Laku
Hakikat Hidup Dalam Mengenal Sifat-sifat Tuhan (Dengan Metode KUNCI): Bagian. 2
Oleh:
Wong Edan Bagu;
Sifat-Sifat Tuhan.
Sebagian besar argumen filosofis telah digunakan untuk
menetapkan wujud yang dikenal sebagai wajibul wujud, Tuhan. Jika argumen itu
ditambahkan dengan argumen-argumen yang lain, maka akan dapat tertetapkan
sifat-sifat yang mesti dan tidak mesti bagi wajibul wujud.
Denga argumen-argumen itu, kita mengenal Tuhan dengan
segala sifat-Nya yang khas yang membedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya.
Jika sekedar menetapkan bahwa Tuhan itu adalah wajibul wujud maka tidaklah
memadai untuk mengenal Dia sebagaimana mestinya.
Dari aspek itulah, sangat urgen untuk menetapkan
sifat-sifat yang tidak mesti bagi Tuhan, supaya kita dapat mengetahui bahwa Dia
itu suci dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk-makhluk-Nya, yang tidak
mungkin dinisbahkan pada dzat-Nya.
Pada dimensi lain, kita perlu menegaskan sifat-sifat yang
mesti bagi Tuhan, supaya menjadi nyata bahwa Dialah yang layak untuk disembah.
Begitu pula, masalah itu akan berkonsekuensi pada penetapan doktrin-doktrin
keimanan Islam lainnya seperti keadilan Tuhan, kenabian, keimamahan, dan
eskatologi (alam akhirat).
Pada argumen tentang penegasan wujud Tuhan, kita sampai
pada kesimpulan bahwa wujud Tuhan itu tidak membutuhkan sebab lagi. Karena
Dialah sebab bagi semua realitas yang mungkin. Dibawah ini terdapat dua sifat bagi Tuhan sebagai wajibul
wujud:
Pertama, bahwa wajibul wujud tidak butuh kepada
selain-Nya, karena kalau ia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka
wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Dan telah kita ketahui makna sebab dalam filsafat, yaitu bahwa wujud
sesuatu itu dibutuhkan untuk keberadaan sesuatu yang lain.
Kedua, bahwa segala yang mungkin (mumkinul wujud) adalah
akibat dan butuh kepada sebab. Jadi, wajibul wujud merupakan sebab utama bagi
kemunculan dan keberadaan wu-jud-wujud mungkin tersebut.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, kami berusaha membahas konsekuensi masing-masing yang
berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Kita juga akan membuktikan adanya
sifat-sifat tidak mesti dan sifat-sifat mesti bagi wajibul wujud.
Manusia memiliki dua bentuk pengenalan terhadap Tuhan,
yaitu:
1. Pengenalan hudhuri yang bersumber langsung dari
pertalian sebab-akibat antara Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud (makhluk) dan
keniscayaan kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan;
2. Pengenalan hushuli yang terwujud lewat akal-pikiran
dan pemahaman-pemahaman teoritis manusia. Sebagaimana yang telah kami katakan
bahwa pengenalan semacam ini tidak berhubungan dengan pengenalan hakikat dzat
Tuhan, melainkan pengenalan yang hanya berkaitan dengan sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, pengenalan hushuli kita kepada
Tuhan yang murni dihasilkan dari pemahaman-pemahaman akal-pikiran hanya
berkaitan dengan sifat dan perbuatan Tuhan. Dari sini kita bisa memberikan
penekanan yang lebih pada pembahasan sifat-sifat Tuhan dan perannya dalam
pengenalan Tuhan, karena dengan semakin dalam dan luas pengenalan kita atas
sifat-sifat Tuhan maka akan mencapai kesempurnaan pengenalan terhadap-Nya.
Tentunya, pada pembahasan pembuktian wujud Tuhan kita
telah mengenal sifat semacam keniscayaan wujud (wujub al-wujud) dimana kemudian
kita mengenal Tuhan dengan sifat tersebut. Akan tetapi, perlu diperhatikan
bahwa Tuhan memiliki begitu banyak sifat dimana untuk mencapai pengenalan
terhadap-Nya secara sempurna mengharuskan kita untuk mengenal sifat-sifat
tersebut secara lebih luas. Oleh karena itu, dalam masalah ini, tidak
seharusnya kita mencukupkan diri dengan membatasi pengenalan hanya pada
beberapa sifat-Nya saja.
Urgensi pembahasan sifat Tuhan adalah adanya perbedaan
pemahaman di kalangan para penyembah Tuhan dan monoteis, yang walaupun mereka
menganut konsep keesaan Tuhan, tapi di antara mereka terdapat perbedaan yang
tajam sehingga seakan-akan masing-masing mereka menyembah Tuhan yang berlainan.
Sebagai misal, seseorang yang menganggap Tuhan memiliki anggota badan yang
senantiasa hilir mudik di antara langit dan bumi, dengan seseorang yang
menganggap Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani semacam ini, masing-masing
mereka ini memiliki dua kesimpulan yang sangat berbeda dalam mengenal
Tuhan-nya. Demikian juga, seseorang yang mengenal Tuhan dengan meyakini bahwa
kodrat Tuhan adalah terbatas atau menganggap-Nya tidak mengetahui peristiwa
yang bakal terjadi, akan sangat berbeda dengan seseorang yang percaya terhadap
kemutlakan ilmu dan kodrat Tuhan.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan adanya
ikhtilaf-ikhtilaf tajam dalam masalah sifat-sifat Tuhan yang muncul di kalangan
para penyembah Tuhan ini, maka penganalisaan yang teliti dan akurat pada
pembahasan ini sangat signifikan untuk menemukan pandangan yang paling benar
dan komprehensip terhadap Tuhan.
Nama, Sifat, dan Perbuatan:
Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan,
kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan,
sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan
perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan
yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak
senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada
wilayah ilmu kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah
sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur
ilmu kalam, istilah “sifat Ilahi” lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang
digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm“, qâdir,
hayyu, dan murîd … dikatagorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala
terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal
tersebut, kata-kata semacam ‘ilm, kodrat, hayât dan … adalah merupakan
sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm, qâdir, hayyu dan …
merupakan asma Tuhan.
Jumlah asma Tuhan sangat sedikit dan hanya berkisar pada
kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudo dalam bahasa Persia atau
Tuhan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak
seperti ‘âlim, hayyu, murîd, qâdir, … dan lain yang sejenisnya. Walhasil, yang
dimaksud dengan “sifat” pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang
dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.
Keluasan Tema Sifat Ilahi dalam Teologi:
Pentingnya pembahasan sifat Ilahi dalam ilmu kalam
menjadikannya dikaji secara meluas dan menjadi wacana yang senantiasa hangat.
Hadirnya berbagai dimensi pembahasan yang partikular dan mendetail yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lainnya, menjadikan pembahasan ini semakin rumit. Di
sini, kami berupaya semaksimal mungkin untuk memperkenalkan tolok ukur dan
aspek-aspek utama pembahasan sehingga bisa menyajikan pembahasan ini secara
lebih sistimatis.
Pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan bisa
kita analisa dalam dua tahapan global:
1. Pembahasan sifat secara umum. Pada tahapan ini kita
akan mempelajari hukum-hukum dan masalah-masalah sifat secara umum, tanpa
memperhatikan adanya sifat-sifat khusus. Tahapan ini biasa disebut
“Keuniversalan sifat-sifat Tuhan“;
2. Pembahasan khusus terkait dengan masing-masing sifat.
Setelah menyelesaikan pembahasan hukum-hukum sifat Tuhan secara umum,
pembahasan pada tahapan ini akan difokuskan pada sifat-sifat khusus Tuhan yang
utama, seperti ilmu, kodrat, hidup, dan lain-lain.
Bisa juga kedua tahapan pembahasan itu di golongkan dalam
salah satu bagian dari setiap tahapan pembahasan di bawah ini:
Pembuktian kesatuan dzat dan sifat-Nya. Pada tahapan ini,
pembicaraan berkisar tentang pembuktian kesatuan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya.
Bahasan ini, pada tahapan pertama (dari dua tahapan tersebut di atas)
berhubungan dengan pembuktian umum kesatuan dzat Tuhan dengan seluruh sifat
sempurna-Nya. Dan pada tahapan kedua, menyajikan argumentasi-argumentasi atas
kesatuan dzat Ilahi dengan masing-masing sifat. Sebagai contoh, pada tahapan
akhir, disajikan argumentasi atau dalil-dalil yang menyatakan bahwa Tuhan
adalah ‘âlim, qâdir, hayyu, dan lain sebagainya;
Penjelasan sifat Ilahi dan karakteristiknya. Pada bagian
ini akan dijelaskan tentang makna dari masing-masing sifat Ilahi dan
karakteristik-karakteristiknya yang membedakannya dengan sifat-sifat makhluk.
Di bawah ini akan kami sajikan pokok-pokok utama
pembahasan ilmu kalam tentang sifat-sifat Tuhan, yang pembahasan kami nantinya
akan berpijak pada pokok-pokok tersebut. Bagian paling pokok dan mendasar
adalah pembahasan dalam tahapan pertama (pembahasan umum sifat) adalah sebagai
berikut:
Pengelompokan sifat-sifat. Pada pembahasan ini disajikan
pengelompokan masyhur yang disusun oleh para teolog dalam masalah sifat-sifat
Ilahi dan juga akan didefinisikan istilah-istilah yang berkaitan dengan
masing-masingnya;
Probabilitas pengenalan sifat-sifat Ilahi. Pada bagian
ini, disajikan solusi atas masalah fundamental yang terkait dengan kemungkinan
pengenalan sifat-sifat Tuhan. Demikian juga akan diketengahkan sebagian
pandangan dalam ilmu kalam atas kemungkinan dan kemustahilan pengenalan
sifat-sifat Tuhan;
Metodologi pengenalan sifat-sifat. Setelah menjelaskan
tentang adanya kemungkinan pengenalan sifat-sifat akan dilanjutkan dengan
menganalisa metode dan perangkat yang digunakan dalam proses pengenalan yang
berada dalam jangkauan dan kewenangan manusia;
Penjelasan makna sifat-sifat Ilahi. Pada pembahasan ini
dijelaskan tentang maksud dari sifat-sifat yang sama antara Tuhan dengan
makhluk-Nya yang kemudian sifat-sifat homogen ini dinisbahkan pada Tuhan,
begitu pula akan dibahas perbedaan antara sifat Tuhan dan sifat makhluk-Nya;
Pembuktian Umum atas sifat-sifat sempurna Tuhan.
Pembahasan ini meliputi penyajian argumentasi-argumentasi umum atas kemestian
Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna;
Hubungan hakiki antara dzat Tuhan dan sifat-sifat. Pada
bagian ini akan dijelaskan bahwa sifat-sifat Ilahi identik dengan dzat-Nya, dan
tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembahasan ini juga dikaji dalam pasal
Tauhid Sifat;
Penetapan Tuhan atas asma dan sifat-sifat-Nya sendiri.
Pertanyaan mendasar dalam pembahasan ini adalah apakah dalam penyifatan Tuhan
mesti sesuai dengan asma dan sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Quran
dan riwayat, ataukah penyifatan Tuhan bisa dengan menggunakan setiap sifat yang
menunjukkan kesempurnaan.
Pada tahapan kedua yaitu pembahasan khusus tentang
sifat-sifat dan juga sebagian dari sifat-sifat utama dianalisa dalam beberapa
sudut pandang di bawah ini:
Penjelasan mendetail tentang makna masing-masing sifat;
Penyajian argumentasi khusus atas kesatuan dzat Tuhan
dengan masing-masing sifat;
Membahas berbagai keraguan dan pertanyaan yang berkaitan
dengan sebagian dari sifat-sifat Tuhan.
Pengelompokan Sifat-sifat Tuhan:
Dalam pembahasan ilmu kalam biasanya sifat-sifat Tuhan
dikelompokkan berdasarkan berbagai sudut pandang, dan setiap bentuk pembagian
itu memiliki nama-nama khusus. Pada kesempatan ini, sebelum memasuki pembahasan
selanjutnya kami akan menyiratkan pembagian sifat-sifat dan istilah-istilah
khusus yang sering digunakan:
1. Sifat mesti dan tidak mesti:
Salah satu pengelompokan yang sering digunakan dalam
sifat Tuhan adalah sifat mesti (tsubuti) dan tidak mesti (salbi). Sifat tsubuti
menjelaskan dimensi kesempurnaan Tuhan dan menetapkan bahwa kesempurnaan itu
mesti ada, nyata, dan hakiki pada dzat Tuhan. Pada sisi lain, sifat salbi
menunjukkan pada ketiadaan penisbahan Tuhan atas sifat-sifat yang tak sempurna
dan menafikan dzat Tuhan dari segala bentuk ketaksempurnaan, keterbatasan, dan
kekurangan. Karena ketaksempurnaan dan kekurangan merupakan salb atau negasi
kesempurnaan itu sendiri maka hakikat sifat negasi diibaratkan sebagai negasi
dari negasi kesempurnaan dan karena negasi dari negasi akan menjadi positif,
maka sifat salbi atau negasi pada akhirnya akan berujung pada kesempurnaan dzat
Tuhan. Berdasarkan hal ini, sifat ilmu, kodrat, iradah, dan hidup merupakan
sifat-sifat tsubuti Tuhan dan sifat non-materi, tak-bergerak merupakan sebagian
dari sifat-sifat salbi atau negasi Tuhan.
Dari penjelasan tersebut, menjadi jelas bahwa sifat
negasi sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan pada dzat Tuhan,
melainkan sebagaimana sifat tsubuti yang menghikayatkan kesempurnaan dzat
Tuhan. Karena pada dasarnya, sifat-sifat negasi menetapkan ketidaklayakan
sifat-sifat untuk Tuhan dan mengandung kemestian penolakan ketaksempurnaan dan
kelemahan pada dzat Tuhan. Sebagai misal, bergeraknya suatu maujud menunjukkan
ketaksempurnaannya, karena gerak bermakna bahwa sesuatu yang bergerak tersebut
pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan khas dan setelah melakukan gerakan ia
mencapai kesempurnaan. Jelas, bahwa makna semacam ini tidak sesuai untuk
kesempurnaan mutlak Tuhan, oleh karena itu, gerak harus tiada pada dzat Tuhan.
Penolakan sifat gerak ini yaitu penafian gerak, pada akhirnya akan berujung
pada pembuktian atas kesempurnaan Tuhan, karena penafian ketaksempurnaan
sesuatu tidak lain adalah pembuktian kesempurnaan sesuatu. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa sifat tak bergerak merupakan salah satu sifat negasi atau salbi
Tuhan.
Kadangkala dikatakan bahwa sifat jasmani, gerak, materi
dan semisalnya merupakan sifat negasi Tuhan, karena sifat-sifat itu
ternegasikan pada dzat Tuhan. Akan tetapi anggapan ini salah karena sifat
negasi juga disandarkan pada Tuhan sebagaimana sifat tsubuti. Oleh karena itu,
pendapat yang benar adalah bahwa ketakjasmanian, ketakbergerakan,
ketakmaterian, dan lain sebagainya merupakan sifat-sifat negasi Tuhan. Oleh
karena itu, berlawanan dengan anggapan sebagian, maksud dari sifat negasi
bukanlah bermakna bahwa sifat ini dinegasikan dari Tuhan, melainkan maksudnya
adalah bahwa sifat-sifat ini meniscayakan penolakan ketaksempurnaan dan
keterbatasan Tuhan. Memang terdapat perbedaan yang sangat halus dari penafsiran
atas sifat negasi ini yang kurang mendapat perhatian.
Mungkin di sini akan muncul pertanyaan, apabila maksud
dari sifat negasi akhirnya berujung pada pembuktian kesempurnaan Tuhan
(misalnya Tuhan non-materi), lalu kenapa kesempurnaan yang tertetapkan itu
(kenon-materian Tuhan) tidak langsung dikategorikan pada sifat tsubuti,
bukankah dengan mengetengahkan pengertian yang menunjukkan ketaksempurnaan
kemudian dinegasikan kembali, membuat pembahasan yang semula pendek menjadi
panjang dan tema yang semula mudah menjadi rumit?
Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa yang
benar adalah bahwa setiap sifat negasi senantiasa memestikan satu sifat tsubuti, akan tetapi
kadangkala makna negasi secara khusus apabila dikomparasikan dengan makna
tsubuti lebih akrab dan lebih mudah dipahami oleh pikiran masyarakat umum dan
lebih banyak digunakan dalam bahasa-bahasa umum. Sebagai contoh, non-jasmani
atau non-materi Tuhan yang meniscayakan sifat tajarrud (immateriality,
spirituality) Tuhan, dalam pikiran masyarakat umum makna non-jasmani dan
non-materi lebih mudah dipahami daripada makna tajarrud.
Poin lain dalam penjelasan sifat negasi adalah bahwa
sifat ini secara langsung dan tegas menegasikan segala bentuk ketaksempurnaan
Tuhan dan menunjukkan perbedaan nyata antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ketika
dikatakan bahwa Tuhan bukan jasmani atau Tuhan tidak membutuhkan ruang dan
waktu, maka hal ini menegaskan perbedaan riil antara Tuhan dan makhluk-Nya yang
jasmani dan terikat dengan tempat dan masa. Berbeda dengan sifat tsubuti tidak
tegas menunjukkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
2. Sifat dzat dan sifat perbuatan:
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah,
adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari
pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut
mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-’Ilm),
dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Atau, ada-kalanya sifat-sifat
itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas
bentuk-bentuk hubungan antara Allah swt dengan makhluk-makhluk-Nya seperti;
penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama
disebut sebagai sifat–sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat
fi’liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa
sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi
dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan
relasi (nisbah) antara Allah dan
makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi
relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat
ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat
Allah. Dalam hal ini, Allah swt. dan seluruh makhluk merupakan dua sisi
hubungan tersebut. Akan tetapi dalam
realitasnya, tidak terdapat apa pun
selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa
Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah swt. memiliki
sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan
sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep
relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu,
Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi’liyah. Lain halnya jika kita
menafsirkan Al-Khaliq (pencipta) dengan
Al-Qadir ‘alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada
sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah
(hidup), Al-’Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar
(As-Sami’) dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini
bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau
kuasa untuk men-dengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-’Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan
Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat
secara tindakan (fi’li) yang dicerap
akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu
yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus
digolongkan ke dalam sifat fi’liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan
dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu
fi’li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata
(Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya
Allah hal ini akan kita bahas pada
bagian berikutnya.
Menetapkan Sifat-sifat Dzat Tuhan:
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah,
Al-Qudrah dan Al-’Ilm pada Allah swt. adalah sebagai berikut; bahwa tatkala
konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan
kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat
pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena,
setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada,
yaitu Allah swt. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada
makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta
kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan
pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri
jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan
dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai La Yu’thihi).
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada
sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada
Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah swt. memiliki
sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya,
kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.
Sifat dzat merupakan salah satu kesempurnaan Tuhan,
terpancar dari dzat Tuhan dan dipredikasikan pada dzat-Nya, sebagai contoh,
salah satu dari kesempurnaan Ilahi adalah Dia mampu melakukan setiap perbuatan
yang mungkin. Akal dengan memperhatikan kesempurnaan ini akan mendapatkan makna
“kodrat” lalu menisbahkannya kepada dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat
perbuatan diperoleh dari hubungan khusus antara dzat Tuhan dan maujud-maujud
lain. Sebagai contoh, Tuhan memiliki hubungan kepenciptaan dengan
eksistensi-eksitensi lain, dimana dengan memberikan wujud pada
eksistensi-eksistensi tersebut berarti Dia mengeluarkan mereka dari “alam
ketiadaan”. Dengan memperhatikan adanya hubungan khusus ini, kita akan menetapkan
sifat mencipta pada-Nya lalu menyebut-Nya sebagai Pencipta (Khâliq).
Dari gambaran di atas, menjadi jelas bahwa untuk
menjelaskan Tuhan dengan sifat dzat cukup dengan memandang pada dzat Ilahi
saja, dan kita tidak perlu lagi menggambarkan sesuatu yang berada di luar
dzat-Nya. Hal ini berbeda pada sifat perbuatan, karena selain kita harus
memperhatikan dzat Tuhan, kita juga harus memperhatikan “hal-hal” yang lain
yang terkait dengan-Nya.[1] Sebagai contoh, apabila kita ingin menyifati Tuhan
dengan sifat Pencipta maka langkah pertama, kita harus memandang eksistensi
lain yang diciptakan oleh-Nya, dan kemudian dengan memandang hubungan Tuhan
dengan eksistensi tersebut, kita akan menisbahkan sifat mencipta pada-Nya.
Dengan ibarat lain, sumber perolehan sifat dzat adalah dari dzat Tuhan itu
sendiri, akan tetapi sifat perbuatan terambil dari perbuatan Tuhan, dengan arti
bahwa dengan memperhatikan perbuatan-Nya sendiri akan tersifati dengan sifat
ini.
Dengan memperhatikan kajian di atas, sifat-sifat semacam
ilmu, kodrat dan hidup merupakan sebagian dari sifat-sifat dzat Tuhan dan
sifat-sifat semacam pemberi nikmat, rahmat, hidayah, dan lain-lain adalah
termasuk sifat-sifat perbuatan Tuhan. Tentu saja sebagaimana yang akan kami
bahas pada tema-tema selanjutnya, sebagian dari sifat-sifat (seperti ilmu atau
iradah) dari satu sisi bisa dikatakan sifat dzat dan dari dimensi lain
terkadang disebut sifat perbuatan.
3. Sifat tetap dan tambahan:
Di sini terdapat pula pengelompokan ketiga yakni sifat
Tuhan dibagi menjadi dua bagian yaitu sifat tetap dan tambahan. Sifat tetap
(nafsi) merupakan sifat-sifat mandiri dan bukan merupakan tambahan dari yang
lain, akan tetapi sifat tambahan merupakan sifat yang lahir akibat tambahan
dari yang lain. Sebagai contoh, hidup merupakan sifat tetap akan tetapi ilmu,
kodrat dan iradah merupakan sifat-sifat tambahan, karena makna ilmu bersumber
dari hubungan dengan obyek yang diketahui dan makna kodrat berhubungan dengan
sesuatu yang dikuasai serta makna iradah terkait dengan sesuatu yang dikehendaki.[2]
4. Sifat dzat dan khabar:
Pengelompokan ini khusus pada Ahli Hadis. Maksud dari
sifat dzat di sini adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan dzat Tuhan. Pada
sisi yang lain, sifat khabar adalah sifat yang terdapat dalam teks-teks suci
agama (al-Quran dan hadis) yang dinisbahkan pada Tuhan. Apabila memperhatikan
makna lahiriahnya, hal ini akan meniscayakan kematerian dan kejasmanian Tuhan
serta kemiripan-Nya dengan makhluk-makhluk materi. Sebagai contoh, dalam
al-Quran terdapat ayat yang secara lahiriah memperkenalkan Tuhan sebagai suatu
realitas yang memiliki organ dan anggota badan seperti muka, tangan dan mata.
Berdasarkan pembagian ini, sifat-sifat tersebut yaitu Tuhan memiliki wajah,
tangan dan mata merupakan sifat khabar, karena konsekuensi penerimaan makna
lahiriah dari sifat-sifat itu ialah penerimaan akan kematerian Tuhan.
[1]. Tentang apa “hal” lain tersebut, terdapat penjelasan
yang beragam. Pada salah satu penjelasan dikatakan bahwa “hal” lain tersebut
merupakan suatu maujud lain dimana antara Tuhan dengannya terdapat interaksi
khusus, misalnya sesuatu yang tercipta. Akan tetapi berdasarkan pendapat
lainnya dikatakan bahwa maksud dari “hal” lain adalah perbuatan Tuhan itu
sendiri, karena dalam pandangan yang lebih detil dikatakan bahwa seluruh maujud
merupakan perbuatan Tuhan.
[2]. Tentu saja pada bagian ini terdapat pula istilah
lainnya dimana dalam pembahasan ilmu kalam tidak sering dipergunakan. Sebagai
contoh, berdasarkan sebuah pengelompokan, sifat Tuhan terbagi menjadi sifat hakiki,
seperti hay (hidup), ‘âlim dan sifat tambahan seperti Pencipta dan Maha
berkehendak, Dan sifat hakiki ini juga terbagi dua sifat hakiki murni, seperti
hayy dan sifat hakiki tambahan seperti ‘âlim dan qâdir.
Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu...
Ttd: Wong Edan Bagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar