DALAM perbendaharan pitutur di Jawa, ada ungkapan berbunyi, Durung
turu yen durung tangi, durung napak lemah yen durung ngrasakake esuk, awan,
sore, lan bengi. Terjemahan bebasnya, belum tidur kalau belum bangun, belum
menapak ke tanah kalau belum merasakan pagi, siang, sore, dan malam. Ada lagi
begini: tangeh tangi dibisiki, mokal obah diiming-imingi. Artinya, mustahil
bangun dengan bisikan, mustahil bergerak diberi sesuatu yang menarik. Dan satu
lagi: turua kaya turuning tetuwuhan, tangiya kaya angga-angga katekan mangsa
ing pabaratan. Artinya, tidurlah seperti tidurnya tumbuh-tumbuhan, bangunlah
seperti laba-laba kedatangan mangsa (makanan) di dalam pertempuran; di sini
kehidupan laba-laba (yang setiap hari hanya menunggu di sarangnya) diibaratkan
sebagai pertempuran panjang dalam mencari rezeki dan menjalani kehidupan.
Dalam lakon Ramayana ada kisah menarik mengenai kasus tangi
(bangun) yang khas, manusiawi, dan dapat jadi tepa palupi. Yang paling tragis,
agaknya yang dialami Kumbakarana. Adinda Prabu Rahwana ini meskipun berwujud
raksasa namun hatinya baik, dan tidak menyetujui polah-tingkah sang kakak yang
ugal-ugalan sampai mencuri istri orang segala.
Sejak Rahwana menculik Dewi Sinta, Kumbakarna dan Gunawan
Wibisana telah mengingatkan. Mbok sudah, Sinta dikembalikan saja kepada
Ramawijaya. Toh, selir Rahwana juga banyak. Apa Alengkadiraja kurang perempuan
cantik yang layak jadi permaisuri? Bagaimana kalau Ramawijaya nglurug ke
Alengka? Apakah tidak akan terjadi ontran-ontran serta banjir darah yang
mengerikan? Apalagi Sri Rama titisan Wisnu. Di belakangnya pun ada Prabu
Sugriwa dengan pasukan keranya yang segelar sepapan dengan senapati-senapati
sakti pilih tandhing. Seperti Hanoman, Anila, Jembawan, dan lain-lain.
Namun, ibarat orang turu kepati (tidur nyenyak seperti orang
mati) dan tengah mimpi indah, Rahwana bergeming dibisiki dan diming-imingi
kebenaran oleh adik-adiknya. Dia pun nekat, hambeguguk nguthawaton. Meskipun
Ramawijaya dan balatentara kera dari Pancawati melabrak Alengkadiraja bagaikan
air bah, Rahwana tetap mempertahankan Sang Dewi gegantilaning ati. Padahal,
terang-terangan Gunawan Wibisana telah menyeberang menjadi pandherek Rama untuk
menghancurkan kezaliman sang kakak. Dia memilih bangun dengan mata terbuka
(dalam arti hidup dalam kesadaran penuh/tahu mana benar dan salah) walaupun
harus berhadapan dengan saudara sendiri dalam peperangan yang menentukan mukti
mati seseorang.
Ini beda dari Kumbakarna. Begitu perang berkecamuk, dia
memilih tidur. Ambil pusing apa pun yang terjadi. Perang rebutan Dewi Sinta
bukan urusannya. Apalagi dia pun merasa tidak bermusuhan dengan Prabu Rama.
Tetapi, nasib menentukan lain. Setelah Rahwana keseser dan mulai kehabisan
senapati, dia memerintahkan Indrajid membangunkan sang paman. Di samping itu
para abdi pun diperintahkan pula menyiapkan hidangan makan yang lezat dan
menjadi kareman Kumbakarna. Ternyata, membangunkan Kumbakarna luar biasa
sulitnya. Ia baru dapat disadarkan setelah dicabut wulu-cumbu di jempol
kakinya. Setelah bangun, Kumbalarna segera dipersilahkan menyantap hidangan
yang tersedia. Dan karena tidurnya memang cukup lama, ia menyerbu hidangan
tersebut karena rasa lapar yang tak tertahankan lagi.
Selesai makan, Rahwana pun datang. Di meja makan itu pula ia
nantang Kumbakarna yang telah dihadiahi makanan terlezat di Alengkadiraja.
Kemudian diceritakan pula bagaimana situasi negara yang tengah mengalami perang
besar melawan Prabu Rama. Pendek kata, Rahwana menghujat, menyindir, memojokkan
Kumbakarna. Mana balas budi baiknya kepada saudara setelah diberi kamukten
selama ini? Masa, saudara punya masalah enak-enak tidur? Apa mau seperti
Gunawan Wibisana yang menurut Rahwana jadi pengkhianat itu?
Kumbakarna legeg. Tidur salah, bangun salah. Sejenak ia
termangu, menanggagapi kejadian ini. Konon, saat itulah dia menemukan
kesadarannya yang kedua. Meskipun telah menyantap hidangan lezat sampai
kenyang, ternyata dirinya baru nglilir. Belum benar-benar bangun dan kembali
sebagai Kumbakarna asli. Belum kembali menapakkan kaki, mengarungi pagi, siang,
sore, dan malam hari. Maka, setelah menata hati, memusatkan pikiran dan akal budi,
Kumbakarna berkata. Kaka Prabu, yen aku madeg senapati Ngalengka, babarpisan
aku ora mbelani Kaka Prabu. Nanging, aku mbelani tanah wutah getihku saka
mungsuh kang teka. Embuh mungsuh mau sapa. Aku ora perduli. Saiki uga aku
pamit...
Akhirnya, Kumbakarna gugur di palagan. Ikut labuh geni jadi
bebanten sebagai satria tama. Dibanding Gunawan Wibisana, mungkin Kumbakarna
terhitung krinan (terlambat bangun). Tetapi, sumangga dipenggalih kanthi wening
lan premati. Gunawan Wibisana sengaja bangun membela kebenaran dan melawan
keangkaramurkaaan. Adapun Kumbakarna bangun dan berani mati membela negara dan
harga diri pribadi. Memang, tangeh lamun nangekake wong turu kepati yen mung
dibisiki utawa diiming-imingi.
Gumregah Tanpa Digugah;
HARUSKAH selalu dibutuhkan seorang Arjuna agar Prabu Kresna
bangkit dari tapa sare-nya? Haruskah disediakan bejibun makanan buat Kumbakarna
agar ksatria-raksasa itu bangkit dari tidur panjangnya? Tidak adakah kekuatan
dari dalam diri sendiri yang yang bisa membuat tangi-gumregah? Ataukah gumregah
itu sebenarnya perkara alamiah yang niscaya datang lantaran ketundukannya pada
hukum cakra manggilingan?
Ketika Kerajaan Alengka terancam oleh serbuan pasukan Rama
dan sekutunya, Kumbakarna justru terlelap dalam tidur panjangnya. Konon, sekali
tidur ksatria Pangleburgangsa itu membutuhkan waktu tak kurang dari enam bulan.
Rahwana pun memerintah pasukannya untuk membangunkan sang
adik. Berbagai cara telah ditempuh agar raksasa-ksatria itu bangkit dari
lelapnya. Namun tetap saja Kumbakarna bergeming.
Upaya baru berhasil ketika utusan Rahwana membangunkan
Kumbakarna dengan menggiring gajah agar menginjak-injak serta menusuk badan
raksasa-ksatria itu dengan tombak, kemudian saat Kumbakarna membuka mata,
segera didekatkan makanan ke hidung. Setelah menyantap makanan yang
dihidangkan, Kumbakarna benar-benar terbangun dari tidurnya.
Dalam sebuah versi cerita disebutkan bahwa tidur Kumbakarna
tak lepas dari anugerah yang diberikan oleh dewata. Ketika Kumbakrana dan
Rahwana bertapa, Dewa Brahma berkenan atas pemujaan kakak-adik itu.
Brahma membuka pintu anugerah kepada keduanya. Ketika
giliran Kumbakarna mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulut
Kumbakarna untuk membengkokkan lidah sang ksatria. Keseleo lidah pun terjadi.
Saat Kumbakarna memohon Indrasan yang berarti takhta Dewa Indra, yang terucap
justru Nindrasan yang berarti tidur abadi. Brahma pun â€mengabulkan†permohonan itu.
Namun demi rasa sayang terhadap sang adik, Rahwana
mengajukan banding kepada Brahma. Sekalipun tak bisa membatalkananugerah tersebut, Brahma akhirnyamemberikan keringanan, yakni Kumbakarna tidur selama enam
bulan dan bangun selama enam bulan.
Setelah bangun, Kumbakarna menghadap Rahwana. Ia mencoba
menasihati Rahwana agar mengembalikan Sita dan menjelaskan bahwa tindakan yang
dilakukan kakaknya itu salah. Namun ujung-ujungnya Kumbakarna berangkat ke
medan pertempuran meski dengan alasan yang berbeda sama sekali dari motif
Rahwana berperang.
Tidur untuk Mendengar;
Dalam tafsir yang lain, tidur Kumbakarna adalah tidur untuk
melakukan pengendapan, pembatinan, atau refleksi, justru di tengah-tengah
situasi yang sedang riuh rendah. Tidurnya Kumbakarna adalah tidurnya kawula.
Sementara penguasa menyimpang, kawula yang kelihatan tidur itu sebenarnya
sedang mendengarkan. Maka, begitu bangun, ia tidak perlu memulai dari nol lagi,
tetapi justru sudah paham benar terhadap situasi yang tengah berkembang. Karena
itu, jangan sekali-sekali menganggap enteng rakyat yang (kelihatan) sedang
tidur!
Tidur panjang dan kemudian bangkitnya Kumbakarna merupakan
suatu pepeling. Pepenget bagi kekuatan dan ketamakan yang berjenis Rahwana.
Siapa saja yang bersanding dengan penguasa memang tak bisa memaksakan diri
untuk mendapatkan takhta. Dia mesti rela â€tidur†lama.
Namun bersanding dengan kekuasaan yang tamak dan
sewenang-wenang, yang hendak ngemperi jagad, kekuatan manusia akan bangun juga.
Perut yang lapar akan membangkitkannya. Dengan telinga, sekalipun tidur,
Kumbakarna mendengarkan suara nelangsa yang tertindas kekuasaan
sewenang-wenang.
Orang bisa melakukan apa saja dengan perut lapar, tapi tetap
tak bisa tidur dengan perut keroncongan. Begitu pula Kumbakarna. Bila lapar
perutnya, raksasa bernama rakyat akan bangun. Bila lapar perutnya, raksasa
bernama rakyat bisa â€makanâ€
apa saja sekaligus bertindak di luar batas akal waras!
Ketika Kumbakarna bangun, dia menunjukkan sejenis ekspresi
yang tampak paradoksal. Sebuah kegeraman sekaligus tangisan. Geram demi
mendapati tanah wutah getih yang mesti dibela sampai titik darah penghabisan
diduduki pihak lain, namun sedih karena tanah air itu justru menjadi medan
berbiaknya tindak penguasa yang sewenang-wenang.
Karena itu, gumregah-nya bukan semata karena alasan fisik
belaka, bukan karena rangsangan dari dalam saja, melainkan pula karena hadirnya
tantangan dari luar. Ancaman dari luar yang bisa menistakan sesanti â€sedumuk bathuk senyari bumiâ€-lah
yang mampu membangkitkan siapa pun yang terlelap.
Bukankah sejarah pergerakan bangsa kita juga, yang
melahirkan tonggak kebangkitan nasional, kentara sekali karena adanya lawan
dari yang diidentifikasi sebagai yang liyan. Di bawah tekanan kekuasaan
Belanda, bergulirlah proses kebangkitan (yang pada mulanya masih bersifat)
Jawa. Soetomo, yang tak lepas dari pengaruh Wahidin Soedirohoesodo yang
merupakan representatif golongan tua, mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908
di salah satu ruang belajar STOVIA.
Meskipun demikian, kesanggupan untuk gumregah, lebih-lebih
untuk menggapai kemenangan, perlu senantiasa diupayakan. Lagi pula, bukankah
kemenangan bukan ditentukan oleh kekuatan lahir semata. Namun tak jarang
kemenangan justru datang karena tekad yang sudah gumregah untuk mengubah yang
semula sekadar impen menjadi kasunyatan.
Memang, dalam pandangan fatalistis, yang cenderung
melahirkan sikap pasif pasrah-sumarah, bisa saja dimengerti bahwa segala
sesuatu akan berjalan sesuai dengan laju cakra manggilingan. Dianggaplah bahwa
segala hal itu sudah ada waktunya sendiri sehingga tidak perlu nggege mangsa.
Selain itu, segala sesuatu itu juga terjadi tak lepas dari hukum sebab akibat,
sehingga kalau sudah waktunya bangkit, pasti akan gumregah juga.
Justru karena tanpa menafikan â€hukum-hukum†itu, setiap orang pada dirinya semestinya sudah menyatu
jiwa Arjuna sekaligus Kresna. Ketika Arjuna nglumpruk pindha kapuk tatkala
hendak maju ke medan Kurusetra, Kresna yang hadir untuk membangkitkannya. Namun
pada kesempatan lain, tatkala Kresna lelap dalam tapa tidurnya, Arjunalah yang
berhasil membuat Wisnu ngejawantah itu gugah. Itulah loroning atunggal yang
bisa menjadi rujukan, kapan mesti lelap, kapan mesti mendengarkan serta kapan harus
bangkit tumandang gawe. . ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti
Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar