(PENGERTIAN KUSUS UNTUK PELAKU SPIRITUAL HAKIKAT HIDUP,
Bukan yang lain)
Oleh: Wong Edan bagu.
Diperjelas oleh: Ki Djaka Tolos
Semoga Bermanfa’at;
PRO sedulur,,, sahabat lan kanca batire iyong kabeh, Kususe
Pro Kadhangku... Ketahuilah...
Gusti ingkang Maha Suci. Kula nyuwun pangapuro dumateng
Gusti ingkang Maha Suci. Sirolah, Datolah, Sipatolah. Kula sejatine satriya/wanita.
Nyuwun wicaksana, nyuwun panguwasa. Kangge tumindak satriya/wanita sejati. Kula
nyuwun kangge anyirna’ake tumindak ingkang luput.
Demikian lah unen-unen/baca’an mantera “Kunci” Salah satu
Mantera utama dari 5 kalimah yang lainya, yang wajib dilafadkan manakala tengah
bertemu untuk berkumpul bersama, dalam
terciptanya manunggal, satu hati guna mensucikan diri bagi siapa saja yang
telah menjadi kelompok penghayat aliran kepercayaan, ajaran dari Kanjeng Gusti
Romo Heru Cokro Semono, yang diikrarkan sejak Senin Pahing 14 Nopember 1955.
“Saat itulah wahyu tumurun terhadap hati Romo Semono sehingga yakin menjadi juru
penolong sesama,”papar Wong Edan Bagu, salah seorang ahli laku Spiritual, Sang
Pengembara asal tanah pasundan, yang
merupakan putra Romo Semono mengawali perbincangannya dengan Ki Djaka Tolos
Musyafir kelana asal Cirebon jawa barat, di tempat tinggalnya yang sering ramai
didatangi para tamu sahabatnya yang selevel dengannya dari berbagai daerah di
Indonesia.
Ditegaskan oleh Wong Edan Bagu, mantera “Kunci” bukan hanya
diucapkan dalam mulut melainkan sepenuhnya harus diresapi dalam hati yang
paling dalam. Selain wajib dikumandangkan manakala tengah akan mengerjakan
sesuatu kegiatan hingga menyudahi kegiatan setiap harinya. Artinya, ada apa-apa
maupun tidak ada apa-apa “Kunci” harus siap dilafadkan. Dari menjelang tidur
sampai terbangun kembali, sambil tangan kanannya memegangi ulu hati. Lain
halnya jika di depan pusara makam Romo Semono, mantera “Kunci” diucapkan sambil
kedua telapak tangan diangkat layaknya orang tengah menyembah. Bisa jadi, bagi
orang muslim tidak ada bedanya selalu mengucapkan kalimat Bismillahi rahman
irahim ketika akan berbuat sesuatu .
Manfaat setiap saat selalu mengucapkan mantera “Kunci”,
dimaksudkan agar hati ini senantiasa mengakui, mengingat untuk selalu menyembah
terhadap Gusti Ingkang Akarya Jagad, ya Gusti Yang Maha suci. Selanjutnya bisa
ditanamkan dalam kalbu ajaran “Singkir” dengan bacaannya:
Gusti Ingkang Maha Suci. Kulo nyuwun pangapura dumateng
Gusti ingkang Maha Suci. Sirolah, Datolah, Sipatolah. kula sejatine satriya/wanita.
Hananira hananingsun, wujud ira wujud ingsun. Sira sirna mati dening satriya/wanita
sejati. Ketiban iduku putih sirna layu dening asma sejati.
Selesai membaca barulah kaki kanan dihentakkan ke bumi
sebanyak 3 kali, mulut diarahkan ke langit sambil meniupkannya sebanyak 3 kali.
Ini semua dimaksudkan untuk menjadikan damainya rasa di hati yang tengah
gundah.
Setelah dirasa mantera “Kunci” dan “Singkir” sudah meresap
di dalam hati yang paling dalam, barulah di sempurnakan dengan mantera “Mijil”,
pengharapan akan segala sesuatunya terhadap Gusti Kang Murbeng Dumadi, Gusti
Allah. Untuk bacaan mantera “Mijil” akan lebih bermakna saat diucapkan ketika
hendak berangkat tidur.
Yen tumrap kebutuhane rasa krentek mulungo rasa…………(sebutkan
saja permintaannya). Jeneng siro mijilo Panjenengan Ingsun kagungan karsa
arsa…….(kembali sebuat permohonannya). Yen tumrap kebutuhan Raga utawi Panca
Driya, tumandang gawe lan liya-liyane…..(sebut keinginannya). Jeneng sira
Mijilo Panjenengan Ingsun kagungan karsa arsa……(sebut lagi kemauannya).
Ini adalah wewarah, pelajaran dari Romo Semono sebagai sangu
urip lan pati, bekal hidup dan mati,”terang Wong Edan Bagu sambil menambahkan
jika wewarah “Kunci”, “Singkir” dan “Mijil” diucapkan di depan pusara bukan
berarti kepada jasad yang telah mati berharap, namun kepada Gusti Allah.
Kanjeng Gusti Prabu Romo Heru Cokro Semono:
Sebelum menamakan dirinya sendiri dengan sebutan Kanjeng
Gusti Prabu Romo Heru Cokro Semono, adalah M Semono Sastro Hadijoyo, putra angkat
ke tiga dari dua bersaudara anak kandung ulama besar yang juga tokoh spiritual
di jaman kolonialis Belanda, Kyai Kasan Dikromo yang namanya saat itu cukup
terkenal di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur. Meski terlahir di dusun terpencil
di lereng Gunung Damar, Sejiwan. Loano, Purworejo, Jawa Tengah, namun nama
besar Romo Semono bukan hanya di kenal di daerahnya saja. Banyak peziarah
berasal dari Jawa Timur, Bali, Mataram, Lombok, Jawa barat dan Jakarta. Bahkan
hingga Belanda dan Suriname. Hal itu terbukti dari nama yang tertulis di buku
tamu serta plat nomor polisi yang berziarah.
Boleh jadi, nama Romo Semono tidaklah asing lagi bagi
masyarakat Jawa Timur. Tidak lain, lantaran memang separuh dari usia beliau
banyak di habiskan di Surabaya untuk mengabdikan dirinya sebagai TNI AL. Selama
7 tahun pula (1955) sebelum dinyatakan resmi purnawiran sebagai prajurit KKO
TNI AL dengan pangkat terakhirnya Kapten (1962), suami dari Ngarinem dan
Tumirah/Tumirin, keduanya meninggal dan dimakamkan tak jauh dari pusara Romo Semono, sudah
mengajarkan wewarah ajaran kejawennya kepada mereka para rekan prajurit ABRI
maupun masayarakat Jawa Timur pada umumnya. Tak pelak, manakala jatuh
tanggalnya turun wahyu Romo Semono kali pertama tetulung sesama, Senin Pahing
14 Nopember 1955 hingga saat ini, bisa dijumpai banyak peziarah berasal dari
wilayah Indonesia bagian timur.
Meski beristrikan dua wanita, papar Wong Edan Bagu serius,
namun Romo Semono oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi tak pernah diberikan rejeki
momongan seorang anak. Namun demikian, lantaran ribuan jumlah pengikutnya pada
waktu itu hingga sekarang ini, bagi romo yang terlahir di Purworejo tahun 1900
dan meninggal 3 Maret 1981, kesemua muridnya diangkat untuk dijadikan sebagai
anak. Mulai berkembanglah ajaran “pitutur bener becik” di seluruh Jawa Timur
dan sekitarnya. Tak pelak, pemerintah di jaman peralihan pun dibuatnya gusar.
Oleh Presiden Soeharto yang waktu itu selaku penguasa Negara
(1966) dicekallah Romo Semono berserta pengikut dan ajarannya. “Untungnya,
setelah diadakan perundingan yang cukup alot, kesalahpahaman itu bisa kembali
diterima pemerintah. Segera saja 5 tahun kemudian 1971, Paguyuban Manunggal
Rasa resmi diakui pemerintah dan dicatatkan pada Penghayat Kepercayaan pada
Tuhan yang Maha Esa,”terangnya.
Untuk lebih mengakrabkan lagi antar sesama anggota Paguyuban
Manunggal Rasa yang tersebar di seluruh Tanah Air, dibentuklah sebuah Yayasan
Tri Sakti yang berkepentingan untuk menjaga, melestarikan dan melaksanakan
wewarah, wewuruk bener becik.
Siji-siji loro-loro, telu telonono, siji sekti, loro dadi,
telu pandito. Siji wahyu, loro gratahino, telu rejeki dan merawat peninggalan
adiluhung Romo Smono. Pusara serta puluhan rumah gadang kuno yang berfungsi
untuk beristirahat bagi ribuan peziarah ketika berlangsungnya khaul setiap
tanggal 14 Nopember dan hari keramat lainnya, Jum’at Kliwon. “Untuk lebih
jelasnya tentang ajaran Romo Semono, sebaiknya datang langsung saja,” lalu
temui salah satu warga setempat yang menjadi anggota penghayat manunggal rasa
di Sekitar pusara Romo Smono, pesan Wong Edan Bagu yang menolak ajaran guru
spiritualnya itu dipublikasikan secara tidak kusus.
Ngalap Berkah :
Lantaran ajarannya yang diyakini oleh ribuan para
pengikutnya itu bisa dipakai sebagai bekal mati nantinya, sertamerta mampu
mendatangkan kebahagiaan dunia akherat, sore itu Kamis (14/11/2011), meski
hujan mengguyur lereng Gunung Damar, toh mereka tetap nekat untuk naik ke
puncak dimana disumarekan jasad Romo Smono. Tiba di puncak, pantang untuk
langsung berziarah. Kali pertama harus mensucikan diri dengan mandi junub,
keramas dengan mengguyur sekujur tubuhnya di sumur-sumur yang sudah disediakan.
Barulah sowan, Selanjutnya, bisa
berlama-lama di pusara makam Romo Semono yang tampak bersih dan asri itu.
“Ngalap berkah pantang meminta kepada jasad Romo melainkan harus kepada Gusti
Allah. Sungkem kepada romo hanya dimaksudkan sebagai bukti rasa hormat antara
anak dengan bapaknya. Jangan berharap kepada kuburan,” (Wong Edan Bagu).
Seperti Slamet Saputro (88 thn) yang tinggal di Jalan Padmo
Susastro 38 Surabaya, selain setiap khaulnya Romo Semono, bahkan setiap saat
manakala hatinya gundah gulana, resah berkepanjangan bersama keluarganya beliau
langsung berziarah. Bukan hanya itu saja, ketika ada persoalan yang menjadikan
harus menetukan pilihan, sudah bias dipastikan lagi beliau akan segera ziarah
kubur ke Romo Semono. Guru spiritual sekaligus komandannya saat masih aktif di
KKO TNI AL. “Banyak kejadian aneh yang saya alami saat menjadi anak buahnya
Romo Semono. Dari yang tidak mempan di tembak, ditubruk truck militer tidak
cidera, bahkan anak gadis saya tak cedera sedikit pun saat ditubruk mobil
lantaran ajaran Romo,”terang Slamet yang pangkat terakhirnya Pembantu Letnan
Dua KKO, kepada Ki Djaka Tolos di sekitar makam.
Lain lagi dengan pengalaman Ny Kartika (57), pemilik
penginapan dan panti pijat di Kota Kediri ini mengaku selain hatinya menjadi
damai, tenang dan nyaman setelah lima belas tahun aktif mengikuti ajaran Romo
Semono dengan kegiatan Paguyuban
Manunggal Rasa, suaminya pun sembuh total dari penyakit stroke nya setelah
berkali kali menenggak air putih yang disanggarkan di samping pusara makam Romo
Semono. Tak hanya itu saja, penginapun yang dikelolanya sekarang ini semakin
bertambah ramai pengunjung bersamaan dengan ramainya pula tamu untuk berharap
pelayanan jasa pijat puluhan anak buahnya. “Dulu kami hampir putus asa, suami
sakit, usaha mau bangkrut, untungnya setelah puluhan kali sowan ke Gunung
Damar, kami kembali bisa bangkit dan jaya,”jelas Ny Kartika usai melakukan
ritual di pusara makam Romo Semono kepada Ki Djaka Tolos.
WIRID HIDAYAT JATI. R.Ng. Ranggawarsita:
Wejangan ke-1 Ananing Dat;
Sajatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang-uwung durung
ana sawiji-wiji, kang ana dhingin Ingsun, sajatine kang maha suci anglimputi
ing sipatIngsun, anartani ing asmanIngsun, amratandhani ing apngalIngsun.
Nasehat ke-1 Adanya Dhat.(Sesungguhnya tidak ada apa pun
ketika masih sunyi hampa belum ada sesuatu, yang paling awal adanya adalah AKU,
sesungguhnya yang Maha Suci meliputi sifatKU, menyertai namaKU, menandakan
perbuatanKU).
Nasehat di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada mulanya
alam semesta ini tidak ada, semuanya masih sunyi hampa (awang-uwung), yang
paling dahulu ada adalah AKU (Urip). Jadi tidak ada sesuatu pun yang mendahului
adanya AKU (Urip), dalam ajaran agama Islam biasa disebut bahwa Allah bersifat
Qidam (Dahulu tidak ada yang mendahului), dan AKU (Allah) adalah sumber dari
segala sesuatu.
Wejangan ke-2 Wahananing Dat;
Sajatine Ingsun dat kang amurba amisesa kang kawasa
anitahake sawiji-wiji, dadi sanalika, sampurna saka kodrat Ingsun, ing kono wus
kanyatan pratandhaning apngalIngsun kang minangka bebukaning iradatIngsun, kang
dhingin Ingsun anitahake kayu aran sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam
ngadammakdum ajali abadi. Nuli cahya aran nur muhammad, nuli kaca aran
mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh ilapi, nuli damar aran kandil, nuli sesotya
aran darah, nuli dhindhing jalal aran kijab. Iku kang minangka warnaning
kalaratIngsun.
Wejangan ke-3 Kahananing Dat;
Sajatine manungsa iku rahsanIngsun lan Ingsun iku rahsaning
manungsa, karana Ingsun anitahake adam asal saka anasir patang prakara, bumi,
geni, angin, banyu. Iku kang dadi kawujudaning sipat Ingsun, ing kono Ingsun
panjingi pudah limang prakara, nur, rahsa, roh, napsu, budi. Iya iku minangka
warnaning wajah Ingsun kang maha suci.
Nasehat ke-2 Tempat Dzat.Sesungguhnya AKU (Urip) adalah dzat
yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu, jadi seketika, sempurna
berasal dari kuasaKU (Urip), di situ telah nyata tanda perbuatanKU yang sebagai
pembuka kehendakKU, yang pertama AKU menciptakan Kayu bernama Sajaratulyakin
tumbuh di dalam alam yang sejak jaman azali (dahulu) dan kekal adanya. Kemudian
Cahya bernama Nur Muhammad, berikutnya Kaca bernama Mir’atulhayai, selanjutnya
Nyawa bernama Roh Idhofi, lalu Lentera (damar) bernama ‘Kandil’, lalu Permata
(sesotya) bernama Darah, lalu dinding pembatas bernama Hijab. Itu sebagai
tempat kekuasaanKU (Urip).
Nasehat di atas menunjukkan pada kita bahwa AKU (Urip)
merupakan dhat yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu hanya
dengan satu sabda saja yaitu KUN, maka seketika jadi (FA YAKUN), semua
ciptaannya sempurna sebagai pertanda perbuatan (af’al)KU (Urip).
Pertama diciptakan adalah Pohon (kayu) bernama Sajaratul Yakin,
mungkin yang dimaksudkan adalah sajaratulkaun (pohon kejadian) yang merupakan
awal dan asal mula penciptaan.
Kedua diciptakan Cahaya yang diberi nama Nur Muhammad.
Menurut beberapa ahli, nur muhammad ini merupakan bibit alam semesta. Nur
Muhammad dimaksudkan adalah bukan sebagai cahaya dari muhammad, nabinya orang
Islam, melainkan secara bahasa berarti cahaya yang terpuji, sehingga dikatakan
semua ciptaan pasti berasal dari nur muhammad ini, mengandung nur muhammad. Hal
itu pula yang mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa dalam tingkatan tertentu
kebenaran hanyalah satu, adanya ajaran-2 yang berbeda setelah mencapai tahap
tertentu ternyata sama belaka, karena bersumber dari dari Cahaya yang terpuji,
cahaya kebenaran, yaitu Nur Muhammad.
Ketiga Allah menciptakan Kaca bernama Miratulhayai (Cermin
Kehidupan atau Cermin Malu), dimana ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa
setelah diciptakannya Cermin ini, Nur Muhammad akhirnya dapat melihat wujudnya,
yang mengakibatkan dirinya bergetar hebat dan berkeringat, dari tetesan
keringat inilah makhluk hidup berasal.
Keempat diciptakan Nyawa yang diberi nama Roh Idhofi.
Kelima diciptakan Lentera yang diberi nama Kandil.
Keenam diciptakan Permata diberi nama Darah
Ketujuh diciptakan dinding pembatas antara kehidupan fisik
dan non fisik, antara yang kasar dan halus, yang disebut hijab.
Nasehat ke-3 Keadaan DzatSesungguhnya manusia itu rahsaKU
dan AKU itu rahsanya manusia, karena AKU menciptakan Adam berasal dari empat
perkara, bumi, api, angin, air. Itu sebagai perwujudan sifatKU, di sana AKU
tempatkan lima perkara, nur, rahsa, roh, nafsu, budi. Itulah sebagai perwujudan
wajahKU yang maha suci.
Nasehat ke-3 menerangkan bahwa manusia diciptakan sebagai
‘rahsa’ (bukan rasa, sebab antara rasa dan rahsa dalam keilmuan jawa berbeda)
dari Urip, dan Urip itu sebagai ‘rahsa’ dari manusia. Yang dimaksud adalah
bahwa Urip menciptakan manusia menurut gambaranNya atau menurut citraNya,
seperti pernah saya kemukakan bahwa pada tubuh manusia tertulis huruf ALLAH,
yaitu : (terlihat saat mengangkat kedua tangan, seperti dalam takbiratul ihram,
membaca allahu akbar)
Alif sebagai garis dari ujung jari tangan kanan turun hingga
ke ujung jari kaki kanan,
Lam pertama dari ujung jari tangan kanan turun melalui bahu
kanan dan naik ke puncak kepala,
Lam kedua dari puncak kepala turun melalui bahu kiri dan
naik hingga ujung jari tangan kiri,
Ha sebagai garis dari ujung jari tangan kiri turun hingga
ujung jari kaki kiri.
Dan manusia diciptakan berasal dari empat unsur yang
merupakan gambaran sifatNya yaitu bumi, api, angin dan air.
Bumi dalam tubuh kita terwujud pada hal-2 yang bersifat
kedagingan, dan dibagi menjadi dua hal yaitu yang merupakan unsur dari bapak
berupa tulang, otot, kulit dan otak, dan unsur dari ibu berupa daging, darah,
sungsum dan jerohan.
Api dalam tubuh menjadikan empat nafsu yaitu aluamah,
amarah, supiyah dan mutmainah.
Aluamah berwatak suka terhadap makanan, sifatnya
membangkitkan kekuatan badan
Amarah berwatak suka marah, emosi, sifatnya membangkitkan
kekuatan kehendak (bhs jawa : karep)
Supiyah berwatak keinginan, keterpesonaan, keinginan
memiliki, bersifat membangkitkan kekuatan pikir berupa akal
Mutmainah berwatak kesucian dan ketenangan, bersifat
membangkitkan kekuatan untuk berpantang (bhs jawa : tarakbrata)
Angin dalam tubuh kita terwujud dalam empat hal yaitu napas,
tannapas, anapas dan nupus.
Napas merupakan ikatan badan fisik, bertempat di hati
suwedhi, yaitu jembatan hati, berpintu di lisan
Tannapas merupakan ikatan hati, bertempat di pusar, berpintu
di hidung
Anapas merupakan ikatan roh, berpintu di telinga
Nupus merupakan ikatan rahsa, bertempat di hati puat yang
putih yaitu jembatan jantung, berpintu di mata.
Air dalam tubuh menjadikan empat elemen roh yaitu roh
hewani, roh nabati, roh rabbani dan roh nurrani.
Roh hewani, menumbuhkan kekuatan badan
Roh nabati menumbuhkan rambut, kuku, dan menghidupkan budi
Roh rabbani menumbuhkan rahsa (dzat hamba)
Roh nurrani menumbuhkan cahaya.
Setelah empat unsur alam terbentuk dalam tubuh manusia,
kemudian Allah menempatkan pula lima hal yaitu dzat hamba (jawa : mudah)
sebagai gambaran wajahNya yaitu nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.
Nur, merupakan terangnya cahya, jika mewakili Dzat Yang Maha
Suci dapat menerangi lahir batin
Rahsa, rasa jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat
menumbuhkan daya ketenteraman di lahir batin
Roh, penglihatan roh jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menjadikan
penguasaan sempurna
Nafsu, kekuatan nafsu jika mewakili Dzat Yang Maha Suci
menumbuhkan kekuatan kehendak yang sentosa
Budi, penciptaan budi jika mewakili Dzat Yang Maha Suci
menumbuhkan daya cipta yang sentosa.
Oleh karena itulah beberapa orang mengatakan bahwa manusia
mempunyai sifat-2 Tuhan dan juga mempunyai kesucian wajah Tuhan.
Wejangan ke-4 Pambukaning tata malige ing dalem betalmakmur ;
Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmakmur, iku
omah enggoning parameyanIngsun, jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning
sirah iku dimak, yaiku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning
manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning
suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun,
dat kang anglimputi ing kahanan jati.
Nasehat ke-4 Pembukaan tahta dalam baitulmakmur Sesungguhnya
AKU bertahta dalam baitulmakmur, itu rumah tempat pestaKU, berdiri di dalam
kepala Adam. Yang pertama dalam kepala itu ‘dimak’ yaitu otak, yang ada di
antara otak itu ‘manik’ di dalam ‘manik’ itu budi, di dalam budi itu nafsu, di
dalam nafsu itu suksma, di dalam suksma itu rahsa, di dalam rahsa itu AKU,
tidak ada Tuhan selain hanya AKU, dzat yang meliputi keberadaan yang
sesungguhnya.
Nasehat ini menyatakan bahwa Urip bertahta atau
bersinggasana di dalam baitul makmur, yang berada di dalam kepala manusia.
Barangkali kalau memakai bahasa orang-2 reiki yang dimaksud dengan baitul
makmur adalah cakra mahkota yang ada di puncak kepala. Di dalam kepala manusia
terdapat otak. Di antara otak itu sendiri terdapat lapisan-2 sebagai berikut :
Yang pertama ‘manik’
Di dalam manik terdapat budi
Dalam budi terdapat nafsu
Dalam nafsu terdapat suksma
Dalam suksma terdapat rahsa
Dalam rahsa terdapat AKU (Urip)
Dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain hanya AKU (Urip),
dhat yang meliputi segalanya.
Wejangan ke-5 Pambuka tata malige ing dalem betalmukarram;
Sajatine Ingsun anata malige sajroning betalmukarram, iku
omah enggoning lalaranganIngsun, jumeneng ana ing dhadhaning adam. Kang ana
sajroning dhadha iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning
jantung iku budi, sajroning budi iku jinem , yaiku angen-angen, sajroning
angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun.
Ora ana pangeran anging Ingsun dat kang anglimputi ing kahanan jati.
Nasehat ke-5 Pembuka tahta dalam baitul mukarramSesungguhnya
AKU bertahta dalam baitulmukarram, itu rumah tempat laranganKU, berdiri di
dalam dada adam. Yang ada di dalam dada itu hati, yang ada di antara hati itu
jantung, dalam jantung itu budi, dalam budi itu jinem, yaitu angan-2, dalam
angan-2 itu suksma, dalam suksma itu rahsa, dalam rahsa itu AKU. Tidak ada
Tuhan kecuali hanya AKU dhat yang meliputi keberadaan yang sesungguhnya.
Dalam nasehat ini Allah menyatakan bahwa diriNya bertahta di
baitul muharram yang menjadi tempat larangan, berada di dalam dada manusia.
Mungkin yang dimaksud adalah cakra jantung. Disebutkan bahwa di dalam dada
manusia itu terdapat susunan sebagai berikut :
Pertama hati (kalbu)Di antara hati terdapat jantung,
Di dalam jantung ada budi
Di dalam budi ada angan-2
Di dalam angan-2 ada suksma
Di dalam suksma ada rahsa
Di dalam rahsa ada AKU.
Di atas dikatakan bahwa jantung terdapat di antara hati.
Yang dimaksud dengan hati ini bukanlah lever atau hati secara fisik, melainkan
hati secara maknawi, karena pada diri manusia ada terdapat lebih dari satu
hati, yang menurut keilmuan ada yang namanya hati puat, hati suwedhi, dll.
Kembali di wejangan ke-5 ini ditegaskan bahwa tidak ada
Tuhan selain AKU (Allah), dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya (kahanan
jati). Mengapa itu perlu ditegaskan, karena untuk menghindari salah pengertian
bagi mereka yang telah mendapatkan wejangan ini, jangan sampai karena merasa
bahwa AKU (Allah) bertahta di kepala dan di dala manusia, lalu manusia tersebut
mengaku dirinya sebagai Tuhan, atau menjadi bagian dari Tuhan. Jika itu yang
terjadi, maka manusia tsb telah jauh tersesat.
Wejangan ke-6 Pambuka tata malige ing dalem betalmukadas;
Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmukadas, iku
omah enggoning pasucenIngsun, jumeneng ana ing kontholing adam. Kang ana
sajroning konthol iku prinsilan, kang ana ing antaraning pringsilan ikku
nutpah, yaiku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning
wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora
ana pangeran anging Ingsun dat kang anglimputi ing kahanan jati, jumeneng
sajroning Nukat Gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat,
wahdat, wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajesam, alam insan kamil,
dadining manungsa sampurna yaiku sajatining sipatIngsun.
Nasehat ke-6 Pembuka tahta dalam baitulmuqaddasSesungguhnya
AKU bertahta di dalam baitul muqaddas, itu rumah tempat kesucianKU, berdiri di
penis/alat kelamin (konthol) adam. Yang ada di dalam penis itu buah pelir
(pringsilan), di antara pelir itu nutfah yaitu mani, di dalam mani itu madi, di
dalam madi itu wadi, di dalam wadi itu manikem, di dalam manikem itu rahsa, di
dalam rahsa itu AKU. Tidak ada Tuhan kecuali AKU dhat yang meliputi keberadaan
sesungguhnya, berdiri di dalam nukat gaib, turun menjadi johar awal, di situ
keberadaan alam ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam
ajsam, alam insan kamil, jadinya manusia sempurna yaitu sejatinya sifatKU.
Nasehat ini menyatakan bahwa Urip bertahta di baitul
muqaddas atau baitul maqdis yang merupakan tempat suciNYA yang berada di alat
kelamin manusia yang tersusun atas hal-2 sebagai berikut :
Pertama pelir, yang berisi nutfah atau mani
Madi yang merupakan sari dari mani
Wadi sebagai sari dari madi
Manikem sebagai sari dari wadi
Di dalam manikem ada rahsa
Di dalam rahsa ada AKU.
Di sini disebutkan pula bahwa manusia sempurna adalah
sebagai perwujudan sifatNYA dan terbentuk melalui tujuh tahapan alam yang
dilaluinya, biasa dikenal dengan istilah martabat pitu atau martabat tujuh
yaitu
Pertama alam ahadiyah
Kedua wahdat
Ketiga wahidiyah
Keempat Ruh
Kelima misal/Tamsil
Keenam ajesam (jisim)
Ketujuh insan kamil (manusia sempurna).
Wejangan ke-7 Panetep santosaning iman;
Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan
anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusan Ingsun.
Wejangan ke-8 Sasahidan;
Ingsun anekseni ing DatIngsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran
anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusanIngsun. Iya
sejatine kang aran Allah iku badanIngsun, rasul iku rahsaNingsun, muhammad iku
cahya Ningsun. Iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling
tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan
jati, iya Ingsun kang waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun kang
amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerthi, byar
sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung
Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratIngsun.
Nasehat ke-7 Penetapan iman sentosaAKU menyaksikan bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali hanya AKU dan AKU menyaksikan sesungguhnya
muhammad itu adalah utusanKU.
Dalam nasehat ini Allah menyatakan kesaksianNya yang
ditujukan kepada makhluk ciptaanNya, bahwa tidak ada tuhan lain kecuali hanya
Dia semata, dan muhammad adalah benar-benar rasul atau utusanNya.
Nasehat ke-8 Sahadat / kesaksianAKU menyaksikan pada DhatKU
sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU, dan menyaksikan AKU
sesungguhnya muhammad itu utusanKU. Sesungguhnya yang bernama Allah itu
badanKU, rasul itu rahsaKU, muhammad itu cahayaKU. AKUlah yang hidup tidak bisa
mati, AKUlah yang ingat tidak bisa lupa, AKUlah yang kekal tidak bisa berubah
dalam keberadaan yang sesungguhnya, AKUlah waskita, tidak ada tersamar pada
sesuatu pun. AKUlah yang berkuasa berkehendak, yang kuasa bijaksana tidak
kurang dalam tindakan, terang sempurna jelas terlihat, tidak terasa apa pun,
tidak kelihatan apa pun, kecuali hanya AKU yang meliputi alam semua dengan
kuasa (kodrat)KU.
Nasehat ini merupakan penutup yang berupa sahadat atau
penyaksian. Nasehat pertama sampai dengan kedelapan merupakan satu rangkaian
yang tidak boleh diputus, sebab jika terputus maka pemahamannya akan berkurang.
Raga sebagai Abdinya Sang Hidup;
Hidup itu bersifat baru dilengkapi pancaindra sebagai barang
pinjaman bila diminta pemiliknya kembali menjadi tanah dan membusuk hancur dan
bersifat najis karena sifatnya itu Pancaindra tak dapat dipakai sebagai pedoman.
Budi, pikiran, angan-angan, kesadaran satu wujud dengan akal
bisa menjadi gila, sedih, bingung lupa tidur dan sering tak jujur ajak dengki
terhadap sesama‘tuk kebahagiaan sendiri timbulkan jahat dan sombong ke lembah
nista nodai nama dan citra:
Manusia yang hakiki
adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat
berdiri dengan sendirinya
sukma menjelma sebagai hamba
hamba menjelma pada sukma
napas sirna menuju ketiadaan
badan kembali sebagai tanah
Adanya kehidupan itu karena pribadi
ditetapkan oleh pribadi
ditetapkan oleh kehendak nyata
hidup tanpa sukma
tiada merasakan sakit atau lelah
suka duka pun musnah
berdiri sendiri menurut karsanya
hidup sesuai kehendaknya
HIDUP BAHAGIA .
HIDUP BAHAGIA YANG DIAKHIRI DENGAN MENCAPAI KASAMPURNAN JATI:
Oleh : Dr. Wahyono Raharjo GSW., MBA
Diperjelas oleh: Ki Djaka Tolos
PENDAHULUAN
Buku/Tulisan ini, isinya bukan merupakan pedoman atau
patokan mati. Artinya, siapapun yang berminat, mencapai kebahagiaan hidup
sejati di dunia ini, dan ingin kalau saatnya tiba, bisa mencapai “Kasampurnan
Jati”, lakunya tidak harus, bahkan tidak benar, kalau berpedoman atau
berpatokan pada isi buku ini (dijadikan semacam patokan, apalagi dogma).
Buku ini isinya hanya memberikan petunjuk, bagaimana
seseorang bisa berguru pada Guru Sejati-nya sendiri, yaitu Hidupnya sendiri,
atau Rokh-nya sendiri (His or Her own Soul).
Yang harus diikuti oleh tiap orang adalah petunjuk yang
paling baik dari Hidup-nya sendiri.
Hidup yang bisa memberikan petunjuk yang paling baik
(beciking becik) dan paling benar (benering bener) bagi tiap orang, secara
individual (pribadi). Karena Hidup itu yang berasal dari Maha Hidup, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Hidup yang meliputi, menggerakkan dan menguasai alam
semesta seisinya - Urip kang ngalimpudhi, ngobahake lan nguwasani jagad royo
saisine). Dan hanya Hidup, yang nantinya kembali (seharusnya) kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Hidup yang tahu, apa dan bagaimana Raganya (manusianya)
setiap saat harus berbuat, selama masih di dunia, agar senantiasa dalam keadaan
Bahagia Sejati.
Bahagia Sejati itu adalah dalam Rasa yang kita alami, yang
berubah-ubah.
Kalau kita menjalani kehidupan dan penghidupan di dunia ini
mengikuti jalannya Hidup, maka kita akan menjalani kehidupan dan penghidupan
kita dengan diliputi selalu Rasa Bahagia yang sejati.
Selain itu, “perjalanan hidup” kita, tidak akan menyimpang
dari lingkaran Hidup itu sendiri (the life cycle). Artinya, kita tidak membawa
Sang Hidup untuk menyimpang dari “perjalanan “ yang seharusnya ditempuh, yaitu
dari Tuhan, lalu berada di dunia dengan raganya, kemudian lepas dari raganya,
dan langsung bisa kembali ke asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa harus
menunggu jutaan tahun.
Tidak sedikit, manusia yang hidup sekarang ini, dijaman yang
dikatakan maju, modern, sekalipun terpenuhi segala kebutuhan materiilnya,
bahkan kebutuhan emosionalnya, tetapi kehilangan Rasa Bahagianya yang sejati.
Paling paling hanya akan merasakan senang sebentar, lalu hilang dan berusaha
senang lagi, dan seterusnya.
Tidak sedikit, keluarga keluarga yang sudah kehilangan
keharmonisan, keserasian, kebahagiaan dalam berkeluarga. Sesuatu yang
didambakan setiap orang saat ingin membangun suatu keluarga.
Semua itu, karena manusia melupakan, bahwa dalam dirinya ada
Hidup (Rokh, Soul)-nya. Tanpa Hidup, segala yang ada tidak berarti dan tidak
punya nilai lagi.
Sekalipun Manusia merasa, masih ingin, dan bahkan berusaha
melakukan hubungan dengan Tuhannya, tetapi dalam segala tindakannya, terlepas
lagi dari hubungan itu. Semua tindakannya, didasarkan hanya atas dasar
akal-pikirannya sendiri, atas dasar apa yang dianggapnya baik dan benar. Tidak mau
tahu, apa yang sebenarnya baik dan benar bagi dirinya menurut Tuhan.
Dengan menjalani laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo
Mijil, manusia akan selalu diberi petunjuk, diberi tahu, apa yang baik dan
benar untuk dilakukan dirinya, setiap saat. Yang memberi tahu, Hidupnya
sendiri, karena Hiduplah yang, bisa menangkap kehendak Tuhan setiap saat.
Buku ini, isinya adalah gambaran tentang bagaimana menjalani
laku Kasampurnan itu. Bukan untuk pedoman, bahkan bukan untuk dipercaya.
Kalau seseorang sudah menjalani, dia akan mendapatkan
pengalaman dan bukti bukti sendiri. Jadi, kalau percaya, adalah karena
mengalami, membuktikan dan merasakan sendiri.
Buku ini disusun, atas dasar seringnya Penulis “ngangsu”
(menimba) dari sumbernya, yaitu Romo Herucokro Semono. Rata rata hampir sekali
setiap seminggu, selama bertahun-tahun, selalu “sowan” (menghadap) untuk
menimba “pangerten” (pengertian) tentang Laku Kasampurnan ini. Tentu saja
ditambah pengalaman menghayati dan mengamalkan laku ini puluhan tahun dan pengalaman
dalam mengamati dan momong ribuan orang yang sama sama menghayati laku ini
(disebut “kadhang”).
Jadi, kalau ada “kadhang” yang berpendapat lain, tentu saja
wajar, dan itu merupakan hak-nya. Lebih lebih, kalau yang dikemukakan adalah
pengalaman pribadinya. Maka Penulis berusaha, menulis buku ini secara umum,
tanpa memasukkan pengalaman yang bersifat terlalu pribadi.
Demikian pula, “dawuh” dan “wulang wuruk” (“ajaran”) dari
Romo Herucokro Semono yang disampaikan di sini, yang bersifat umum. Bukan dawuh
yang bersifat untuk pribadi Penulis.
Sekalipun demikian, penulis tetap menyadari, bahwa Laku ini,
kalau ditulis semuanya, sekalipun lautan berubah jadi tinta, tidak cukup untuk
menuliskannya. (“Sanajan banyu kabeh segoro dhadhi mangsi, ora cukup kanggo
nulis kabeh dawuh”).
Bayangkan saja, dawuh dawuh Romo Herucokro Semono saja,
beliau lakukan selama 25 tahun lebih, pagi, siang, malam dari 1955 s/d 1981.
Bagaimana mungkin menuliskan seluruhnya?
Maka, penulis sama sekali tidak minta agar tulisannya ini
dipercaya, dibenarkan, apalagi dijadikan pedoman.
Penulis membuat buku ini, karena desakan banyak orang,
selama bertahun-tahun. Jadi, memenuhi keinginan orang banyak. Penulis mencoba
menggambarkan Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil yang sebenarnya
itu apa dan bagaimana menjalaninya dengan baik dan benar. Juga murni tanpa
dicampur aduk dengan laku atau ilmu lain, karena kepentingan manusianya masing
masing.
Bagi yang merasa tidak cocok dengan tulisan ini, tentunya
jangan diingat lagi, dan anggap saja tidak pernah membaca buku ini. Bagi yang
merasa cocok, silahkan kalau mau digunakan.
Penulis tidak berkeberatan kalau buku ini difoto-copy.
Tetapi jangan disalin. Takutnya, kalau salah menyalin. Di dalamnya mengandung
kata kata yang sebenarnya bersifat gaib. Kalau satu suku kata saja berubah,
bisa tidak berarti sama sekali.
Penulis berani membuat buku ini, karena ajaran (paringan dan
wulang-wuruk) Romo Herucokro Semono ini, telah resmi dipaparkan di depan semua
instansi tingkat pusat Pemerintah R.I., para cendekiawan dari berbagai
universitas, para tokoh/wakil agama agama, dan telah mendapakan Piagam. Artinya
sudah resmi boleh dihayati dan diamalkan di wilayah hukum Republik Indonesia.
Hal itu tentu saja tidak berlaku bagi para penghayat yang di
luar Indonesia (Sampai buku ini dibuat, laku ini sudah dihayati dan diamalkan
oleh ribuan orang asing, di 19 negara).
Jakarta, 1993
Penulis: Romo M. Semono Sastrohadidjojo
( Romo Herucokro Semono )
1900 – 1981
Sebelum tahun 1900, seorang isteri “padhemi” (isteri resmi),
dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa.
Itu karena desakan seorang “selir” yang sangat dicintai.
Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu.
Isteri “priyagung” itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya,
disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari.
Dewi Nawangwulan, dibuang (“dhikendangake”), dan diberikan
kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang
tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar,
Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung.
Lahir bayi yang diberi nama Semono, namun ibunya, Dewi
Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal
dunia.
Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo.
Ki Kasandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi
memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia
perlakukan sebagai “ratu” -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kasandhikromo.
Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kasandhikromo. Di
sekolahkan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono
yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal
dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu.
Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu.
Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada
bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya,
jadi malu. Maka lebih baik membolos.
Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu.
Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun
(sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh
Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka.
Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan.
Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan
terbuka.
Pemuda Semono, melihat hal itu, “Mengkorok” (Berdiri bulu
bulu di tubuhnya).
Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang
menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu?.
Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab.
Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi
bertapa.
Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut
Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini
ditulis.
Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina.
Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar
kedua rumpun bambu itu.
Semono bertapa selama 3 tahun (1914 - 1917). Hasilnya
mendapat “Cangkok Wijoyo Kusumo”. Berbentuk seperti bunga kering, berwarna
coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya.
Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat
“wangsit” (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur
nantinya akan dia temukan apa yang dia cari.
Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan
hanya bercawat dedaunan, Semono pulang dengan cara jalan malam. Jadi siang hari
sembunyi dan malam harinya jalan, karena takut akan malu kalau bertemu orang.
Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah
disediakan lubang (“luweng”), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam
(“dhipendem”), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk
bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke
dalam lubang gelagah.
Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang
marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam
di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955.
Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem
Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut,
menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi
setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta
keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono).
Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya.
Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo
Herucokro Semono.
Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa “Ingsun”
Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. “Ingsun” (bukan
aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi
manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru).
Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup,
selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup.
Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun
yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan
apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai “Kasampurnan
Jati” (moksha) pada saatnya.
Apa yang beliau berikan, akan bisa diikuti dalam bab bab
berikut.
Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku
Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani
masa pensiun sebagai Kapten Marinir.
Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko
dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman).
Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang
lebih.
Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang
menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau.
Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari
meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan
seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit
yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon
diperkenankan menjadi Putro).
Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui
berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro.
Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret
1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang
datang .
Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak
pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan
kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama.
Kalau beliau sedang memberikan petuah (“wulang-wuruk”),
setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman
mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggeris mendengar beliau
berbahasa Inggeris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa.
Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap
kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak
pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki
(kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar.
Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan,
kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri.
Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau
naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau
mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan
ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah
dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa
tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti
biasa.
Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan
orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua
pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua.
Mudah-mudahan, suatu saat penulis bisa mengumpulkan
pengalaman pengalaman para “kadhang”, yang tidak masuk akal, tetapi benar benar
terjadi, dan mujijat mujijat Romo Herucokro Semono yang mereka saksikan, dan bisa
penulis bukukan tersendiri.
Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di
Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi
meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana.
Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi
mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai
“Kasampurnan Jati” pada saatnya masing masing.
Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang,
dipelihara (“dhipepetri”) dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan,
dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang
menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi,
sifatnya universal.
M A N U S I A
Manusia, seperti kita ketahui, terdiri dari Badan (Raga) dan
Hidup (Nyawa, Rokh, Soul).
Raga manusia, dibentuk dari unsur unsur :
1.Tanah (zat zat kimia organik dan anorganik);
2.Air (kira kira 70% tubuh manusia terdiri dari air);
3.Hawa (gas);
4.Api (energy atau kalori);
Unsur unsur itu, melalui proses bio-kimia, pada Bapak
menjadi sperma (sel mani), dan pada Ibu menjadi sel telur. Pertemuan sel mani
dan sel telur, membentuk Raga.Kalau penyatuan sel mani dan sel telur itu
dimasuki Hidup, barulah akan berkembang menjadi mudigah (embriyo), menjadi
bayi, yang akhirnya dilahirkan di dunia.
Manusia itu, Raganya terdiri dari 7 (tujuh) lapis, yaitu :
1.Rambut;
2.Kulit;
3.Daging (bahasa ilmiahnya otot);
4.Otot (bahasa ilmiahnya saraf);
5.Tulang;
6.Sungsum;
7.Darah (semua cairan tubuh)
7 lapis ini, yang dalam Ketuhanan sering disebut dengan
berbagai sebutan kiasan.
Hidup, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa disebut Rokh Suci,
karena berasal dari Maha Suci. Setelah menyatu dengan Raga, disebut Hidup
(Urip), karena sudah tidak suci lagi.
Raga, bagaimanapun, sejak pembuahan, sudah tidak suci.
Karena kedua orang tua, betapapun kesadarannya akan fungsi meneruskan
keturunan, tidak akan berbuat, kalau tidak disertai nafsu. Ini yang menyebabkan
Raga, sejak asalnya sudah tidak suci. Ketidak sucian Raga, ikut mengotori Rokh
Suci.
Maka, bayi yang baru lahirpun sudah tidak suci.
Bayi yang baru lahir, tahu, kalau lapar menangis, agar
diberi makan (susu) oleh ibunya atau orang lain.
Siapa yang mengajari bayi itu?
Bayi itu diajari oleh Guru Sejatinya, yaitu Hidup.
Siapa yang harus mengakui keberadaan dan peran Hidup itu ?
Kita masing masing. Siapa diri kita itu? Tujuh Lapis Raga kita, dengan segala
kerjanya.
Marilah, 7 (tujuh) lapis raga kita, seluruhnya kita ajak
untuk mengakui keberadaan dan peranan Hidup atas diri kita. Kita ajak seluruh 7
(tujuh) lapis raga kita untuk tunduk dan menjadi abdhinya Hidup, agar setiap
saat, raga kita itu diselamatkan dari hal hal dan perbuatan yang dikemudian
hari bisa membuat kita tidak bahagia dan tidak bisa langsung kembali ke asal
kita.
Karena hidup itu Gaib, maka untuk mengenalnya memerlukan
Sarana yang bersifat Gaib pula.
Seluruhnya ada 5 (lima) sarana gaib, yang didapat Romo
Herucokro Semono dari lakunya yang 41 tahun (1914 -1955). Maka, disebut Panca
Gaib.
Sarana Gaib I, disebut K U N C I:
Ini, gunanya, untuk memberikan bukti kepada diri kita masing
masing, bahwa hidup itu memang ada dalam diri kita.
Yang dimaksud bukti, adalah bahwa diri kita masing masing,
dengan menggunakan “Kunci” itu, tidak hanya percaya bahwa dalam diri kita ada
Hidup, tetapi membuktikan, merasakan sendiri.
Dan kalau “Kunci” itu dihayati sungguh sungguh, diri kita
masing masing akan diberi bukti tidak hanya tentang keberadaan Hidup, tetapi
juga bagaimana bekerja dan kuasanya Hidup itu, atas kehidupan dan penghidupan
kita sehari-hari.
Mohon perhatian :
Jangan tergesa-gesa. Pertimbangkan, renungkan dulu masak
masak.
Benarkah kita memang ingin hidup Bahagia Sejati (Tentram),
agar bisa selanjutya mencapai kasampurnan jati ?
Kalau kita tidak yakin, bahwa segala sesuatu itu Tuhan yang
menentukan, dan yang terbaik itu apabila sesuai dengan kehendak Tuhan atas diri
kita, maka seyogyanya jangan dulu mengenal Hidup, apalagi menggunakan Kunci
Hidup itu.
Kalau kita yakin bahwa Tuhan yang menentukan segalanya, dan
yang terbaik bagi diri kita adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bolehlah
dilanjutkan.
Kalau belum yakin, bukannya tidak boleh, tetapi nantinya
pasti akan dan ditinggalkan lagi, kehendak dan jalannya Hidup, yang sebenarnya
merupakan kehendak dan jalan yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.
“ KUNCI “
Dalam menjalani Laku selama 41 tahun, Romo Semono
menghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk melengkapkan “Kunci” saja.
Tiap saat beliau hanya dapat satu huruf. Beberapa saat lagi,
baru satu huruf lagi. 25 tahun baru huruf huruf yang beliau dapat itu lengkap,
menjadi “Kunci”.
Jadi, “Kunci” itu bukan merupakan buah hasil pikiran Romo
Semono.
Maka, kalau satu suku kata saja berubah, sudah bukan “Kunci”
Hidup lagi, dan tidak akan ada gunanya.
Oleh karena itu, sampai saat ini, semua yang menghayati Laku
Kasampurnan ini, apapun suku, bangsa dan bahasanya, dalam menggunakan Panca
Gaib, diantaranya “Kunci”, harus tepat seperti apa adanya.
Tidak perlu, artinya tidak ada gunanya, kata kata dalam
“Kunci” diartikan. Hal ini justru hanya akan mempersulit dan menghambat
penghayatan kita. Apalagi diterjemahkan.
“Kunci” itu berupa kata kata, hanya disebabkan karena Romo
Semono yang menerima, diwajibkan meneruskan kepada sesama manusia, yang
menghendaki.
Sebenarnya “Kunci” itu Gaib. Kalau tanpa disertai kata kata
kita tidak mampu menerimanya.
Tidak perlu dipikirkan arti dari kata-katanya.
Romo Herucokro Semono sendiri pernah menegaskan :
“ Kunci iku dhudhu unine, dhudu unen-unene, nanging kang
mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang
menyebabkan adanya bunyi).
Bahkan Romo Herucokro Semono pernah pula menyatakan :
“Upomo Kunci iku kudhu kaparingake marang wedus, mbokmenowo
unine embek.” (Seandainya Kunci itu harus diberikan kepada kambing, barangkali
bunyinya embek).
Kata-kata “Kunci” :
Gusti ingkang Moho Suci,
Kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti ingkang Moho Suci;
Sirolah, Datolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito,
nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso,
kangge tumindhake satriyo/wanito sejati;
Kulo nyuwun, kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.
Catatan :
Agar tidak terjadi salah faham :
Kata kata Sirolah, Dhatolah, Sipatolah, olah-nya dari kata
seperti olah - olah, olah - rogo, dan semacamnya yang artinya “obah” atau
gerak.
“Anyirnakake tumindhak ingkang luput”, maksudnya “lupute
dewe”, salah pada diri sendiri.
Ada yang menggunakan :
“hanyirnakake”,
Boleh saja, silahkan dicoba, mana yang dirasakan lebih
pas/cocok, bagi dirinya masing masing.
Lain-lainnya, satu suku kata saja, tidak boleh berubah.
Bahkan orang orang asing, lafalnyapun harus benar.
Tidak boleh di sini, artinya, kalau berubah, tidak ada
gunanya sama sekali, karena sudah bukan “Kunci” lagi.
Kata “satriyo” digunakan oleh Pria dan kata “wanito”
digunakan oleh Wanita.
Menggunakan “KUNCI”
Sering digunakan istilah “salah kaprah”, Membaca Kunci (Moco
Kunci). Maksudnya bukan membaca dalam arti harfiah (leterlijk).
A. Dihafalkan dulu, kata-katanya, sampai hafal betul dan
betul pula lafalnya.
B. Kalau sudah hafal, lakukan sebagai berikut :
1.Duduk sesantai mungkin, sampai seluruh otot terasa lemas,
lepas, napas sudah teratur, tidak memikirkan bernafas lagi.
2.Niat untuk menggunakan “Kunci”
3.Kedua mata terpejam rapat.
4.Tunggu sampai kedua lengan dan tangan bergerak sendiri,
bersikap menyembah (patrap Kunci) - lihat gambar 1.
5.Ucapkan dalam Rasa, kata kata “Kunci”
Selanjutnya, apapun yang dirasakan, termasuk kalau lengan
dan tangan bergerak sendiri, ikuti saja. Tidak perlu takut sama sekali. Tidak
akan terjadi apapun, yang tidak baik.
Semua itu merupakan tanda, merupakan bukti, bahwa hidup itu
benar benar ada dalam diri kita dan bisa kita rasakan sendiri, kita buktikan
sendiri keberadaannya.
Latihlah terus, di saat saat senggang. Lama lama kita akan
hafal betul, bagaimana rasanya, kalau kita menggunakan “Kunci” Hidup itu.
Kapan menggunakan “KUNCI”
“Tangi turu gregah Kunci, arep turu Kunci, ono opo-opo
Kunci, ora ono opo-opo Kunci” (Bangun tidur segera Kunci, mau tidur Kunci, ada
apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci).
Jadi, yang wajib dilakukan adalah begitu bangun tidur,
sebelum berbuat apapun, Kunci, dan saat mau tidur, Kunci.
Bangun tidur Kunci, maksudnya, agar sepanjang hari, kita
dilindungi oleh Hidup. Dilindungi oleh Hidup, maksudnya agar kita dihindarkan
dari berbuat salah, juga perbuatan salah terhadap diri kita, dihindarkan oleh
Hidup.
Contoh : 1
Dalam rangka Penulis momong kadhang-kadhangnya selama
bertahun-tahun, kalau ada kadhang kecopetan, pasti karena lupa Kunci. Belum
pernah Penulis alami, ada kadhang yang tidak lupa Kunci, kecopetan di jalan.
Mau tidur Kunci. Maksudnya, agar sekalipun kita tidur, jadi
raga sudah tidak ingat apa apa dan tidak bisa apa apa, Hidup selalu menjaga.
Contoh : 2
Tidak sedikit kadhang yang mengalami, kalau ada sesuatu,
sekalipun tertidur pulas, serasa ada yang membangunkan. Dan kemudian ternyata,
bangunnya itu memang berguna.
PENGHAYATANNYA:
Sesudah kita menggunakan “Kunci”, sebenarnya 7 (tujuh) lapis
raga kita, jadi kita manusianya, menyembah kepada Hidup. Kita berjanji, akan
menjadi Abdinya Hidup. Sembah kita kepada Hidup, akan diteruskan kepada Hidup
yang menghidupi alam semesta seisinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita memulai suatu penghayatan, yang sekaligus
Pengalaman suatu laku, yaitu yang disebut Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan
Sarwo Mijil, atau secara umum juga dikenal sebagai Penghayatan Kapribaden.
Agar tidak salah faham, laku ini adalah sebagai berikut :
Bisa dijalani (dihayati dan diamalkan) atau “dhilakoni” oleh
anak umur 3 tahun. Asal sudah bisa menghafal “Kunci”, sudah bisa menghayati dan
mengamalkan laku ini.
Bahkan Sarana Gaib ini, sudah bisa diberikan kepada bayi
yang baru lahir. Penghayatan ini, tidak mengenal keharusan “tirakat”,
“melekan”, berpuasa “ngebleng”, “kumkum” (berendam di air), meditasi dan
sebagainya.
Inti Penghayatannya adalah :
Selalu tidak lupa kepada Hidup lalu selalu minta prtunjuk
Hidup sebelum melakukan apapun dan mengikuti segala petunjuk Hidup, sekalipun
bertentangan dengan keinginan dan kehendak kita semula.
Karena Guru Sejatinya Hidup kita sendiri, maka Guru Sejati
itu yang paling tahu atas diri kita, dan Guru Sejati itu yang tahu apa
sebenarnya kehendak Tuhan atas diri kita, dan bagaimana seharusnya melaksanakan
semua itu. Guru Sejati itu akan selalu menyesuaikan dengan keadaan kita, kalau
kita masih umur sekolah Taman Kanak kanak, maka Guru Sejati itu akan jadi Guru
Taman Kanak kanak. Bagi yang sudah dewasa, Guru Sejati akan jadi Dosen atau
maha Guru-nya.
Guru Sejati, dalam memberikan tuntunan berupa petunjuk
kepada kita, sesuai dengan nasib yang kita alami, kita jalani dan kita hadapi
serta kita kerjakan masing masing.
Maka, tidak ada 2 orang yang petunjuknya Hidup sama. Cap
jari 2 orang Saudara kembarpun, tidak sama.
Laku kita sama, yaitu sama sama mengikuti Hidup, tetapi
Lakon kita berbeda satu sama lain.
Petunjuk Hidup, diberikan sesuai lakonnya masing masing,
tetapi intinya sama, yaitu agar tidak menyimpang dari jalan yang dikehendaki
Tuhan atas diri kita masing masing.
Penghayatan ini, sedikitpun tidak menyuruh orang
meninggalkan hal hal yang bersifat duniawi. Jadi, dalam menjalani kehidupan dan
penghidupan, malahan harus wajar, harus biasa saja.
Kesenangan duniawipun, boleh dirasakan, dinikmati. Tetapi
kita akan selalu dituntun, kesenangan yang bagaimana yang tepat untuk diri
kita. Jadi kita terhindar dari menikmati kesenangan, yang kemudian berakibat
kesedihan atau kesengsaraan.
Yang memang ditakdirkan harus kaya, juga boleh, tetapi akan
selalu dituntun, agar kekayaan yang didapat sekarang ini, tidak mencelakakan
atau menyengsarakan di kemudian hari. Termasuk tidak akan mencelakakan atau
menyengsarakan anak cucu.
Memiliki kekuasaan (tentu saja sementara), juga boleh. Akan
dituntun, agar jangan salah menggunakan kekuasaan itu. Sehingga hasilnya akan
lebih kekal, karena sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Yang ingin cukup, juga boleh, artinya selalu ter-cukup-i,
segala yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan.
Semua itu, bukan kita yang menentukan, tetapi setelah kita
terima, kita tidak akan berjalan salah-arah, dengan apa yang ada pada diri
kita.
Kepandaian, kemampuan, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain
yang ada pada diri kita, akan selalu digunakan oleh Hidup, dengan perantaraan
diri kita, untuk hal hal yang dikehendaki Pemilik dari semua itu, yaitu Tuhan
sendiri.
Hidup itu sama, sebenarnya Satu, (Urip iku podo, sejatine
Siji).
Maka, kalau Penghayatan ini, dihayati dan diamalkan
(“dhilakoni”) oleh seluruh anggota keluarga, kita akan merasakan hasilnya.
Rasa anggota keluarga yang satu selalu berhubungan dengan
rasa anggota keluarga yang lain. Sambung rasa setiap saat.
Karena itu, keluarga akan selalu dalam suatu kesatuan yang
kokoh-erat, harmonis, penuh diliputi Rasa Bahagia yang sejati.
Manusia, terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Manusia
terbatas kemampuan akal-pikirannya.
Hidup tidak mengenal keterbatasan keterbatasan itu. Hidup
bisa melakukan, mengatur apa saja, yang akal manusia tidak sampai, dan bahkan
menurut akal manusia dikatakan tidak mungkin.
Manusia menyebut mujijat, atas kejadian kejadian yang
akalnya tidak sampai. Bagi Hidup, tidak ada mujijat.
Para Penghayat Kapribaden telah banyak membuktikan, sesuai
lakonnya masing masing, terjadinya hal hal yang tidak masuk akal, tetapi benar
benar terjadi. Dan semuanya pasti baik dan benar, serta membuat tentram
(bahagia) si Penghayat.
Pembuktian pembuktian (“paseksen”) itu, diberikan oleh
Hidup, agar Manusianya, makin lama makin yakin akan kuasanya Hidup.
Kelanjutannya....
Bagaimana?
Apakah setelah membaca uraian di depan itu, masih ingin dan
masih berniat untuk menjalani Laku ini, dengan tujuan Hidup tenteram (Bahagia)
di dunia dan akhirnya bisa Manunggal dengan Yang Maha Suci ?
Pertimbangkan dulu masak masak.
Di dunia ini, ditawarkan ribuan macam cara dan jalan bagi
manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan.
Termasuk diantaranya, faham yang mengatakan, hidup di dunia
cuma sekali. Raih kesenangan dan kenikmatan sebanyak-banyaknya, masa bodoh
nantinya.
Laku ini, tidak menakut-nakuti orang, agar orang mau begini
atau begitu. Juga tidak menjanjikan sesuatu (“ngiming-iming”) agar orang
melakukan ini dan itu. Apapun yang dikerjakan Penghayatnya, adalah atas
kehendak dirinya sendiri (dalam arti Hidup-nya), dan akan dirasakan, dibuktikan
sendiri sendiri, hasilnya.Yang tekun menjalaninya (artinya selalu patuh pada
Hidup), tentu saja banyak bukti didapatnya banyak manfaat dirasakannya.
Sebaliknya, yang setengah setengah, juga setengah setengah pula hasil yang
didapatnya. Hidup itu adil. Manusia, bagaimanapun bijaksananya, tidak ada yang
adil dalam arti sebenarnya.
Yang menyimpangpun (menyalahi kehendak Hidup), juga tidak
menunggu kelak, segera merasakan buktinya (akibatnya), Ini diterima sebagai
petunjuk pula. Hanya dalam bentuk kebalikan, agar kita tidak mengulanginya.
Kalau selama menggunakan “Kunci”, belum betul betul
mendapatkan pengalaman, pembuktian, bahwa Hidup telah menuntun dan melindungi
kita, jangan dulu tergesa-gesa, minta diberikan kelanjutannya.
Tekuni dulu, menggunakan “Kunci”, biarkan hidup memberikan
bukti kemampuannya mengatur, menuntun dan melindungi, sampai kita benar benar
yakin. Kalau semua itu sudah terjadi, itu baru “satu arah”. Artinya dari Hidup
ke Kita manusianya. belum bisa dari Kita manusianya ke Hidup, komunikasinya.
Jadi, baru komunikasi satu arah. Hidup ke Raga (manusianya). Raga (manusianya)
ke Hidup, belum bisa.
Bagaimana?
Apakah sudah mantap mau melanjutkan?
Sudah? Baik. Silahkan.
“A S M O” - Sarana Gaib II
Pada waktu kita lahir, orang tua kita hanya melihat bayi
yang lahir itu, yang tampak oleh panca Indera. Jadi, yang diberi nama (asmo),
hanya raganya bayi. Padahal, bayi yang lahir terdiri dari Raga dan Hidup di
dalamnya. Maka, wajar kalau yang dikembangkan selanjutnya, hanya Raganya.
Kalau ingin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Hidup,
maka Hidup itu terlebih dulu, harus diberi “Asmo”.
Dalam hal ini, jangan diterjemahkan dengan Nama, Aran atau
jeneng dan semacamnya.
“Asmo”, diberikan, hanya kepada mereka yang sungguh sungguh
sudah membuktikan dayanya Hidup lewat “Kunci” dan sudah yakin benar akan
kuasanya Hidup. Kemudian bertekad untuk bisa mengikuti segala kehendak
(karsanya )-nya Hidup.
Benar ? Sekali lagi. Benarkah anda sudah siap dan bertekad
mau menjalani kehidupan dan penghidupan anda, dengan selalu mengikuti, menuruti
karsanya Hidup?.
Sekali lagi, anda renungkan dan pertimbangkan masak masak.
Sebab, kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo”, berarti anda sudah sepenuhnya
menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat
Kapribaden).
Kalau anda mengingkari Hidup, anda akan ditagih oleh Hidup
anda sendiri. Sekalipun tak seorangpun tahu.
Dalam Penghayatan ini, tidak ada Guru-Murid. Tidak ada yang
Menuntun dan Dituntun.
Kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo” , dalam menjalani laku,
anda sepenuhnya berdiri sendiri (mandiri, mandireng pribadi). Guru anda adalah
Hidup anda sendiri, Penuntun anda adalah Hidup anda sendiri. Yang jadi murid
adalah anda sendiri, yang dituntun adalah anda sendiri juga.
Bagaimana ? Siap ? Tidak ragu ragu lagi?
Kalau memang benar benar siap :
Mintalah “Asmo”-nya Hidup anda kepada Kadhang, yang memang
sudah diperkenankan memberikan “Asmo”.
Setiap Penghayat, boleh, memberikan “Kunci” Hidup. Tetapi
tidak setiap Penghayat diperkenankan memberikan “Asmo”-nya Hidup.
Boleh-tidaknya seseorang memberikan “Asmo”, ditentukan,
diijinkan oleh Hidup itu sendiri, karena laku yang bersangkutan. Bukan
diijinkan oleh seseorang.
Kalau dipaksakan, seseorang memberikan “Asmo”, padahal belum
diperkenankan, maka tidak akan ada gunanya “Asmo” yang diberikan itu. Yang
diberi, tidak bisa menggunakannya.
Semoga Bermanfa’an untuk perenungan diri dan Hidup serta
kehidupan.... Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah selalu _/\_
Ttd: Wong Edan Bagu – Ki Djaka Tolos
Karanggambas Purbalingga Jumat tgl 28-03-2014.