BERUBAHLAH, sebab dalam kefanaan, tiada yang abadi kecuali
perubahan itu sendiri. Tapi berubah itu tidak sekadar owah dan bikin gara-gara,
tidak sebatas ngeli ning ora keli atau nut ing jaman kelakone belaka. Namun
idealnya lebih sebagai upaya untuk ndandani kahanan dan secara aktif memayu
hayuning bawana.
Di antara Serat Angger-anggeran Jawi yang merupakan pranatan
sekaligus pepacuh pada zaman Mataram pasca-Kartasura, sebagaimana dihimpun oleh
Roorda, Angger Arubiru boleh dibilang sebagai yang tertua. Angger-angger ini
dikodifikasi sesudah Perjanjian Giyanti pada masa pemerintahan Paku Buwana III
di Surakarta yang sezaman dengan Sultan Hamengku Buwana I di Ngayogyakarta.
Barulah setelah itu lahir Angger Sadasa dan Angger Ageng
pada masa Paku Buwana V dan Hamengku Buwana IV, Nawala Pradata Dalem bertahun
1831 pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana V ketika di Yogyakarta bertakhta
Sultan Hamengku Buwana V, serta Angger Gunung (1840) era Paku Buwana VII atau
Hamengku Buwana VI.
Peraturan-peraturan itu merupakan peraturan hukum adat
material perdata maupun pidana beserta hukum formalnya yang berlaku di
Negarigung tersebut. Namun lebih dari itu, memperbandingkan angger-angger itu
akan tampaklah bahwa pada masa lalu saja hukum telah memperlihatkan parasnya
yang dinamis, berkesinambungan, dan merupakan suatu sistem. Yang dulu ada
hubungannya dengan yang sekarang, dan yang kini ada pertautannya dengan yang
menjelang.
Secara khusus dalam hubungannya dengan perubahan,
persoalannya ternyata tidaklah sesederhana itu. Proses dan pergulatan di balik
itu tentu tidak kalah kompleksnya dibandingkan dengan, misalnya, praktik dari
hasil perubahan demi perubahan serta sistem yang kemudian terbangun darinya.
Sebab, perubahan itu pada hakikatnya tidak hanya pada tataran fisikal (mobah),
tapi juga nonfisik (mosik). Bukankah lair iku utusane batin, bukankah mobahing
awak serta mobahing apa saja yang kasat mata, sesungguhnya adalah pantulan dari
osiking nala.
Tidak hanya berhenti di situ, mosiking nala tidaklah
sendiri, sebab di sana ada trisakti cipta, rasa, dan karsa. Kebulatan
ketiga-tiganya akan membuat osiking nala yang kemudian terejawantah lewat mobah-mosiking
kahanan yang lebih terarah.
Sebaliknya bagi mereka yang kesrakat, hidup dalam papa
cintraka, tentulah setiap tanda-tanda perubahan adalah terbitnya harapan akan
hadirnya keadaan menjadi lebih apik. Tak mengherankan jika kemudian
narasi-narasi semacam ratu adil, imam mahdi, dan juru selamat senantiasa
mendapat tempat bagi golongan seperti ini, meskipun tak jarang mentalitas
status quo justru merasuk lebih dalam dan menghegemonik komunitas ini.
Di sisi lain, musykil rasanya untuk dapat ndandani agar
lebih nggenah tanpa mau mobah. Bahkan untuk mamah saja perlu (m)obah. Demikian
pula ngeli, ketika tidak punya kesanggupan untuk melawan arus, sementara
kekuatan untuk keli jauh lebih dahsyat. Juga sekalipun menganggap kehidupan ini
(idealnya) serbaharmoni dan konstan, paham yang menganggap kehidupan bergerak
bak cakra manggilingan telah menempatkan perubahan, meski terbilang masih
serbaterbatas.
Yang Menolak Owah;
Sekalipun begitu, bukan berarti tiada potensi, baik bawaan
maupun "hasil rekayasa", yang cenderung menolak terhadap owah-owahan.
Mereka yang merasa sudah mukti wibawa, sudah bisa enak kapienak dengan
ngedhangkrang sila tumpang apalagi dapat lenggah anggana raras, tentu akan
menatap perubahan sebagai ancaman.
Itu belum termasuk mereka yang kelewat mengagung-agungkan
terhadap masa lalu dan menganggapnya sebagai capaian puncak. Karena itu, yang
ada dan dianggap yang perlu dilakukan adalah sekadar nglestantunaken,
nguri-nguri. Kata-kata semacam ngurip-uripi dan ngrembakakake, apalagi ngowahi,
nyaris tidak mendapatkan tempat. Generesi berikut hanya berhak untuk
mengelap-lap sekaligus apa-apa dari masa silam. Setiap upaya untuk mengubahnya
akan dianggap sebagai ancaman dan penistaan terhadap sejarah. Sementara yang
tua giat membangun aneka jerat untuk menegakkan paradigma nostalgia ala meraka.
Tak berlebihan kata-kata Carlson (1965) bahwa orang itu pada
dasarnya lebih suka status quo ketimbang perubahan. Makanya ia kemudian merasa
perlu menawarkan strategi untuk mempercepat adopsi terhadap inovasi.
Berdasarkan teori ini, suatu inovasi akan diadopsi atau
tidak masih ditentukan oleh karakteristik program yang akan disosialisasikan
kepada pihak-pihak yang seharusnya mengadopsinya. Menurut pendapat Carlson,
keberhasilan inovasi akan ditentukan oleh lima karakteristik program yang
diinovasikan, yaitu relative advantage, compatibility, complexity,
divisibility, dan communicability.
Karena itu demi terjadi owah-owahan, segala daya upaya mesti
dilakukan. Tidak bisa pasif, tidak bisa tenguk-tenguk nemu kethuk, melainkan
harus secara aktif selalu mobah-mosik, tentu dengan spirit untuk turut memasuh
malaning bumi.
Akhirnya, dalam konteks perubahan, tetaplah relevan
kata-kata yang yang menjadi klise: hari ini harus lebih baik daripada hari
kemarin. Jika masih sama dengan kemarin, itu artinya kemunduran. Apalagi jika
lebih buruk daripada kemarin, itu sama saja dengan kiamat.
Jadi, kenapa ragu untuk mobah-mosik demi owah agar segala
sesuatunya lebih nggenah, atau minimal di sana bisa terbit pengharapan akan
arah yang lebih pernah. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar