WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Rabu, 30 Juli 2014

Setiap Diri Manusia adalah Tuhan bagi Dirinya Sendiri:

Oleh: Wong Edan Bagu

Syehk Lemah Bang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri, Asma Allah itu sesungguhya diriku, ya akulah yang menjadi Allah ta’ala.

Setiap diri manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri, sekilas kata itu mirip Firaun yang mengatakan ” Aku tidak percaya Tuhan Musa, Aku lebih percaya pada Tuhan saya sendiri “. Nah, adakah kesalahan harfiah dalam statement saya dan Firaun tersebut ?

Tentu, statement itu bukanlah kajian secara harfiah/ kulit belaka, statement itu lebih mengacu kepada kajian diri. Kajian diri adalah kita selalu mengkaji/ membaca ke diri kita sendiri sebelum menengok ke luar. Masalah ketuhanan adalah masalah ‘personal’ masalah yang very very personality.

Sekarang kita balik bertanya kepada diri kita, “Apakah Allah SWT nya Nabi Muhammad sama dengan Allah SWT nya kita ? kalau mengacu kepada kajian harfiah, maka akan tampak sama, letak kesamaannya di nama Allah SWT itu sendiri. Tetapi kalau kita kaji ke dalam diri, akan tampak beda bagai jarak bumi dan langit. Allah nya Muhammad itu NYATA, berkata-kata, membimbing, melindungi secara langsung tanpa batas sehelai benang sekalipun, Nah, bagaimana dengan kita, apakah Allah SWT itu berkata-kata/ membimbing secara langsung ?

Sehingga secara tak sadar tapi sadar kita menyembah Allah yang bisu/tuli, apakah tidak sama dengan kita menyembah patung ?
Apakah kita harus pasrah begitu saja menerima doktrin/ dogma bahwa hanya Rasul yang bisa menerima bimbingan secara langsung ?
Apakah kita harus menyerahkan nasib jiwa kita setelah mati nanti kepada dalil/ dogma/ doktrin yang cenderung melemahkan/ merendahkan kemampuan diri kita ?
Apakah kita harus menelan mentah-mentah ajaran-ajaran agama yang keras dan cenderung membungkam akal sehat kita ?
Apakah kita dengan sikap pasrah. menyerah, berkeyakinan terhadap suatu ajaran agama, maka jiwa kita akan yakin 100 % terselamatkan ?

Dengan kata lain manusia sekarang kebanyakan BERJUDI dengan iman, amal dan ilmu nya yang diyakininya sendiri. Berjudi dengan menggantungkan keyakinan kepada orang lain... Wow... He he he . . . Edan Tenan.

Setiap diri manusia itu punya modal dasar sama yaitu yang disebut akal dan hati nurani, bila akal atau otak tidak dimerdekakan maka hatinuraninya akan ‘ mati’. Otak itu ibarat mesin katrol untuk mengerek hati nurani supaya hidup, setelah hidup maka sang hati nurani akan menghidupkan diri kita yang selama ini mati. Hati nurani yang hidup menghidupkan itu adalah cikal bakal Dzat Tuhan untuk tumbuh menguatkan diri kita. Hati nurani akan berevolusi tergantung motor penggerak nya yaitu otak, semakin berpikir cerdas maka hati nuraninya semakin kuat dan berkualitas. Hati nurani dalam kondisi puncak sering disebut sebagai Tuhan, Allah dll. Jadi Tuhan itu tak lain adalah DIRI KITA YANG TINGGI yang sering disimbolkan/ disebut dengan AKU. Sehingga tidak salah ada orang yang mengatakan, spiritual yang modern dan canggih itu adalah memakai  OTAK. Yang di praktekan dengan Rasa, bukan perasa’an.

Kembali ke judul ” Setiap diri manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri ” maka adalah suatu pendakian spiritual ke dalam dirinya sendiri sampai dirinya ada dalam kesadaran penuh yang tinggi, sampai secara real dan nyata dirinya adalah RASULULAH (Rasa Nya Allah) atau gambaran Allah atau perwujudan Allah. Allah itu adalah AKU, diri pribadi ku yang tinggi. Kalau sudah ke maqam/ tingkatan ini maka tak akan ada lagi penolakan terhadap perbedaan, tak kan ada lagi pengkotak-kotakan iman yang diberi label agama, tak kan ada lagi perjudian ilmu, iman dan amal setelah kematian, tak ada lagi kegelisahan/ ketakutan terhadap permasalahan duniawi, tak kan ada lagi simbol-simbol agama yang akan menjeratnya, tak kan ada lagi fatwa-fatwa luar yang mampu menembus dirinya, yang ada dirinya adalah KEBEBASAN. Bebas, lepas dan merdeka menyelami kehidupan di dunia ini karena keyakinan yang sudah terbangun kokoh dalam dirinya, dengan kata lain dirinya sudah hidup manunggal dengan Tuhan. Kalau sudah manunggal/ bersatu apakah mungkin harus menengok ke luar dirinya lagi ?
( Wong Edan Bagu. Kudus Rabu tgl 30/07/2014)

Tuhan adalah Pribadi ku, Pribadi yang nyata
Nyata dalam tubuh ku
Bebaskan otak dan hati mu !
Agar diri mu mempunyai Pribadi yang Kuat
sebagai bekal untuk berjalan di rel Kebenaran Hidup.
Sesuai FirmanTuhanmu Dan Sabda Rasulmu

Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu. Semoga Bermanfa’at.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan

SHALAT DAIM:

Memahami Shalat Daim;
Oleh: Wong Edan Bagu

APA ITU SHALAT DAIM??
Sebelum kita mempelajari Shalat Daim, ada baiknya kita memahami dulu, apa sebenarnya arti dari kata Shalat itu. Arti daripada shalat adalah mengingat-ingat GUSTI ALLAH (Dzikrullah) di waktu duduk, berdiri dan melakukan aktivitas dalam kehidupan ini. Sedangkan kata Daim itu memiliki arti terus-menerus ataupun tak pernah putus.

Jadi, jika kedua kata itu digabungkan maka Shalat Daim itu berarti mengingat-ingat GUSTI ALLAH tanpa pernah putus. Atau Dzikrullah secara terus menerus. Salah satu contoh dari Shalat Daim dapat kita tauladani dari sejarah saat Sunan Bonang menggembleng Raden Mas Syahid sebelum bergelar Sunan Kalijaga.

Saat itu Sunan Bonang sudah mengajarkan apa yang dinamakan Shalat Daim pada Raden Mas Syahid. Bagaimana Shalat Daim itu?
Pertama kali Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri.

Menurut ajaran dari Sunan Bonang, Shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, pasrah pada kehendak GUSTI ALLAH. Raden Mas Syahid tidak disuruh untuk dzikir ataupun melakukan ritual apapun. Apa rahasia dibalik duduk diam tersebut?
Cobalah Anda duduk dan berdiam diri. Maka hawa nafsu Anda akan berbicara sendiri. Ia akan melaporkan hal-hal yang bersifat duniawi pada diri Anda. Hal itu semata-mata terjadi karena hawa nafsu kita mengajak kita untuk terus terikat dengan segala hal yang berbau dunia.

Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun setelah sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan benar-benar tidak memiliki daya untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan lenyap. Dalam kondisi demikian, manusia akan berada dalam kondisi nol atau suwung total. Karena ego dan hawa nafsu sudah terkalahkan.

Demikian juga dengan kondisi Raden Mas Syahid ketika bertapa di pinggir kali. Ia hanya pasrah dan tidak melakukan ritual apapun. Hanya diam dan hening. Hingga akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan GURU SEJATINYA.

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”

Lewat Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu ;
UTAMANING SARIRA PUNIKI,
ANGRAWUHANA JATINING SALAT,
SEMBAH LAWAN PUJINE,
JATINING SALAT IKU,
DUDU NGISA TUWIN MAGERIB,
SEMBAH ARANEKA,
WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT,
PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAT DAIM, INGARAN TATA KRAMA.

(Keutamaan diri ini adalah mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib (shalat 5 waktu). Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).

Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Shalat sejati adalah SHALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas.

Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat Suluk Wujil, yaitu;

PANGABEKTINE INGKANG UTAMI,
NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA,
PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU,
SASOLAHE RAGANIREKI,
TAN SIMPANG DADI SEMBAH,
TEKENG WULUNIPUN,
TINJA TURAS DADI SEMBAH,
IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN.

(Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir).

Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak. Intinya adalah segala perbuatannya adalah sholat. Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat (Q.S Al-Ma’aarij : 70:23)

Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim ini modelnya seperti apa?
Ah.. tentu saja tidak bisa dibeberkan disini karena sholat daim adalah “oleh-oleh” dari hasil pencarian spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah memiliki kematangan spiritual.

Sholat daim adalah sholatnya orang ‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam. Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu?
Nah sholat lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :

Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17)
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25)

Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM, sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya. Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan mudah terlupakan. Kalau Allah terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.

Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang tertulis dalam Suluk Wujil :

Utaming sarira puniki
Angawruhana jatining salat
Sembah lawan pujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembaning salat daim
Ingaran tata karma

Artinya : “Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama”

Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar.

Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar.

PAWELING;
PIYANDEL lan PAMAIBEN punika angalang-ngalangi pangertos tumrap dhateng ingkang nyata,
PIYANDEL lan PANGGAYUH punika akibating raos kuwatos; dene KUWATOS punika ngerem BABLASING PIKIRAN, lajeng trimah ngajeng-ajeng lan ngganta-ngganta.
(ANA APA-APA KUNCI. LANGKA APA-APA KUNCI. KUWI HAKIKAT SEJATINING SHALAT DAIM)
( Wong Edan Bagu. Kudus minggu tgl 27/07/2014)

Untuk bisa merasakan makna Hu...Allah, syariat harus baik dan tertib, dan dijalankan sesuai dengan apa yang tertuang dalam wahyu Illahi..melalui rasul-rasulNYA...

Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh selamat Selalu.
Ttd: Wong Edan Bagu

Putra Rama Tanah Pasundan

DASAR DAN INTI PIWULANG JAWA:

7. Sifat Kang Murbeng Dumadi;
4. Piwulang dasar penghayatan orang jawa Kepada Khaliknya;
5. Piwulang inti penghayatan orang jawa Kepada Khaliknya;
Oleh: Wong Edan Bagu
 
Gusti Kang Murbeng Dumadi Masyarkat Jawa sudah mengenal suatu kekuatan yang maha dengan Nama Gusti Kang Murbeng Dumadi jauh sebelum agama masuk ke tanah Jawa dan sampai ke tradisi saat ini yang dikenal dengan Kejawen yang merupakan “Tatanan Paugeraning Urip” atauTatanan berdasarkan dengan Budi Perkerti Luhur. Keyakinan dalam masyarakat mengenai konsep Ketuhanan adalah berdasarkan sesuatuyang Riil atau “Kesunyatan” yang kemudian di realisasikan dalam peri kehidupan sehari-hari dan aturan positip agar masyarakat Jawa dapat hidup dengan baik dan bertanggung jawab. Tiga hal yang mendasari Masyarakat Jawa mengenai Konsep Ketuhanan yaitu :

1. Kita Bisa Hidup karena ada yang meghidupkan, yang memberi hidup dan menghidupkan kita adalah Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Maha Esa.

2. Hendaknya dalam hidup ini kita berpegang pada “Rasa” yaitu dikenal dengan “Teposeliro” artinya bila kita merasa sakit di cubit maka hendaklah jangan mencubit orang lain.

3. Dalam kehidupan ini jangan suka memaksakan kehendak kepada orang lain “Ojo Seneng Mekso” seperti apa bila kita memiliki suatu pakaian yang sangat cocok dengan kita, belum tentu baju itu akan sangat cocok dengan orang lain. Mengenai Sang Murbeng Dumadi, Kaki Semar mengatakan “Gusti Kang Murbeng Dumadi ing ngendi papan tetep siji, amergane thukule kepercayaan lan agomo soko kahanan, jaman,bongso lan budoyo kang bedo-bedo. Kang Murbeng Dumadi iso maujud opo wae ananging mewujudan iku dede Gusti Kang Murbeng Dumadi” atau dengan katalain “ Tuhan Yang Maha Esa itu di sembah di junjung oleh semua manusia tanpa kecuali. oelh semua agama dan kepercayaan. Sejatinya Tuhan Yang Maha Esa itu Satu dan tak ada yang Lain.

Yang membedakanya hanya cara menyembaah dan memujanya dimana hal tersebut terjadi karena munculnya agama dan kebudayaan dari jaman Kaki Semar memberikan piwulangnya mengenai konsep dasar penghayatan Mahluk Kepada Khaliknya yaitu Manusia harus mengehathui Tujuh Sifat Kang Murbeng Dumadi.

Tujuh Sifat Kang Murbeng Dumadi;
1. Tuhan Itu Satu , Esa dan tak ada yang lain, dalam bahasa jawa di sebut “ Gusti Kang Murbeng Dumadi”

2. Tuhan itu bisa mewujud apa saja , tetapi pewujudan itu bukanlah Tuhan.”Ananging wewujudan iku dede Gusti “ yang artinya “ yang berwujud itu adalah Karya Allah.

3. Tuhan Itu ada dimana-mana.”Dadi Ojo Salah Panopo, Mulo nang ngendi papan ugaono Gusti “ maksudnya walau Tuhan ada dimana mana, Tuhan satu juga “Nang awakmugo ono Gusti” maksudnya manusia itu dalam lingkupan Tuhan secara jiwa danraga. Tuhan ada dalam dirinya tetapi manusia tak merasakanya dengan panca indra, hanya dapat di rasakan dengan “Roso” bahwa dia ada.”Ananging ojo sepisan pisan awakmu ngaku-aku Gusti”maksudnya manusia harus sadar jiwa dan raga ini hanyalah Karya Allah, walaupun DIA ada dalam Manusia tetapi jangan sekali kali manusia mengaku DIA.

4. Tuhan Itu Langgeng, Tuhan Itu Abadi.dari masal dahulu, sekarang, esok dan sampaiseterusnya Tuhan, Gusti Kang Murbeng Dumadi tetaplah Tuhan dan tak akan berubah.

5. Tuhan Itu tidak Tidur “ Gusti Kang Murbeng Dumadi ora nyare” maksudnya Tuhanitu mengetahui segalanya dan semuanya, tak ada satupun kata hilaf dan lalai.

6. Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan Itu Maha Penyayang. maksudnya Tuhan itu mahaadil tak membeda bedakan kepada mahluknya, siapa yang berusaha dia yang akan mendapatkan.

7. Tuhan Itu Esa dan Maha Kuasa, apa yang di putuskannya tak ada yang dapat menolaknya, Dengan menyadari hal tersebut manusia di harapkan :

Empat Piwulang dasar penghayatan orang jawa Kepada Khaliknya;
1. “Manungso urip ngunduh wohe pakertine dhewe dhewe” maksudnya manusia akan menerima apa yang dia tanam, bila baik yang di tanam, maka yang baiklah akan diaterima.

2. Manusia hidup pada saat ini adalah hasil / proses dari hidup sebelumnya.atau”manungso urip tumimbal soko biyen,nek percoyo marang tumimbal”ada petuah yang mengatakan “ Apabila kamu hendak melihat hidupmu kelak, maka lihatlah hidupmu sekarang, bila hendak melihat hidupmu yang lalu, maka lihatlah hidupmu sekarang”

3. “Manungso urip nggowo apese dhewe dhewe” maksudnya agar kita menghilangkan sifat iri,dengki,tamak, sombong sebab saat mati tak ada sifat duniawi tersebut dibawa dan mengntungkan kita.

4. Manusia tak akan mengerti Rahasia Tuhan, “Ati lan pikiran manungso ora bakal iso mangerteni kabeh rencananing Gusti Kang Murbeng Dumadi:” maka Manusia hiduplah“sak madyo” dan tak perlu “nggege mongso”.ada petuha mengatakan “ Hiduplah dengan usaha, tapi janganlah dengan harapan, karena bila gagal maka yang merasakan diri kita juga”Maka dalam hal ini Kaki semar menganjurkan Manusia memohon dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa dengan”Eling lan Percoyo,Sumarah lan seumeleh lan mituhu”kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lima Piwulang inti penghayatan orang jawa Kepada Khaliknya;
1. Sumarah : Berserah, Pasrah, Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sumarah,manusia di harapkan percaya dan yakin akan kasih saying dan kekuasaan Gusti Kang Murbeng Dumadi, Bhawa DIA lah yang mengatur dan aka memebrikan kebaikan dalam kehidupan kita. Keyakinan bahwa apabila kita menghadapai gelombang kehidupan makaAllah akan memebrikan jalan keluar yang terbaik bagi kita.

2. Sumeleh : artinya Patuh dan Bersandar kepada Allah Yang Maha Esa . Manusia sebagai hamba hanya lah berusaha dan keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan yang maha Esa, maka dengan sumeleh ni manusia di harapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya .

3. Mituhu : artinya patuh taat dan disiplin.I. Tatanan Paugeraning Urip.Petuah Kaki semar menenai Tatanan Paugeraning Urip bagi manusia dalam mengisi Kehidupanya di alam fana ini :

4. Eling Lan Bekti marang Gusti Kang Murbeng Dumadi : maksudnya Manusia yangsadar akan dirinya akan selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa.dimanaAllah yang Esa telah membrikan kesepantan bagi manusia untuk hidup dan berkarya dialam yang Indah ini.

5. “Percoyo lan Bekti Marang Utusane Gusti”: maksudnya Manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah sesuai dengan ajarannya masing-masing, dimana semua konsep para Utusan Allah tersebut adalah menganjurkan kebaikan.
( Wong Edan Bagu. Kudus Rabu tgl 30/07/2014)

Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh selamat Selalu.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan

Membuka Pintu/Mata Hati (Padmajaya)

Oleh: Wong Edan Bagu

Hati adalah :
- Kunci hubungan kepada Tuhan YME
- Pusat ketenangan
- Pusat kedamaian
- Pusat kebahagiaan sejati
- Pusat kesehatan fisik, mental dan emosional
- Pusat kemajuan spiritual
Pendekatan diri kepada Tuhan YME dengan membuka hati dan pasrah kepadaNya dalam hidup sehari-hari, spirit = diri sejati yang berada di dalam hati, spiritual = mengandalkan hati & berkah Tuhan YME. Dengan Hati yang terbuka kepada Tuhan YME maka :
- kita menjadi lebih dekat kepada Tuhan YME
- Berdoa kepada Tuhan dari hati
- Melakukan perbuatan baik kepada sesama dengan kasih
- Mensyukuri berkah Tuhan lebih baik
- Lebih pasrah
- Jauh dari stress
- Ringan, tenang, damai dan bahagia
- Sehat secara mental, fisik dan emosional
- Mengenali kebenaran sejati

Hati itu apa ?
Hati adalah Pusat Rasa karena diri sejati kita yang ada, adalah dzat dari Sang Pencipta berada di dalam hati. Hati adalah Pusat hubungan kepada Tuhan YME, karena keberadaan diri sejati yang ada, adalah dzat Sang Pencipta didalam hati. Otak dan tubuh fisik hanyalah sesuatu yang bersifat sementara. Hati adalah Pusat penerimaan berkat Tuhan YME. Hati adalah Pusat ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan sejati yang berasal dari berkah Tuhan YME yang diterima oleh hati. Hati terletak pada rongga dada... di dalam rongga dada terdapat cakra jantung didalam cakra jantung terdapat hati didalam hati terdapat sir... di dalam sir terdapat Rasa.

Mengapa hati yang sedemikian penting tidak dipergunakan secara maksimal ??
Pendidikan yang kita dapati selama ini lebih mengarahkan kita kepada pendidikan untuk otak (seperti pelajaran matematika, fisika, ilmu bumi dll) Dalam hidup sehari-hari, hampir setiap saat kita mempergunakan otak dan jarang sekali mempergunakan hati (itupun kalau ada) Setiap kali kita mempunyai emosi negatif seperti marah, sedih, takut, kecewa dan sebagainya kita mengotori hati kita. Dengan semakin banyaknya kotoran yang menumpuk didalam hati, maka hati akan semakin tertutup. Setiap kali kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati, maka hati akan menjadi semakin lemah.

Mengapa Hati selalu mengenali kebenaran ??
Karena hati sangat Khusus. Hanya Tuhan YME dan kita sendiri yang dapat mengAKSES hati kita oleh karena itu :
a. hanya kita yang dapat mengotori hati kita
b. hanya Tuhan YME yang dapat membersihkan dan membuka hati kita.

Tidak ada mahluk lain yang manapun yang dapat mengakses hati kita, termasuk malaikat, maupun mahluk suci/agung lainnya. Oleh karena tidak ada mahluk lain yang dapat mengakses hati kita, maka tidak ada yang dapat mempengaruhi hati kita sehingga hati selalu mengenali kebenaran, oleh karena itu janganlah kita takut untuk membuka hati.

Catatan :
Hati mengetahui kebenaran, tetapi bukan kebenaran sejati. Hanya Rasalah yang mengenali KEBENARAN SEJATI.

Hati & Rasa VS Otak & Perasa’an;
Hati & Rasa :
1. Merasakan dengan hati
2. Menyadari dengan hati
3. Mengetahui dengan hati
4. Santai, senyum dan mengandalkan Berkah Tuhan
5. Semakin digunakan semakin indah dan nikmat

Otak & Perasa’an :
1. Mempergunakan salah 1 dari kelima indra
2. Berpikir
3. Mencari
4. Berusaha
5. Apabila terlalu banyak dipergunakan otak akan menjadi lebih kuat dan lebih berat

EMOSI :
Marah, benci kesedihan ..... semakin diikuti semakin menjadi-jadi, semakin merusak Rasa dan suasana Hati (hidup). Dengan semakin kuat dan terbukanya hati, emosi-emosi negatif akan berkurang dan tidak mudah dipengaruhi oleh emosi negatif perasa’an.

Catatan :
Berlatih Olah Rasa Membuka hati, tidak membutuhkan bakat dan setiap orang mempunyai Hati dan Rasa, jadi, artinya setiap orang akan bisa. Tetapi, sebagian orang terkadang jarang sekali mengandalkan Hati & Rasa dalam hidup sehari-hari ( mengandalkan Perasa’an  tidak sama dengan Rasa), maka terkadang akan butuh sedikit waktu untuk dapat merasakan Rasannya Hati. Adalah sangat umum apabila dalam beberapa latihan pertama kita tidak merasakan apapun, kecuali capek dan jenuh. Apabila ini terjadi:
1. Janganlah membuka mata atau menghentikan latihan
2. Janganlah berusaha memperhatikan atau mendengarkan keadaan sekeliling
3. Tetap santai dan mengikuti latihan yang sedang dilakukan, maka secepat otak perasa’an santai Rasa Hati akan dapat merasakan apa yang sedang dilatih.
Butuh waktu :)
Rasa  yang saya sebutkan disini adalah Rasa dari dalam hati, jadi bukanlah Rasa dari kelima indra, jadi, tidak sama dengan merasa : terjepit, pedas, asin, terhimpit, terinjak, panas ata galat di gigit serangga/nyamuk. Rasa  disini paling mirip dengan apa yang kita Rasakan Sa’at mencapa Klimat sa’at Senggama/berhubungan badan/Seks.

Latihan banyak kemiripan namun memiliki fungsi yang berbeda2 karena setiap latihan berfungsi untuk mengaktifkan dan menguatkan bagian tertentu dari hati agar hati dapat terbuka dengan sebaik-baiknya, karena hati adalah sesuatu yang dalam, jadi, harap tetap mengikuti dan melakukan dengan sebaik-baiknya walaupun merasa telah dapat melakukan latihan sebelumnya. Setiap kali melatih hati dengan sebaik-baiknya pastilah hati akan semakin terbuka dan lebih baik lagi.

KUNCI. PAWELING. ASMA’ MIJIL DAN SINGKIR ADALAH:
Metoda alami untuk mengstimulasi hati dan mengandalkan berkah Tuhan YME. Bukan teknik yang diandalkan, melainkan kepasrahan Rasa dari Hati kepada Tuhan YME.
( Wong Edan Bagu. Kudus Senin tgl 28/07/2014)

Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh selamat Selalu.
Ttd: Wong Edan Bagu

Putra Rama Tanah Pasundan

HAKIKAT DARI AKSARA JAWA Ha Na Ca Ra Ka Dan PIWULANG BAB HA NA CA RA KA:

HAKIKAT DARI AKSARA JAWA Ha Na Ca Ra Ka Dan
PIWULANG BAB HA NA CA RA KA
Oleh: Wong Edan Bagu

HA = Hana hurip wening suci
         (Adanya hidup adalah kehendak yang Maha Suci)

NA = Nur candra,gaib candra,warsitaning candara
         (harapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi)

CA = Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
         (satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal)

RA = Rasaingsun handulusih
         (rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)

KA = Karsaningsun memayuhayuning bawana
         (hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam)

DA = Dumadining dzat kang tanpa winangenan
         (menerima hidup apa adanya)

TA = Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
         (mendasar ,totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang  hidup)

SA = Sifat ingsun handulu sifatullah 
         (membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan)

WA = Wujud hana tan kena kinira
          (ilmu manusia hanya terbatas namun bisa juga tanpa batas)

LA  = Lir handaya paseban jati 
         (mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi)

PA  = Papan kang tanpa kiblat 
          (Hakekat Allah yang ada di segala arah)

DhA = Dhuwur wekasane endek wiwitane 
           (Untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar)

JA  = Jumbuhing kawula lan Gusti
         (selalu berusaha menyatu -memahami kehendakNya)

YA  = Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
          (yakin atas titah /kodrat Ilahi)

NYA = Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki 
           (memahami kodrat kehidupan)

MA  = Madep mantep manembah mring Ilahi 
          (yakin - mantap dalam menyembah Ilahi)

GA  = Guru sejati sing muruki 
         (belajar pada guru sejati)

BA  = Bayu sejati kang andalani 
         (menyelaraskan diri pada gerak alam)

THA = Tukul saka niat 
         (sesuatu harus tumbuh dari niat)

NGA = Ngracut busananing manungso 
         (melepaskan egoisme pribadi-manusia)


PIWULANG BAB HANACARAKA
Oleh: Wong Edan Bagu

Ha.
Hananing wong sing ENENG duk dihin,
Hawarana anasir samoha,
Hagni angin bantala her,
Hiya Hyang Maha Luhur,
Hingkang wujud Eneng menuhi,
Hisining rat winahya,
Hobah osik tuhu,
Hamung saking ananing Hyang,
Hanartani jroning alam kabir sahir,
Hananing titahing Hyang.

1.  Asale manungsa kuwi saka “Eneng” ngrasuk awak-awakan anasir geni,angin, bumi, banyu.
2. Ana dene sing kita jejuluki asma Allah kuwi ENENG ngebaki alam semesta.
3. Kabeh isining jagad iki lan kabeh mobah mosik iki, sanyata saka anane Allah
4. Panjenengane anglimputi sadjroning jagad gede lan jagad cilik.
5. ……. kalebu ing aksara NA.

Na.
Nora akeh ingkang arsa uning,
Nalaring reh yen Sang Hyang Suksmana,
Nartani ing saanane,
Nadyan aran dumunung,
Neng isining jagad tan keni,
Netepken winastanan,
Neng kono dumunung,
Nanging mungguh Hyang Suksmana,
Namung namar namur more anartani,
Nora manggon mring ana.

Ha (10) ananing titahing Pangeran kuwi …
1. Ora akeh kang kepengin mangerti bab Allah, sing sipate nglimputi alam semesta iki.
2. Sanadyan katembungake “dumunung” ana ing isining jagad iki, ora kena diarani “manggon” ana ing kono
3. Allah kuwi, dumununge, momore, lan panglimpute, tembunge mung namar lan namur (tegese: ora katon tetela), mulane ya ora kena diarani manggon ana ing kahanan sing katon gumelar iki.

Ca.
Cekakane Hyang Kang Maha Suci,
Cetha nanging tan kena wineca,
Cag-ceg lamun nora ceceg,
Curna temah katrucut,
Cupet cacad yen nora lancip,
Ciptane tan trawaca,
Cutel nora cancut,
Caritane kang wus lancar,
Careming Hyang cihnane neng ati suci,
Cewet lamun den ucap.
1. Cekakane bab anane Allah kuwi ceta, nanging angel anggone nerangake
2. Cag-ceg pada duwe pangira, sing kita tengeri jejuluk asma Allah kuwi ‘iki utawa iku’, nanging pangira mau ora bener
3. Katrucute panganggep sing ora bener mau ateges cacat, awit pancen ora dong, mung awur-awuran wae, katarik saka buntune lan ketule akal pikirane.
4. Ana dene ngandikane sang wicaksana manunggale Pangeran kuwi kacihna ana ing ati suci, nanging yen dikandakake mengkono, iya kliru.

Ra.
Rasakena jroning sanubari,
Rumakete lawan angganira,
Raket lan rasa pamore,
Rorone lwir sajuru,
Rina wengi awor lestari,
Rata jroning sarira,
Rumasuk anurut,
Rosing urat daging darah,
Rambut-rambut kabeh kasrambah tan kari,
Rinoban uripira.

1. Rasakena ing ndalem atimu, sang Eneng sing nganggo awak- awakan anasir mau, anggone anjumenengi wadagmu, awor manunggal karo rasamu.
2. Anasir lan rasa kuwi bleger loro nanging kaya mung siji, sakarone rina wengi tansah awor.
3. Nyrambahi sajroning badan sakojur, rumasuk ing urat, daging, getih, dalah rambut pisan, ora ana sing kliwatan ora kesrambah. Ngerobi uripe manungsa iki.

Ka.
Kakekate kawruhana kaki,
Kaya priye yakine ingkang khak,
Kahanane Pangran mangke,
Kalamun sira ngaku,
Kahanane Hyang Suksma kaki,
Kumpul lan sira mangkya,
Kompra kumalungkung,
Kena ingaranan mokal,
Kudu ngaku kumpul lan kang mengku kaki,
Kuwur kurang weweka.
1. Kawruhana kanti yakin kepriye sanyatane kahanane Allah kuwi
2. Yen kowe ngrumangsani kahanane Allah kuwi kumpul karo kowe, kuwi panganggep kliru lan kumalungkung
3. Mokal banget ingatase kowe kuwi kawula sing kawengku, teka kumpul karo Allah sing mengku. Panganggep sing mangkono mau kuwur (kupur?) lan lacut (kurang weweka).

Da.
Dene lamun sira angingkedi,
Dumadinta datan awor ing dat,
Durung weruh ing kadaden,
Dadi mungkir ing pandum,
Dinalih yen dadi pribadi,
Duraka dora arda,
Datan wruh ing udur,
Dunungena kang waspada,
Darunaning jatining dat dennya dadi,
Dandananing dumadya.

1. Dene yen kowe anekadake dumadimu kuwi ora kasamadan Dattullah, sanyata kowe durung dong bab asaling dumadi.
2. Panganggep mengkono mau (ora ngrumangsani) ateges nyelaki kuwasaning Pangeran, pangiramu dumadimu kuwi “dengan sendirinya”. Panganggep mangkono mau duraka lan goroh banget, terang yen kowe ora ngerti marang kawruh bab dumadi.
3. Genahna sing gamblang, kepriye sabab musababe (darunane), dattullah (jatining dat) ngeja wantah awujud titah iki.

Ta.
Takokena mring kang wus patitis,
Teraping dat dennya moring titah,
Terangena wit tumetes,
Tekeng tlanakan tuntum,
Tata-tata amurweng gati,
Triloka amirantya,
Tigang candra tamtu,
Tamat rampung wujud kita,
Tinengeran kakung atanapi estri,
Tetela daya titah.

1. Takokna marang gurumu kepriye jelase pangeja wantahe dating Pangeran, awujud titah manungsa iki.
2.  Terangna wiwit banyuning Bapa tumestes ana ing guwa garbaning biyung, perkembangane dadi getih, banjur dadi daging, sabanjure kasinungan triloka (betalmakmur, betalmucharam, betalmukadas).
3. Sawise ganep telung sasi, sempurna wujud bayi, katamtokake dadi manungsa lanang utawa wadon.

Sa.
Sang Hyang Esa sangang wulan keksi,
Saking jroning guwa garba mesat,
Sumeleng suwung wiyose,
Sampun sarira rasul,
Sulihing Hyang minangka saksi,
Sing kwaseng Hyang Wisesa,
Sinung sih rinasuk,
Sinedhahan amisesa,
Sesining kang sarira Sang Hyang Sa maksih,
Sipat siki tan pisah.

1. Jatining dat sing ngejawantah mau, sawise sangang sasi, banjur metu saka guwa garba, awujud jirim mawa papan, jirim.
2. Bayi sing lahir saka guwa garba mau apengawak “utusan” minangka pratanda bab kuwasaning Pangeran.
3. Saka kuwasaning Pangeran, deweke kaparingan sih sarta ditugasake mranata dirine sakojur. Dene jatining Dat kuwi isih lestari sipat siji karo dirine, ora tau pisah.

Wa.
Wasitane pra parameng kawi,
Wali-wali neng srat kawi jarwa,
Wong urip jwa salah weweng,
Wruha wosing tumuwuh,
Wit sing purwa myang madya tuwin,
Wusana ajwa kewran,
Waskitaning kawruh,
Wruh woring kawula lawan,
Wujuding Hyang Winastan waluyeng uwit,
Wawasen den kawang-wang.

1. Para pujangga rambah-rambah paring wejangan kamot ing layang-layang tembang lan banjaran ngelingake wong urip mono aja salah weng-weng.
2. Kudu ngerti wose anggone dititahake kuwi kepriye. Kudu damang purwa, madyo, lan wusanane.
3. Waskitaning kawruh kuwi ngerti sagunging titah karo sing nitahake. Persudinen sing gamblang bab bisane mulih marang asal (asal saka pangeran, mulih marang pangeran).

La.
Laksitane lena den kalingling,
Lalangene nalikarsa ilang,
Luwih angel yen tan oleh,
Laraping kang pitulung,
Lenging wulang ingkang dumeling,
Luluh aneng dadalan,
Lingak-linguk linglung,
Liyepe kyeh kang kawulat,
Lalu lali kalunglun kang ngatingali,
Lebur keneng begalan.

1. Mangertio pangalaman nalikane sakaratul maut (ngancik plawanganing pati). Goda rencanane, nalika arep pecating nyawa kuwi Gawat, tumrap wong sing durung oleh wejangan sing ceta gamblang.
2. Sajroning ngalami krisis (gawat) kuwi, rumongso ora biso nerusake lakune, tingak tinguk bingung atine.
3. Ing waktu kuwi katon sesawangan werna-werna, samongso deweke lali kerem marang sawangan mau, ateges kebegal, ora patitis patine.

Pa.
Pati papa kalempiting kapir,
Pakolehe duk uripe tanpa,
Puruita panganggepe,
Patrape prapteng lampus,
Pantog tanpa kawruh nyukupi,
Prandene bareng wapat,
Paksa kempas-kempus,
Pan nora pasrah amapan,
Polahane palintiran nora apik,
Pratanda yen kalepyan.

1. Mati sing kasebut ing aksara LA baris angka sepuluh mau: mati sasar, jalarane suwung tanpa kawruh (kapir). Yakuwi akibate nalika isih urip ora gelem golek kawruh. Pamikire patrape mati kuwi gampang cukup tanpa kawruh.
2. Bareng ngancik plawangane pati kempas kempus, ora pasrah, ora mapan polahe palintiran, mracihnani yen deweke lali.

Dha.
Dhasar beda lan kang wus amundhi,
Dhawuhing sang Pandhita kang medhar,
Dhanurdara mung sumendhe,
Dhatenging kang riridhu,
Dhadhag dhokoh tyas tan kalindhih,
Dhineseg gora godha,
Dhangan nora kidhung,
Dhangah-dhangah mandi pedhang,
Dhatenging kang ripu wirodha tinandhing,
Dhinendha tadhah dhadha.

1. Wong sing wis tampa wejanganing guru bab kawruh kasampurnan, sayekti beda karo sing kasebuting aksara PA mau. Wong sing wis tampa wejangan kuwi, nalika ngancik sakratul-maut, mung sumendhe
2.  Ana reridu teka, ana goda rencana teka, deweke tatag wae, ora kaget lan ora mrebawani atine.
3.  Kaya wong anggawa pedang ligan, ana mungsuh teka nrajang yo ditandingi. Mungsuhe menthung nganggo ‘DHENDHA” dadhane diungalake.

Ja.
Jatining kang wus weruh ing janji,
Janji-janji janjining sang Dwidja,
Jenak jenjem karem ijen,
Jangkane mung angejum,
Jumenenging jiwangga mbenjing,
Jinungkung jro pamujan,
Jejeg terus tuwajuh,
Jejering driya prasaja,
Joging seja ing mbenjing praptaning janji,
Jatmika srah jiwarja.

1. Sing kacaritake ana ing aksara DHA kuwi wong sing wis insyaf yen wong urip kuwi pacangane pati. Lan wis oleh kaweruh saka gurune (utawa saka maca buku-buku) banjur tawakal lungguh ijen ‘olah cipta’.
2. Tujuane ora liya, supaya sakwise ninggal donya iku jiwane nemu lelakon opo benere. Mulane deweke ngulinake ngolah cipta ana papan mirunggang. Kanti temen-temen, sabar lan telaten.
3. Adege uripe prasaja, dene yen wis teka wektune kudu mati, iya bakal dilakoni kanti anteng lan pasrah.

Ya.
Ya marmane kulup kang kariyin,
Yaktekena waluyaring laya,
Yakina jrone urip kiye,
Yakti tan wurung layu,
Yen sira tan weruh kariyin,
Yuda-brataning laya,
Yatna liyep luyut,
Yitmanta wastu ngalaya,
Ywa pepeka myang mamrih mulyaning mayit,
Yogya den parsudiya.

1. Kulup, mulane wong kuwi perlu ngudi kawruh, supaya patine ora sasar. Soal pati kudu diyakinake sajrone isih urip iki.
2. Sabab wong urip mono mesti bakal mati. Yen kowe ora ngerti kawruh bab pati, iyo kuwi “yatno liyep luyut”, oncate jiwamu saka raga bakal klambrangan.
3. Aja gumampang Lho !. Lan maneh, kawruh supaya jinasahmu mulya, uga perlu kok parsudi.

Nya.
Nyataning neng nyatakna ing sunyi,
Nyenyeting rat lawan kahanannya,
Nyirnakna nyet ajwa grenyeh,
Nyaring ilining banyu,
Nyuda rasa kang monyar-manyir,
Nyirnakake kedunyan,
Nyarong sirna kanyut (kang nyut),
Nyeneni naya kumenyar,
Nyamleng tentrem ayem tyase mari nyang-nying,
Nyata wus tekeng sunya.

1. Enenge atimu terusna nganti tekan ora rasa rumongsa (suwung).Kahananing jagad aja kok rasakake, aja mikir kae-kae.
2. Napasmu sarehna kaya nyaring ilining banyu, rasamu sing monjar-manjir temahan lerem. Bakune aja mikir bab kadonyan, amesthi rasa kang monjar-manjir mau ilang.
3.  Wusana kaya kataman cahya, polatanmu dadi sumringah, atimu ayem tentrem, ora karoneyan. Pranyata wis tekan ing kahanan suwung.

Ma.
Mulane ta pra taruna sami,
Marsudiya ngelmu kang utama,
Mrih marem karem tumameng,
Madyeng ngalam ngalimun,
Meneng mrih wruh mring kang ngayomi,
Manawa wus tan samar,
More mring anggamu,
Muksane luwih utama,
Marga uwus tan samar denira mamrih,
Mulih alame lama.

1. Mulane para anom, prayoga pada marsudio ngelmu CHAK (utama).
2. Temahan kowe rumongso marem, lan duwe sedya ngambah alam gaib-gaib sarana meneng, supaya ngerti kanthi yakin bab anane Allah (kang ngayomi).
3. Yen kowe wis yakin temenan: Allah kuwi ora tau pisah karo kowe,patimu ora bakal sasar.
4. Amarga kowe wis ora samar anggonmu nedya mulih marang asalmu.

Ga.
Gagarane kang luwih prayogi,
Gagayuhan arsa munggah swarga,
Gunung Tursena jujuge,
Grane kang luwih munggul,
Gondhelana den amaligi,
Gulunganing jiwangga,
Gumeleng saglugut,
Gigiten jwa ringga-ringga,
Gagar lamun sira tan nurut ing margi,
Graning Tursena arga.

1. Sarate sing prayoga banget tumrap setya munggah swarga kuwi:ngliwatane gunung TURSINA sing puncake duwur banget.
2. Puncake kuwi anggonen sipatan aja mangro mertelu. Anggonmu nyawijekake jiwa rogomu, sing nganti gumolong temenan, bebasan dadi sak glugut. Pangestimu aja samar-samar.
3. Yen kowe ora ngliwati puncake gunung tursina mau, sedyamu munggah swarga ora bakal kaleksanan.

Ba.
Babarane prapteng alam kabir,
Bali murba angebaki keblat,
Busana kauban kabeh,
Bumi baruna klebu,
Badaning Hyang tetep ngelebi,
Babaran njero njaba,
Bola bali jumbuh,
Balik yen tan bangkit murba,
Bakal bali kapurba ing alam kabir,
Bubrah tan bisa mbabar.

1. (Yen kaleksanan tekan ing kahanan suwung) temahan babar apengawak jagad gede (alam semesta), ateges bali kaya asale angebaki keblat. Jagad iki: bumine, segarane, kauban kabeh.
2. Pranyata njero (jagad cilik, mikro kosmos) lan njaba (jagad gede,makro kosmos) kuwi kaebekan datullah, kalimputan sipatullah, tetep salawas-lawase.
3. Yen ora biso tekan ing kahanan suwung, kapeksa bakal kapurba maneh dening angger-anggering kodrat: nandang penderitaan bungah susah.

Ta.
Thenging dwista tan ana kang kaesthi,
Thileg-thileg tan lalu palastha,
Thenger-thenger tanpa canthel,
Thok-thele mung ngalunthung,
Thering sedya tan bangkit mesthi,
Thukule pasti nistha,
Thinotol blegthuthur,
Thong-thongsot prapta pepathan,
Thek-ethekan nuthuki si kuthung nisthip,
Thinethel mring kanisthan.

1. (Sing ora biso bali marang asale mau): bingung ora karuwan sedyane.Temah tilek-tilek lan tenger-tenger wae. Pepuntone mung ngeluntung kanthisedya sing ora gumatok.
2. Bareng tukul sedyane, mesthi sedya sing remeh-remeh, dituntun blekutur. Para tong-tongsot teka, pada milara wong sing bingung kuwi,digeret marang kanisthan.

Nga.
Nging kang paksa ngemba pra wirangi,
Nganggit ngelmu ngawag tan uninga,
Ngawur muhung andedongeng,
Ngluluri reh ing dangu,
Ngandikane pra mrih lulungit,
Ngudiya wadining rat,
Nging ywa rangu-rangu,
Ngungseda nganti uninga,
Ngracut ngukut wosing angga kang piningit,
Ngayuh wor kang wurweng rat.

1. Pengarange buku iki agahan tiru-tiru para pandhito: medharane ngelmu, satemene ora weruh. Mung ngawur kaya adongeng wae.
2. Mung ngestoake ngendikane para leluhur, ahli kebatinan, supaya kita ngudi kaweruh wadhine buwana kanthi temen- temen.
3. Supaya telaten mangsah semadi, nganti kasil ngalami kahanan suwung,yakuwi manunggale titah karo sing nitahake.
( Wong Edan Bagu. Kudus Selasa tgl 29/07/2014)


Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh selamat Selalu.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan



HAKIKAT DARI Wejangan NENG, NING, NUNG, NANG:
Oleh: Wong Edan Bagu

TINGKAT. 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”.

Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling danwaspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb.

Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.

Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilakusipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busanaatau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.

Titik Lemah;
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).

Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus ! KARENANYA DI HARUSKAN. (ANA APA-APA KUNCI LANGKA APA-APA KUNCI. SEBAB KUNCI KENA KANGGO APA BAE. WATON ORA TUMINDAK LUPUT)


TINGKAT. 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil”. Waspadha terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan).Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.

1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan).

4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.


Titik Lemah;
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu. KARENANYA DI HARUSKAN. (YEN WANI AJA WEDI-WEDI. YEN WED AJA WANI-WANI)


TINGKAT. 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungandialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.

Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.

NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya,kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.

Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.

1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.

Titik Lemah;
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi. KARENANYA DI HARUSKAN. (SAMUBARANG TUMINDAK KINANTENAN SARWA MIJIL)


Tingkat. 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh(campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilahpertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan. KARENANYA DI HARUSKAN. (GALILAH RASA YANG MELPUTI SELURUH TUBUHMU. KARENA DI DALAM TUBUHMU ADA FIRMAN TUHAN. YANG BISA MENJAMIN JIWA RAGA DAN HIDUP MATI SERTA DUNIA AKHERATMU)

1.       NENG: KUNCI
2.       NING: PAWELING
3.       NUNG: MIJIL
4.       NANG: PALUNGGUH
( Wong Edan Bagu. Kudus Senin tgl 28/07/2014)

Semoga Bermanfa’at dan Berkah... Salam Rahayu kanti Teguh selamat Selalu.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan

Jumat, 18 Juli 2014

SYI’IRAN WAHYU PANCA GA’IB:

Oleh: Wong Edan Bagu;
Purworejo Jateng. Selasa kliwon Tgl: 16-09-2003

HIDUP ADALAH KITABMU:
1.KUNCI yang Merupakan Ayat-Mu adalah kebenaran yang sejati,
2.PAWELING yang Merupakan Firman-Mu adalah keabadian yang hakiki,
3.AS’MA yang Merupakan Sabda-Mu adalah ke’elokan yang meliputi,
4.MIJIL yang Merupakan Kalam-Mu adaah kesempurnaan yang melengkapi,
5.SINGKIR yang Merupakan Surat-surat-Mu adalah kenyataan dari kerahasiaan yang meliputi.

Lembut .……, lebih lembut daripada benang sutera jiwa,
Keras …………., lebih keras dari besi baja mahluk dicipta,
Tajam …………….., lebih tajam dari senjata pedang pusaka,
Benar di antara yang benar ….. dan nyata di antara yang nyata,
Merupakan …..kesempurnaan ..…dari yang menyempurnakan.
Wahai …… Paduka Mahamulia … Sang Penguasa jagat raya . !

Berilah aku kekuatan-Mu …..……, agar dapat memantulkan,
Berilah aku kemampuan-Mu .. …, agar dapat menyampaikan,
Berilah aku kehendak-Mu ………., agar dapat memberikan,
Berilah aku izin-Mu …..……., agar dapat menitipkan,
Berilah aku kemauan-Mu …., agar dapat mewasiatkan,
Berilah aku kemurahan-Mu, agar dapat mewariskan.

Kepada …….., diri yang sejati,
Kepada …….., ahli warisku yang sejati,
Kepada …….., saudara – saudaraku yang sejati,
Kepada …….., rekan dan handai taulanku yang sejati,
Kepada …….., para wali dan ahli pengembalaku yang sejati,
Agar dapat duduk bersimpuh -sebagai jiwa mulia kekasih dicinta-Mu,
Bersama saudara para jiwa mulia dalam singgasana dan tahta cahaya mulia.

Wahai Cahaya ….. sumber dari segala cahaya ……….! Wahai Cahaya di atas segala cahaya, pencipta segala cahaya & penabur cahaya! Wahai Cahaya  penguasa segala cahaya, penguasa mustika permata cahaya  ! Wahai Guru dari segala mahaguru, Ratu dari segala maharatu, Raja dari segala maharaja ….!

Engkau yang hidup dan yang menghidupkan, Engkau yang berkehendak dan yang menunjukkan, Engkau yang berkuasa dan yang menggerakkan, Engkau yang berkuasa dan yang memperjalankan, Engkau yang berkehendak dan yang menceritakan.

Kutundukan hatiku dan kusujudkan jiwa ragaku, Kuantarkan jiwa dan ragaku keharibaan-Mu, Dan aku bersujud memohon ampun atas kelancanganku, Dan aku tetapkan untuk senantiasa memohon petunjuk kepada-Mu.

Sungguh aku tak kuasa, tak mampu bercerita dan tak sanggup menyampaikan, Sungguh aku tak patut dan tak berkehendak, jikalau tidak atas kehendak-Mu.

Aku tuliskan perjalananku dan aku ceritakan petualanganku, Aku lakukan perbuatanku dan aku sampaikan kehendakku, Aku panggilkan para saudaraku dan taburkan pemahamanku, Bukannya karena kesombongan dan bukan pula karena kecongkakkan, Bukannya untuk cari muka dan bukan pula karena mengherani diri, Sungguh … aku mohon ampun dan bertobat untuk itu, Sungguh…. aku berlindung untuk itu dan memohon atas ridha-Mu.

Aku sampaikan :
Hanya karena-Mu semata, bukan nafsuku. Dan hanya untuk-Mu semata, bukan ambisiku, Hanya dari-Mu semata, bukan milikku. Dan hanya karena-Mu semata, bukan hakku. Hanya dari-Mu aku datang ……. dan karena-Mu aku hidup, Hanya kepada-Mu aku kembali… dan kepada-Mulah aku mengembalikan, Semoga Engkau tetap meridhai…. dan menuntun perjalanku... Amiin.

Ttd: Wong Edan Bagu

Putra Rama Tanah Pasundan

SYI’IRAN PANCA GA’IB:

Oleh: Wong Edan Bgu;
Cirebon Jabar. Kamis Pahing Tgl: 05-05-2005

Wahai … Sang kebeningan, rahasia dari segala rahasia
Wahai … Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta dan mahluk tercipta
Wahai … Sang Pencipta dan Penguasa jiwa, raga, akma, sukma dan nyawa
Wahai … Sang Penguasa cahaya dan penabur sinar kehidupan jagat raya,
Wahai … Sang Hyang Mahatunggal Dzat Maha Segalanya.

Engkaulah ….. Dzat, Sifat dan Af’al,
Engkaulah ….. Jatidiri, Wangunan dan perbuatan,
Engkaulah ….. Alloh, Muhammad dan Insan,
Engkaulah …. bayang kebeningan, bul putih dan keanekaragaman,
Engkaulah …. kosong padat berisi, hitam pekat kerahasiaan,
Engkaulah …. yang menciptakan dan merajai semua simbol sebagai bahasa penjangkauan,
Engkaulah …. yang menaungi darma kehidupan alam jagat raya dan makhluk dicipta,
Engkaulah …. yang merajai darma kehidupan syaré’at, hakekat dan ma’rifat,
Engkaulah .… yang Maha Sempurna dan yang Maha Menyempurnakan.

Kusujudkan jiwa ragaku sebagai penyembahan, dan kubuka lebar pintu hatiku sebagai penyerahan, Kutengadahkan mukaku sebagai pengharapan, dan kuangkat tanganku sebagai permohonan, Kulangkahkan kakiku sebagai pengabdian, dan kuserahkan semua urusanku sebagai pertobatan.

Engkaulah : Yang telah mengambil sesuatu yang ada dan mengembalikan sesuatu yang hilang, Yang telah mengadakan sesuatu yang belum tercipta, dan menciptakan sesuatu yang tidak ada, Yang telah menggerakkan sesuatu yang diam dan memperjalankan sesuatu yang dikehendaki, Yang telah menghadirkan sesuatu yang belum sampai, dan mendatangkan sesuatu yang belum lahir, Yang telah menghilangkan sesuatu yang jaya dan mengembalikan kejayaan dalam kesempurnaan jaya.

Terimakasih ….ya …Tuhanku … aku haturkan,
Engkau telah buka lebar pintu mata hati, dan teja lembayung tabir yang menutupi rahasia kalbuku, Engkau telah buka lebar mata akal dan pikir, dan angkat batu lingga rahasia pembatas sukma ragaku, Engkau telah buka lebar pintu gerbang kerajaan jiwaku, dan pintu gapura kerajaan-Mu, Engkau telah pancarkan mentari cahaya sejati, menerangi lorong berliku alam rahasia dan nyata, menerangi lorong hati celah nurani, menerangi bahtera kehidupan sejati, menerangi lapisan kegelapan yang kalbu

Dan kau percikan … cahaya-Mu …………
Menusuk sendi-sendi dan tulang belulang tiang kehidupan alam semestaku, Memasuki celah akal dan pikiran, menara ilmu dan pengetahuanku, Menembus detak jantung kehidupanku, merasuki getaran jiwa keabadianku, Membelah gelombang putih bahtera kejuhudanku, membangkitkan lautan mérah tauhidku, Mengokohkan hati dan fikiran benteng kekuatan dan bendera yakinku, menguatkan akal benteng, dan bendera ainal yakinku, dan memperteguh kalbu benteng kekuatan dan bendera hakkul yakinku.

Engkau berikan aku kitab-Mu, kitab kebenaran sejati dan hakiki, Engkau ajarkan aku AS’MA kalam-Mu, kalam yang tak mampu hamba-Mu meragukannya, Engkau bisikan aku MIJIL sabda-Mu, sabda yang tak mampu hamba-Mu menampiknya, Engkau berikan aku KUNCI ayat-Mu, ayat yang tak mampu hamba-Mu mengingkarinya, Engkau berikan aku SINGKIR surat-Mu, surat yang tak mampu hamba menolaknya, Engkau jadikan aku kitab-Mu, kitab berhias cahaya-Mu, berisi mutiara-Mu yang ditulis dengan intan permata kebesaran-Mu, yang melahirkan mustika permata cahaya-Mu.

Ttd: Wong Edan Bagu

Putra Rama Tanah Pasundan

SYI’IRAN LAKU HAKIKAT HIDUP:

Oleh: Wong Edan Bagu;
Surabaya Jatim. Rabu Kliwon tgl: 09-09-2009

Wahai … para mustika cahaya,
Yang berjiwa juhud dan mursyid, beraroma wewangi sejati,
Yang berjiwa lembut, cinta kasih dan kasih sayang,
Yang berjiwa perkasa, arif dan bijaksana,
Yang berjiwa pengembala, pengembara dan petualang cahaya,
Yang berjiwa darma membangun dan mendirikan cahaya membangun dan menabur wewangi sejati.

Sembah sungkem aku sampaikan, sebagai tanda hormat dan baktiku,
Aku hadapkan diriku, mohon kemurahan, ampunan dan restumu,
Atas kelancangan, kesombongan dan kecongkakanku.

Mengakui engkau sebagai guruku ………. dan aku sebagai muridmu,
Mengakui engkau sebagai pembimbingku…. dan aku sebagai asuhamu,
Mengakui engkau sebagai pewarisku …….. dan aku sebagai ahli warismu.
Sungguh aku tahu diri dan tidaklah berani, aku tak rela dan tidaklah layak.

Sungguh jiwaku bergetar. … dan malu tersipu, Tatkala kukatakan dan tuliskan engkau guruku aku muridmu, dan kau pewarisku aku ahli warismu, Tatkala ku sebutkan dan akui engkau waliku dan aku ahlimu, dan kau pembimbingku aku asuhanmu, Karena aku tahu, siapakah diriku dan siapakah dirimu. Sungguh tak ada maksud lain, hanya karena aku miskin dengan kata dan bahasa,

Tak ada yang layak dikata untuk para nyawa yang telah menerangi gelap gulitanya hati, rendah dan bodohnya aku, kecuali itu, Dengan sinar cahaya luhur, mulia dan keagunganmu, Telah antarkan dan perjalankan aku kepada Aku, para Aku dan AKU.

Dan hanya karena jalanmulah, aku dapat mengenal diri, dan para diri, dan bangunan jati diri, Mengetahui mutiara cahaya dan sajatining Mustika Permata Cahaya, Memiliki nilai arti, makna, misil, siloka dan kerahasiaan-Nya.

Engkau yang senantiasa hadir mengantar perjalanan, mendampingi petualangan dan menyertai pengembaraanku di setiap sudut pencarian dan tempat persinggahan adab kerahasiaan, Kauterangi aku, dikala gelap gulita, dan kautunjuki aku dikala aku tidak tahu, Kautuntun aku, dikala salah yang dituju, dan kausirami aku dikala haus dan dahaga, Kautemani aku, dikala sepi menyendiri, kauhibur aku dikala hati pilu, sunyi dan sepi, Kausuruh aku, dikala jiwaku diam kaku membeku, dan kauhardik aku dikala aku mati dan kaku, Kautangisi aku, dikala tersandung malu, dan kau bimbing aku dikala bimbang dan ragu, Kautolong aku, dikala terjerat tipudaya, kautawai aku dikala tersandung nafsu terhempas angkara.

Engkaulah yang telah menyiram kasih dan mencurahkan sayang, Engkaulah yang telah mewariskan cahaya dan mewasiatkan wewangian, Kauberikan segumpal kalbu setumpuk rasa, kausampaikan salam dan do’a restumu, Kaucurahkan cinta dan kasih sayangmu, dan kautitipkan amanat wasiat bekal perjalananku, Kauserahkan tongkat pusaka perjalanan tauhidmu, dan kauwariskan keris pusaka darma juhudmu, Kauserahkan pakaian pusaka kebesaranmu, dan kauwariskan kendaraan pusaka petualanganku, Kauserahkan pelita cahaya penerang hidupmu, dan kauwariskan ilmu perbekalan perjalananku.

Mohon ampun …., atas kebodohan dan kelancanganku,
Sungguh …,
Ku tak sanggup merendahkan harkat, derajat dan martabatmu, dan tak kuasa merendahkan keluhuran, kemualiaan dan keagunganmu, Ku tak rela menodai kesucian, tak berani mengganggu kebesaran jatidiri dan bangunan kesejatianmu Sungguh …, bukannya karena itu ….…, bukan karena itu, Tapi hanya karena ragaku miskin dengan kata, bahasa dan pengetahuanku.

Aku hormat atas harkat, derajat dan martabatmu, bangga atas kebesaran nama dan jatidirimu, Aku junjung darma kaluhuran, kemuliaan, keagunganmu, dan pelihara atas amanat dan wasiatmu, Aku lanjutkan perjalanan dzikir dan langkah do’amu dan aku teruskan petualangan sholatmu.

Aku senantiasa berharap……
Semoga diberi-Nya kuasa untuk itu …………., agar engkau tak kecewa karena aku, Semoga diberi-Nya izin dan restu untuk itu ., agar engkau bangga karena aku, Semoga diberi-Nya kehendak untuk itu ….…, agar engkau tenang tentram karena aku, Semoga diberi-Nya ridha untuk itu …….……, agar engkau senang dan bahagia karena aku.

Aku senantiasa berharap …, atas kebesaran dan keagungan-Nya,
Aku senantiasa berdo’a ….., atas kemurahan, kebesaran dan kemuliaan-Nya,
Aku senantiasa memohon …, atas kemurahan dan kasih sayang-Nya.
Semoga kiranya engkau tetap abadi bertahta dalam singgasana agung dan mulia, Singgasana kerajaan cahaya nyawa …di dalam kerajaan cahaya Kekasih Yang Mahamulia. Wahai mustika cahaya pemegang tahta pewaris cahaya …. Sang Penghulu Cahaya …… !

Kubuka ketulusanku .…..…, tuk jalan dan perjalanan cahayamu,
Kubuka kelapanganku …….., tuk dilalui cahayamu,
Ku bersimpuh tulus …………, tuk meraih percikan cahayamu,
Kusujudkan khusyuk………, tuk menyerap percikanmu,
Kutegakkan niat dan tekad …, tuk menyelami cahayamu,
Kulangkahkan kehendak ……, tuk menaburkan benih cahayamu.

Cahayamu kubuka lebar …, karena kebutuhan untuk jalan pembuka kegelapan,
Cahayamu kutaburkan ……, karena kewajiban untuk penerang kegelapan,
Cahayamu kusampaikan …, karena keharusan untuk penebus kebodohan,
Cahayamu kuwasiatkan …, karena amanat untuk harta peninggalan,
Cahayamu kusampaikan …, karena wasiat untuk perbuatan,
Cahayamu kuberikan … …, karena keyakinan untuk pegangan.

Semua aku lakukan ;
Karena kemurahan, sebagaimana yang telah engkau buktikan,
Karena keharusan, sebagaimana yang engkau ajarkan dan pengakuan yang engkau yakinkan,
Karena kewajiban, sebagaimana yang engkau tugaskan, dan kasih sayang yang engkau contohkan,
Karena bagian, sebagaimana yang engkau lakukan, dan keinginan yang engkau wasiatkan. Aku merupakan bagian yang meneruskan perjalanan, menerangi kegelapan, memerangi kebodohan, Aku hanya merupakan warisan…., yang melanjutkan tahta kebesaran tauhid darma kejuhudan, Aku hanya merupakan titipan.…., yang memelihara harta kekayaan dan kejayaan dari keyakinan.
Wahai para mustika cahaya pemegang tahta pewaris cahaya …. Sang Bangunan Cahaya …… !

Kumohon kelapangan tuk kusampaikan cahayamu .., sebagai kewajiban,
Kumohon ketulusan tuk kuberikaan cahayamu ……, sebagai amalan,
Kumohon pengertian, tuk ku titipkan cahayamu …, sebagai perbekalan,
Kumohon keridhaan, tuk ku wariskan cahayamu …, sebagai kekayaan,
Ku mohon kepahaman, tuk ku teruskan cahayamu …, sebagai keharusan.

Semua aku lakukan, … :
Karena kasih sayang yang engkau contohkan,
Karena kemurahan yang engkau buktikan, dan keharusan yang engkau ajarkan, Karena pengakuan yang engkau yakinkan, dan kewajiban yang engkau tugaskan, Karena bagian yang engkau akukan, dan keinginan yang engkau ingatkan.

Aku merupakan bagian … yang meneruskan perjalanan,
Aku merupakan bagian … yang menerangi alam kegelapan, yang memerangi kebodohan,
Aku merupakan warisan … yang melanjutkan tahta kebesaran,
Aku merupakan titipan … yang memelihara harta kekayaan dan kejayaan.
Wahai para mustika cahaya pemegang tahta ahli waris cahaya …. Sang Penabur Cahaya….!

Kumohon ketulusan tuk dapat menyertaiku, sebagai kemanunggalan,
Kumohon kepahaman tuk dapat mendampingiku, sebagai perikatan,
Kumohon kebijakanmu tuk dapat melakukan, sebagai kebersamaan,
Kumohon kearifanmu tuk dapat mengingatkanku, sebagai persaudaraan.

Semua aku lakukan, … :
Karena kasih sayang yang juga engkau lakukan, dan kemauan yang engkau inginkan, Karena kejuhudan yang juga engkau buktikan, dan keharusan yang juga engkau pahamkan, Karena pengakuan yang engkau yakinkan, dan kewajiban yang juga engkau laksanakan, Karena bagian ketaatan yang engkau akukan, dan keharusan yang juga engkau ingatkan, Aku juga merupakan bagian … yang meneruskan perjalanan, melakukan petualangan, Aku juga merupakan bagian … yang menerangi alam kegelapan, memerangi kebodohan, Aku juga merupakan warisan … yang melanjutkan tahta kebesaran, memelihara kehormatan, Aku juga merupakan titipan … yang memelihara harta kekayaan dan kejayaan.

Ttd: Wong Edan Bagu
Putra Rama Tanah Pasundan