(Artikel Kusus Dewasa)Tentang Seks menurut Pengalaman Pribadi. Wong Edan
Bagu. Didukung Oleh Firman Allah dan Sabda Rasulullah saw, serta beberapa artikel
Para Tokoh ternaman dan terkenal lainya:
Ada Yang Lebih Indah Daripada Sekadar Jima’
Rasulullah Saw. bersabda, “Tidakkah
kalian mau saya beritahu tentang wanita ahli surga?” Kami berkata, “Tentu ya
Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap istri yang wadud (sayang) dan
walud (banyak anak). Apabila ia membuat marah suami atau menyakiti hatinya atau
suami marah kepadanya, ia berkata, ‘Inilah tanganku berada di tanganmu. Saya
sungguh tidak bisa menikmati tidur dan istirahat sehingga engkau ridha
kembali,” (HR. At-Thabrani, shahih).
DR ACHMAD Tafsir pernah bercerita bahwa
orang sering meremehkan masalah seksual dalam keluarga, padahal banyak krisis
keluarga yang sebetulnya terjadi dikarenakan adanya masalah-masalah seksual
yang tidak diselesaikan. Kedua belah pihak tidak terbuka.
Dalam perkembangan waktu
masalah-masalah itu kemudian terakumulasi, dan akhirnya meledak menjadi krisis
keluarga. Ada sikap-sikap ekstrem terhadap seks itu, yang tidak seluruhnya
benar. Begitu Jalaluddin Rakhmat menulis di dalam makalahnya yang kemudian
diterbitkan bersama makalah dari beberapa penulis lain dalam buku Keluarga
Muslim dalam Masyarakat Modern (Remadja
Rosdakarya, Bandung, 1993).
Seks dalam keluarga merupakan masalah
suci. Islam memberi tempat bagi manusia untuk menghidupkan aktivitas seks bagi
suami-istri. Allah menyediakan kemuliaan akhirat ketika suami-istri memenuhi
kebutuhan seksnya, sekalipun itu sekadar untuk memperoleh kesenangan dari
kekasihnya yang sah. Ketika seorang suami memandang istrinya, atau istri
memandang suami, dengan penuh syahwat untuk bercumbu atau berjima’, Allah
memandang mereka dengan pandangan rahmat. Alhasil, seorang muslim yang baik
juga perlu memahami tuntunan Islam mengenai seks agar perilaku dan kebutuhan
seksnya mempunyai nilai di hadapan Allah.
Sikap ekstrem dalam masalah seks,
sebaiknya dihindari. Menyibukkan dalam zikir sehingga melalaikan kebutuhan seks
istrinya, tidak dipandang sebagai kemuliaan oleh agama. Begitu juga, tidak
benar seorang istri menenggelamkan diri dengan kesibukan ibadah sehingga
mengakibatkan kebutuhan seks suami terlantar.
Abu Sa’d menuturkan, Rasulullah Saw.
pernah menegur istri Shafwan ibn Mu’attal karena terlalu banyak beribadah
sehingga mengganggu kehidupan perkawinannya. Wanita itu biasa membaca dua surah
yang panjang-panjang dalam shalat Isya’nya, sehingga membuat suaminya menunggu.
Ia juga kerap melakukan puasa tanpa seizin suaminya, yang membuatnya kelelahan
dan menghindari setiap kesempatan untuk melakukan hubungan intim dengan
suaminya di siang hari (karena hubungan seksual dilarang ketika melakukan
ibadah puasa). Rasulullah memberikan peraturan demi suaminya, kata Ruqayyah
Waris Maqsood. Beliau menganjurkan untuk membatasi bacaannya pada satu surah
saja, dan puasa bila diizinkan suaminya.
Hal yang sama juga terjadi ketika
Rasulullah Saw. mendengar tentang seseorang yang suka berkhalwat, yaitu
‘Abdullah ibn ‘Amr. Ia biasa melakukan shalat di sepanjang malam dan puasa di
sepanjang siang. Rasulullah menasehatinya untuk tidak berlebihan dalam
ibadahnya seraya mengatakan, “Matamu mempunyai hak atas kamu, tamumu mempunyai
hak atas kamu, dan istrimu pun mempunyai hak atas kamu.” (HR Bukhari).
Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rahmat
bagi suami-istri yang melakukan jima’. Allah juga memberikan kenikmatan surgawi
yang sangat menyenangkan ketika kita berjima’. Jima’ memberikan kelegaan dan
keindahan dalam rumah tangga. Jima’ sangat penting dalam menjaga keharmonisan
hubungan suami-istri. Ia bisa mempererat jalinan perasaan dua orang yang
berlainan jenis itu.
Jima’ begitu penting dalam menegakkan
kehidupan rumah tangga. Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Manusia
membutuhkan ketenangan (sakinah), cinta kasih dan rahmah. Jima’ hanyalah salah
satu wasilah (perantara) untuk mencapai ketenangan jiwa karena gejolak syahwat
dapat disalurkan melalui jalan yang halal dan dihormati Allah. Karena itu,
jima’ secara halal dapat menambah kecintaan suami-istri.
Jima’ hanyalah wasilah. Ketika
seseorang melakukan jima’, maka yang paling penting bukanlah kenikmatan bersetubuh,
tetapi ketenangan jiwa, kejernihan hati, dan kelapangan dada dari beban karena
desakan itu bisa disalurkan dengan baik. Sekalipun demikian, jima’ bukan semata
peristiwa biologis. Ia juga merupakan peristiwa psikis.
Ketika jima’ terhenti hanya sebagai
peristiwa biologis, maka yang ia peroleh hanyalah kenikmatan sesaat inzal
(ejakulasi bagi laki-laki, lubrikasi dan keterangsangan bagi wanita).
Sesudahnya tak ada ketenangan hati dan ketenteraman jiwa saat menjalani
kehidupan bersama dalam rumah tangga, saat mendidik anak, dan saat
memperjuangkan komitmen kehidupan. Atau barangkali hal-hal semacam ini sudah
tidak mengusik hati, karena keresahan jiwa sudah menjadikan mereka sibuk
terhadap kenikmatan-kenikmatan periferal (semu). He he he . . . Edan Tenan.... Salam Rahayu Lurr....
Tapi BERSAMBUNG... hehe.:-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar