WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Jumat, 31 Januari 2014

MASALAH KELAINAN SEKSUALITAS:

KONSULTASI SEKS:

DI PENGOBATAN DAN KONSULTASI PENGOBATAN ALTERNATIF

TRADISIONAL JAWA


Bersama Wong Edan Bagu-Djaka Tolos;

MASALAH KELAINAN SEKSUALITAS

Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual

 

Homoseksualitas tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa atau penyimpangan seksual. Bahkan istilah homoseksualitas sebagai orientasi seksual menyimpang itu tidak tepat dan menyesatkan karena memberi dampak negatif seperti stigmatisasi, pengucilan oleh masyarakat yang kurang mendapat informasi yang benar. 

Demikian disampaikan psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Lukas Mangindaan, SpKJ dalam seminar nasional "Seksualitas yang ditabukan: Tantangan Keberagaman" di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, hari ini, Selasa (11/11). 

Dikatakan Lukas, penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993). 

"Jadi sudah terbukti bahwa orientasi homoseksual tidak memenuhi kriteria gangguan jiwa atau mental," ujarnya. 

Ia menjelaskan, homoseksualitas, biseksualitas maupun heteroseksualitas kini dikategorikan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. "Identitas diri itu tak lain adalah ciri-ciri khas dari seseorang seperti nama, umur, jenis kelamin termasuk orientasi seksual (heteroseksual, biseksual, homoseksual). Sedangkan identitas diri perlu dibedakan dengan perilaku, karena identitas diri bersifat netral dan perlu diterima sebagaimana adanya, tetapi perilaku dapat bersifat positif, negatif, netral, dan lain-lain. Jadi jangan dicampurbaurkan identitas diri dengan perilaku," ujarnya. 

Lukas menekankan perlunya melihat pelbagai jenis identitas diri sebagai bagian dari keberagaman manusia dan bersikap pluralistik tanpa sikap apriori. "Upaya untuk berempati yakni kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri di tempat mereka yang terpinggirkan perlu dikembangkan. Sikap homofobia yang menyisihkan, melecehkan, diskriminasi dan mendapat perlakuan kekerasan pada kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender) harus dihilangkan. Ini yang perlu disosialisasikan pada masyarakat," jelasnya. 

Sedangkan menurut Pendiri dan Pembina Yayasan Gaya Nusantara Dede Oetomo, tidak semua agama dan sistem kepercayaan mengharamkan homoseksualitas dan transgenderisme. "Tafsir ulang atas ajaran yang mengharamkan homoseksualitas dan transjenderisme sudah dilakukan beberapa agama yang sangat menentang hal itu, supaya tak menghasilkan pandangan yang memusuhi homoseksualitas dan transjenderisme," katanya. 

Peran negara untuk melindungi hak-hak kaum LGBT, dikatakan Dede, perlu dikembangkan untuk menuju ke kehidupan bersama yang lebih baik.

 

 

 

 

Lesbian Bisa Dicegah, tapi Tak Bisa Diubah

 

Orientasi seksual lebih besar dipengaruhi lingkungan, meskipun setiap orang memiliki gen feminin dan maskulin dalam dirinya. Dengan kata lain, pengaruh lingkungan lebih hebat dari gen, termasuk mengenai kecenderungan orientasi seksualnya. Heteroseksual bisa berubah menjadi homoseksual, atau sebaliknya. Dan, setiap orang memiliki potensi menyukai sesama jenis, lesbi atau gay. 

"Meskipun pola asuh dan lingkungan mendorong heteroseksual, namun perubahan yang terus berjalan sampai dewasa bisa mengubah orientasi seksual seseorang. Apalagi mereka yang tidak dibekali pembentukan diri, karakter, pendidikan agama, dan moralitas dari orangtuanya," papar psikolog klinis Lita Gading kepada Kompas Female. 

Menurut Lita, proses orientasi seksual dipengaruhi banyak faktor. Gen porsinya sangat kecil, katanya. Lingkungan internal dan eksternal lebih dominan, termasuk pola asuh, trauma, pencarian figur ayah atau ibu saat kecil hingga remaja, dan perhatian orangtua pada fase pertumbuhan dari anak hingga remaja. Kemampuan dan perhatian orangtua dalam memberikan arahan dan bimbingan fungsional perbedaan jenis kelamin juga menjadi faktor lain yang memengaruhi.

"Saat remaja adalah fase laten. Anak sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah. Anak bingung jika tidak diarahkan. Apalagi masa usia 15 tahun misalnya, sudah muncul ketertarikan terhadap lawan jenis," jelasnya. 

Preventif lebih efektif
Saat remaja hilang arah, tanpa adanya figur orangtua sebagai tempat berbagi dan bertanya, orientasi seksual bisa saja berubah. Usia remaja sangat sensitif. Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa terpengaruh lingkungan untuk memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual.  

"Karenanya remaja harus terus-menerus didampingi orangtuanya. Berikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus memosisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan jaman sekarang dan jangan merasa paling benar," saran Lita. 

Pola asuh yang tepat akan membantu remaja mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman. Trauma di masa kecil, termasuk karena kekerasan seksual atau fisik juga bisa memengaruhi pembentukan karakter remaja.

Hubungan lesbian siswi SMP di Depok, Jawa Barat, berinisial Tn (15) dengan Sj (26) yang tidak lain guru taekwondonya, adalah salah satu realitas sosial yang menunjukkan tingginya pengaruh lingkungan. 

"Lingkungan terdekat sangat memengaruhi. Apalagi jika remaja memiliki perasaan, persepsi, dan keinginan yang sama dengan orang yang disukainya. Kesamaan ini bisa terbangun karena adanya kedekatan, sering bertemu, atau menjadikan gurunya sebagai tempat curhat. Selain juga karena adanya chemistry," jelas Lita, menganalisa realitas sosial ini. 

Olahraga taekwondo memiliki kecenderungan orang yang kuat dan melindungi, serta memicu adrenalin. Sosok seperti ini bisa didapatkan Tn dari Sj. 

"Anak merasa terlindungi," tambahnya, sekaligus menegaskan bertemunya si anak dalam lingkungan berorientasi seksual homoseks (guru yang lesbi) inilah yang membentuk orientasi seksual anak berubah.

Jika sudah merasa nyaman, anak pun memilih homoseksual sebagai orientasi seksualnya. Kalau sudah seperti ini, kemungkinan untuk berubah sangat kecil, kata Lita. 

Sulit mengubah orientasi seksual
Masih menurut Lita, penelitian Asosiasi Psikiatri Amerika menunjukkan terapi yang dilakukan untuk orientasi seksual masih minim. Sekalipun ada, tingkat keberhasilannya kecil. 

"Orientasi seksual terbanyak (dalam homoseksual) adalah lesbian. Penyebabnya karena sifat trenyuh hatinya, simpati, dan empati, lebih condong ke wanita," kata Lita. 

Terapi hanya sedikit membantu seseorang untuk mengubah orientasi seksualnya. Semuanya harus kembali kepada kesadaran atau keinginan individu. Selain juga cara penanganan orangtua yang seharusnya tak bisa memaksa. 

"Kalau sudah terjadi orangtua harus menerima selain juga berusaha untuk mengembalikan ke heteroseksual. Bagaimanapun orangtua harus menyadari bahwa ini adalah akibat kesalahan pola asuhnya," tegas Lita.

Orangtualah yang patut disalahkan jika lesbian terjadi pada remaja. Karena anak masih berada dalam koridor pola asuh orangtuanya, tandasnya.

 

 

Pria Homoseksual Lebih Rentan Kanker


Pria penyuka sesama jenis diketahui lebih rentan menderita kanker dibandingkan dengan pria yang heteroseksual. Kesimpulan itu didapatkan berdasarkan hasil penelitian terhadap 120.000 orang di California, Amerika Serikat.

Penelitian yang dimuat dalam jurnal Cancer ini dilakukan berdasarkan survei California Health Interview yang dilakukan tahun 2001, 2003 dan 2005. Sekitar 3.690 pria dan 7.252 wanita yang diinterview pernah didiagnosa kanker dalam hidupnya.

Dari total 122.345 responden yang disurvei, 1.493 pria dan 918 wanita menyatakan dirinya penyuka sesama jenis dan 1.116 wanita adalah biseksual. Pria gay dua kali lebih besar berpotensi untuk didiagnosa kanker. Sementara wanita yang lesbian pada umumnya memiliki kesehatan yang buruk.
Dr.Ulrike Boehmer, dari Boston University School of Public Health, mengatakan sebenarnya sulit menyimpulkan kaum homoseksual lebih beresiko kanker karena alasan di balik tingginya insiden kanker sangat rumit.

"Kebanyakan pria gay yang disurvei adalah orang-orang yang sembuh dari kanker atau survivor sehingga ini tidak mewakili kasus kanker sesungguhnya. Harus ada studi lanjutan untuk memastikan bahwa kaum homoseksual memang beresiko menderita tumor dan punya angka survival yang tinggi," kata Boehmer.

Ia mengatakan, jika kasus kanker dipersempit pada tingginya kejadian kanker anal pada kaum homoseksual dan infeksi HIV, hal itu masih mungkin. Faktor lain yang meningkatkan risiko kanker adalah Human Papilloma Virus yang bisa memicu kanker anal.

"Seperti diketahui infeksi HIV menyebabkan beberapa jenis kanker. Dan pria yang homoseksual berpotensi tinggi terkena HIV dibanding dengan pria yang heteroseksual," katanya.
Kaitan antara kecenderungan seks dan status kesehatan paling nyata terlihat pada wanita yang lesbian dan biseksual karena mayoritas memiliki status kesehatan yang buruk.

Dr.Boehmer mengatakan wanita lesbian dan biseksual pada umumnya lebih stres dibanding wanita heteroseksual. "Secara psikologis mereka lebih tertekan akibat perlakuan diskriminasi, kekerasan dan juga prasangka lingkungan sekitarnya," katanya.


Hati-hati dengan Layanan Pembesar Alat Kelamin


Ukuran alat kelamin tak dimungkiri masih menjadi salah satu parameter penting dalam seksualitas pria. Hal itu pula yang membuat sebagian kaum Adam merasa "tak puas" selalu berupaya mencari cara untuk memperbaiki ukuran kelaminnya. 

Meski demikian, minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi menyebabkan banyak pria terjebak pada prosedur pembesaran yang sembarangan terhadap alat kelamin. Tak semua prosedur pembesaran dapat memberikan hasil yang diharapkan, terutama pelayanan sembarangan yang tidak berdasarkan pada ilmu kedokteran. Alih-alih mendapat ukuran sesuai keinginan, layanan ini justru akan menyebabkan kerusakan permanen pada alat vital.

Spesialis urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) dr Nur Rasyid mengingatkan, kaum pria sebaiknya tidak mencari upaya untuk membesarkan alat kelaminnya. Pasalnya, alat kelamin pria dewasa sebenarnya sudah mencapai ukuran yang maksimal sehingga tidak mungkin dapat diperbesar lagi. 

Kecuali pada anak dalam usia prepubertal atau sebelum memasuki usia puber, alat kelamin pria masih dapat bertumbuh sehingga masih dapat dilakukan upaya pembesaran. 

"Umumnya pria setelah berusia 21 tahun, organ vitalnya sudah mengalami pematangan sempurna," ujar Nur dalam seminar media bertajuk "Disfungsi Ereksi (DE): Mengapa Pria Enggan Membicarakan serta Mengonsultasikannya ke Dokter?" di Jakarta, Rabu (22/5/2013).

Hanya saja, ukuran organ vital pria dapat bertambah besar saat mengalami ereksi. Nur mengatakan, hal ini terjadi karena peningkatan suplai darah di pembuluh darah penis. Volume darah pada penis saat ereksi dapat mencapai empat kali volume darah saat penis tidak ereksi.

"Maka, jika ereksinya lancar, ukuran penis seharusnya tidak menjadi masalah karena akan membesar sendiri," kata Nur.

Sayangnya, imbuh Nur, tidak semua pria mengetahui ukuran penis yang normal. Masih banyak yang merasa ukuran yang dimilikinya kecil, padahal sebenarnya normal. 

Kata Nur, ukuran penis rata-rata orang Indonesia yang dianggap cukup untuk memenuhi fungsi organ seksual mencapai 9 sentimeter saat ereksi. Maka dari itulah, pentingnya artinya kaum pria untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang tepat.


Berbahaya
Nur mengingatkan masyarakat akan bahaya prosedur pembesaran alat kelamin yang masih banyak ditemukan.  Upaya pembesaran penis yang berbahaya di antaranya adalah dengan melakukan penyuntikan penambahan volume di bawah kulit penis. Penambahan volume dapat dilakukan dengan menyuntikkan silikon, bahkan hingga minyak tradisional.

Nur mengatakan, pengisian volume dengan bahan berbahaya mungkin terlihat baik pada awalnya. Namun, efeknya tidak akan lama. Paling lama sekitar enam sampai dua belas bulan. Setelahnya, bentuk dan kulit penis bisa mengalami kerusakan.

"Mungkin mirip dengan penyuntikan silikon di dada atau wajah. Jika sembarangan, tentu akan buruk hasilnya. Melakukannya pada organ vital akan berakibat kerusakan fungsi dari alat vital," paparnya.

 

 

8 Manfaat Seks yang Menyehatkan


Hubungan seks bukan hanya penting untuk menjaga kesehatan hubungan, tetapi juga sebuah cara yang menyenangkan untuk tetap sehat. Karena itu, jangan biarkan gairah cinta Anda dan pasangan meredup agar bisa memetik manfaat sehat berikut ini.

Meningkatkan percaya diri
Memiliki kepercayaan diri bukan hanya penting untuk Anda, tetapi juga orang di sekitar. Bagaiaman Anda memandang diri di dunia ikut menentukan cara Anda berinteraksi dengan orang lain baik dalam hubungan sosial atau pekerjaan.
Melakukan hubungan seks dengan cara yang Anda inginkan akan membantu kita lebih bahagia. Bersama dengan seseorang yang mencintai dan menerima Anda apa adanya sudah tentu akan meningkatkan kepercayaan diri.

Mengurangi stres
Stres yang berlangsung lama (kronik) berdampak negatif pada kesehatan. Selain mengurangi kekebalan tubuh, stres juga akan meningkatkan tekanan darah serta membuat kita rentan mengalami kecemasan dan depresi.
Hubungan seks yang menyenangkan dan dilakukan secara teratur telah terbukti menurunkan tekanan darah dan membuat kita mampu menghadapi masalah yang berkontribusi pada stres. Seks juga membuat komunikasi dengan pasangan lebih lancar sehingga Anda berdua bisa mengungkapkan perasaan.

Membakar kalori
Hubungan seks bisa dikategorikan ke dalam olahraga karena mampu membakar 90 kalori dalam setengah jam.

Menguatkan hubungan
Berintim-intim di ranjang akan menyebabkan peningkatan hormon-hormon tertentu, termasuk ketika Anda dan pasangan melakukan obrolan mesra sesudah bercinta. Hormon yang penting adalah oksitosin yang sering disebut "hormon cinta". Hormon ini sangat diperlukan untuk menguatkan ikatan cinta dengan pasangan.

Mencegah kanker prostat
Beberapa penelitian menunjukkan, pria yang sering melakukan ejakulasi (sekitar lima kali dalam seminggu) lebih jarang terkena kanker prostat. Proses ejakulasi sendiri, yang melibatkan prostat, sebenarnya adalah mengeluarkan produk tubuh yang bisa menyebabkan kanker.

Menyehatkan jantung
Bercinta sudah disebutkan termasuk kegiatan fisik yang bisa membakar kalori. Bahkan pria yang sudah lanjut usia tidak perlu khawatir terkena serangan jantung atau stroke asalkan hubungan seks dilakukan secara perlahan-lahan. Bercinta secara teratur (2-3 kali seminggu) disebutkan bisa mengurangi risiko serangan jantung pada pria lanjut usia.

Mengurangi nyeri
Menderita nyeri kronik bisa menurunkan kualitas hidup dan membuat tubuh lebih rentan stres, susah tidur, bahkan depresi. Acara bercinta yang panas dan teratur bisa dilakukan untuk menghindari penggunaan obat penghilang sakit. Penelitian menunjukkan, hormon oksitosin dan endorfin yang dikeluarkan saat bercinta bisa menghilangkan sakit dengan cara menurunkan persepsi dari sinyal nyeri dari area tubuh yang bermasalah.

Membantu tidur nyenyak
"Bertempur" di ranjang dengan pasangan membuat tubuh akan menjadi lebih rileks sehingga tidur pun lebih nyenyak. Hal ini ada hubungannya dengan peningkatan hormon oksitosin dan endorfin setelah orgasme.

 

Seks, Bisa Menyembuhkan Bisa Mematikan


Terjalinnya sebuah hubungan khusus antara pria dan wanita bisa terjadi karena dua hal yang melatarbelakanginya, yakni seks dan cinta. Seks adalah pedang bermata dua yang tajam dan menggiurkan. Di satu sisi sebagai alat penyembuh yang luar biasa ampuh, tetapi bisa berubah menjadi sesuatu yang menyiksa dan mematikan kalau digunakan untuk maksud sembarangan.
Menurut penulis buku-buku bertema kesehatan, Lianny Hendrata, seks adalah sesuatu yang sakral karena bukan saja mempertemukan dua alat kelamin, tetapi juga mempersatukan tubuh, pikiran, dan jiwa. "Seks dan cinta adalah dua hal yang berbeda.

Namun, kedua hal ini bisa bersatu menjadi hal yang sakral jika merupakan kesatuan batin dari pasangan suami-istri. Jika hanya seorang saja yang berharap mendapatkan cinta dengan memberikan seks,  pihak lain akan mendapatkan seksnya, tetapi belum tentu mau memberi cintanya dengan tulus," ujar Lianny, seperti dikutip dalam buku karangannya berjudul The Power of Sex.

Lianny mengungkapkan, hubungan intim yang dilandasi dalam satu ikatan pernikahan (sakral) bisa memberikan banyak manfaat kesehatan bagi suatu pasangan. Dengan seks, seseorang dapat mengatasi problem stres karena otot-otot tubuh tersimulasi untuk menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.

Bahkan, lanjut Lianny, aktivitas gerakan tubuh saat berhubungan intim mampu membakar kalori yang banyak sehingga bisa menjaga bobot tubuh. Menurut dia, sudah banyak penelitian menyebutkan bahwa seks sehat yang dilakukan dengan perasaan bahagia akan memberi manfaat untuk kesehatan jiwa.

Pasalnya, berhubungan seks bukan sekadar kegiatan fisik yang dilakukan secara sembarangan atau mau dengan siapa saja. "Akan tetapi, lakukanlah kegiatan seks sebagai wujud penyatuan energi batin bersama pasangan, dan mengubah energi tersebut sebagai sumber kekuatan yang akan memperbarui tiap sel yang ada di tubuh kita," paparnya dalam buku yang baru diluncurkan tersebut.

Lianny juga memberi gambaran betapa seks juga memiliki kekuatan yang justru dapat merusak dan menghancurkan seseorang apabila dilakukan dengan sembarangan. Misalnya, dalam kasus sepasang kekasih yang sedang berpacaran.

Menurut dia, seseorang yang mencintai pasangannya dengan tulus pasti tidak akan pernah meminta untuk melakukan suatu "hubungan" yang memang belum semestinya dilakukan.
"Kalau pacar kita meminta seks sebagai tanda cintanya apakah akan kamu berikan? Sekarang, kalau pacar kita mencintai kita, justru dia tidak akan merusak kehormatan kita. Jadi kalau dia merancukan antara seks dan cinta, berarti itu masih cinta nafsu," ujar Lianny saat peluncuran bukunya beberapa waktu lalu.

Pada anak muda yang belum menikah, seks bisa menjadi kekuatan yang menghancurkan hidup apabila dilakukan sembarangan. "Zaman sekarang banyak sekali orang menikah pada saat cinta birahi. Jadi bukan cinta sejati," cetusnya.

Lianny memaparkan, betapa seks kini  tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral di kalangan remaja, terutama di luar negeri. Tak heran apabila fenomena seks pra-nikah menimbulkan beragam dampak negatif, di antaranya adalah pembunuhan, aborsi, dan bunuh diri.

Dalam sebuah penelitian terhadap 4.000 anak muda yang dilakukan para ahli di Universitas LOA di Amerika Serikat dan dimuat Journal of Marriage & Family diketahui bahwa mereka rata-rata telah melakukan hubungan seks pra-nikah. "Kesakralan perbuatan seks sudah tidak ada. Jadi dianggap sudah biasa," imbuhnya.

Adapun di Indonesia, Lianny berpandangan bahwa seks sudah dianggap sebagai pergaulan. Dengan demikian, bohong kalau dikatakan persoalan seks di Indonesia masih dianggap suatu hal yang tabu. "Karena arus bawah itu sudah sangat luar biasa," tandasnya.

Lianny berharap informasi yang disampaikannya melalui buku The Power of Sex bisa memberikan pemahaman khususnya kepada anak muda bahwa seks adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh dilakukan sembarangan.

Tidak ada komentar: