Menthok menthok:
Menthok menthok tak kandhani
Saksolahmu angisi-isini
Mbok ya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu
lagu ini dulu sering saya nyanyikan dan saya dengar di saat
masih duduk di bangku SD. mungkin kawan kawan yang sewaktu kecil tinggal di
jawa timur dan tengah ingat dengan lagu ini.
20 tahun berlalu dan tiba tiba saja teringat lagi. dulu saya
tak pernah tahu filosofi dibalik lagu ini. yang saya tahu lagu ini tentang
bebek dan konco konconya.
entah angin apa yang membawa saya tiba tiba ke romantisme
masa lalu ini. lagu dolanan itu terasa sangat sarat makna sekali.
mungkin sebelum melebar, saya mau coba mengalih bahasakan
menjadi bahasa indonesia. biar ngerti semua, ben adil. mungkin kira kira
seperti ini:
Menthok menthok tak kandhani : (menthog adalah panggilan
halus untuk bebek) menthog menthog kuberitahu ya?
Saksolahmu angisi-isini : perilakumu itu kok bikin malu
Mbok ya aja ngetok : mbok ya jangan keliatan
Ana kandhang wae : di kandang saja
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe : enak enak tidur tidak
bekerja
Menthok-menthok mung lakumu : menthog menthog gayamu itu
Megal-megol gawe guyu : megal megol bikin ketawa
kurang lebih sih begitu.
nah, sekarang masalah filosofi menurut saya dibalik lagu
ini.
semua sepakat, bahwaJawa adalah bagian dari Indonesia serta
bagian dari Nusantara. dan bangsa besai punya budaya dan kekhasannya sendiri.
1.SANTUN yang MENUNTUN
sebagai bangsa timur kita memiliki kekhasan yang mungkin tak
dimiliki bangsa lain. tutur kata yang tak menyakiti dalam berkomunikasi, adalah
salah satunya
menthog dipakai untuk mengganti kata bebek, yang mungkin
terdengar kurang sopan. sebenernya ini pembelajaran bagus agar dalam mengkritik
memakai bahasa yang sopan dan tak menyakiti. terkadang yang terjadi sekarang
adalah pokoknya protes dulu, mikirnya belakangan. lah itu kan ngisin isini
(memalukan). memalukan diri sendiri dan juga mempermalukan orang lain. trus
gunanya buat apa? wong yang rugi malah semuanya.
2. Jago Kandang
banyaknya protes yang terjadi kebanyakan ada tanpa tahu
benar masalah masalah di seputar hal yang diprotes tersebut. semua hanya
dilihat dari satu sisi. sisi ego dan sisi “kandangnya” sendiri.
si “jago kandang” tak akan pernah besar.
ya kan besarnya di kandang, segitu gitu aja dunianya.
dan segitu gitu aja pemahamannya.
dibalik internet yang bisa memudahkan semua, dan teknologi
serta jaman yang serba modern. sosial dalam arti yang sebenarnya terasa lebih
mewah dibandingkan dunia semu dan terbatas yang ibarat kandang untuk kita.
“menyenangkan tetapi membodohkan”
3. Bangun tidur
saya sendiri sebenernya hobi tidur, tidur menjadi tempat
paling damai supaya otak ga gitu gitu amat bekerjanya. istirahat dulu.
poin yang saya tangkap dari “jangan tidur melulu, mulailah
bekerja” entah kenapa lebih luas.
“tidur” saya ibaratkan sebagai kesadaran kita yang tertidur,
yang mungkin selama ini kita hanya menjadi mesin atau robot, yang mungkin hanya
mengejar hasil thok, atau yang pulas ditimang ke”wah”an budaya lain dan konco
konconya, yang pada akhirnya mempercepat kehancuran identitas kita sebagai
suatu bangsa.
kan ada ungkapan tuh
“cara cepat menguasai dan menghancurkan suatu bangsa, bunuh
sejarah dan budayanya”
“kerja” pun seakan tak hanya sesempit arti kerja itu
sendiri. yang hanya melakukan sesuatu untuk mencari uang, lalu membeli makan,
kenyang dan begitu seterusnya. ada ungkapan dalam bahasa jawa
kerjo iku kanggo ndholek jenang lan jeneng. ( kerja itu
untuk mencari jenang yang manis dan nama )
jenang pastilah harta tapi jenang yang terlalu manis dan
banyak dimakan berlebihan pun juga akan membuat muntah. wong eneg kemanisan.
jeneng artinya nama. nama kalau boleh saya lebarkan maknanya
adalah “kita ingin dinilai sebagai orang yang bagaimana”, yang hanya mengejar
“jenang”, “jeneng” atau “jeneng karena memberikan jenang yang enak untuk orang
lain dan bangsa ini”.
4. gayamu agawe guyu
gaya ya perlu, setiap identitas pasti perlu gaya, tapi kalo
kebanyakan pastilah eneg orang ngeliatnya. saya akhirnya tersadar sekarang
dengan kalimat “seperlunya saja”. yang mungkin agak jarang saya temui di
megapolitan ini. dimana kamu diliat dari gayamu, dari sepatumu, dari duitmu,
dari merk pakaianmu. dari pekerjaanmu dan konco konconya again. yang pada
akhirnya membuat kamu menjadi budaknya gaya. pada akhirnya kita lupa, bahwa
manusia itu sendiri lebih berharga dari pada sekedar gaya yang artificial juga.
ada pepatah bagus seperti ini bunyinya:
“emas dalam tumpukan tai tetaplah emas, dan tai di tumpukan
emas, tetaplah tai”
perenungan ini sebenernya pribadi, buat bekal anak cucu saya
lah. kalau ada yang merasa terganngu dan tercolek ya saya minta maaf.
dan belajar dari lagu dolanan ini, ada kalanya kita tak
sadar bahwa kebijaksaan bangsa kita terdahulu ternyata dalam dan berguna.
rumput tetangga mungkin jauh lebih indah, tapi tetap itu bukan punya kita :)
Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah selalu...
Ttd: Wong Edan Bagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar