Laku
Hakikat Hidup Dalam Mengenal Sifat-Sifat Tuhan (Dengan Metode KUNCI). Bagian. 1
Oleh:
Wong Edan Bagu;
Kenalilah Tuhanmu Sejak Dini:
Salah satu prinsip yang memiliki akar terpenting dalam
pandangan dunia (word view), pengenalan manusia, ideologi, dan wacana filsafat
adalah pengenalan terhadap Sumber Eksistensi dan Sang Pencipta.
Karena pengetahuan tentang Sang Pencipta sebagai
pengetahuan tertinggi maka pandangan dunia yang tidak didasarkan padanya
merupakan sebuah pandangan yang tidak rasional dan rendah. Korelasi-korelasi
yang terdapat pada bagian-bagian partikular dari sistem mekanisme universal
alam semesta yang dipandang terjadi secara kebetulan dan tanpa tujuan adalah
bersumber dari suatu pandangan bahwa maujud-maujud alam tidak memiliki tujuan
penciptaan, hal ini berkonsekuensi pada pengingkaran Sang Pencipta. Walaupun
ada sebagian pemikir yang memandang bahwa Tuhan pernah ada secara azali dan Dia
lah yang menciptkan alam semesta ini beserta sistemnya yang maha sempurna,
namun ragu akan keberadaan Tuhan yang bersifat abadi... Nah, kelompok pemikir
seperti ini tetap kita golongkan sebagai pengingkar Tuhan.
Manusia yang meyakini keberadaan Sang Pencipta dengan
orang yang tidak meyakininya adalah dua hakikat yang berbeda secara
fundamental. Dari sinilah sehingga pengenalan terhadap Sang Pencipta memiliki
peran yang sangat signifikan dalam pengenalan dan pertumbuhan kesempurnaan
manusia. Pengenalan kepada Sang Pencipta adalah inti dan substansi pembentukan
hakikat manusia.
Demikian juga, pembahasan tentang ketuhanan memiliki
saham yang sangat besar dalam pembahasan epistemologi. Gagasan-gagasan para
pemikir dan filosof Ilahi dalam pembahasan epistemologi sangat berbeda dengan
pendapat-pendapat kaum ateis, bahkan kadangkala sangat kontradiktif.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan secara cermat
dan mendetail terhadap berbagai pikiran dan pendapat tentang ketuhanan serta
menghindarkan diri dari segala fanatisme dan taklid-buta serta sebisa mungkin
melakukan observasi atasnya, karena menganggap remeh persoalan ini akan
berujung pada kelemahan keimanan, merusak pilar keagungan manusia, dan
menghancurkan kemuliaan akhlak manusia.
Disamping pengkajian filosofis tentang ketuhanan adalah
sesuatu yang sangat urgen dan fundamental, seluruh agama Ilahi secara nyata
memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengenalan kepada Tuhan dan
mengarahkan perhatian manusia kepada realitas bahwa Tuhan merupakan sumber dari
segala eksistensi, penyebab seluruh kebaikan, dan seluruh yang terjadi di alam
ini merupakan kehendak-Nya. Agama Ilahi hadir untuk membangunkan fitrah-fitrah
manusia, menekankan argumentasi-argumentasi akal atas fenomena ontologi,
epistemologi, kosmologi, dan eskatologi, serta memberikan nasehat-nasehat
kepada umat manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Sumber Hakikat.
Prinsip utama agama adalah keyakinan kepada eksistensi
Tuhan yang menciptakan segala realitas. Perbedaan mendasar antara pandangan
dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya
keyakinan kepada Tuhan. Maka dari itu, langkah pertama yang harus dilakukan
oleh seorang pencari kebenaran menegaskan eksistensi Tuhan.
Untuk menegaskan eksistensi Tuhan itu, langkah umum yang
harus dilakukan adalah dengan pendekatan akal dan argumen-argumen rasional,
karena jalan ini diterima oleh semua manusia. Semua manusia memiliki akal dan
menggunakannya dalam rutinitas kehidupannya. Tidak satu pun manusia yang
mengingkari akal dan fungsinya.
Untuk mengenal Tuhan, terdapat dua bentuk pengetahuan
yaitu pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli. Pengetahuan hudhuri adalah
mengenal Tuhan dengan hati, yakni tanpa perantara pemahaman yang bersifat
konseptual di pikiran. Orang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah,
tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Namun, pengetahuan hudhuri tidak dialami oleh semua manusia
tanpa sebelumnya membentuk jiwanya
melalui perjalanan spiritual yang islami. Adapun tingkatan terendah dari
pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh semua orang, namun karena tidak dilandasi oleh kesadaran
rasional maka tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang universal.
Mengenal Tuhan melalui pengetahuan hushuli adalah
berkaitan dengan konsep-konsep universal yang terbentuk dalam pikiran manusia.
Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari kajian rasional dan argumentasi
filosofis tergolong ke dalam pengetahuan hushuli ini. Pengetahuan ini pada
hakikatnya merupakan dasar bagi lahirnya pengetahuan hudhuri.
Disamping dua bentuk pengetahuan di atas, terdapat
pengetahuan lain yang umum digunakan dalam pembahasan teologis, yakni pengetahuan
fitriah. Untuk mengetahui bentuk pengetahuan ini, pertama-tama kita mesti
mengenal kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “sebuah bentuk penciptaan”. Sesuatu itu dikatakan bersifat
fitrah ketika hakikat penciptaan suatu
realitas menuntut akan hal itu.
Tiga sifat pada perkara-perkara fitriah:
1. Perkara-perkara fitriah bagi makhluk-makhluk satu
spesis adalah sama, walaupun kualitasnya berbeda, ada yang lemah dan kuat;
2. Perkara-perkara fitriah bersifat tetap dalam diri manusia
dan tidak mengalami perubahan dalam rentangan zaman;
3. Perkara-perkara fitriah itu adalah bagian dari penciptaan
makhluk, karena itu tidak diperoleh melalui proses pembelajaran, namun
diperlukan bimbingan untuk memperkuat dan mengembangkannya.
Perkara-perkara fitriah yang ada pada manusia terbagi dua
macam:
Pengetahuan-pengetahuan fitriah yang dimiliki oleh setiap
orang yang tanpa memerlukan proses belajar;
Kecenderungan-kecenderungan fitriah:
Mayoritas pemikir agama memandang pengetahuan tentang
Tuhan (ma’rifatullah) sebagai pengetahuan fitriah. Dan kecenderungan kepada
Tuhan, menghamba kepada-Nya dan kesadaran beragama yang ada pada setiap manusia
sebagai kecenderungan fitriah.
Perlu diperhatikan bahwa pada setiap individu terdapat
derajat pengenalan fitriah kepada Tuhan. Oleh karena itu, mungkin setiap orang
akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar
secara sederhana. Kemudian ia meningkatkan dan memperkokoh pengenalan
kepada-Nya sampai pada tingkat tersingkap mata batin dan musyahadah. Namun,
potensi-potensi fitriah pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari. Maka
dari itu, mereka memerlukan argumentasi rasional dan pembahasan rasional untuk
dapat mengenal Tuhan secara pasti dan sadar. Disamping itu, argumentasi
rasional sangat urgen bagi orang-orang yang sudah tertutup mata hatinya ataukah
orang-orang yang sudah terjebak dalam pemikiran materialisme atau isme-isme
lain yang anti ketuhanan.
Tentang Pandangan Dunia:
Pandangan dunia manusia terbagi empat:
1. Pandangan dunia empiris, yaitu pandangan yang hanya berpijak pada data inderawi, fisikal, dan empiris;
2. Pandangan dunia filosofis, yaitu pandangan yang
bersandar pada analisis rasional dan penalaran akal;
3. Pandangan dunia religius, yaitu pandangan yang
diperoleh lewat kepercayaan kepada para pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan
mereka;
4. Pandangan dunia irfani (gnostik),yaitu pandangan yang
dicapai melalui alur kasyf (penyingkapan
batin) dan syuhudi (penyaksian batin).
Wilayah pengetahuan empirik hanya terbatas pada
fenomena-fenomena alam materi, maka dari itu tidak mungkin bisa mengetahui
secara menyeruluh dasar-dasar penciptaan alam semesta dan menyelesaikan
berbagai persoalan yang bersangkutannya. Persoalan-persoalan fundamentasl alam
semesta di luar jangkauan ilmu-ilmu empiris, karenanya, ilmu empiris manapun tidak bisa menolaknya atau
menegaskannya. Misalnya, kita tidak mungkin dapat membuktikan keberadaan Tuhan
melalui observasi di laboratorium. Indra lahiriah tidak dapat menilai ada tiadanya
sesuatu di luar alam materi.
Pada sisi yang lain, berbagai perkara-perkara hudhuri dan
syuhudi yang ingin dijabarkan dengan kata-kata
dan konsep mesti memerlukan kemampuan nalar tertentu yang tidak dapat
dicapai kecuali dengan dasar-dasar analisis rasional dan filosofis.
Lagi pula, sering terjadi kekeliruan men-syuhud atau
“menyaksikan”, gambaran-gambaran khayalan dipandang sebagai hakikat realitas .
Seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin
kecuali setelah melakukan sair-suluk irfani (menapaki jalan spiritual)
bertahun-tahun lamanya. Sementara persoalan-persoalan tentang Sang Pencipta dan
keberadaan alam semesta ini adalah hal yang urgen dan harus segera ditegaskan
demi menetapkan langkah awal dalam proses keberimanan seseorang. Dari satu
sisi, sair suluk irfani itu adalah sesuatu yang bersifat praktis bukan
teoritis, yakni sebelum memasuki sair suluk itu semestinya seseorang harus
meyakini secara teoritis tujuan sair suluk-nya, yakni wujud Tuhan itu sendiri
dan pengetahuan tentang-Nya. Nah, penetapan teoritis wujud Tuhan hanya dapat
dilakukan secara maksimal dengan analisis rasional dan observasi akal.
Kesimpulannya, satu-satunya cara bagi seseorang yang
berupaya mencari solusi terhadap masalah-masalah substansial pandangan dunia dan
pengetahuan yang benar tentang Sang Pencipta adalah jalur logika dan metode
rasional. Maka dari itu, pandangan dunia yang hakiki adalah pandangan dunia
filosofis.
Mustahil Mengenal Hakikat Tuhan:
Hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenali. Tak terjangkaunya
masalah ini oleh pikiran manusia bisa digambarkan sebagai berikut: karena Tuhan
merupakan sebuah hakikat tak terbatas yang dalam ketakterbatasan-Nya pun tak
terbatas. Dia adalah Esa, tanpa ada yang serupa dengan-Nya, dan tanpa ada yang
mampu menandingi-Nya, maka:
Hakikat zat yang tak terbatas ini sama sekali tidak akan
bisa ditangkap oleh pikiran manusia yang terbatas dan tak akan bisa berada
dalam lingkup pikiran seseorang, karena apa yang ada dalam lingkup pikiran dan
bisa dikuasai oleh akal adalah terbatas; dan segala sesuatu yang digapai – yang
selain Tuhan – adalah terbatas;
Dalil ini bisa dipaparkan sebagai berikut bahwa tak bisa
diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk dan akibat Tuhan, dan suatu akibat
tidak akan pernah bisa melingkupi sebabnya;
Demikian juga bisa dipaparkan dengan metode ketiga, yaitu
tidak ada sebuah maujudpun di alam ini yang mampu mengetahui hakikat zat Tuhan,
melainkan seluruh pengenalan yang dimiliki oleh manusia hanya terbatas pada
aksiden-aksiden dan sifat-sifat benda. Apabila kita mendefinisikan air, maka
kita akan mengatakan bahwa air adalah sebuah benda cair tak berwarna dan tak
berasa yang memiliki massa tertentu. Pada prinsipnya, seluruh yang kita
utarakan berkaitan dengan benda adalah penjelasan mengenai sifat-sifatnya, akan
tetapi tentang apa substansi dan hakikat air itu sendiri hingga sekarang ini
belum terlontarkan. Demikian juga apabila kita menjelaskan air sebagai sesuatu
benda cair yang terbentuk dari dua unsur tertentu (yaitu oksigen dan hidrogen),
maka permasalahan yang sama akan kita temukan pada kedua unsur tersebut dimana
kitapun harus mendefinisikan tentang kekhususan, aksiden, dan sifat-sifat yang
dimiliki oleh kedua unsur tersebut.
Meskipun makna dan pengertian ‘wujud’, ‘keberadaan’, dan
‘eksistensi’ adalah sangatlah jelas dan pemahaman tentang ‘wujud’ itu sendiri
tidak membutuhkan satupun penjelasan semantik, akan tetapi mengenai hakikat zat
Tuhan tidaklah demikian, karena zat Tuhan benar-benar berada di luar jangkauan
akal-pikiran manusia. Ilmu manusia terhadap “hakikat-hakikat” alam adalah tidak
pasti. Jadi, apabila hakikat maujud-maujud alam ini tidak bisa ditangkap oleh
pikiran dan tidak berada dalam kewenangan akal, lantas bagaimana hakikat
Pencipta alam ini apakah bisa dipahami oleh akal dan diketahui?
Perlu ditegaskan bahwa pengenalan akal dan filsafat
kepada Sang Pencipta dan maujud-maujud alam semesta adalah bersifat universal
dan tidak menyentuh wilayah hakikat zat. Walaupun akal tidak dapat menjangkau
hakikat zat segala sesuatu, namun pengenalannya yang bersifat universal itu
sangatlah berarti dan merupakan langkah awal bagi manusia untuk melakukan
perjalanan spiritual dan menggapai puncak kesempurnaannya. Tanpa pengenalan
awal ini mustahil manusia mampu meniti jalan spiritual secara pasti dan
berkelanjutan. Agamapun tidak berada dalam koridor memberikan pengenalan hakiki
tentang zat Tuhan, walaupun agama menjelaskan tentang sifat-sifat Ilahi pada
batas-batas tertentu secara partikular, namun manusia tetap tidak dapat
menjangkau dan meliputinya secara hakiki. Karena pada dasarnya, pengenalan
hakiki adalah meliputi zat dan sifat sesuatu secara utuh dan menyeluruh dengan
tidak meninggalkan sedikitpun keraguan tentangnya.
Argumen Rasional Keberadaan Tuhan:
Argumentasi terbentuk dari dua premis yang memiliki
korelasi khusus dan melahirkan sebuah konklusi. Apabila kita mengatakan
“Socrates adalah manusia” dan “Setiap manusia pasti akan mati”, maka
kesimpulannya pasti adalah, “Socrates pasti akan mati”. Sekarang apabila kita
mengetahui bahwa Tuhan adalah Pencipta manusia, sementara dalam hal ini manusia
dan kedua premis argumentasi beserta korelasi antara keduanya dan kesimpulan
yang dihasilkannya pada dasarnya adalah “akibat-akibat” dari Tuhan itu sendiri.
Dengan demikian, hakikat argumentasi yang tidak lain adalah ‘hubungan’ itu
sendiri kepada Tuhan, tidak akan mampu secara mandiri menjadi bukti dan dalil
sempurna atas hakikat zat Tuhan. Hasil maksimal yang dicapai dari bentuk
argumen seperti ini adalah keberadaan Tuhan secara global.
Pengenalan hakiki tentang zat Tuhan adalah sebagaimana
seseorang yang berada di dalam matahari dan kemudian melihat terangnya alam,
baginya, zat matahari adalah dalil bagi munculnya sinar yang terang itu, bukan
sebaliknya, terangnya alam yang menjadi dalil atas keberadaan matahari.
Nah, pengenalan dalam wilayah hakiki ini memang tidak
berada dalam tanggung jawab filsafat dan wewenang akal, tapi berhubungan dengan
wilayah pengetahuan irfani. Mula Sadra berkata, “Dia tidak membutuhkan dalil,
melainkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu”.
[1] Apa yang diungkapkan oleh para filosof dan teolog
dalam bentuk argumentasi atas pembuktian wujud Tuhan, pada hakikatnya sebagai
bentuk peringatan atas kelalaian-kelalaian manusia dan untuk membangunkan
manusia dari “tidur”nya.
Argumentasi-argumentasi filosofis dan teologis disamping
hanya sebagai bentuk peringatan bagi manusia juga untuk menjawab berbagai
keraguan-keraguan filosofis dan kritikan-kritikan akal yang diajukan oleh
manusia tentang eksistensi Tuhan, misalnya berbagai sanggahan yang diajukan
oleh kaum Ateisme seputar masalah-masalah ontologi. Dalam hal ini, argumentasi
rasional dan filosofis tentang ketuhanan tetap bermanfaat bagi kehidupan
keberagamaan manusia, meskipun masing-masing argumentasi yang ada itu memiliki
kelemahan dan kekuatan yang berbeda.
Dari seluruh argumentasi yang ada, argumentasi yang
paling sempurna adalah yang berangkat dari pengenalan “sebab” kepada
“akibat”nya dan kalimat yang menghubungkan (middle term) dua premis argumen
(minor dan mayor) adalah sebab hakiki bagi premis mayor, sebagaimana ketika
kita mengatakan, “Darah orang ini terinfeksi, dan setiap orang yang memiliki
darah terinfeksi akan memiliki suhu badan yang sangat tinggi, jadi orang ini
memiliki suhu badan yang sangat tinggi”, dimana middle term-nya adalah
“darahnya terinfeksi” yang juga merupakan sebab hakiki untuk premis mayor yakni
“memiliki suhu badan tinggi”. Argumentasi semacam ini dinamakan a priori
demonstration (burhan limmy, argumentasi dari sebab ke akibat). Akan tetapi,
argumentasi yang berangkat dari “akibat” ke “sebab” yang disebut dengan
posterior demonstration (burhan inny) menduduki tingkatan yang lebih rendah,
sebagaimana kalau kita ingin membuktikan orang yang pernah melewati suatu jalan
dengan melihat bekas tapak kaki yang ditinggalkannya.
Sebenarnya bisa dikatakan bahwa kita belum sampai pada
argumentasi yang sempurna, karena ketika melihat suatu akibat dan menyifatinya
sebagai bentuk keakibatan lantas hal itu ditempatkan sebagai dalil, sementara
belum dibuktikan bahwa hal itu benar-benar suatu akibat dari sebab tertentu,
dan secara langsung ditetapkan keberadaan sebab dari akibat tersebut. Bagaimana
hal ini bisa diyakini bahwa akibat itu secara hakiki adalah akibat dari sebab
tertentu?
Dengan demikian, sekedar penyipatannya sebagai suatu
akibat tidak bisa dijadikan dalil untuk membuktikan suatu sebab tertentu.
Selama kita tidak menemukan sebab hakikinya mustahil
diketahui akibatnya.
[2] Tentunya posterior demonstration ini memiliki bagian
lain yang mirip dengan a priori demonstration, yakni berangkat dari satu
keniscayaan mengarah pada keniscayaan yang lain, seperti ketika kita
mengatakan, “Alam adalah realitas yang mengalami perubahan (dari potensi ke
aktual), dan setiap realitas yang berubag adalah baru-tercipta (hadits, yakni
pernah tiada kemudian mengada). Jadi, “alam adalah baru-tercipta (hadits)”.
Dalam argumentasi ini, perubahan dan keterciptaan pada dasarnya merupakan dua
hal yang saling meniscayakan, yakni perubahan berkonsekuensi atau meniscayakan
suatu keterciptaan. Argumentasi ini, meskipun tidak sekuat a priori
demonstration, akan tetapi dalam filsafat, ilmu logika, fisika, kimia, dan ilmu
matematika sangatlah penting dan bermanfaat.
Tentunya sebagian dari argumentasi yang telah diuraikan
untuk membuktikan eksisitensi Tuhan adalah argumentasi yang mirip dengan a
priori demonstration, sebagaimana argumentasi wujub dan imkan yang sangat
penting dan mempunyai peran khas dalam mengkontruksi asas-asas makrifat, akan
tetapi dalam argumentasi shiddiqin akan mengantarkan kita dari suatu
‘keberadaan’ kepada ‘keberadaan murni’. Dalam argumentasi ini, yang ada
hanyalah kemutlakan wujud. Terutama penjabarannya Allamah Thabathabai yang
serupa dengan syair yang berbunyi: Matahari adalah dalil bagi wujud matahari
itu sendiri.
Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu...
Ttd: Wong Edan Bagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar