Oleh: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan
Kudus. Senin tgl 18/08/2014
Salah satu wujud dan sifat khas masyarakat Jawa adalah
bersikap prihatin dengan mengutamakan lelaku. Mengutamakan lelaku disini
bertujuan untuk menuju kepada jalan makrifat mencapai ‘Jumbuhing Kawula lan
Gusti’.
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi atau tentang
menuntut ‘ngelmu dan lelaku’ dapat kita jumpai dalam ‘Serat Wedhatama’ karangan
Sri Mangkunegara IV, Pupuh II – tembang Pucung, bait pertama yang berbunyi :
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas, tegase kas nyantosani
Satya budya pangekese dur angkara
Terjemahannya :
Ilmu itu, harus diperoleh melalui laku (belajar)
Dalam belajar niatnya harus kuat & mantap
Sabar tawakal untuk menghancurkan sifat angkara murka
Jika ajaran diatas diterapkan dalam kehidupan nyata maka mengandung
makna bahwa untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan hidup, entah itu dalam
hal material maupun spiritual diperlukan sebuah dasar pondasi yang kuat dan
kokoh, kemudian harus memahami dasar ilmu tersebut baik secara teoritis maupun
aplikatif melalui praktik (lelaku) dalam kehidupan riil.
Pondasi yang kuat diatas digambarkan sebagai kekuatan
jiwa yang memiliki daya hangngedab-edabi (dahsyat) sebagai wujud semangat
makaryo (bekerja) untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu juga
diimbangi dengan semangat pengabdian yang tulus untuk manembah artinya
menjalani aktivitas ibadah keagamaan (hablum minallah), lelaku spiritual &
ritual budaya.
Konsep keseimbangan tersebut juga berlaku sebagai dasar
falsafah hidup orang jawa, Jika orang Jawa mengenal konsep : ‘Narimo ing
Pandum’ (menerima takdir Illahi) bukan berarti dalam memenuhi kebutuhan hidup
cukup dengan bermalas-malasan dan ibarat menunggu rezeki yang turun dari langit
saja, artinya bahwa orang Jawa pada umumnya memiliki sikap prihatin dan etos
kerja yang kuat untuk terus berusaha makaryo nggayuh kamulyaning gesang ndonya
akherat.
Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya
terjelma didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan
kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan
sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak
berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk
mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih,
tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti
bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan
kemampuan & kompetensi masing-masing.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang
senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual
kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang
pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan
masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk
sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya.
Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan
ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan
konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak
memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang
mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal
hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan alam kelanggenggan nantinya.
SEMOGA BERMANFA’AT DAN BERKAH... He he he . . . Edan
Tenan... Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Selalu saudara-saudariku semuanya
tanpa terkecuali dimanapun berada.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar