Laku
Hakikat Hidup Dalam Mengenal Sifat-sifat Tuhan (Dengan Metode KUNCI): Bagian. 3
Oleh:
Wong Edan Bagu;
1. Kemustahilan Satu Hakikat memiliki Akibat Beragam;
Pembahasan ini merupakan mukadimah pembuktian keesaan dan
ketunggalan Tuhan (Wâjibul Wujûd). Dalam hal ini Ibnu Sina berkata,
“Perkara-perkara yang berbeda satu sama lain dalam perwujudan realitas
eksternalnya dan pada saat yang sama memiliki hakikat dan esensi yang sama,
pasti memiliki dua aspek, pertama berkaitan dengan karakteristik dan kekhususan
(keragaman) zatnya masing-masing dan kedua yang berhubungan dengan aspek
kesatuan dan kesamaan dari masing-masingnya. Kita bisa mengkaji kedua aspek ini
dari sisi hubungan dan kaitannya satu sama lain. Hubungan antara kesatuan dan
keragaman tersebut kita bisa asumsikan kedalam empat bentuk, antara lain:
Kesatuan itu merupakan akibat dari keragaman. Pada asumsi
ini, hakikat-hakikat yang berbeda pasti memiliki kemestian dan akibat yang sama
dan tunggal, karena kita beranggapan bahwa kesatuan tersebut berasal dari
kemestian hakikat-hakikat zat yang berbeda. Asumsi ini adalah tidak logis. Sebagai
contoh, apabila genus dipandang dari kemestian diferensia, maka
diferensia-diferensia yang berbeda hanya memiliki satu genus, yakni memiliki
satu kemestian dan akibat;
Keragaman itu berasal dari kesatuan, yakni kejamakan dan
keragaman bersumber dari kesatuan dan ketunggalan. Dengan berpijak pada asumsi
ini, kita harus menerima bahwa hakikat yang satu memiliki beragam kemestian.
Namun asumsi ini tetap saja tidak rasional, karena kita tidak dapat
menggambarkan bahwa satu hakikat, dalam dimensi kesatuan dan ketunggalannya,
memiliki kemestian-kemestian dan akibat-akibat yang jamak dan beragam;
Kesatuan mengaksiden dan menempel pada keragaman. Asumsi
ini adalah tidak benar;
Keragaman mengaksiden pada kesatuan. Asumsi ini bisa
diterima. Kita memiliki banyak contoh-contoh dan fenomena-fenomena dimana satu
hakikat memiliki aksiden-aksiden yang beragam, seperti hakikat manusia yang
memiliki banyak individu-individu yang berbeda dan beragam dengan perantaraan
aksiden-aksiden yang berbeda.”[1]
2. Kemustahilan Eksistensi Sesuatu berasal dari Kuiditas;
Dasar dari pendahuluan kedua ini dalam menetapkan
ketunggalan dan kesatuan Wâjibul Wujûd adalah kita tidak bisa beranggapan bahwa
eksistensi sesuatu bersumber dari kuiditas.
Ibnu Sina dalam hal ini berkata, “Adalah memungkinkan
bahwa kuiditas sesuatu bisa merupakan sebab bagi salah satu sifat sesuatu, atau
salah satu dari sifat sesuatu adalah sebab bagi sifat-sifat lainnya. Seperti
diferensia merupakan sebab bagi kehadiran aksiden eksternal.[2]
Oleh karena itu, kuiditas sesuatu dapat menjadi sebab
bagi salah satu sifat sesuatu itu dan sifat sesuatu pun bisa menjadi sebab bagi
sifat-sifat lain. Namun, bukan kuiditas dan bukan sifat-sifat kuiditas sesuatu
yang bisa menjadi sebab eksistensi dan keberadaan sesuatu itu, karena
berdasarkan hukum kausalitas (sebab-akibat) bahwa sebab, dari sisi eksistensi,
mesti mendahului akibat. Eksistensi mendahului kuiditas, oleh karena itu
kuiditas mustahil sebagai sebab bagi eksistensi sesuatu. Dengan demikian,
adalah logis dan rasional bahwa kuiditas terwujud sebelum sifat-sifat lainnya
atau salah satu dari sifatnya, tetapi asumsi keberadaan kuiditas sesuatu
sebelum eksistensi sesuatu itu sendiri ialah mustahil dan tak benar, begitu
pula kemustahilan keberadaan salah satu sifat kuiditas sebelum keberadaan
kuiditas itu sendiri.”[3]
3. Penetapan Keesaan Wâjibul Wujûd;
Pada poin ini, Ibnu Sina menjabarkan argumentasi dan
burhan tentang pembuktian ketunggalan dan keesaan Wâjibul Wujûd, dia berkata,
“Kita sependapat – dengan orang-orang yang tidak meyakini keesaan Wâjibul Wujûd
dan mempercayai kejamakan-Nya – bahwa Tuhan itu (atau beberapa Wâjibul Wujûd)
adalah berwujud.[4]
Lantas kita membandingkan hubungan antara keberwujudan
dengan Wâjibul Wujûd. Jika kita mengasumsikan kejamakan Wâjibul Wujûdyang
masing-masing memiliki keberwujudannya sendiri, maka apakah keberwujudan ini
adalah manunggal dan menyatu dengan zat Tuhan ataukah tak menyatu dengan
zat-Nya? Jika mereka yang meyakini kejamakan Wâjibul Wujûd beranggapan bahwa
keberwujudan itu adalah manunggal dengan zat-Nya, maka pastilah kita tidak
memiliki Tuhan yang lain, karena Wâjibul Wujûd ialah keberwujudan itu sendiri.
Maka dari itu, Tuhan mustahil lebih dari satu. Namun mereka yang mempercayai
kejamakan Tuhan dan memandang bahwa keberwujudan itu tidak menyatu dengan-Nya.
Untuk hal ini, kalau kita beranggapan keberwujudan tersebut ialah Wâjibul Wujûd
itu sendiri, maka asumsi kejamakan Wâjibul Wujûd menjadi mustahil. Namun dalam
kondisi ini, kita memandang bahwa keberwujudan masing-masing Tuhan itu dianggap
sebagai sisi yang berbeda dan ke-Wâjibul Wujûd-an mereka dipandang sebagai sisi
yang sama. Kemudian kita mengkaji empat hubungan yang telah dijabarkan di awal
pendahuluan antara kemestian wujud dan keberwujudan-keberwujudan Wâjibul Wujûd
tersebut, antara lain:
Asumsi pertama ialah kemestian wujud itu bersumber dari
keberwujudan Wâjibul Wujûd. Dalam hal ini, berdasarkan prinsip yang disebutkan
di mukadimah kedua (wujud mustahil bersumber dari kuiditas sesuatu atau dari
sifat-sifat sesuatu) asumsi ini ialah tak benar. Karena kita tak bisa
beranggapan bahwa kemestian wujud itu berasal dari keberwujudan (kuiditas)
Wâjibul Wujûd;
Apabila kemestian wujud itu diasumsikan aksiden pada
keberwujudan, dengan alasan bahwa setiap sesuatu yang aksiden membutuhkan sebab
eksternal, maka Wâjibul Wujûd dalam kemestian wujud-Nya sendiri merupakan
akibat dari sebab eksternal. Asumsi ini mustahil;
Jika keberwujudan itu diasumsikan aksiden pada kemestian
wujud, maka Ia tetap bergantung pada suatu sebab. Di sini perlu diperhatikan
bahwa kemestian wujud (yang diasumsikan sebagai sesuatu yang teraksiden) harus
memiliki bentuk keberwujudan sebelumnya. Sementara, apabila keberwujudan dia
sebelum itu adalah sama dengan keberwujudan aksiden yang diasumsikan, maka konsekuensinya
ialah Wâjibul Wujûd dalam keberwujudan-Nya sendiri merupakan akibat dari
sesuatu yang lain. Dan jika keberwujudan dari kemestian wujud itu diasumsikan
merupakan keberwujudan (A) yang mendahului keberwujudan yang akisden (B), maka
kita akan bertanya bahwa apakah keberwujudan (A) itu adalah menyatu dengan
zat-Nya ataukah berpisah dari zat-Nya?
Asumsi keempat ialah keberwujudan itu bersumber dari
kemestian wujud. Asumsi inipun tidak benar, karena konsekuensi keyakinan
terhadap kejamakan Wâjibul Wujûd adalah bahwa hakikat yang tunggal memiliki
keberwujudan-keberwujudan yang beragam, dan keragaman-keragaman bersumber dari
ketunggalan dan kesatuan (yakni kemestian wujud). Asumsi terakhir ini adalah
batal, karena – sebagaimana yang telah dijelaskan pada mukadimah pertama –
hakikat yang satu dan tunggal tidak mungkin mewujudkan keragaman dan kejamakan
secara langsung.
Oleh karena itu, dengan gugurnya empat asumsi di atas,
kita harus menerima asumsi ini bahwa keberwujudan adalah menyatu dan manunggal
dengan zat Wâjibul Wujûd. Dalam keadaan ini, tidak akan ada lagi sangkaan atas
kejamakan dan keragaman eksistensi Wâjibul Wujûd.”[5]
Argumentasi lain yang dipaparkan Ibnu Sina secara
prinsipil berbeda dengan argumentasi di atas yang berpijak pada kesatuan keberwujudan
dengan Wâjibul Wujûd, namun argumentasi berikut ini berdasarkan pada
kemustahilan kemungkinan kejamakan (dimana berlaku pada maujud non-materi).
Dengan penjelasan ini, Wâjibul Wujûd dipandang sebagai maujud non-materi dan
setiap maujud non-materi (baik Wâjibul Wujûd atau maujud lain) hanya memiliki
satu inidividu saja dan mustahil memiliki individu-individu yang beragam dan
jamak. Dengan demikian, Wâjibul Wujûd adalah tunggal dan esa.
Ibnu Sina menjelaskan, “Kita mengetahui bahwa kejamakan
dan keragaman individu dari spesies tertentu dipengaruhi oleh sebab dan faktor
eksternal. Efektifitas pengaruh faktor eksternal ini bergantung pada keberadaan
materi. Dengan demikian, jika salah satu dari spesies tertentu tersebut tidak
memiliki materi yang bisa menerima pengaruh sebab eksternal, maka tidak ada
jalan bagi kehadiran kejamakan individu. Maka dari itu, spesies di alam
non-materi hanya memiliki satu individu saja.[6]
Dimana saja ditemukan kejamakan individu, maka pasti
dipengaruh oleh faktor eksternal dan keberadaan materi sebagai penerima
pengaruh dan efek sebab eksternal tersebut. Kita tidak mungkin memiliki dua
hakikat seperti keputihan dan kehitaman manakala tidak ada materi yang bisa
menerima aksiden putih dan hitam, materi ini memungkinkan hadirnya
hakikat-hakikat lain. Dikarenakan Wâjibul Wujûd ialah maujud non-materi, dengan
demikian mustahil terwujud kejamakan Wâjibul Wujûd.”[7]
Di akhir pembahasan, Ibnu Sina menarik satu kesimpulan
bahwa Wajibul Wujud, dari sisi bahwa keberwujudan merupakan esensi zat-Nya,
adalah tunggal dan esa serta mustahil beragam. Dan juga dari sisi bahwa Wâjibul
Wujûdtidak memiliki banyak individu (karena kejamakan merupakan konsekuensi
materi dan Wâjibul Wujûdbukanlah maujud materi), Dia ialah tunggal dan tak
beragam.
4. Wajibul Wujud adalah Basith;
Wâjibul Wujûd adalah basith (tak terkomposisi). Dia tidak
memiliki bagian-bagian kuantitas dan rasional (genus dan diferensia), zat-Nya
tak tersusun dari materi dan forma serta bagian-bagian yang dapat dipilah-pilah
secara kuantitatif. Ibnu Sina berkata, “Apabila zat Wâjibul Wujûdterbentuk dari
dua bagian atau beberapa bagian, maka wujud-Nya pasti bergantung pada
bagian-bagian tersebut dan keberadaannya harus mendahului eksistensi Wâjibul
Wujûd, karena bagian-bagian itu ialah pembentuk zat-Nya. Dari sisi bahwa
kebergantungan eksistensi-Nya kepada faktor-faktor lain dan faktor-faktor ini
mendahului zat-Nya serta pembentuk wujud-Nya, dengan demikian Wâjibul Wujûd
mustahil tersusun dari segala bentuk bagian-bagian.”[8]
5. Wâjibul Wujûd tidak tersusun dari Wujud dan Kuiditas;
Berbeda dengan mumkinul wujud (makhluk) yang terbentuk
dari dua bagian analitik (wujud dan kuiditas). Wâjibul Wujûd tidak terangkap
dari dua hal ini. Dari sisi pembagian wujud dan kuiditas, Dia pun adalah basith
dan tidak menerima segala bentuk pembagian. Ibnu Sina berkata, “Segala sesuatu
yang wujudnya adalah bukan zatnya itu sendiri, wujudnya ialah bukan pembentuk
kuiditasnya, dan wujudnya bukan bersumber dari kuiditas. Dengan demikian, wujud
segala sesuatu itu merupakan hal aksiden yang terpancar dari sebab
eksternalnya. Dan karena mustahil Wâjibul Wujûd bergantung pada sebab lain,
maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa Wâjibul Wujûd, dari sisi wujud dan
kuiditas, ialah tunggal, yakni wujud-Nya tak berbeda dengan kuiditas-Nya,
kuiditas-Nya ialah wujud-Nya sendiri.”[9]
6. Wâjibul Wujûd, bukan Benda dan Materi;
Ibnu Sina menjelaskan, “Segala sesuatu yang wujudnya
bergantung kepada benda dan materi, keberadaannya juga pasti dengan perantaraan
benda dan materi itu. Maujud seperti ini secara esensial tidak terwujud
langsung dan mandiri, tetapi eksistensinya membutuhkan benda tersebut. Oleh
karena itu, Wâjibul Wujûd bukan suatu hakikat yang bergantung kepada benda dan
materi serta tak memiliki sifat aksiden yang bendawi. Wâjibul Wujûd juga bukan
benda, karena setiap benda memiliki beberapa bentuk kejamakan dan keragaman,
antara lain:
Kejamakan kuantitas. Benda dapat terbagi secara
kuantitatif;
Kejamakan kuiditas. Setiap benda terangkap dari materi
dan forma (yang berada di alam eksternal) serta tersusun dari genus dan
diferensia (yang berada di alam pikiran);
Kejamakan bilangan.
Akibat adalah segala sesuatu yang bergantung kepada yang
lain atau memiliki bentuk-bentuk kejamakan, oleh karena itu, setiap benda dan
segala sesuatu yang memiliki sifat kebendaan mesti adalah akibat. Kesimpulan,
setiap benda dan hakikat kebendaan ialah bukan Wâjibul Wujûd.”[10]
7. Wâjibul Wujûd tidak Memiliki Kuiditas;
Pembahasan ini merupakan kelanjutan tauhid dan pembuktian
ketidakberangkapan zat Tuhan. Ibnu Sina menolak bentuk lain dari kejamakan zat
Wâjibul Wujûd dan menekankan ketunggalan zat-Nya. Kejamakan yang ditolak oleh
Ibnu Sina pada poin ini adalah kejamakan kuiditas (yakni suatu keragaman yang
berhubungan dengan kuiditas sesuatu). Pada umumnya, segala makhluk, dari aspek
kuiditasnya, tersusun dari diferensia dan genus, namun zat Tuhan dari aspek ini
adalah juga tunggal dan tak memiliki genus dan diferensia.[11]
Untuk menetapkan konsep ini, zat Tuhan tidak ditempatkan
dalam kategori kuiditas supaya tak memiliki kesamaan genus dengan maujud lain.
Ketika Wâjibul Wujûd tidak memiliki genus maka zat-Nya tidak butuh kepada
diferensia, dengan demikian zat-Nya tak terangkap dari kedua hal itu.
Ibnu Sina menjelaskan bahwa Wâjibul Wujûd sama sekali
tidak memiliki kesamaan kuditas dengan makhluk, karena kuiditas-kuiditas selain
Tuhan memiliki sifat imkan (yakni hubungannya dengan wujud dan tiada adalah
sama, atau bisa ada dan juga bisa tiada), sementara Tuhan adalah maujud yang
mustahil memiliki sifat imkan tersebut dan Dia ialah niscaya dan mesti berada.
Dengan demikian, Wâjibul Wujûd tidak memiliki kuiditas.
Dan walaupun Tuhan tidak memiliki kesamaan kuiditas
dengan makhluk, namun bisa muncul suatu prasangka bahwa apakah wujud itu
sendiri dapat dipandang sebagai genus yang merupakan unsur kesamaan antara
Wâjibul Wujûd dan mumkinul wujud? Yakni wujud merupakan suatu pengertian yang
mencakup Tuhan dan selain-Nya serta ditempatkan sebagai genus dari keduanya?
Ibnu Sina berkeyakinan bahwa prasangka dan asumsi seperti
ini adalah keliru, karena wujud itu sendiri tidak tergolong kedalam kuiditas
dari mumkinul wujud sehingga seperti kategori (maqulah) dan genus bagi kedua
realitas eksistensi tersebut. Ibnu Sina memaparkan, “Wujud bagi mumkinul wujud
adalah bukan menyatu dengan kuiditasnya dan bukan bagian dari kuiditasnya.
Dengan makna bahwa wujud tidak manunggal dengan kuiditas mumkinul wujud, tetapi
merupakan sesuatu yang aksiden dan berada di luar kuiditas mereka. Sementara
wujud pada Wâjibul Wujûd ialah menyatu dan manunggal dengan kuiditas-Nya. Oleh
karena itu, Wâjibul Wujûd sama sekali tidak memiliki kesamaan genus atau
spesies dengan mumkinul wujud. Dengan demikian, Tuhan tidak memiliki unsur
kesamaan genus dan speies dengan makhluk sehingga membutuhkan diferensia yang
memisahkan genus-genus dari spesies yang sama. Wâjibul Wujûd secara esensial
berbeda dengan segala makhluk. Zat-Nya tidak memiliki genus dan diferensia, karena
itu Tuhan tidak dapat didefenisikan.”[12]
Sebagaimana substansi (jauhar) didefenisikan sebagai
sesuatu yang tidak bergantung pada subyek, oleh karena itu Wâjibul Wujûd
seperti substansi-substansi yang juga memiliki genus . Dengan demikian, Tuhan
tergolong ke dalam kategori substansi. Namun, jika kita mencermati secara
mendalam, maka kita akan memahami bahwa pandangan tersebut adalah keliru,
karena makna dari “sesuatu yang tidak bergantung pada subyek” adalah bukan
sesuatu yang aktual; yakni defenisi substansi adalah sesuatu yang non-aktual
dimana tidak terletak dan bergantung pada subyek.
Dikarenakan jika keberwujudan aktual, secara hakiki,
ialah substansi yang dimaksud, maka dalam kondisi ini, seharusnya proposisi
“Hasan adalah substansi” secara langsung kita akan memahami bahwa Hasan saat
ini ialah berwujud secara aktual, sementara tidaklah demikian. Kita mengetahui
bahwa begitu banyak sesuatu merupakan substansi, namun kita ragu akan
keberadaan dan hakikatnya. Maka dari itu, kita tidak bisa mengetahui tentang
eksistensi dan keberadaan sesuatu dengan berangkat dari ke-substansi-an sesuatu
itu. Kesimpulannya, dalam defenisi substansi tidak bisa digunakan kalimat
“maujud aktual”, namun defenisi resmi substansi disebutkan, “suatu kuiditas
yang apabila berwujud, maka wujudnya tidak terletak dan tidak bergantung pada
subyek”.
Defenisi ini mencakup semua substansi-substansi spesies
dan seperti genus bagi mereka. Makna ini secara esensial bisa dipredikasikan
pada individu-individu substansi seperti Ali, Hasan, pohon, dan lain-lain.
Individu-individu ini, walaupun merupakan predikat dari makna substansi
tersebut, tidak bergantung pada sebab. Sementara kalau kalimat “maujud aktual”
digunakan dalam makna resmi substansi dan lantas dipredikasikan kepada individu-individu
substansi, maka pastilah membutuhkan sebab eksternal. Oleh karena itu, ketika
kita tidak bisa mempredikasikan “maujud aktual” itu dengan tanpa adanya sebab
(‘illah) eksternal kepada semua individu substansi, maka kita pun tidak bisa
memandang bahwa “tidak bergantung pada subyek” itu sebagai suatu sifat esensi
untuk semua maujud. Maka dari itu, makna substansi dimana dipandang seperti
genus yang dipredikasikan atas hakikat-hakikat berbeda seperti Hasan, Ali, dan
lain-lain tidak bisa dipredikasikan atas Wâjibul Wujûd, karena substansi itu
adalah suatu kuiditas yang jika terwujud maka tidak membutuhkan subyek.
Sementara Wâjibul Wujûd tidak memiliki kuiditas sehingga
kaidah tersebut mencakup atas-Nya. Dengan memperhatikan bahwa ketika “maujud
aktual” tidak bisa dianggap sebagai genus yang dipredikasikan atas
hakikat-hakikat berbeda, dengan menambahkan makna negasi “tidak membutuhkan
subyek” juga kita tidak bisa gunakan itu sebagai genus untuk semua hakikat yang
berbeda, karena menambahkan makna negasi itu tidak akan mengubah dasar
proposisi (defenisi substansi) itu. Dengan ungkapan lain, tema “maujud aktual”,
kalau dengan menambahkan syarat negasi “tidak butuh pada subyek” adalah
tergolong kuiditas substansi, maka dengan menambahkan syarat positif ” membutuhkan
subyek” pastilah juga benar sebagai genus atas semua akisden.
Dalam kondisi ini, semestinya aksiden-aksiden yang
sembilan itu akan tergolong kedalam satu kategori saja (yakni semuanya
tergolong ke dalam kategori “maujud aktual yang membutuhkan subyek”), sementara
semua filosof tidak menerima hanya satu kategori itu yang diletakkan sebagai
satu genus tertinggi untuk semua aksiden-aksiden.”[13]
8. Wâjibul Wujûd tidak memiliki Lawan;
Ibnu Sina menjelaskan, “Dengan memperhatikan bahwa
“lawan” memiliki dua makna, antara lain:
Makna “lawan sesuatu” secara umum adalah bahwa dari sisi
kodrat dan kekuatan memiliki kesetaraan dengan sesuatu itu dan bisa bertahan
dihadapannya serta dia dapat menghalangi semua perbuatannya. Berpijak pada
makna ini, Wâjibul Wujûd tidak memiliki lawan, karena segala sesuatu selain-Nya
adalah akibat-akibat-Nya dan akibat tidak mungkin bisa setara, identik, dan
berhadapan dengan sebabnya sendiri, apalagi menghalangi segala perbuatan-Nya;
Makna “lawan” dalam istilah khusus. Defenisi “lawan”
berdasarkan ahli logika dan filsafat adalah dua sesuatu yang mustahil berkumpul
jika ditempatkan secara bersamaan di dalam satu subyek, seperti hitam dan putih
yang mustahil berkumpul secara bersamaan dalam satu benda, yakni satu benda
yang putih dan pada saat yang sama mustahil adalah benda yang hitam. Begitu
pula di antara dua sesuatu itu harus berbeda secara ekstrim dari sisi hakikat,
zat, dan esensinya serta satu sama lain saling berlawanan dan kontradiksi.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa defenisi tersebut juga tak mencakup Wâjibul
Wujûd, karena defenisi tersebut hanya meliputi aksiden-aksiden dan Wâjibul
Wujûd tidak butuh pada sesuatu selain-Nya yang memungkinkan sesuatu mengaksiden
pada wujud-Nya.”[14]
9. Wâjibul Wujûd Mengetahui Zat-Nya Sendiri;
Pada poin ini, Ibnu Sina memaparkan sifat lain dari
Wâjibul Wujûd, yakni ilmu Tuhan kepada zat-Nya sendiri. Tema ini sangat penting
karena merupakan mukadimah atas ilmu Tuhan kepada segala maujud. Ibnu Sina
berkata, “Dari sisi bahwa Wâjibul Wujûd merupakan zat yang swa-mandiri (yakni
suatu zat yang sama sekali tidak bergantung kepada sesuatu) dan merupakan wujud
non-materi. Dengan demikian, dari aspek bahwa zat-Nya yang swa-mandiri dan
non-materi[15] tersebut, maka secara esensial Dia memahami dan mengetahui
zat-Nya sendiri.”[16]
10. Metode Pembuktian Eksistensi dan Sifat Wâjibul Wujûd;
Perhatikanlah bahwa bagaimana dengan hanya berkontemplasi
dan tafakkur secara teliti dan mendalam berkaitan dengan masalah wujud dan
eksistensi serta tidak membutuhkan hal-hal lain, kita bisa menegaskan dan
membuktikan eksistensi Wâjibul Wujûd, kesatuan dan ketunggalan-Nya, dan
kesucian-Nya dari segala kekurangan! Dengan hanya memperhatikan “wujud dan
eksistensi” itu sendiri, kita bisa menarik kesimpulan mendasar dan prinsipil
berhubungan dengan konsep ketuhanan. Dalam metode ini, kita tidak menggunakan
keberadaan makhluk untuk menegaskan eksistensi Wâjibul Wujûd, sifat-sifat, dan
perbuatan-perbuatan-Nya (sebagaimana yang dilakukan oleh para teolog).
Para teolog menetapkan dan membuktikan keberadaan
Pencipta (Tuhan) dengan perantaraan keberadaan alam semesta dan menggunakan
keteraturan sistem alam untuk menegaskan sifat-sifat Wâjibul Wujûd. Walaupun
metode ini adalah juga benar dimana berpuncak pada penegasan eksistensi dan
sifat Wâjibul Wujûd, namun metode dan cara kami lebih baik dan lebih
meyakinkan, karena kita meyakini keberadaan Tuhan dari “eksistensi dan wujud”
itu sendiri dan setelah pembuktian eksistensi-Nya, secara bertahap, menegaskan
sifat, nama, dan perbuatan-Nya. Metode kami ini lebih unggul jika dibandingkan
dengan metode yang berangkat dari perbuatan Tuhan dalam menegaskan eksisensi
dan sifat Tuhan.
Dua metode tersebut secara resmi diungkapkan dalam
al-Quran, metode yang digunakan oleh para teolog terdapat pada permulaan ayat,
Tuhan berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Sementara dalam akhir ayat tersebut
Tuhan berfirman, “Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”[17]
Bagian akhir ayat ini dimana Tuhan merupakan saksi atas
segala sesuatu adalah metode dan jalan yang digunakan oleh para shiddiqin
(metode argumentasinya disebut burhan shiddiqin). Tuhan adalah saksi atas
seluruh realitas, bukan segala realitas (alam) sebagai saksi atas eksistensi
Tuhan. Alam semesta dipahami dan diketahui dengan perantaraan Tuhan, dan bukan
sebaliknya (dengan perantaraan alam semesta diketahui keberadaan Wajibul
Wujud).”[18]
Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu...
Ttd: Wong Edan Bagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar