sambawaning cipta,yen jumeneng wonten ing mriku bok manawi dados
retuning jim biru. Ingkang katingal sawarga sarwa ungu menges mindha manic
pusparaga,punika kadadosan saking sambadaning cipta,yen jumeneng wonten ing
mriku bok manawi dados retuning jim ungu. Ingkang katingal sawarga sarwa
dhadhu,muncar mimba mirah delima punika kadadosan saking ewah,gingsiring
cipta,yen jumeneng wonten ing ngriku,bok manawi dados retuning jim dhadhu. Ing
nalika punika mambet gandhanipun sakathahing kahyangan wau amrih angambar-ambar
kados anarik rahsa,poma sampun ngantos karaosaken,bok manawikalebet ing sawarga
panasaran. Menggah sampurnanipun makaten punika sami nunggil kahanan dados
cahya mancur wonten salebeting alam oluhiyah,inggih taksih cahya kita pribadi.
4. Sasimaning alam
nuriyah,katingal alam oluhiyah,inggih punika alam ilahiyah, tegesipun alaming
pangeran,padhangipun anglangkungi phadhangipun lam nuriyah,ing ngriku katingal
cahya mancur,salebeting cahya katingal rurupan kados tawon gumana,jumeneng ing
makam pana,tegesipun panggenan waskita,punika warnaning suksma,kang amimbuhi
ing saliring warna sadaya,anglimputi saubenging jagat alit jagat ageng ing
saisen-isenipun,ananging gesangipun saking pramananing rahsa,ing nalika punika
dhatenging nyarupi bapa, kaki lan sapanunggilanipun luluhur jaler, angaken
utusaning dat kang mahasuci,kinen
angirit dhateng kalaratullah, poma dipun santosa sampun ngantos kaimanaken,
sabab punika afngaling suksma kita pribadi.menggah sampurnaning ingkang
katingal makaten punika sami anunggil kahanan dados cahya mencorong wonten
salebeting alam oluhiyah ugi, inggih taksih cahya kita pribadi.
5. Taksih salebeting
alam oluhiyah, sangsaya wewah padhangipun, ing ngriku katingal cahya mencorong,
salebeting cahya katingal wonten sipating rurupan kados golek gadhing asawang
puputran mutyara,dede jaler dede estri dede wandu, jumeneng ing makam baka,
tegesipun, panggenan langgeng, punika pramananing rahsa, ing nailka punika
dhatengipun widadari awami biyung nini sapanunggilanipun luluhur estri,angaken
utusaning dat kang Amahasuci, kinen angirid dhateng kalaratullah, poma dipun santosa
sampun ngantos kaimanaken. Sebab punika afngaling rahsa. Kita pribadi.
Menggah sampurnaning ingkang katingal makaten punika, sami
anunggil dados cahya gumilang tanpa wawayangan wonten salebeting alam oluhiyah
ugi inggih taksih cahya kita pribadi.
6. Taksih salebeting alam oluhiyah, tanpa
kinten-kinten padhangipun, ing ngriku boten katingal punapa-punapa amung cahya
gumilang tanpa wawayangan, punika cahyaning atma sajati, anunggil cahyaning dat
kang asipat hesa, boten jaman boten makam, boten arah boten enggan, tanpa kanta
rupa warna, sepen saking ganda rasa swara, amung waluya kados kala kadhim
ajaliabdi, kakadosanipun atma kita asarupi maha mulya, kang amurba amasesa kang
kawasa anitahaken saliring alam, sarta angliputi alam sadaya, apranawa mengku sakaliring
makam sampurna, gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi, dipun
basakaken kayun bilrokin, tegesipun gesang tanpa hawa, inggih punika dados
tajalining gusti kang maha suci sejati, kang agung datipun, kang wisesa
asmanipun, kang sampurna afngalipun, dumunung ing gesang kita pribadi, ing
ngriku marginipun ibarat konasipun curiga supana, angliputi warangka kajeng
gesang ingkang sajati, amawa tandha kasamata ing ndalem cipta kados gebyaring
caleret medal saking badan kita pribadi, inggih punika sampurnaning keketeg
salebeting. Sareng lakiyan sampurnaning atma dados cipta, sampurnaning cipta
dados waskita, lajeng boten mawi antawis paworing kawula gusti, apulangkayun
ing ndlaem nur Muhammad hakiki, tegesipun tunggil gesang wonten salebeting cahya
sajati ingkang gumilang tanpa wawayangan, inggih punika duryating gesang kita
wangsul dhateng duryat mantuk dados sajatining mutlak kang kadhim ajaliabadi,
dipun basakaken kayun pidharaheni, tegesipun gesanging kahanan kalih, wonten
ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir kita inggih gesang, sarta
dumunung ing kalarat kita kang sajati, langgeng wonten salebeting kahanan kang
amahamulya sarwa nikmat manfangat rahmat tanpa karana, tegesipun punapa
kahananing ngriku sadaya ngijil saking kodrat kita sadaya, sami sanalika lajeng
rumaos waluya dados dating gusti kang maha suci sajati asipat hesa. Tandhanipun
dene kawasa aningali tanpa near mirasa tanpa karna, angganda tanpa grana,
angandika tanpa lesan ing temahan sampun sarwa waskita boten mawi kasamaran
dhateng ingkang gaig-gaib, sarta enget wewentehan sanes karaning purwa wadiya
wasana sadaya, sampun uas sumelang malih.
Punapa ingkang kasebut ing nginggil wau , sadaya punika
wawarah tumrap dhateng para ngam, murih sumerep ingkang badhe kalekasanan ing dhelahan,babasan
sabecik-sebanipunbecike anglakoni tanpa tuduh prayogi kang sumerep kanthi kang
seserepan. Pipindhanipun kados dene tiang badhe seba ing panjenengan Ratu,
wonten ingkang tedah margi lumbebet ing kadhaton, winarah awit saking
Pangurakan, lajeng angambah ing galadhag, lajeng ngambah ing alun-alun,
anglangkungi waringin sengkeran, anjog ing pagelaran, lajeng ing itinggil,
anglangkungi kori Brojonala, Kori Khamandhungan, lajeng kori srimanganti,anjog
palataran ing Dhatulaya, ing ngriku manawi angsal kanugrahan saged marak
ngabiantara Nata. Menggah ingkang kaambah wau sayeti sami katingalan
isen-isenipun sarta wonten ingkang dados awisanipun piyambak-piyambak. Dene
tumerap tiyang ingkang sampun perak ing panjenengan Ratu, sebanipun boten perlu mawi pitedahan, sampun
saged laju ngabyantara anjujug medal
kori Kadhaton pengkeran Makaten ugi ing
jaman sakaratil maot, manawi tiyang sampun tinitah mukmin kas, inggih ingkang sampun
tinarimah saking lampahipun piyambak sg ayekti saged angesti cipta cangcuting
amaterapaken panjenengan- ingdat, supados boten wonten punapa-punapa, lan
sampun ngantos katingal punapa-punapa ing sawiji-sawijining kahanan tuwin
ruruphhen punapa kemawon,ing ngriku kuwasa laju manjing selebeting alam
oluhiyah wonten ing ndalem cahya gumilang tanpa wawayangan inggih cahya kita
pribadi.
Tutuladhanipun kados ingkang kocap duk ImanRohaniyah Japar
Sidhik ing tanah Arab, sampun kalampahan seda ing dalem sadinten lajeng saged
gesang malih, punika anyariosaken ingkang
katingalan awit angangkat mingsedinrahsaning atma, ing salajengipun
ngantos tutug salebeting alam oluhiyah, sarta dhatengipun para widadari, rahayu
lajeng enget, sarta lajeng jinantenan manawasampun andungkap ing kahanan kang
maha mulya ing salebeting cahya gumilang tanpa wawayangan, nanging dereng
mangsanipun dumugi jng ngriku wekasan Iman Rohaniyah Japar Sidhik kinen wangsul
dhateng alam dunya malih.Punapadene lajeng tinedahaken ing dadalan ingkang
leres, sarta minarah sajatining sadaya kahanan ingkang sampun dipun sumerepi
sadaya boten wonten ingkang kalangkungan.Inggih makaten punika cariosaning Iman
Rohaniyah Japar Sidhik anggenipun lajeng wungu saking seda.Panjenenganipun
lestantun asma Rohaniyah, tegesipun nyawa kathah.
AJI PAMELENG
Tegesipun aji= ratu, pameleng= pasamaden ; mengku pikajeng :
tandaning sedya ingkang luhur piyambak, dene empaning pendamel wau winastan
manekung, pujabrata,mesu budi, mesu cipta, ngeningaken utawi angluhuraken
paningal, matiraga lan saasaminipun.
Papan ingkang kangge nindakaken wau panepen, panengkungan,
pamujan, pamurcitan, pamursitan, pahoman, paheningan lan sanes-sanesipun. Dene
wedaring kawruh winastan daiwan,dawan, tirtaamerta, tirtakamandhanu,
tirtanirwala, mahosadio, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastracetha,
utawi sastrajendrayuningrat, pangruwating diyu lan sapanunggalipun.
Menggah pigiunanipun kawruh lan pandamel wau, perlu kangge
sarananing panembah murih manggih kawilujengan, margi saged anindakaken dhateng
sawarnaning pandamel sae, punapadene kangge sarana duk kita darbe sedya nunuwun
kanugrahaning gesang kita pribadi (Pangeran). Inggih nunuwun bab punopo kemawon
ingkang lumrah kenging linampahan saking pandamel kito ingkang boten tilar
murwat.
Wondene purwanipun ing jagad teka wonten kawruh
pasamaden, bilih miturut saking
tembung-tembungipun, sanyata kathah ingkang nghangge basa sansekrit; yen
makaten tetela manawi wimbaning kawruh pasamaden wau saking tumitisin
kawicaksananipun bangsa Indhu ing jaman kinamakina , ingkang saking boten
kasumerepan petang ewoning taun. Mbok manawi kemawon papantaranipun kalihan
nalika bangsa Indhu amurwani iyasa andhi dalah reca-recanipun. Dene kawruh wau
ing sakawit inggih namung kangge bangsa Indhu ingkang agami punapa kemawon, katamtokaken mesthi ngrasuk
pasamaden. Awit inggih namung kawruh pasamaden punika ingkang dados mukaning
saliring kawruh sajagad, lan ugi dados pangajenging pawukang agami.
Ing ngalami-lami bangsa Indhu sami lumeber dateng ing tanah
Jawi lan sanes-sanesipun ; makaten ugi kawruh pasamaden inggih boten kantun.
Kawruh pasamaden wonten ing Tanah Jawi saged ngrembaka tuwuhipun , margi bangsa
Jawi tan pilih drajat sami remen puruita lan saged nandangaken dhateng
pangolahing kawruh punika, awit kawruh wau saged nocoki kalihan dhadhasaring
pamanahipun titiyang Jawi, mila kalayan gampil rumasukipun wonten ing
balung-sumsumipun titiyang Jawi. Kasembuh malih saking kathahing bangsa indhu
kados sinuntak sami angajawi, nedya anggelar agami lan kawruh awicaksananipun.
Babasan sakedhephing netra, bangsa Jawi ing sa’indhengipun maratah sampun sami
angrasuk agami Indhu, lan ugi sampun sami saged ngraosaken kabegjan , kamulyan,
kawilujengan lan sasaminipun, margi saking wohing kawruh pandamel wau.
Ing wusana katungka dhatengipun titiyang bangsa Arab sami
lumebed ing Tanah Jawi, ingkang ugi ambekta kawruh lan agaminipun Muhammad,
kasebut agami Islam, temah nyunyuda tumangkaring agami Indhu, sabah lajeng
wonten angrasuk agami Islam. Namung kemawon wedharing agami Islam boten
andarbeni kawruh pasamaden, kados kasebut ing nginggil.
Sareng golonganipun tiyang Islam sampun saged ngendhih
nagari, inggih punika adeging Karaton Bintara(Demak), ing ngriku lajeng
angawisi kalayan kenceng, titiyang Jawi boten kenging anindakaken kawruh
pasamaden, mekaten ugi sami kinen nilar agaminipun lami, sarta kedah santun
angrasuk agami Islam.
Ananging mboten ta manawi bangsa Jawi lajeng anut purun
santun agami Islam sadaya, purunipun wau namung margi saking ajrih paukuman
wisesaning Nata, dados Islamipun wau namung wonten ing lahir kemawon, utawi
islam pangaran-aran, yen batosipun taksih angrungkebi agamanipun lami. Mila bab
kawruh pasamaden inggih taksih lajeng katindakaken, ananging pamulang
pamedharing kawruh pasamaden wau, ingkang karan nama kawejangan (wijang-wijang)
sarana lampah dhedhemitan , katindakaken ing wanci ndalu sasampunipun jam 12,
ugi papaning pamejang boten kenging kauban wangon, kadota ing ara-ara , ing
wana, ing lepen lan sasaminipun ing papan ingkang sepen. Pamejangipun srana
bisikan boten kenging kapireng ngasanes,sanadyan suket godhong, kewan tuwin
bangsaning gergremetan kutu-kutu walangataga ugi boten kenging mireng, yen
mireng lajeng malih dados manungsa. Mila linggihihpn kyai Guru ajeng-ajengan
aben bathuk kalihan pun murid, sarto sanget pamantos- mantosipun Kyai Guru, pun
murid boten kenging nularaken wewjanganipun (kawruhipun) dateng tiyang sanes,
bilih dereng angsal paliliahing Guru, yen nerak badhe angsal wilalat manggih
sapudendhanging Pangeran. Panindak ingkang makaten punika, puranipun nanging
tetep kangge panjagi, suados palilanging kawruh pamasaden boten katupiksan
dhateng pamarintahing agami Islam. Sabab yen ngantos kasumurepan, tamtu manggih
pidana.
Dumuginipun ing jaman samangke, sanadyan Nagari sampun boten
angarubiru dhateng wontenipun wewejangan kawruh pamasaden, nanging panindaking
wejangan wau taksih kalestantunaken sarana dhedhemitan kados kawursita ing
nginggil. Mila lajeng angsal paparab saking panyedaning titiyang ingkang boten
remen, utawi tiyang ingkang anglampahi sarrengating agama islam , bilih
wontening wejangan kawruh pasamaden wau lajeng kawastanan ilmu klenik. Purwa
saking tembung klenik , lajeng angandhakaken tembung abangan lan putihan.
Ingkang kasebut abangan punika tiyang ingkang boten nindakaken saraking agama
islam, dene putihan mastani tiyang jawi ingkang teluk manjing agama islam sarta
naglampahi sadaya sarak sarengating agama Islam wau, inggih punika ingkang
kasebut nama santri. Mila santri karan putihan, margi miturut panganggenipun
titiyanng agami Islam , bilih santri punika sarwa- sarwi langkung resik utawa
suci tinimbang kalihan tiyang ingkang boten angrasuk agami Islam.
Wangsuli wontening kawruh pasamaden anggenipun sanget
winados menggah ingkang dados sebabipun sampun kapratelakaken ing nginggil.
Dene yen saleresipun ingkang nama wados-wados wau pancen mboten wonten. Dados
inggih kenging-kenging kemawon kawulangaken dhateng sok tiyanga, boten mawang
nem sepuh, sarta kenging kawejangaken ing sawanci-wancinipun, uger tiyang wau
mila pancen ambetahaken kawruh pasamaden kasebat. Sebab wontenipun sedaya puniko
perlu supados kasumerepan dhateng ingkathah. Langkung-langkung kawruh pasamaden
punika ingkang sanyata dados mukaning sedaya kawruh. Mila wajib sinebar dados
seserepaning tiyang nem sepuh waradin ing saindengipun, tanpa mawang andhap
inggiling drajadipun.
Amarengi wahyuning mangsakala, wusana wonten kaelokaning
lalampahan ingkang boten kenyana-nyana, ing pawingkingipun bab kawruh pasamedan
wau lajeng muncul katampen dhateng tiyang Islam, margi yakin bilih kawruh
pasamaden wau, pancen musthikaning gegayuhan, ingkang saged andhatangaken ing
kailujengan, kamulyan, katentreman, lan sesaminipun. Mila kawruh wau dening
tiyang ingkang sampun suluh pepadhanging raosipun inggih punika Seh Sitijenar,
ingkang ugi dados pramugaraning agama Islam apangkat Wali, lajeng kadhapuk ing
ndalem serat karanganipun ingkang lajeng winastan daim, mirid saking tembung
daiwan kasebut ing nginggil. Punapadene lajeng kaewokaken dados saperanganing
panembah, sarana dipun wewahi tembungipun lajeng mungel : salat daim (salat,
basa Arab, daim saking daiwan, basa Sansekrit). Milanipun dipun wewahi basa
Arab, namung kawigatosipun kangge mikekahaken kapitadosanipun murid-muridipun
ingkang sampun sami necep agami Islam. Punapadene tembung salat lajeng kapilah
kalih prakawis. Sapisan 5 wekdal, kasebut salah sarengat, ateges panembah
lahir. Kaping kalih salah daim, puniko panembahing batos, mengertosipun :
anekadaken maninggaling pribadinipun, utawi kasebut loroning atunggal.
Kitab kakaranganipun Seh Sitijenar wau lajeng kangge
paugeraning piwulang. Sareng sampun angsal kawigatosaning ngakathah, ing ngriku
salat 5 wekdal lan sarak agami sanes-sanesipun lajeng kasuwak boten
kawulangaken babar pisan. Ingkang pinindeng namung mamuruk tumindaking salat
daim kemawon. Mila titiyang Jawi ingkang suwau manjing agama Islam,
langkung-langkung ingkang dereng, lajeng sami ambyuk maguru dhateng Seh
Sitijenar, margi piwulangipun langkung gampil, terang lan nyata.
Wondene purwanipun Seh Sitijenar kaserenan kawruh pasamaden,
ingkang mijeni Kya Ageng Pengging, sebab Seh Sitijenar punika mitradarmaning
Kyai Ageng Pengging. Kawruh pasamaden, dening Seh Sitijenar lajeng katularaken
Raden Watiswara, inggih Pangeran Panggung, ingkang ugi apangkat Wali. Lajeng
tumimbal dhateng Sunan Geseng, inggih Ki Cakrajaya tiyang asal saking Pagelen,
ingkang kacarios saderengipun dados Wali, Ki cakrajaya wau pandamelanipun
anderes nitis gendhis. Salajengipun sumrambah kawiridaken dhateng ingakatah.
Makaten ugi sakabat-sakabatipun Seh Sitijenar ingkang sampun kabuka raosipun,
dening Seh Sitijenar kinen sami madeg paguron amiridaken kawruh pasamaden wau.
Sengsaya dangu sengsaya ngrebda, anyuremaken panguwaosipun para Wali,
anggenipun amancaraken piwulang agami Islam. Yen kalajeng-lajeng masjid saestu
badhe suwung.
Ngawekani sampun ngantos wonten kedadosan ingang makaten,
temah Kyai Ageng Pengging tuwin Seh Sitijenar sasekabatipun ingkang sami
pinejahan katigas jangganipun dening para Wali, saking dhawuhipun Sultan Demak.
Makaten ugi Pangeran Panggung mboten kantun, kapidana kalebet aken ing brama
gesang-gesangan wonten samadyaning alun-alun Demak, kangge pangewan-ewan mudih
titiyang sami ajrih, lajeng sami mantuni utawi nglepeh piwulanging Seh
Sitijenar.
Kacariyos sariranipun Pangeran Panggung mboten tumama dening
mawerdaning Hyang Brama, lajeng oncat medal saking salebeting latu murub nilar
nagari Demak. Kanjeng Sunan Bintara tuwin para Wali sami kablerengen kaprabawan
katiyasaning Pangeran Panggung, temah kamitenggengen kadi tugu sinukrata,
Sareng sampun sawatawis lebih tindakupun Sang Pangeran. Kanjeng Sultan tuwin
para Wali saweg sami enget bilih Pangeran Panggung, temah keninteng gengen kadi
tugu sinukarta, sareng sampun sawatawis tebih tindakipun Sang pangeran, kanjeng
Sultan tuwin para wali saweg sami enget bilih Pangeran Panggung kalis saking
pidana, temah sami rumaos kawon angsal sihing Pangeran. Katungka ujuking
wadyabala, atur uninga bilih sunan geseng inggih ki Cakrajaya, kesah anututi
lampahipun Pangeran panggung. Ing ngriku kangjeng sultan katetangi dukanipun,
temah bawahing bendu, para sakabat tuwin murid-muridipun Seh Sitijenar ingkang
kapikul lajeng sami pinejahan. Ingkang boten kacepeng sami lumajang pados
gesang.
Para sekabatipun seh Sitijenar ingkang taksih wilujeng
kakantunanipun ingkang sami pejah, ugi taksih sami mandeg panguron
nglestantunaken pencaring kawruh pasamanden, nanging mawi sislintru tinutupan
wuwulang sarengating agami Islam, murih boten ka’arubiru dening para wali
pramugarining praja. Dene piwulangipun kados ing ngandhap punika.
Pamulanging kawruh pasamanden ingkang lajeng karan salat
daim, karangkepan wuwulang salat 5 wekdal tuwin rukuning Islam sanes-sanesipun
malih. Wewejanganipun salat daim wau lajeng winastan wiridan naksobandiyah,
dene panindaking piwulang kawastanan tafakur. Saweneh wonten ingkang
pamulanganipun ing sederengipun para murid nampi wiridan salat daim, langkung
rumiyin kalatih lampah dhidikiran lan maos ayat-ayat. Wiwit punika wuwulangan
pasamaden lajeng wonten warni kalih, inggih punika :
1. Piwulang pasamanden
wiwiridan saking para sekabatipun Seh Sitijenar, ingkang sarana tinutupan utawi
aling-aling sarak rukuning agami islam. Wuwulang wau dumunginipun ing jaman
semangke sampun mleset saking jejer ing sakawit, mila para guru samangke,
ingkang sami miridaken kawruh pasamanden, ingkang dipun santuni nama
naksobandiyah utawi satariyah, nginten bilih kawruh wau wiwiridan saking
ngulami ing jabalkuber (Mekah). Salajengipun para kyai wau, amastani guru
klenik dhateng para ingkang sami miridaken kawruh pasamanden miturut wawaton
jawi pipiridan saking Seh Sitijenar. Punapadhene para kyai guru wau nyukani
paprab nama kiniyani, pikajengipun : guru ingkang mulangker, ilmuning setan,
dene nama kyai. Punika guru ingkang mulangen ilmuning para nabi.
2. Piwulang
pasamanden miturut jawi, wiji saking Kyai Ageng Pengging, ingkang kapencaraken
dening Seh Sitijenar (ingkang ing samangke karan klaneik). Punika ing sakawit,
ingkang dados purwaning piwulang, dumunung wonten panggulawenthahing wawatekan
5 prakawis, kados ing ngandhap punika :
a. Setya tuhu utawi
temen lan jujur
b. Santosa, adil
paramarta, tanggeljawab boten lewerweh
c. Leres ing
samubarang damel, sabar welas asih ing sasami, boten ngunggul-ngunggulaken
dhirinipun, tebih saking watak panganiaya.
d. Pinter saliring
kawruh, langkung-langkung pinter ngencani manahing sasami-sami, punapadene
pinter angereh kamurkaning manah pribadi, boten anguthuh melik anggendhong
lali, margi saking daya ning mas picis rajabrana.
e. Susila anor-raga
tansah ngenggeni tatakrami, maweh reseping paningal tuwin seseming pamiharsa,
dhateng ingkang sami kataman.
Lampah 5 prakawis wau kedah linampahan winantu ing pujabrata
anandangaken ulah samadi, inggih amestu cipta angeningaken pranawaning
paningal. Awit saking makaten punika mila tumrap panindaking agami jawi (buda),
bab kawruh pasamanden tuwin lampah 5 prakawis wau kedah kawulangaken dhateng
sadaya titiyang enem sepuh boten pilih andhap ing giling drajadipun. Mila
mekaten, sebab musthikaning kawruh tuwin luhur-luhuring kamanungsan, punika
bilih tetep samadinipun, kuwasa anindakaken lampah 5 prakawis kados kawursita
ini nginggil. Temah kita manggen ing sasanining ketentreman, dene wontening
katentreman, mahanani harja kreta lan kamardikan kita sami, yen boten makaten,
ngantos sabujading jagad, kita badhe nandhang papa papa cintraka, kagiles
dening rodha jantraning jagad, maringi kacindraning manah kita pribadi.
Bab kawruh pasamaden ingkang lajeng karan wiridan
naksobandiyah lan satariyah, ingkang ing nguni wiwiridan saking Seh Sitijenar,
sampun ka’andharaken ing nginggil, namung kemawon tumandhangipun boten
kawedharaken. Ing riki namung badhe anggelaraken lampah tumandangipun samadi
sacara jawi ingkang dereng kacarobosan agami sanes, inggih punika mekaten :
Para nupiksa, mugi sampun kalintu panampi, bilih samadi
punika angicalaken rahsaning gesang utawi nyawanipun (gesangipun) medal saking
badan wadhag. Panampi mekaten punika. Purwanipun mirid saking cariyos
lalampahanipun sri kresna ing Dwarawati, utawi sang arjuna yen angraga-sukma. Mugi
kawuninganana, bilih cariyos makaten punika tetep namung kangge pasemon utawi
pralambang.
Ing samangke wiwit medharaken lampahing samadi makaten :
tembung samadi = sarasa = rasa tunggal = malingining rasa = rasa jati = rasa
nalika dereng makarti. Dene makartining rasa jalaran saking panggulawenthah
utawi piwulang, punapadene pangalaman-pangalaman ingkang tinampen utawi
kasandhang ing sadinten-dintenipun. Inggih makartining rasa punika ingkang
kawastanan pikir. Saking dayaning pangulawenthah, piwulang tuwin
pangalaman-pangalaman wau, pikir lajeng gadhah panggarep awon lan sae, temah
anuwuhaken tata cara, pemacak lan sanes-sanesipun ingkang lajeng dados pakulin.
Punapa panganggep awon sae, ingkang sampun dados tata cara margi sampun dados
pakulinan punika yen awon inggih awon sayektos, yen sae inggih sae temenan,
punika dereng tamtu, jer punika namung pakulinang panganggep. Dene panganggep,
boten yekti, tetep namung ngenggeni pakulinang tata cara dados inggih dede
kajaten utawi kasunyatan. Menggah pikajenganipun samadi ing riki boten wonten
sanes namung badhe nyumerepi kajaten. Dene sarananipun boten wonten malih
kajawi nyumerepi utawi anyilahaken panganggep saking makartining rasa, kasebut
sirnaning papan lan tulis. Inggih ing riku punika jumenenging rasa jati kang
nyata, kang yekti, kang weruh tanpa tuduh. Wondene kasembadanipun kedah
angendelaken ing saniskara, sarana angereh solahing anggota (badan). Mangrehing
anggota wau ingkang langkung pikantuk kalihan sareyan malumah, saha sindhakep
utawi kalurusaken mangandhap, epek-epek kiwa tangen tumempel ing pipu kiwa
tengen, suku ingkang lurus dalamakan suku ingkang tengen katumpangaken ing
dalamakan suku kiwa, mila lajeng kasebut sidhakep suku (saluku) tunggal.
Punapadhene angendhelna ebahing netra (mripat), inggih punika engkang
kawastanan meleng. Lampah mekaten wau engkang kuwasa ngendelaken osiking cipta
(panggagas), tuwin amuntu ilining rahsa, dene pancering paningal kasipatna
amandeng pucuking grana medal saking sa’antawising netra kakalih, inggih punika
ing papasu, dene pamendengipun kedah kalayan angeremaken netra kakalih pisan.
Sasampunipun lajeng nata lebet wedaling napas (ambegan)
mekaten : pinariking napas saking puser kasengkakna minggah anglangkungi cethak
ingga dumugi ing suhunan (utek = embun-embunan) sarta mawi kaendelna ing
sawatawis dangunipun. Sumengkanipun napas wau kadosdene darbe raos angangkat
punapa-punapa, dene temenipun engkang kados kita angkat. Punika ilining rahsa
ingkang kita pepet saking sumengkaning napas wau. Manawi sampun kraos awrat
penyangginipun napas inggih lajeng ka’endhakna kalayan alon-alon. Inggih patrap
ingkang mekaten punika ingkang kawastanan sastracetha. Tegespiun cetha =
empaning kawruh, cetha = antebing swara cethak, inggih cethaking tutuk kita
punika. Mila winastan makaten, awit duk kita mangreh sumengkaning napas
anglangkungipun dhada lajeng minggah malih anglankungi cethak ingga dumugi
suhunan. Manawi napas kita boten dipun ereh, dados namung manut lampahing napas
piyambak, tamtu boten saged dumugi ing suhunan, margi sawrg dumugi ing cethak
lajeng sampun medhak malih. Punapdhene ugi winastan daiwan (dawan),
pikajengipun, mangreh lebet wedaling napas ingkang panjng lan sareh, sarwi,
mocapaken mantra sarana kabatos kemawon. Inggih punika mungel “hu” kasarengan
kalihan lumebeting napas, inggih paniriking napas saking puser minggah dumugi
ing suhunan. Lajeng “ya”, kesarengnan kalihan wedaling napas. Inggih medhaking
napas saking suhunan dumugi ing puser, minggah mandhaping napas wau
anglangkungi dhada lan cethak. Dene anggenipun kawastanan sastracetha, margi
nalika mocapaken mantra sastra kaliyan : hu – ya, wedaling swara ingkang namung
kabatos wau, ugi kawistara saking dayaning cethak. (ungeling mantra utawi
panebut kakalih “ hu – ya, ing wiridan naksobandiyah. Kaewahan dados mungel :
hu – Allah, panebutipin ugi kesarengan lampahing napas. Dene ing wiridan
satariyah penebut wau mungel “ hailah haillollah, nanging tanpa angereh
lampahing napas)
Menggah lebet wedaling napas kados kasebut ing nginggih,
sa’angkatanipun namung kawusta angambali rambah kaping tiga, mila mekaten awit
tarik napas lita sampun menggeh-menggeh. Dene menawi sampun sereh, inggih
lajeng kaangkatana malih, mekaten salajengipun ngantos merambah-marambah
sakuwawinipun, margi saya kumawi dangu, sangsaya langkung prayogi sanget. Dene
sa’angkataning pandamel wau kawastanan : tripandurat tegesipun tri = tiga,
pandu = suci, rat = jagat = badan = enggene suraosipun : kaping tiga napas kita
saged tumeneng ing ngabyantaraning ingkang Maha Suci manggen ing selebeting suhunan
(ingkang dipun suwuni). Inggih punika ingkang kabasakaken paworing kawula
Gusti, tegesipun : manawi napas kita sumengka, kita jumeneng gusti, yun
tumedhak, wangsul dados kawula. Bab punika para nupiksa sampun kalintu tampi!
Menggah ingkang dipun wastani kawula gusti, punika dede napas kita, nanging
dayaning cipta kita. Dados ulah samadi punika, pokokipun kita kedah
amanjangaken panjing wilijing napas (lebet wedaling napas), kalihan
angeningaken (ambeningaken) paningal, sebab paningal punika kadadosan saking
rahsa.
Wondene patraping samadi kados kasebut ing nginggil wau, ugi
kenging karancagaken, uger kita tansah lumintu tanpa pedhot mangreh panjing
wilijing napas, kalihan lenggah, lumampah, utawi nyambut damel inggih kedah
mboten kenging tilar mangreh lebet wedaling napas wau, ing kang sarana
mocapaken mantra mungel : hu – ya, kados ingkang kajarwa ing nginggil.
Kajawi punika, mirid saking tembung daiwan, punika ugi
taksih darbe maksud, sanesipun malih, inggih punika ateges panjang tanpa ujung.
Utawi ateges langgeng. Dene pikajengipun amastani bilih wontening napas kita
punika sanyata wahananing gesang kita ingkang langgeng, inggih wontening
ambegan kita. Dene ambegan punika, sanyata wontening angin ingkang tansah
mlebet medal tanpa kendel, ingkang sasarengan kalihan keketeg panglampahing rah
(roh). Bilih kakalih wau kendel boten makarti nama pejah inggih risaking badan
wadhag wangsul dados babakalan malih. Mila sayogyanipun lampahing napas inggih
ambrgan kita ingkang tansah mlebet medal tanpa kendel, kedah
kapanjang-panjangna lampahipun, murih panjanga ugi umur kita temah saged awet
wonten ing donya tutug panyawangipun dhateng anak, putu, buyut, canggah, wareng
ingkang babranahan.
Wontenipun andharan ing nginggil, mretelaaken bilih kawruh
pasamaden punika sanyata lanhkung ageng pingunanipun, mila lajeng sinebut
sastrajendayuningrat pangrueating diyu. Tegesipun sastra = empaning kawruh,
jendra = saking pangarbaining tembung harja endra. Tegesipun harja = raharja,
endra = ratu = dewa, yu = rahayu = wilujeng, ningrat = jagad = enggen = badan,
suraosipun : mustikaning kawruh ingkang kuwasa amartani ing karahayon,
karaharjan, ketentreman lan sapanunggalipun. Dene tegesipun pangruwating diyu =
amalihaken diyu : dene diyu = danawa = raksasa = asura = buta, punika kangge
pasemoning piawon, penyakit, rereged, babaya, pepeteng, kabodhohan lan
sasaminipun. Dados diyu punika kasokwangsulipun dewa, ingkang ateges pinter,
sae, wilujeng lan sapanunggalipun. Mengku suraos amatsani ingkang saged
anyirnakaken saliring piawon tuwin samubarang babaya pakewed. Mangertosipun,
sinten engkang tansah ajeg lumintu anandangaken ulah samadi, punika bilih ing
suwaunipun tiyang awon, lajeng sirna piawonipun, malih dados tiyang sae
lampahipun. Tiyang sakit sirna sasakitipun, dados saras, tiyang murka daksiya
lajeng narimah sabar. Welas asih. Tiyang goroh lajeng dados temen. Tiyang bodho
dados pinter sanget, mekaten ugi tiyang golongan sudra dados waesia, waesia
dados satriya, satriya dados brahmana, brahmana sumengka pangawak braja asarira
bathara.
Gampilipun, sawarnining kapiawon tuwin saliring godha
rencana, babaya pakewed punapa kemawon, ingkang tuwuh saking kacidraning manah
pribadi, punika sadaya sirna lebur dening pangastuti ulah samadi, inggih amestu
cipta amurmeng pandulu woring kawula gusti. Mekaten ugi sawarnining babaya
pekewed ingkang medal saking pendameling liyan, kadosta sanadyan kewan ingkang
purun angganggu damel, tamtu kataman ing wilalat peksi miber ingkang ngungkuli,
tamtu pejah sirna kuwandhanipun. Punapadene ugi tumrap sasamining titah ingkang
nedya anglawan nagremehaken tuwin angluhuri kemenangan lan sasaminipun tamtu
boten badhe kalampahan, salagi saweg purun papandengan kemawon, sampun tamtu
badanipun lajeng geseng dados awu, inggih margi saking kaungkulan agenging prabawa
ingkang tansah sumunar gumawang prabanipun kadidene wimbaning purnama sadz.
SERAT AJIPANUNGGAL
Serat Ajipanunggal
punika medharaken wontenipun pancadriya tuwin kawruh pasamaden utawi kawruh
yoga. Dene ingkang badhe kawedaraken rumiyin, wontening nutupi babagan
nawasangan. Menggah wontenipun tembung wau kangge ucap-ucapanipun
(janturanipun) Nata Dwarawati utawi sang arjuna menawi kaleres samadi maneges
ing dewa. Lah inggih saking tembung punika wau ingkang dipun ugemi sarta lajeng
dados pamanggih umum. Ananging menggah ing sejatosipun kita boten saged yenta
anutupana salah satunggal kemawon saking babagan nawasanga wau. Liripun upami
kita nutupi grana margining napas , lah mangka lampahing napas punika inghkang
minangka dados tetekening ulah samadi, sebab napas punika sanyata dados
tetangsul utawi dados wahananing gesang kita, amila yenta grana kalantur dipun
tutupi, saestu badhe dumugi ing jaman sakaratil. Dados babahawn nutupi
nawasangan ( bolonganipun anggota sanga ) punika tetela saking kalentuning
panampi tandayektinipun saweg nutupi bolongan satunggal kemawon, tentu boten
saged tumindak.
Ingkang mekaten wau, ing ngriki kedah anerangaken menggah
ing kaleresanipun , inggih punika mekaten : tembung nawasanga punika
panggambaranipun tembung ; hawa + song + nga, wetahipun kedah mengel : nutupi
babahan hawa, song = kosong, nga = kosonga = kosongna. Suraosipun : sedaya margining hawa napsu sami
kakosongna, ateges boten dipun margeni.
Dene margining hawa napsu wau winastan indriya , utawi nama
pancadriya , dunungipun : paningal, pamiarsa, ras ilat tuwin rasa badan.
Tembung pancadriya , leresipun mungel : pancen indriya, wusana aksara i = ai
luluh dhateng ca = c , kantun mungel pancen driya, ateges
papancening karsa, inggih ingkang nyudiyani, anjageni, angladosi tuwin ingkang
among kjarsa. Menggah ingkang among karsa punika sejatosipun wonten nem
perkawis ( wewah : 1. saking : 5 )
inggih punika pamicara. Mila lajeng wonten tembung : sad indriya utawi indriya nem
( ing candrasangkala watak nem tembung sadrasa = sad rasa = sad guna = sad gana, tegesipun rasa nem
Kasebut ing Mahabarata Wanaparwa ing perangan Aranyakaparwa,
sad indriya wau lajeng winastan taman lalanggening indriya nem. Ing ngriku
katetepaken panggenan ingkang dados ugering pamarsudi lan sasanggeman.
Mangertosipun ; kita kedah marsudi dhateng widagdaning pamepes pangrubedaning
pancendriya nem prakawis kados kasebut ing nginggil. Dene pambrantastanipun
temtu boten saged sampurna menawi namung lajeng kapiyagah kemawon sareng-sareng
kaliyan nalika kita mangsah samadi. Hewadene inggih wonten ingkang ngaken saged
angruwes sarta amiyagah, pangaken makaten wau tangeh leresipun. Awit saupami
kita ngangarang punika punapa saged
kalampahan mangsi saking wadhah, lajeng kawesokaken ing delancang kemawon lajeng saged dados ukara tuwin tembung ing
kinajengaken.
Menggah pambrastaning pancadriya wau, sanyata boten saged
sami kaliyan lampahing Hyang Pawana
ingkang kuwasa ambuncang sakathahing pepedhut ingkang anggendanu wonten
ing gantariksa. Nanging kedah mawi sarana tata, titi, talatos atul sarwa
ngatos-ngatos dhateng saliring pakarti punapa kemawon, sarta katindakaken saben
dinten wonten samadyaning pasrawungan. Mila makaten awit ing salami-laminipun ,
ing salebeting cipta punika sampun kaebeken deneng susuker tuwin baladering
pepenginan lan kamelikan. Lah ingkang makaten wau sampun samestinipun kemawon
yenta sucining cipta katemah lebur sumawur sirna gempang tanpa tilas,
kekantunanipun namung mawujud gandana (gandini ) ingkang banger bacin balarongan
sapurug-purug, lah inggih wontening ganda amis ingkang manuksma wonten
salebeting cipta wau punika ingkang tansah kita resiki ing saben dintenipun,
sarana tirtaning kawicaksanan kanthi kasantosaning pangesti
Tutuladhanipun kadosdene sang raja putri Wirata Dewi
Durgandini sadherekipun sang Durgandhana (tembung Durgandhana ugi tuwin
Durgamdhini tegesipun ganda awon mila
Dewi Durgandhini ugi peparap Lara Amis ), sasampunipun dipun jampeni dhateng
bagawan Palasara lajeng sirna mamalinipun ( sirna piawoning pandamelipun)
nunten santun naminipun lajeng peparap Dewi Yojanagandi, inggih Gandawati utawi
cakrawala (sayojana) menggah pikajenganipun : menawi sampun sanyata kuwasa
ambrasta susukering indriya, temtu lajeng boten saged kenging pangrubedha
sakathahing pandamel ingkang tuwuh saking kamayaning sad guna kasebut ing
nginggil. Liripun kita wonten ing jagading pasrawungan boten ambedak bedakaken
satru utawi mitra, cipta kita kuwasa nanggulangi panempuhing satru ingkang
mawujud wanudya ingkang mameraken temah teguh kataman jemparingipun Sang Hyang
Hasmara. Sosotya rajabrana namung kasamekaken belng utawi wingka, swara mar
mardumardawaingkang linudhing gambang calempung, boten beda kaliyan swaraning
grobag ingkang ngambah ing pagragalan boten kerem ing pangalem boten geseng
dening latuning kadoracaran, gandaning ratuswida lan jebadkasturi saestu sami
kaliyan gandaning bangke ingkang basah, boten pisan-pisan angisep-isep dhateng
saliring kadhurakan, pangrubedhaning lidhah dhateng saliring kanikmatan, boten
pisan dipun kenyami. Dene wedaling swara manis arum anuju prana kados dene madu
pinastika tansah andamel kamartaning sasama , kadoracaran tuwin wuwus
kacandhalan boten pisan kaucapaken, salring pangandika terus terang patitis
nyata ing dalem cipta tansah suci ngumalawening, punapa dene boten pisan-pisan
angemot piawon senadyan namung sawiji sawi.
Amangsuli wontening tembung pancedriya (umum pancadriya), sanadyan sampun sami dipun
sumurupi, nanging menggah ing salokanipun punapa dene dunungipun, kinten-kinten
taksih awis-awis sanget ingkang ngawuningani, mila kula manah perlu ing mriki
kedah katerangaken inggih punika mekaten : Kasebut ing serat Mahabarata bagean
ing adiparwa kacarios dewi Drupadi punika dados garwanipun pandhawa gangsal
sarta saking garwa wau sami peputra nyatunggal. Para rajaputra wau kasebut
Pancabala (Pancawala) pancakumara lan ugi kasebut pancabaladwitiya tegesipun
pancabala = anak jaler gangsal, hadwitiya = panunjul tanpa timbang lan inggih
Pancabaladwitiya punika ingkang dados pralampitaning pancendriya
Raja putra gangsal wau putra saking prabu Yudistira nama Sang Pretiwindya, kangge pralambanging
paningal, saking Sang wrekudara nama Sang Sotasoma, kangge pasemoning panggada,
saking Sang Arjuna, nama Sang Sutakirti kangge pangupamening pamiyarsa, saking
Sang Nakula, nama Sang Satanika kangge sanepaning raosing lidhah, Sang Sadewa
nama Sang Srutakarma , kangge pralampitaning
raosing anggota
Ing nginggil sampun kasebutaken bilih tembung pancadriya
punika sakngh luluhing tembung pancen driya ingkang wusananipun lajeng mingsed
dados mungel pancadriya. Dene pancadriya wau kakinten namung wonten gangsal
margi kapirit saking tembung panca ingkang darbe teges gangsal. Milanipun
ngantos saged kedadosan ingkang makaten punika, jalaran saking ingseding
tembung wau dereng dipun sumerepi. Dene yen leresipun pancendriya inggih
papancening karsa punika wonten nem ( mriksanana, mahabarata ing adiparwa tuwin
candrasangkala ing watak : 6 ; tembung sadrasa jarwanipun : rasa nem ) dados
tumrap ingkang sampun dipun sumerepi ing ngakathah ( ingkang sampun dados
kawruh umum ) taksih kirang satunggal
inggih punika wontening pamicara. Ing mriki sampun jangkep nem , inggih
punika : paningal, Pangganda, pamiyarsa , raosing ilat raosing anggota (badan)
lan pamicara.
Wondene wonteneing pamicara lajeng dipun pralambangi sang
Gathutkaca inggih punika putranipun sang Werkudara patutan saking Dewi Hidhimba
(Arimbi), sebab saderengipun pandawa daup kaliyan dewi wara drupadi, sang
werkudara anggarwa dewi hidhimba, patutan satunggal, inggih sag gathutkaca
punika.
Dene Sang Gathutkaca anggenipun boten kalebet dados
putranipun retna drupadi sebab retna drupadi punika kangge pralampitanipun
gesang, mila Dewi Drupadi tetep namung puputra gangsal kasebut
Pancabalahadwitiya, inggih ingkang dados pralambanging : paningal, pangganda,
pamiyarsa, raos lidhah. Lan raosing badan. Dene sedaya wau sanyata sami
kadadosan saking purbawasesaning gesang (drupadi) nanging gesang boten kuwasa
saged damel wicara , kajawi namung saged damel swara. Kanyatahanipun lare saged
micara (wicanten) punika tetela saking anjaraning jajahrana lan saking
pasrawungan ingkang lajeng tinampen ing indriya gangsal. Mila yen lare wiwit
lahir boten sasrawungan kaliyan tiyang temtu dados bisu.
Mangsuli sang Gathutkaca, kejawi dados pralambanging wicara
ugi lajeng dados pralambanging swara. Dene wicara wijangipun dados wicara,
kedah kaulah dening indriya gangsal, mila sanadyan sang Gathutkaca punika
kacarios dados putraning Pandhawa ingkang pambajeng saking Sang Werkudara,
nanging sejatosipun dados putra wuragil. Putranipu Dewi Drupadi saking sang
Werkudara , nama sang Sutasoma, kangge pralambaning pangganda , dene Sang Gathutkaca ingkang
kangge pralambaning swara lan wicara. Menggah wontenipun pangganda, punika kany
tahaning napas makaten ugi wontening swara lan wicara, sedaya wau tetela
kedadosan saking lampahing hawa, dene hawa kapralambangan sang Werkudara. Dados
tembung Sang Sotasoma lan sang Gathutkaca sami putranipun Sang Werkudara
menggah suraosing pikajenganipun amastani bilih napas lan swara punika
kadadosan saking hawa. Mila yen cangkem mingkem irung kapithes anglengkara yen
kita saged wicanten, sarta yen ngantos sawatawis dangunipun tentu lajeng
karawuhan Sang Hyang Yama, margi kaoncatan Sang Hyang Maruta ( pejah)
Kasebut Sang Gathutkaca krama angsal Dewi Pregiwa, tembung
Pregiwa , panggarbaning tembung pregi hawa, tegesipun pregi = prawan=parawan=
paraban = praban = sorot. Tembung prawan ugi darbe teges suci utawa urip.
Tembung pregi ugi ateges tuk, panggenan utawi wadhah. Tembung hawa sampun
jarwa, Gathutkaca sampun kasebut ing
ngajeng yen dados pralambanging wicara utawi swara, mila Gathutkaca saged miber
tanpa lar, mletik tanpa cuthang sarta kacarios sang Gathutkaca bilih wonten ing
mega malang, sami kahadhep para bledheg, awit sang Gathutkaca awit sang
Gathutkaca wau dados ratunipun. Menggah sejatosipun ingkang dados baledheg
punika inggih sang Gathutkaca piyambak, margi baledheg punika inggih swara dene purwanipun saking tempuking hawa.
Anggenipun Pregiwa dados bojonipun Gathutkaca, mengku pikajeng amastani bilih
wonten swara punika kanyatahaning hawa, dene hawa punika inggih swara, utawi
hawa punika ingkang amadhahi swara, sarta inggih hawa punika ingkang
ngawontenaken swara.
Sadherekipun Dewi Pregiwa, nami Dewi Pregiwati punka kagarwa
Sang pancawala (pancabala=pancabaladwitiya) tembung pregi sampun kajarwan
tegesipun wati =rasa mengku suraos : rasa kang suci utawi panggenaning rasa
inggih wadhahing rasa. Dene Pancawala
(pancabala=pancabaladwitiya) ugi kasebut dewa lilima inggih punika 1.
Pretiwindya 2. Sang Sotasoma, 3. Sang Srutakirti, 4. Sang Satanika, 5. Sang
Srutakrama, punika sampun kajarwa ing
nginggil bilih dados pasemoning pancedriya (indriya gangsal) inggih ingkang
katelah nama pancadriya. Dados yen makaten, Pregiwati anggenipun dados
garwanipun Sang Pancawala darbe teges : indriya gangsal punika rasa ingkang
suci, tembung suci ing ngriki ateges urip utawi langgeng.
Kasebut ing serat baratayuda, para putranipun Drupadi
gangsal pisan, inggih sang pancawala, sedaya sami kapejahan dening sang
aswatama, nalika lampah dhusta ngamu wonten pakuwon Pandhawa, dene sang
Gathutkaca pinejahan dening sang Karna, tegesipun pancawala tuwin Gathutkaca sampun kajarwa ing nginggil,
dene tegesipun karna = kuping mangertosipun : wontening wicara ingkang boten
saged tinampen talinganing ngasanes, marga sampun kasumerepan kacidranipun, punapa dene bilih
talingan kita boten purun kapanjingan utawi kelu dhateng swara kadoracaran
wuwus kacandhalan lan sasaminipun, punika nama pejahing wicara lan swara,
inggih atages sang karna amejahi sang Gathutkaca, wondene sang Aswatama kangge
pralambang mangsah samadi, mila sayoginipun kita samiya anandhangaken ulah
samadi ig sakuwasanipun, murih papancening indryia kita, inggih sang
Pancabalahadwitiya ( Pancawala) saged pejah. Ateges boten kataman dening
kamayaning sadguna, inggih pepenginan nem prekawis. Menggah pepenginan nem
prekawis wau inggih ingkang among karsoutawi mituruti karsa, wiwijanganipun
kados ing ngandhap punika :
1.
Paningal ( Sang Pretiwindya ) anjurungi karsa niningali wawarnen ingkang
sarwa edi peni.
2.
Pangganda ( Sang Sotasoma ), mituruti karso angambet gagandan ingkang
amrikarum angambar-ngambar
3.
Pamiyarsa ( Sang Srutakirti), among karsa niling-nilingaken pamirenging
swara ingkang sekeca angrangin angayut-ayut, langkung-langkung pangrinthihing
swara salebeting pulang asmara.
4.
Pangraosing ilat inggih pangenyam ( sang Satanika) angumbar karsa
raosing sawarninipun dhadhaharan tuwin unuj-unjukan ingkang sami miraos.
5.
Pangraosing anggota (sang Srutakarma), anguja karsa sakecaning sarira (
kesed sungkan sasaminipun), langkung malih pangujaning raos kanikmatan asmara.
6.
Wicara ( sang Gathutkaca), anjurungi karsa wedaling swara sereng kadosta
: nepsu, muring-muring, srengen lan sasaminipun, dene wedaling wicara ingkang manis
arum anujuprana, namung yen kapanujon amawa pamrih, ateges wicara ingkang
lamisan, mila sang Gathutkaca ngangge tlumpah madukacarma, tegesipun madu =
wedaling wicara ingkang arum amanis,
kacarma = kaawak, pikajenganipun amastani ingkang pangawak madu. Ananging
pangawak madunipun sang Gathutkaca inggih wedaling wicara ingkang manis arum
kadi madu pinastika punika mesi darubesi ingkang sakalangkung mandi, sinten
ingkang kirang waspada, bilahi ingkang pinanggih.
Para raja putra kasebut ing nginggil, kajawi sang
Gathutkaca, sami sirna dening aswatama, para mardibasa sami anegesi anak kapal,
kapendhet saking tegesipun aswa=kapal, tama=anak, yen pikajenging pralampita
boten makaten. Nanging tembung aswa ateges kapal paprangan , dene tegesipun
tama =utami =prayogi=sae, menggah kapal punika dados tutumpakanipun,sasaminipun
kadosdene sepur motor, kreta lan sapinunggalanipun, ingkang sedaya wau dados
pirantosipun pangater utawi pangiring, darbe kajeng tumrap sakathahing pirantos
ingkang saged andumugeni panedya, dados tembung aswatama darbe teges :tumpakan
ingkang utami, utawi pangater ingkang sae tuwin prayogi, dene tumpakan utawi
pangater, punika darbe raos sami kaliyan piranti sarta piranti ugi darbe kajeng
sami kaliyan pandamel. Saking katrangan punika, dados tembung aswatama samangke
langkung sumeleh yen dipun tegesi : pandamel ingkang utami. Mila kasebut ing
serat baratayuda, aswatama gadhah pusaka saking tiyang sepuhipun inggih sang
druna, pusaka wau nami cundamani. Tegesipun cundha = cundhuk , mani = rahsa,
dene tembung cundhuk darbe kajeng sami kaliyan tembung : cocog, gathuk,
tunggil,awor, suraosipun : tunggil rahsa, inggih anunggilaken rahsa utawi maworing rahsa. Jarwa titiga pundi
ingkang kapilih lan saged andamangaken panggalih.
Kasebut aswatama mijil saking dewi wilutama ingkang malih
kapal sembrani sarta saged mabur. Dene tegesipun tembung wilu = ilu = toya,
toya ingkang kangge pasemon piwulangin kawruh ( golek banyu bening = golek
kawruh ) tama = utami, suraosipun piwulanging kawruh ingkang utama. Anggenipun
saged mabur kangge pralambang sumengkaning napas kita tumameng ing susuhunan (
embun-embunan) , inggih pandamel mangreh panjing wijiling ( mlebet medaling)
napas punika kawruh ingkang utami piyambak. ( Bab Aswatama tuwin kapal sembrani
malihipun Dewi Wilutama ugi, andarbeni teges sanesipun malih, panjarwinipun
kasebut ing srat Madyabawana)
Wondene ingkang kasebut perangipun sang arjuna mengsah lan
aswatama, kakalihipun sami angedalaken senjata brama, punika kangge pangumpamen
kita anandangaken pandamel, upami kita nedya angraosaken prabawa mangka
kapanujon mengsah kita inggih darbe aji wau, yen mekaten temah lajeng pur
kemawon ananging sanyatanipun ingkang mesti kasoran ing prabawa, punika pundi
ingkang ngenmgggeni lepating pandamel. Dene ingkang kasebut, pasinten ingkang
kadhawahan jemparing wau dados bonten wonten jawah salebeting kalih welas
tahun, punika pralambangipun tiyang ingkang kinasoraken saking dayaning
pamandeng temtu ical kaengetanipun ( kawruhipun). Dene jawah kangge
pralambanging kawruh, kapirit saking tembung jawah = udan = udani = ngrawuhi
Ingkang kasebut , sasampunipun aswatama masrahaken sanjata
cundhamani dhateng Arjuna sabab saking kawon perangipun, lajeng kasabda dhateng
bathara kresna, yen aswatama kedah kesah ambraung ngantos tigang ewu taun
laminipun. Menggah jarwanipun makaten : ulah samadi punika pikajenganipun kita
anggriyakaken paningal dumunung salebeting paningal, tegesipun : paningal kita
ingkang medal, punika kalebetna ing telenging paningal murih boten sumerep punapa-punapa,
dene telenging paningal punika enggen raosing gesang kita ingkang sejati. Dados
manawi kita mboten darbe lan boten nandangaken
ulah samadi, punika gesang kita kaumpamaken ambraung sebab boten nate
mantuk utawi angenggeni griya kita ingkang sejati kados kasebut ing nginggil
Makaten ugi ingkang kasebut cundhamani wonten arjuna,
nanging boten karimat, awit arjuna muhung katungkul amudya dyah banuwati
kemawon. Carios ingkang makaten inggih namung kangge pralambang kita ingkang
lirwa dhateng panindaking pandamel samadi punapa malih ingkang kasebut pusaka
wau. Aswatama nampi saking bapa (Druna) lan bapa saking bathara guru , punika
kangge pasemoningkawruh wau bilih sanyatanipun kita boten saged angsl sking
panggelaring sastra utawi piwulanging guru. Dene angsalipun kawruh wau punika
kedhah saking papadhanging kaengetan kita pribadi. Menggah papadhanging
kaengetan kita pribadi bilih angsal papadhanging gesang kita pribadi, sagedipun
pinaringan papadhanging gesang kita pribadi, bilih tinarimah samadinipun,
kuwasa anjumbuhaken maworing kawula gusti.
WIRID MALADIHENING;
Marsitakaken menawi badhe manekung,pipiridan wasiyat dalem
kangjeng Panembahan Senopati Ngalaga Mataram menawi kalantih kados ing ngandhap
punika
Awit angingirangi dahar lan sare, cegah syahwat, ameper hawa
napsu sarta siyam ing sawatawis dinten , punapa dene boten kenging ngemu
sakserik duka cipta
Menawi siyamipun kantun sadalu sampun ngantos sare sarta
kedah ambisu. Ing wanci tengah ndalu lajeng siram, sarampungipun siram lajeng
busana (ngangge-angge) sarwa suci, sarta kakonyoh gagandan langkang
wangi-wangi. Punapa dene lajeng dedupa majeng mangetan, mangilen, mangidul,
mangaler. Sasampunipun lajeng angajengaken keblatipun piyambak, inggih punika
ing jaja.
Sareng sampun bangun enjing, wiwit tafakur (ssamadi)angwijah
raga nutupi babagan hawa sanga. Tegesipun wonten rurupen sampun dipun tingali,
wonten swanten sampun kapirengaken, wonten gagandan sampun ka’ambet, wonten
wiraosan sampun kasauran, punapa dene yen karaos punapa-punapasampun karaosaken,
salajengipun amepet turas lan suker
Dene patrapipun lenggah pitekun : jempol suku kapanggihaken
jempol suku ingkang papak polok sami polok ingkang gathuk,jengku sami jengku
ingkang rapet, purusa (pajaleran) sapalandhunganipun sinipat kaliyan jempol suku
ingkang leres sampun ngantos katindhihan, nunten asta kakalih katumpangaken ing
jengku. Sareng sampun sawatawis , lajeng sidhakep drijining asta antuk
saselaning dariji, jempol asta dipun aben lan jempol asta, ilat katekuk
minggah, lathi mingkem, lajeng mandeng pucuking grana kaliyan kejep ( merem)
tumunten anjumenengaken panjenenganing dat
makaten :
Ingsun tajalining dat Maha suci kang amisesa kang kuwasa
ngendika : kun Payakun : dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun teka
sakarssaningsun, metu saka kodratingsun
Menawi sampun makaten, nunten epek-epeking asta kiwa
kakempit ing cangklakan tengen, epek-epeking asta tengen kakempit ing
cangklakan kiwa. Lajeng angeremaken netra (mripat). Prelu amadhangaken
netranipun sajati ingkang dumunung ing sa’antawisipun alis kiwa tengen inggih
punika papasu (caksu), sarta tansah mawas (mandeng) pucuking ardi tursina,
inggih punika : grana, kallihan ngereh lebar-wedaling napas (ambegan) ingkang
sareh (alon), kalihan manebut kabatos kemawon. Nebut : Hu, napas mlebet, nebut
: Alloh, napas medal. Dados mungel : Hu-Alloh. Dene panarik inggih tumuruning
napas wau kakandhasna dhumugi telenging Betalmakmur lan Betalmukadas, inggih
punika teleng pagedhonganing wiji gesang ingkang dumunung ing salebeting
pastapurusa (pajaleran). Terangipun kedah ulah manjangaken lampahing napas,
margi napas punika pratandhaning gesang. Ateges bilih ambegan napasipun
minggah, p[unika katarika manginggil dumugi ing susuhunan (sirah). Yen napas
medhal, ugi ka edhakna dumugi ing puser (wudhel), punapadene lampahing napas
kedahingkang alon. Lampahing napas minggah mandhap wau manawi saged sareh
(boten menggah-menggah), saged ngleremaken raos pangraos, tegesipun : manah
(kerap) boten makarti. Ing ngriku punika pratandhaning tinarimah:
Nabi Muhammmad, mumulenipun : dhahar sekul wuduk,
lawuhanipun : lembaran ayam pethak mulus, sarem temper, lombok ijem, lalaban
terong, dhaharan who-wohan sarta kokonyoh.
Wali Sunan Ngampeldenta mumulenipun : dhahar sekul abrit,
lawuhan panggang wedar, sarem tamper.
Wali Sunan Benang, mumulenipun : dhahar sekul liwet,
lalawuhan sakaparengipun, jenang manggul dipun wur-wuri bekatul.
Wali Sunun Kalijaga, mumulenipun : dhahar sekul liwet,
jangan kangkung, ron sentul, ron senting, ron tuwin wohing kudhu (kemudhu),
pecel lele, bakaran dhendheng gepuk, tuwin bakaran gereh lan balur.
Kanjeng Sultan Demak ingkang wekasan, mumulenipun : dhahar
sekul punar, jangan oncom, sambel kedhele tanpa trasi.
Kanjeng Sultan Pajang Prabu Hadiwijaya, mumulenipun : dhahar
sekul wuduk sapepaking lawuhan tuwin arang-arang kambang.
Kanjeng Panembahan Senapati Mataram, mumulenipun :dhahar
sekul pera, lawuh gorengantombra, utawi sekul golong jangan menir, pecel ayam.
Kanjeng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, mumulenipun :
dhahar ketan salak, ulam pindhang, ayam tuwin ulammahesa, utawi sekul golong
jangan menir, pecel ayam.
Pangepungipun ketindakaken saderang utawi sasampunipun
anindakaken manekung.
Menggah lampahing panekungan wau, prayogi ketindakaken ing
saben dinten sakuwasanipun, ugi boten prelu ngingirangi dhahar tuwin sare.
Ananing saben salapan dinten sapisan, langkung-langkung manawi kaleres dinten
ijabah, punika prayogi anindakaken angingirangi dhahar sare kados
kapratelakaken ing nginggil. Kacariyos dinten ijabah punika tumuruning wahyu kanugrahan.
Dene dinten ijabah wau kados ing ngandhap punika :
1. Ing wulan sura
ing tanggal
9 lan 10.
2. Ing wulan Mulud
ing tanggal
12.
3. Ing wulan Rejeb
ing tanggal 27.
4. Ing wulan Ruwah
ing tanggal 15.
5. Ing wulan Pasa
ing tanggal
21,23,25,27, lan 29.
6. Ing wulan Besar
ing tanggal 8 lan 9.
Kajawi punika ugi wonten ijabah wektu, ing sadinten sadalu
kaping sakawan. Wektu wau ugi prayogi kangge nindakaken panekungan padintenan,
inggih punika :
1. Ing wektu bangun
enjing nyarengi pletheking surya.
2. Ing wektu tengange,
ngleresi srengenge wonten ing nginggil kita leres
3. Ing wektu
seraping surya.
4. Tengah ndalu
Menggah ingkang dados bekaning panekungan punika wonten
warni kalih prakawis, inggih punika : bekaning jiwa lan raga.
Bekaning jiwa :
1. Karem ngumbar
kapirening karsa
2. Ambeg angkara
murka.
3. Dora para cidra.
4. Remen mitnah,
drengki lan srei.
5. Remen anganiaya.
Dene bekaning raga :
1. Ulah crobo
2. Lampah nista.
3. Tingkah degsura.
4. Kesed sungkanan.
5. Lumuh nastapa
pujabrata.
Miturut wirayating kadis, yen katabetan kados kasebut ing
nginggil wau, saking adat luwangipun asring anyupetaken lalampahan, boten
widada gesangipun. Sabab kakadosaning. Sabab kakadosaning beak sadaya wau
punika kalebet ing babasan kados ing ngandhap punika :
1. Nistha, papa,
tegesipun : lampah nistha, yekti manggih papa.
2. Dora sangsara,
tegesipun : lampah dora, wekasan manggih sangsaara.
3. Dhustha lara,
tegesipun : lampah dhustha, wekasan manggih lara.
4. Niaya pati,
tegesipun : lapah niaya, wekasan manggih pati.
Prayoginipun suminggaha saking sakathahing bebeka kados
kasebut ing nginggil wau, saestu andadokaen kamulyaning gesang ing donya engga
dumugi ngakerat pisan. Langkun-langkung anindakaken lampah tapaning gesang
sarta jakatipun, makaten :
1. Badan, tegesipun
trapsila anoraga, jakatipun : taberi ulah pandamel sae.
2. Manah utawi budi,
tapanipun anarima, jakatpun : aspen ing panginten-inten awon.
3. Nepsu, tapanipun
rila, jakatipun : sabar ing coba godha-rencana.
4. Nyawa, tapanipun
temen : jakatipun : boten dahwen utawi munasika.
5. Rahsa, tapanipun
utama, jakatipun : kendel analangsa.
6. Cahya, tapanipun
suci, jakatipun ening.
7. Atma, tapanipun
awas, jataipun : emut.
Kajawi ingkang sampun kasebut ing nginggil, wonten ingkang
wajib dipun,
tapani tuwin dipun jakati, punika :
1. Netra (mripat)
tapanipun : cegah sare,jakatipun : lumuh nyumerebi sawanining kamelikan awon.
2. Karna (talingan)
tapanipun : cegah hawa-napsu,jakatipun : lumuh miring para paben.
3. Grana tapanipun :
cegah ageganda,jakatipun : lumuh angisep-usep piawon.
4. Lesan
(pangandika) tapanipun : cegah dhahar,jakatipun : lumuh angraosi ing
sasami-sami, punapadene ngedalaken pangandika awon.
5. Urat tapanipun :
cegah sahwat,jakatipun : lumuh datheng pandamel jina utawi bandrek.
6. Asta tapanipun :
cegah colong calimut,jakatipun : lumuh mara tangan.
7. Suku tapanipun :
cegah pandamel awon,jakatipun : lumuh lampah istirakat.
Manawi saged anglampahi punapa ingkang kasebut ing nginggil
punika, saestu sinebut jalma utami. Mila wonten babasan saking wasitanipun
Sunan Ngampeldenta, datheng putra wayahipun makaten :
Turua yen arep nepsu!, pikajenganipun : manawi rumaos badhe
nepsu, katilema!
Nepsu yen arep perang!, pikajenganipun : manawi badhe
perang, dipun pupuruna wedaling napsu.
Peranga yen arep mangan!, pikajenganipun : manawi karaosluwe
badhe dhahar, kasayutama kados mangsah!
Mangana yen arep lumaku!, pikajenganipun : manawi badhe
kekesahan tebih, kasaratana dhahar sawatawis!
Lumakun yen arep turu!, pikajenganipun : manawi karaos arip,
sinamura kangge mlampah-mlampah.
Manawi piwulangipun Sang Hyang Wisnu, murih kalis boten
dados mamangsanipun Sang Hyang Kala, titiyang dhinawuhan ngungelaken
rajahkalacakra ingkang wonten ing jajanipun Sang Hyang Kala, inggih punika
minangka panulakingrencaanipun Sang Hyang Kala. Dene ungelipun makaten :
Yamaraja – Jaramaya
Yamarani – Niramaya
Yasilapa – Palasiya
Yomidoro – Rodomiya
Yomidosa – Sodamiya
Yadayuda – Doyudaya (Dayudaya)
Yasiyaca – Cayasiya
Yasihama – Mahasiya
Tegesipun :
Heh pangrencana, mariya luwih.
Heh kang nekani, ilanga kaluwihanira.
Heh kang gaweluwe, amaregana.
Heh kang aweh mlarat, anyukupana.
Heh kang anyikara, mariya nangsaya.
Heh kang amerangi, laruta kuatira.
Heh kang para cidra, kagel welasa.
Heh kang dadi ama, yogya asiha.
Kalayan malih dhinawuhan anglampahi ulah brata gangsal
prakawis kados kasebut ing ngandhap punika :
1. Siyam, awit ing
saben surya, dumugi ing wanci tengange (surya wonten saninggiling sirah).
2. Melek, await ing
saben bangun enjing ngantos ing rahintenipun dumugi sirep tiyang. Yen badhe
tilem ing wanci sirep tiyang punika mawi adus, tangining tilem ing wanci bangun
enjing ugi lajeng adus, nunten mlampah-mlampah sakuwawinipun.
3. Ambisu, awit ing
saben tangi tilem bangun enjing punika ngantos dumugi wedaling surya.
Salebeting ambisu wau sarwi amesu budi :ayipta, rahyuning badan.
4. Wahdat, ing saben
satus dinten sapisan kengingipun sanggama.
5. Sabar ing
salami-laminipun.
Pangandikanipun Sang Hyang Wisnu, lampah gangsal prakawis
punika dados pamgruwating papa cintaka, amuwuhaken bagya raharja.
Manawi aturipun Patih Rajasukapa datheng Prabu Cingkaradewa
murih kuwawa jumeneng Ratu Binathara, kedah nyumerepi watak gangsal prakawis,
inggih punika : 1. Bekti ingDewa, 2. Ajrih ing Ratu, 3. Ngidhep ing yayah –
rena, 4. Mithuhu ing guru, 5. Asih ing Sagung dumadi. Dene pikantukipun :
1. Sinten ingkang tansah
ngabekti datheng dewanipun punika badhe kinabekten datheng manungsa.
2. Sinten ingkang
ajrih datheng ratunipun, punika badhe kineringaning manungsa.
3. Sinten ingkang
angidhep ing yayah-renanipun, (bapa – biyung), punika badhe kinedhepan ing manungsa.
4. Sinten ingkang
mituhu datheng gurunipun, punika badhe pinituhu ing manungsa.
5. Sinten ingkang
asih ing sagungdumadi, punika badhe kinasihan ing manungsa.
Mengggah patrapipun angabekti ing dewa punika kalih
prakawis, inggih punika : puja lan brata. Kalih prakawis punika boten kenging
pisah,karanten saestunipun boten wenang amuja yen dereng anglampahi tapabrata.
Menggah lampahing tapabrata punika ugi gangsal prakawis :
1. Wadhahipun
angingirangi dhahar, ingkang winadhahan anarima. Sanadyan angingirangidhahar,
yen boten anarima ing sawontenipun ingkang dinahar, inggih boten pakantuk.
2. Wadhahipun
anyunyuda sare, ingkang winadhahan engat, sanadyan awungua yen mawi sinawur ing
sasamben minangka cagaking pamelek, punika inggih boten pakantuk. Karanten
sasamben punika andadosaken supening panuwunan.
3. Wadhahipun
angawis-awisi sanggama, ingkang winadhahan tata,. Sanadyan awis-awisa sanggama,
yen sanggamanipun resah, inggih boten pikantuk. Tegesipun resah punika bandrek
jina sapanunggilipun ingkang boten mawi tata.
4. Wadhahipun
anyegah duka, ingkamg winadhahan : santosa. Sanadyan sabar darana, yen dahwen
sendhon para waonan, inggih boten pakantuk. Karanten para waonan punika
tumusipun angemu duka salebeting batos.
5. Wadhahipun amepet
pangandika, ingkang winadhahan : panalongsa. Sanadya ambisu, yen kakenan manah,
inggih boten pakantuk. Mila utamining ambisu punika ing ngasepen, ingkang
supados boten wonten ingkang ndamel kakening manahipun.
Manawi sampun lebda tapabratanipun, saestu enggal katarimah
ing pamujanipun. Dene pasinaonipun tapabrata gangsal prakawis wau, wonten ing
ucap-ucapaning pralamita makaten :
1. Sabecik-becike
mangan wareg, isih becik mangan kurang.
2. Sabecik-becike
mangan kurang, isih becik mangan sa’anane.
3. Sabecik-becike
mangan sa’anane, isih becik mangan saketemune.
4. Sabecik-becike
mangan saketemune, isih becik mangan saluwene.
5. Sabecik-becike
mangan saluwene, isih becik mangan sakuwasane.
Kaping laihipun :
1. Sabecikane turu,
becik melek.
2. Sabecikane melek,
becik tangi.
3. Sabecikane tangi,
becik lungguh.
4. Sabecikane
lungguh, becik ngadeg.
5. Sabecikane
ngadeg, becik lumaku.
Bilih punika sampun lantih, ing prakawis wau angringkes
gangsal prakawis pisan, empan wonten ing papan empanipun wonten ing wanci
ndalu, papanipun wonten ing ngasepen, inggih punika ing saben ndalu siyam awit
ing serap surya nunten mlampah-mlampah tanpa angandika, yenwonten ingkang
anumbuk utawi anunjang boten dados duka, yen kapethuk ing wanita ayu boten
niyat remen. Utaminipun manawi siram wonten ing tempuraning bawani, lajeng
angeli ing sadumuginipun. Punika yen kalampahan ing saben ndalu makaten, adapt luwangipun
boten antawis lami, saestu wonten parmaning Hyang Kang Murbeng Jagad.
Katarimah panuwunipun, kasandhangan kasantosaning manah,
kasebut iman sabitah, tegesipun : iman tetep, dumunung wonten ing gesang kita.
Menggah wontening iman kados kasebut ing ngandhap punika :
Iman Idayat, dados :
pikekahing awas.
Iman Musasak, dados : pasilahing emut.
Iman Sodrah, dados :
pambukaning budi.
Iman Kali,
dados : pangesthining
budi.
Iman Maksum, dados : pangreksaning
napsu.
Iman Mahmut, dados : panuntuning
ening.
Iman Mahbul, dados :
panarimaning ening.
Iman Mujiman, dados : kaelokaning birahi.
Iman Gaib, dados :
panuksmaning sukma.
Iman Tayibah, dados : pasucianing
rahsa.
Iman Kamilmukamil, dados : sampurnaning
pranawa.
Iman Daim, dados :
paneteping atma.
KATRANGAN :
Manawa arep
migunakake ngilmu-ngilmu ing kitab iki wajib di sumui lan ditindakake kanti
temenan sarate. Kayata laku-laku kang dadi sarana nggayuh mantra-mantra,
aji-aji uga sarana kanggo jimat-jimat iki kabeh kudu katindakake amrih
kasembadane apa kang dadi gagayuhane eling ing paribasan “Ngilmu iku dadine
sarana laku”.
Dene kang
dikarepake mutih, pasa, patigeni lan sakpanunggalane iku kaya ing ngisor iki
jarwane :
Pati geni : ora mangan lan ora ngombe lan ora turu, sarta
manggon ana ing kamar (senthong) baae, apa dene yen bengi ora kena nyemut
diyan.
Nglowong : ora mangan lan ora ngombe ananging kena turu
sawetara bae lan kena lelungan.
Ngebleng : ora mangan ora ngombe lan ora kena metu saka
kamar, kenane metu mung yen kabener sene utawa bebanyu, lanuga kena turu
sawetara bae.
Laku ngowong utaw ngebleng kang wewangen telang dina telung
bengi utaawa 7 dina 7 bengi iku utamane yen wis kari sadina sawengi nganggo
dirangkepi ambisu. Yaiku ora caturan, sarta manggone kudu andewe ana sajeroning
papan kang kinira ora srawungan karo uwong.
Mutih : kang dipangan mung sega thok, tanpa uyah lan
lelawuhan, utawa papanganan liyan,sarta ngombene mung banyu wantah (tawar).
Apa dene laku mutih kang nganti 40 dina 40 bengi iku
hakekate mung nyirik uyah, yaiku ora mangan sarupane panganan kang nganggo
uyah.
Laku mutih milang kepel : tegese Manawa laku mutih milang
kepel 7 bengi lan pati geni sawengi iku : mutih ing dalem sadina sawengi kang
sapisan mung mangan sego putih 7 kepel, banjur saben sadina kasuda sakepel,
tumekane dina kang kaping 7 mung kari sega sakepel, nuli kateusake pati geni
sadina sawengi.
Laku melek : ora kena turu, anggone miwiti kudu saka wengine
dhisik, banjur kateusake rinane, upamane wiwit jumuah sore jam 6, rampunge setu
sore jam 6.
Wong kang arepnglakoni iku sarat kudu anuceni badan lan ati
dhisik, mungguh kang aran nuceni badhan iku adus karmas kang resik, dene nuceni
ati iku sarana nyenyuda ubaling hawa napsu.
Wong kana rep mentas luwar saka anggone anglakoni, kayata
mutih ngebleng, pati geni lan liya-liyane, iku ora kena banjur daya-daya mangan
lan ngombe apa-apa sakarepe dhewe, ananing kudu di rih-rih saka sathithik.
Wiwit kang sapisanan mung ngombe banyu tawa sathithik, antara sajam lawase
banjur kena ngombe banyu intip, (intip kabakar banjur dicoribanyu tawa) banyu intip
iki diombe mbaka sathithik. Manawa wus sawetara weteng ora krasa lara banjur
kena mangan bubur adhem uga mbaka sathithik, iki mau kabeh kudu diduga-duga
sapantese aja banjur mangan sawarege mundhak lara wetenge.
Saluware anglakoni manawa awake wus kapenak kaya adapt
sabene, banjur anganakake riaya, kang lumrah riyayane sego gurih, lawuhe pitik
utawa endhog pitik diolah lambaran, ujube asung dhahar Gusti Rosul, didoangnana
Slamet Kabul.
Katrangan bab Rajah :
Miturut kaol
wawatone wong kang nulis rajah kanga rep dianggap jimat utawa sarana apa bae,
mangka yen nulis panulisane mau pinuju ing dina :
Akad kudu ing
wanci tengenge
Senen kudu ing
wanci bakda luhur bener
Salasa kudu ing
wanci wisan guru kira-kita jam
10.30 esuk
Rebo kudu ing
wanci esuk
Kemis kudu ing
wanci luhur
Jumuah kudu ing
wanci Maghrib.
Setu
kudu ing wanci
Ngasar.
Kalaja saka iku samangsane arep migunakake jimat, rajah,
sadurunge nulis rajah kanga rep dienggo kudu ngelakoni pasa 3 dina 3 bengi
ngebleng,dene riyayane mung mamangan who-wohan bae,iku yen arep kepingin apa
saksedyane kasembadan dening Pangeran, ingkang sipat Esa wektu nglakoni 3 dina
3 bengi kang winatek mantrane mangkene : “Rokhku lumebu rohmu, rohmu lumebu
rohku,rohku lumebu rohmu”
Iki niyate nulis jimat rajah maca mangkene :
“Bismillahirramaanirrahiim,nawaitu takhqaraban takhli umsri
bismillahil laya ya ngaismihirafilar lafis syamai wa huwa samiul ngalim,
birahmatika iya arkhama rokhimin”.
Iki dongane yen arep gawe jimat :
“bismillahirrahmaanirrahim,allhuma imaga muta dzaba”.
Iki dongane
yen anggulung jimat, mantrane mangkene :
“ Lailla ha illallah Muhammad Rasullah”
Iki dongane
yen wong arep jimat :
“assyalamu qaaula min robirrakhim” kawaka kaping telu (3)
1.Yen arep tarakbrata
Yen arep
tarakbrata (tirakat), kudu adus wuwung dhisik, mantrane niyat ingsun adus,
angadusi badan kayun, manggih toya rabani, dus lali, dus mani, badan adus den dusi
padha badan, roh adus den dusi padha roh, sukma adus den padha sukma, dat teles
sukma ngalam, dat urip tan kena kawowotan, urip sajeroning karsa, ingsun adus
banyu saking tolah, byur njaba, suci njeroning badan, rabani, allahu sakarsa,
allahu alaihi wasallam.
Sawise maca mantra banjur adus wuwung kang resik.
2.Mantra supaya betah tarakbrata
“Ingsun nutup rasa, sang sir rasa payungana ingsun, rahsa mangan cahya, cahya
mangan rahssa, langgeng ing ciptaku, tetep mantep tan kena owah”.
Mantra diwaca saben bakda maghrib kaping 40, yen lagi
tarakbrata.
3. Donga betah ora mangan lan ora ngombe lan ora turu
“Allahuma anta robbi lailaha ila anta alaika ya alahu
yarabul’alamin”.
Donga diwaca kaping 40 yen lagi tirakat.
4. Donga yen lagi mutih supaya betah
“Sirulahi gagantine Allah, amangan cahya, den pangan
lailahailalloh muhammadarosulloh”.
Donga diwaca kaping 40 yen lagi mutih.
5. Donga adus utawa raup.
“Nur cahyaning Allah nur gumulang cahyaning mohammad, mung
rupa cahyaning rosulullah, waras kuat slamet.
6. Donga adus
“Assalamualaikum, Niyatingsun adus banyu bumi suci, raga
suci, nyawa suci, sukma suci, dadi cahya nurcahya, ya muhammmad cahyaku,tan
kena lelara, slamet.”
Donga diwaca kaping 3 mbarengi nggebyurake banyu.
7. Donga adus jamas
“bismillahirrahmaanirrahiim, nawaitu sumalhadi, minyaomil,
tareki, niyatingsun manjing tarekan pasiyah, kitab baktulahul bablayaran
sunatan lilahi tangala, allahuakhbar”.
8. Donga yen arep turu
“Almusangiru”
Diwaca kaping 100, yen arep turu, dosane dingapura dening
Alloh.
SEMOGA DAPAT DAN BISA BERMANFA’AT untuk semuanya
-ooo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar