Oleh: Wong Edan Bagu.
(PRTP)
Jakarta Rabu tgl 03 Sept 2014
Sekian hari saya terusik oleh term aku. Saya melirik kata
aku tertancap indah di poster disertai foto superkeren, membaca kata aku yang
menghiasi media cetak. Melihat aku yang begitu narsis ditempelkan di facebook.
Menatap aku bertengger di berbagai blog. Saking banyaknya kata aku, saya tidak
bisa menghitungnya berapa kata aku yang saya rekam. Bahkan saya sendiri sering
berucap aku. Betapa sering menyeruak pertanyaan tak sengaja, apa sih
cita-citaku? Mau kemana aku melangkah? Kemana kompas kehidupan sang aku ini?
Berjubel pertanyaan dan pernyataan sebagai bentuk ekspresi aku.
Di tengah berjubelnya kata-kata aku ini, menyeruak
pertanyaan siapa aku sejati? Apa aku yang acapkali kita sebut-sebut sebagai aku
yang didambakan? Dalam renungan sederhana, muncul kata menggelitik, bahwa aku
yang acapkali terucap dalam bentuk kata-kata bukanlah aku sejati. Tetapi aku
sejati tersimpan dalam hati nurani. Ya di medan hati bertapa aku yang sejati.
Dialah aku yang tidak terkatakan, tak bisa digambarkan dalam tataran verbal.
Pikiran pun tak bisa menggapainya. Disanalah kesenyapan dan keheningan yang
melampaui pikiran dualitas bermukim. Disana taman surgawi terangkai begitu
indah. Pabila kita berkunjung ke taman itu, maka kita bakal memetik bunga
kebahagiaan yang keharumannya membekas dan abadi.
Bagaimana kita bisa menemukan aku sejati yang bisa
melahirkan ketenangan dan kedamaian ke dalam jiwa? kita bakal merasakan
ketenangan dan kedamaian jika kita berhasil menggerus aku kecil yang kerapkali
menghambat kita untuk bisa kontak pada aku yang besar. Dalam kotak aku kecil
meranggas sikap keakuan dan egoisme, dan memiliki kecenderungan untuk memenuhi
diri sendiri semata. Tak ayal, kita terkurung oleh sikap negatif yang bakal
menyingkirkannya dari medan ketenangan yang sesungguhnya.
Dalam aku kecil tersimpan rasa marah, iri, dengki,
semangat popular, riya’, serakah, merasa bisa, dan sebangsanya. Katanya kepuasan
aku kecil akan diperoleh jika bisa menyalurkan seluruh kecenderungan negatif
tersebut. Banyak orang menyangka bahwa dengan pencapaian aku kecil orang bakal
merengkuh kebahagiaan? Dia berkeyakinan bahwa dia merasakan kebahagiaan ketika
bisa mewujudkan harapan. Atau secara tiba-tiba mendapatkan kekayaan yang
melimpah. Memiliki rumah mewah. Aku kecil selalu membangun kontak dengan
pengaruh terluar. Padahal apapun yang terluar tidak bisa menghias hati menjadi
tenang dan damai. Karena damai itu telah bermukim dalam diri sendiri, bermuara
dan menyatu ke dalam diri kita yang sejati. Meminjam argumen salah seorang
seniman besar India yang bernama Kabir, ‘Janganlah datang ke taman, dalam tubuh
kita sudah ada taman. Duduklah di atas pohon lotus, dan temukan suka cita di
sana’.
Meski diberi penyadaran seperti apapun, aku kecil tidak
pernah bisa memahami bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup itu terletak di
dalam diri, terbukti aku kecil selalu menjelajahi dan merambahi kebahagiaan di
luar dirinya. Ia berwisata untuk bisa menikmati pemandangan yang anggun nan
eksotis. Ia berusaha bekerja keras hanya untuk berjuang memperbesar rumah, bisa
membeli mobil terbaru, atau mengangkat prestise dengan membeli benda-benda
trendy. Padahal segala aksesori yang tergelar di luar bakal terus berubah,
sehingga peta hasrat manusia juga terus berubah seirama dengan perubahan yang
tergelar di luar.
Aku kecil adalah eksistensi diri kita yang palsu. Karena
itu aku kecil selalu menumbuhkan aneka hasrat yang palsu pula, dalam bentuk dorongan
hawa nafsu. Kalau manusia masih terjangkit dan terperangkap dengan hawa nafsu
sebagai ikutan dari aku kecil, maka manusia tidak bakal bisa terbang untuk
mencapai superego (Aku yang besar). Bagaimana agar orang bisa mencapai aku yang
besar? Seperti pesawat ulang-alik yang hendak terbang, maka perlu melepaskan
beban yang menghambatnya bisa terbang. Andaikan beban itu masih melekat pada
pesawat, niscaya pesawat itu tidak bakal tinggal landas, akan tetapi tetap
berada di landasan. Agar aku besar bisa terbang, maka kita dengan rela
melepaskan aku kecil. Bagaimana melepaskan aku kecil untuk menggapai aku besar?
Cara melepaskan aku kecil adalah dengan meniadakan diri.
Ketika manusia telah merasa kosong, pertanda aku besar bakal terbang. Dia telah
berhasil melepaskan seluruh keangkuhan pikiran dan hawa nafsu yang kerap
menjadi rujukan dalam membuat keputusan apapun. Manifestasi dari pengosongan
diri adalah penyerahan diri yang total pada Allah SWT. Penyerahan diri membuat
manusia mencapai pembebasan yang sebenarnya. Bukankah kebebasan merupakan
dambaan setiap orang? Bahkan sejatinya dambaan kebebasan itu sebuah ekspresi
dari aku besar. Ketika orang telah berhasil meniadakan diri, maka dia bakal
menyatu dengan ketunggalan yang membawanya terbang ke langit-langit cinta yang
tak pernah membosankan. Seluruh aktivitas melahirkan hikmah agung dan
menginspirasi pelajaran agung pula bagi orang lain lantaran kehidupan telah
dipimpin oleh aku yang besar. Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar