Bangsa Indonesia, termasuk juga orang Jawa, dikenal memiliki
perasaan halus, serta tenggang rasa tinggi. Karena itulah mereka tidak menyukai
orang sombong. Yaitu, orang yang congkak, pongah, angkuh, takabur, menghargai
diri sendiri berlebihan dan cenderung meremehkan (merendahkan) orang lain. Di
Jawa, sombong dianggap sifat yang buruk (tak terpuji), dan sebaiknya dihindari
karena akan jadi gangguan serius bagi komunitas dan lingkungannya.
Menurut pandangan masyarakat Jawa, orang sombong memiliki
sifat sebagaimana unen-unen (peribahasa) yang berbunyi: 'adigang adigung
adiguna'.
Artinya, sifat menyombongkan diri pada kekuatan, kekuasaan,
dan kepandaian yang dimiliki. Adigang, adalah gambaran dari watak kijang yang
menyombongkan kekuatan larinya yang luar biasa. Adigung adalah kesombongan
terhadap keluhuran, keturunan, kebangsawanan, pangkat, kedudukan, atau
kekuasaan yang dimiliki.
Diibaratkan gajah yang
besar dan nyaris tak terlawan oleh binatang lain. Sedangkan adiguna
menyombongkan kepandaian (kecerdikan) seperti watak ular yang memiliki racun
mematikan dari gigitannya.
Peribahasa ini mengingatkan bahwa kelebihan seseorang sering
membuat sombong, lupa diri, sehingga berdampak buruk bagi yang bersangkutan maupun orang lain.
Contohnya kijang. Secepat apa pun larinya sering terkejar juga oleh singa atau
harimau, dan apabila sudah demikian nasibnya hanya akan
menjadi santapan raja hutan tersebut.
Dalam dongeng anak-anak diceritakan pula bagaimana gajah
yang besar itu kalah oleh gigitan semut yang menyelinap di celah telapak kaki,
atau ketika kaki si gajah tertusuk duri. Sedangkan ular belang yang sangat
ditakuti itu pun akan mati lemas, tulang-tulangnya remuk, jika terkena sabetan
carang (cabang) bambu ori (Bambusa arundinaceae).
Jadi, kelebihan yang dimiliki seseorang merupakan sesuatu
yang “berguna” sekaligus “berbahaya”. Berguna apabila dimanfaatkan demi
kebaikan, berbahaya jika hanya digunakan untuk kepuasan pribadi serta dorongan
nafsu duniawi belaka.
Contohnya, benda-benda tajam seperti pisau, sabit, parang,
dan lain sebagainya. Sebuah pisau memang harus tajam agar mudah untuk mengiris
daging atau sayuran ketika memasak. Namun, jika menggunakannya ceroboh dapat
melukai jari tangan. Lebih dari itu, karena tajam, kuat, dan runcing, pisau
dapur pun dapat disalahgunakan untuk membunuh orang.
Sebagaimana lazimnya strategi dalam kebudayaan Jawa, umumnya
setiap peribahasa tidak berdiri sendiri dan sering berkaitan dengan peribahasa
lain. Misalnya, adigang-adigung-adiguna punya korelasi erat dalam konteks
menasihati kesombongan dengan “aja dumeh”. Artinya: jangan sok atau
mentang-mentang.
Terjemahan bebasnya adalah jangan suka memamerkan serta
menggunakan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, atau menghina orang
lain. Misalnya: aja dumeh sugih (jangan mentang-mentang kaya), dan menggunakan
kekayaannya untuk berbuat semena-mena.
Mengapa demikian, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan
sewaktu-waktu dapat hilang (tidak dimiliki lagi). Aja dumeh kuwasa (jangan
mentang-mentang berkuasa ketika menjadi pejabat/pemimpin) kemudian berbuat
semaunya sendiri. Mengapa demikian, sebab jika masyarakat yang dipimpin tidak
menyukai lagi yang bersangkutan dapat diturunkan dari jabatannya.
Di Jawa terdapat kepercayaan bahwa segala yang dimiliki
manusia hanyalah titipan Tuhan. Dengan demikian
kepemilikan itupun bersifat fana. Tanpa keridaan (seizin) Tuhan, tidak
mungkin yang bersangkutan memilikinya.
Selain itu, kekayaan yang dimiliki seseorang realitasnya
juga diperoleh atas jasa (pemberian) orang lain. Contohnya, mana mungkin
pedagang memperoleh laba dan kekayaan yang berlimpah tanpa melakukan transaksi
dengan masyarakat? Berdasarkan pendapat di atas, peribahasa ini menasihatkan
agar siapa pun jangan mempunyai sifat sok.
Mentang-mentang kaya menolak menyedekahkan sebagian hartanya
untuk orang miskin. Mentang-mentang jadi pemimpin tidak mau bergotong-royong
dengan tetangga. Menurut adat Jawa, sikap seperti itu sangat tercela dan
menyakitkan hati orang lain.
Maka, dengan memadukan dua peribahasa di atas dimungkinkan
pesan muatan yang disampaikan akan lebih dimudah diurai, di samping daya
tembusnya juga makin kuat memasuki kesadaran pikir, rasa, dan hati sanubari.
Contohnya, nasihat tersebut akan berbunyi: “Aja dumeh sekti
mandraguna banjur duwe watak adiguna kaya ula. Ora ketang wisane mandi, nanging
kesabet carang pring ori wae bakal dadi bathang selawase.” (Terjemahan
bebasnya: “Jangan mentang-mentang sakti kemudian berwatak seperti ular.
Meskipun bisanya mematikan, tetapi kena gebuk cabang bambu ori saja akan
menjadi bangkai selamanya.”).
Orang sombong dapat dianalogikan seperti kijang yang
melintas di depan kerumunan singa atau harimau di tengah hutan, seekor gajah yang sengaja menginjak-injak
sarang semut atau semak perdu berduri, seekor ular yang sengaja atau tidak
telah masuk ke halaman rumah orang di perkampungan.
Mungkin saja sekali dua kali selamat. Namun, untuk ke sekian
kalinya kesombongan itu pasti akan menjadi batu sandungan yang membuat dirinya
jatuh terjerembab mencium bumi dan tidak dapat bangkit kembali? ”... He he he .
. . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga
Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar