SANAJAN mung sadumuk yen bathuk, senajan mung senyari yen
bumi, iku kawawas barang kang pengaji banget. Bathuk sing ana sirah iku lambang
kaurmatan, martabat, lan harga diri. Dene bumi, sanajan paribasane mung
sanyari, ing negara agraris pengaji banget. Menawa ana wong sing ngina utawa
ngasorake harga dirine utawa ngrebut bumi utawa palemahane, kudu diadhepi lan
dilawan. Harga dhiri lan hak milik tumrap palemahan iku kudu dikukuhi, kudu
dipertahankan dengan mati-matian. Bebasan perlu dibelani kanthi pecahing dhadha
lan wutahing ludira.
Akeh pradondi utawa sengketa atas tanah. Sengketa mau asring
nuwuhake padudon lan ontran-ontran. Senajan perkarane wis diputus ing
pengadilan, eksekusi ora bisa katindakake amarga anane perlawanan saka pihak
sing rumangsa duwe hak tumrap lahan mau.
Tanah utawa lahan iku, luwih-luwih ing kutha, saya suwe saya
larang regane, awit bumine ora tambah amba dene penghunine saya akeh. Sengketa
lahan mau ora mung ing antarane wong siji lan sijine, nanging uga antarane
bebadan siji lan sijine, malah ing antarane negara siji lan sijine.
Ing crita wayang ana lakon ”Kikis Tunggarana”, yaiku rebutan
alas Tunggarana ing antarane Pringgadani lan Trajutrisna, ing antarane negarane
Gatutkaca lan Boma Narakasura. Rebutan wilayah iku nuwuhake peperangan ing
antarane Pringgadani lan Trajutrisna. Perang Bratayuda underane ya rebutan
negara. Negara Ngastina warisane Prabu Pandu Dewanata dititipake marang
sedulure, yaiku Destarasta. Destarasta nglintirake negara mau marang putrane
Duryudana. Bebasan ngemut legining gula, Duryudana sasedulur ora nglilakake
menawa Ngastina dijaluk bali dening Pendhawa. Mula banjur ana perang gedhe sing
jenenge perang Bratayuda Jayabinangun.
Bangsa Indonesia uga berjuwang mati-matian nalika ngrebut
bali Irian Barat, Irian Jaya utawa Papua. Bangsa Indonesia rumangsa gela lan
susah nalika pulau-pulau Simpadan lan Ligidan uwal saka laladan Indonesia lan
dadi hake negara jiran Malaysia. Mula nalika Pulau Ambalat diirik-iriki
Malaysia, akeh pemuda kang kanthi jiwa patriotisme kang makantar-kantar siap
dikirim menyang wilayah perbatasan minangka sukarelawan.
Indonesia iku nduweni garis batas wilayah kang dawa banget.
Akeh wilayah sing rentan penyelundupan lan rawan pencurian ikan. Indonesia
mandhang kerugian sing gedhe marga perairane dijarah dening maling-maling iwak.
Sarana lan prasarana kanggo njaga wutuhing wilayah, kanggo nanggulangi
penyelundupan lan pencurian ikan, minim banget. Supaya kedaulatan teritorial
Indonesia iku diurmati dening negara liya, perlu anane angkatan laut sing kuwat
kanthi sarana lan prasarana sing nyukupi. Negara utawa pihak-pihak kang
nglanggar kedaulatan wilayah Indonesia kudu nampa piwales utawa dipatrapi
paukuman. Sanajan mung sadumuk yen bathuk, senajan mung sanyari yen bumi, perlu
dibelani nganti pecahing dhadha lan wutahing ludira. ... He he he . . . Edan
Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... Semoga
Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Masih Ada Adiling Pengeran!
SETAHUN silam ketika masih sugeng, tatkala menerima gelar
doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penyair WS Rendra
mengatakan, ”Untuk keluar dari kalatidha dan kalabendu, bukan ratu adil yang
dibutuhkan, melainkan hukum yang adil.” Tapi itu saja pun belum cukup, ketika
hukum justru berada di tangan penghukum yang tidak ingkar pada keadilan.
Lantas, di mana lagi pengadil sejati bisa dicari?
Terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang
menimpanya, ora bisa bilang, ”Trimaa sing nglakoni ora bakal trima sing
momong.” Artinya, kalaulah yang menjalani bisa menerima, pastilah yang
”mengasuh” tak akan bisa menerimanya. Siapakah sing momong itu?
Tak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini, sekalipun jika
dilacak secara hierarkis, pastilah Sang Adrikodrati yang menjadi puncak dari
segala jawaban. Gusti Allahlah yang mahaadil, juga yang maha memiliki keadilan
itu sendiri.
Di satu sisi, ungkapan tersebut mencerminkan kepasrahan,
jika tak boleh dikatakan sebagai wujud keputusasaan lantaran ketidakmampuan
untuk mengatasi kekuatan yang lebih besar. Namun di sisi lain, terbersit
harapan bahwa pastilah ada kekuatan yang masih bisa diharapkan untuk
menampakkan kedigdayaannya guna menegakkan keadilan. Keadilan pasti akan
datang, hanya ia muncul dari mana serta mewujud dalam rupa apa, itulah yang
belum jelas benar.
Apakah sikap pasrah sumarah seraya berharap campur tangan
sing momong merupakan sikap yang paling jamak? Hanya itukah muara kebuntuan
tatkala tata hukum yang semestinya berpihak pada keadilan dan berjalan di
tangan pengadil yang paramarta justru menyeleweng? Tidak!
Bukan dalam sikap pasiflah keadilan dan pengadilan ”lain”
itu akan
hadir. Ia harus diikhtiarkan, ia harus ditebus dengan
semacam laku nyata. Bukan dengan menyepi di keheningan hutan dan gua, bukan
pula dengan mengurung diri dalam rumah seraya mati geni atau mutih.
Pengadilan ”lain” itu tak akan teraih tanpa diupayakan
dengan tapa ngrame. Ya, bertapa dalam keriuhan. Persis sebagaimana yang
digambarkan dalam ungkapan Sultan Agung: mangasah mingising budi, memasuh
malaning bumi (mengasah ketajaman budi, membasuh sumber kekotoran bumi).
Ketika pengadilan mainstream tak lagi bisa diharapkan untuk
memberikan pengadilan, pengadil bayanganlah yang mesti menjadi tempat
berpaling. Dan untuk itu, sekali lagi,
tak akan pernah datang sendiri tanpa diikhtiarkan.
Pengadilan Ramabargawa;
Dalam kisah pewayangan, betapa Ramabargawa, yang juga
berjuluk Parasurama, adalah sosok yang mengalami sakit hati tiada terkira
tatkala mesti menyaksikan para kesatria yang semestinya njejegke adil, yang
seharusnya memegang pradata agung negari, justru mengoyak-koyak rasa keadilan
itu sendiri. Alih-alih para pangembating praja itu berjalan di atas jalur
keadilan, justru mereka sendirilah yang mementaskan ketakadilan itu sekaligus
jadi pemerannya.
Mulanya Renuka, sang ibu, berbuat kesalahan dalam melayani
Jamadagni sehingga lelaki itu murka. Jamadagni kemudian memerintah
putra-putranya membunuh ibu mereka. Dia berjanji akan mengabulkan apa pun
permintaan mereka.
Tak ada anak Jamadagni yang sanggup memenuhi perintah itu.
Jamadagni kian murka dan mengutuk mereka jadi batu. Sebagai putra termuda dan
paling cerdas, ternyata Parasurama bersedia membunuh ibunya. Namun setelah
kematian Renuka, dia menagih janji Jamadagni. Dia meminta Jamadagni
menghidupkan dan menerima Renuka kembali serta mengembalikan keempat kakaknya
ke wujud manusia. Jamadagni pun bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Parasurama telah berhasil mengikhtiarkan keadilan dengan jaln yang paling
rempit!
Kisah Parasurama tak berhenti sampai di situ. Ketenteraman
dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Keadilan bukannya mereka tegakkan, tapi justru mereka porak-porandakan.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka yang seharusnya berperan sebagai
pelindung kaum lemah. Tak terhitung ksatria, baik raja maupun pangeran, yang
tewas terkena kapak dan panah Ramaparasu.
Tekad Parasurama menumpas habis seluruh kesatria yang hanya
menjadi leletheking jagad gelah-gelahing bumi.
Setelah merasa cukup, Parasurama mengadakan upacara
pengorbanan suci di Samantapancaka. Kelak tempat tersebut terkenal dengan nama
Kuruksetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara
besar-besaran antara Pandawa dan Kurawa.
Sebenarnya ada alasan khusus mengapa Parasurama menumpas
habis kaum ksatria. Itu karena raja Hehaya, Kartawirya Arjuna, yang telah
merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut.
Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam
dengan membunuh Jamadagni. Kematian inilah yang menambah besar rasa benci
Parasurama terhadap semua golongan ksatria.
Pemokongan Saridin;
Beda lagi cara yang ditempuh Saridin, seorang rakyat jelata
dalam certa rakyat dari wilayah Pati Syeh Jangkung. Pengadilan Kadipaten telah
cukup menghadirkan bukti dan saksi bahwa Saridinlah pembunuh kakak iparnya,
Branjung.
Bukti dan saksi makin diperkukuh oleh muslihat yang dibangun
oleh Petinggi Miyono, penguasa di desa yang ternyata mengincar istri Saridin.
Kewibawaan pradata agung kadipaten juga mesti dijaga meski harus menafikan rasa
keadilan substansial yang digenggam dan diyakini Saridin.
Di depan Sang Adipati, pada tingkat retorika, Saridin bisa
saja membuat segenap pengadil mati kutu. Namun pengauasa tetaplah yang lebih
kuwasa. Saridin boleh saja, dengan nalar saminnya mengatakan bahwa bukan kakak
iparya yang ia bunuh, melainkan macan. Namun penguasa tetap saja punya cara
untuk menjeratnya, karena persoalannya tinggal mau atau tidak.
Ketika pada tahap pertama nalar lenceng galeng itu tak
beroleh hasil, berserah pada ìkeadilanî versi penguasa pun diikuti. Tapi
lagi-lagi, justru di sinilah ketidakadilan demi ketidakadilan terus-menerus
terpentaskan. Maka, tiada jalan lain kecuali menarik diri, lari, dan baru hadir
kembali ketika merasa sudah cukup memiliki kekuatan baru untuk mengembalikan
keadilan di kadipaten pada ”khittah”-nya.
Tentu jika hendak digenapi, masih ada sejarah perlawanan
tokoh Kutil menegakkan keadilan di wilayah Tegal, siasat Mutamakim menghadapi
pengadil keraton, atau bahkan Raden Legawa yang mesti bermetamorfosis sebagai
Joko Geger dalam lakon Perampok-nya Rendra.
Ya, selalu ada pengadil bayangan yang bisa diikhtiarkan,
meski hasilnya tidak selalu tampak serta merta. Namun dengan upaya macam itulah
sebenarnya siapa pun pantas bersikap optimistis bahwa adiling Gusti itu selalu
ada. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah
Selalu Lurr... Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar