Oleh: Wong Edan Bagu.
(PRTP)
Jakarta Rabu tgl 03 Sept 2014
Kambing hitam, hanyalah sebuah istilah untuk menunjukkan
bahwa kambing itu hitam. Walau pada kenyataannya, ada juga kambing putih,
berupa kambing kibas. Saat kita masih kecil dulu, sering muncul kejadian secara
tiba-tiba, misalnya kita jatuh. Ayah atau ibu kita tidak pernah memberikan
masukan pada kita cara jalan yang terbaik agar tidak terjatuh, malah
menyalahkan lantai. “Breek,” sontak anak menangis, “Wuss lantai ini nakal
sekali,” tanggap ibu sambil memukul-mukul bahkan menginjak-injak lantai.
Sesekali anak-anak berlarian-lari, dan terpeleset, ibu tidak memberikan wawasan
pada anaknya, malah bilang “kodoknya tuh udah lari.” Kata-kata seperti itu
sederhana tapi mudah dan cepat direkam di batang pikiran si anak. Tentu tidak membekas
hanya sebagai kata-kata, tetapi mengkristal sebagai makna, bahkan tumbuh
sebagai pola pikir yang dibawa si anak hingga dewasa.
Inilah cikal-bakal yang membuat kita tidak pernah bekerja
keras untuk mengoreksi diri sendiri. Kita kadung memandang, bahwa kesalahan itu
tidak ada pada saya, tetapi melekat pada yang di luar saya. Tak ayal, kalau ada
seorang yang melemparkan protes atau kritikan padanya, malah dia
mengkonfrontasi dengan mengritik balik. Padahal kalau kita masih memandang
orang lain keliru, berarti pikiran kita yang keliru. Harusnya ketika kita
menganggap orang lain kotor, maka pertama-tama yang perlu dikoreksi oleh kita
adalah mindset yang tertanam dalam pikiran kita. “Sebentar dulu, jangan
buru-buru nyalahkan orang lain, bisa jadi yang memandang orang lain salah
itulah yang benar-benar bersalah.”
Ketika orang selalu memandang peristiwa yang buruk
gara-gara orang lain, maka dia tidak bakal menemukan keterangan agung dari
peristiwa tersebut. Sebuah kejadian bakal memancarkan pencerahan bila kita
memantulkannya pada diri sendiri. Artinya kejadian itu dipandang sebagai pesan
suci dari Allah untuk kita. Ingatlah, apapun perlakuan orang lain pada kita,
tidak pernah luput dari kehendak Allah, dan kita harus tahu bahwa setiap
kehendak Allah menyimpan kebaikan bagi orang-orang yang hendak berpikir. Karena
pikiran positif yang dijadikan sumbu untuk menyalakan hikmah, maka insya Allah
dia bakal semakin cerdik dalam memulung hikmah demi hikmah dalam hidupnya.
Manusia yang selalu berpikir menyalahkan orang lain dalam
setiap kejadian menunjukkan bahwa hatinya amat sempit, sehingga tidak bisa
mendapatkan cahaya hikmah dibalik kejadian. Andaikan hatinya lapang, niscaya
dia bakal selalu tenang dalam menghadapi persoalan apapun, dan dia terus
mencari sisi apa yang keliru pada dirinya. Dia meyakini bahwa setiap kejadian
yang memedihkan pasti sebuah teguran yang datang dari Tuhan. Kalau kita mau
cermat untuk menelisiki sisi kekeliruan kita, maka kita bakal menemukan
berbongkah-bongkah kesalahan mengendap di dalam batin kita. Dan saat menyadari
ada kesalahan yang melekat di hati kita, maka makin bergairah untuk terus
membersihkan hati setiap saat.
Perlu juga dipahami, bahwa kita tidak bakal menjadi baik
dengan menyalahkan orang lain. Kita hanya menjadi baik kalau memiliki tekad
yang kuat untuk berbuat yang terbaik dalam setiap keadaan, sembari terus
melakukan evaluasi diri secara ketat, apakah perbuatan saya sudah berkenan di
hadapan Allah atau tidak? Mengapa keadaan bisa seperti ini, mungkin kekeliruan
saya. Bahkan saat kita tidak tenang menghadapi kejadian, yakinilah bahwa itu
berarti ada kekeliruan dalam hati kita. Karena hanya orang-orang yang bersalah
yang selalu berada dalam derita... He he he . . . Edan Tenan
JAHIL;
Jahil alias bodoh bukan terkait jupednya pikiran atau
mandulnya intelektual, sehingga di otaknya tak berbekas ilmu sedikit pun.
Kejahilan orang tidak diukur oleh kecerdasan intelektual yang didemonstrasikan,
tetapi berkait dengan kecerdasan spiritual (akhlak). Tak sedikit orang
terdahulu, disebut manusia terpandang di tataran ilmu sastra, tetapi disebut
orang jahil, seperti Abu Jahal yang ditahbis sebagai bapaknya orang bodoh. Nama
aslinya Abu Jahal sendiri adalah Abul Hakam (Bapak orang bijak). Tetapi mengapa
dia disemati gelar sebagai bapaknya orang bodoh. Karena, hati dan pikirannya
terhijab untuk mengenal Allah SWT.
Kalau begitu, ukuran kecerdasan seorang bukan encernya
otak mencerap berbagai ilmu yang dibabarkan di hadapannya, tetapi berkait
dengan pengenalannya pada Allah. Dan mengenal Allah juga tidak berkait dengan
sebagai “knowledge” (ilmu) tetapi berkait dengan awareness (kesadaran) yang
guru saya lebih memilih sebagai consciousnesss (kesadaran).
Walau seorang menguasai segudang pengetahuan duniawi,
tetapi membuatnya semakin terhijab dan jauh dari Allah, sejatinya dia orang
yang bodoh. Walau dia sendiri dianugerahi ilmu yang sedikit, sederhana, dan
terbatas, akan tetapi meyakini akan penyaksian Allah atas setiap
gerak-geriknya, baik yang terang atau yang samar, maka sejatinya dia orang yang
alim.
Kealiman seorang bukan diukur oleh banyak ilmu dan
riwayat yang terhimpun di otaknya, tetapi seberapa banyak cahanya yang
menerangi hatinya. Dan masuknya cahaya ilmu ke dalam hati manusia terpantul
oleh perasaan takutnya pada Allah (Adakah rasa takut dalam hatimu pada-Nya).
Kalau Anda benar-benar takut pada Allah, maka tidak pernah terlintas dalam
batinmu berbuat maksiat, apalagi melakukan kemaksiatan. Karena rasa takut akan
mendorong orang selalu berhati-hati, takut bilamana ada sekian perbuatannya
yang tak berkenan di hadapan Allah.
Tak jarang kita menemukan orang yang dianggap mengetahui
beragam ilmu agama, tetapi sering menekuk-nekuk agama sesuai seleranya melalui
pelbagai pembenaran yang dilontarkan. Bagi orang seperti ini, alih-alih agama
menerangi jiwanya, malah semakin mempergelap batinnya. Alih-alih bisa
membuatnya semakin dekat pada Allah, malah semakin jauh dan terlempar dari
kedekatan pada-Nya. Ilmu yang membuat orang semakin jauh dari Allah, bukan ilm
yang menaikkan derajat, tapi menjadi penganjlok derajat manusia di sisi Allah.
Dan siapa yang takut pada Allah—sebagai cermin pengenalan
pada-Nya—akan layak mendapatkan hikmah. Dan siapa yang memeroleh hikmah,
berarti telah mendapatkan yang banyak…
Lalu bagaimana dengan orang yang jahil, orang jahil yang
sesungguhnya adalah figure yang menutup diri dari kebenaran yang terbabar di
hadapannya... He he he . . . Edan Tenan.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar