KONSULTASI SEKS:
DI PENGOBATAN DAN
KONSULTASI PENGOBATAN ALTERNATIF
TRADISIONAL JAWA
Bersama Wong Edan Bagu-Djaka
Tolos;
MASALAH KELAINAN
SEKSUALITAS
Homoseksual
Bukan Penyimpangan Seksual
Homoseksualitas tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa
atau penyimpangan seksual. Bahkan istilah homoseksualitas sebagai orientasi
seksual menyimpang itu tidak tepat dan menyesatkan karena memberi dampak
negatif seperti stigmatisasi, pengucilan oleh masyarakat yang kurang mendapat
informasi yang benar.
Demikian disampaikan psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dr Lukas Mangindaan, SpKJ dalam seminar
nasional "Seksualitas yang ditabukan: Tantangan Keberagaman" di Hotel
Sahid Jaya, Jakarta, hari ini, Selasa (11/11).
Dikatakan Lukas, penghapusan paham
homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam
buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II
tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).
"Jadi sudah terbukti bahwa orientasi
homoseksual tidak memenuhi kriteria gangguan jiwa atau mental," ujarnya.
Ia menjelaskan, homoseksualitas, biseksualitas
maupun heteroseksualitas kini dikategorikan sebagai bagian dari identitas diri
seseorang. "Identitas diri itu tak lain adalah ciri-ciri khas dari
seseorang seperti nama, umur, jenis kelamin termasuk orientasi seksual
(heteroseksual, biseksual, homoseksual). Sedangkan identitas diri perlu
dibedakan dengan perilaku, karena identitas diri bersifat netral dan perlu
diterima sebagaimana adanya, tetapi perilaku dapat bersifat positif, negatif,
netral, dan lain-lain. Jadi jangan dicampurbaurkan identitas diri dengan
perilaku," ujarnya.
Lukas menekankan perlunya melihat pelbagai jenis identitas
diri sebagai bagian dari keberagaman manusia dan bersikap pluralistik tanpa
sikap apriori. "Upaya untuk berempati yakni kemampuan untuk mengerti,
menghayati dan menempatkan diri di tempat mereka yang terpinggirkan perlu
dikembangkan. Sikap homofobia yang menyisihkan, melecehkan, diskriminasi dan
mendapat perlakuan kekerasan pada kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
Transjender) harus dihilangkan. Ini yang perlu disosialisasikan pada
masyarakat," jelasnya.
Sedangkan menurut Pendiri dan Pembina Yayasan
Gaya Nusantara Dede Oetomo, tidak semua agama dan sistem kepercayaan
mengharamkan homoseksualitas dan transgenderisme. "Tafsir ulang atas
ajaran yang mengharamkan homoseksualitas dan transjenderisme sudah dilakukan
beberapa agama yang sangat menentang hal itu, supaya tak menghasilkan pandangan
yang memusuhi homoseksualitas dan transjenderisme," katanya.
Peran negara untuk melindungi hak-hak kaum
LGBT, dikatakan Dede, perlu dikembangkan untuk menuju ke kehidupan bersama yang
lebih baik.
Lesbian
Bisa Dicegah, tapi Tak Bisa Diubah
Orientasi seksual lebih besar dipengaruhi lingkungan,
meskipun setiap orang memiliki gen feminin dan maskulin dalam dirinya. Dengan
kata lain, pengaruh lingkungan lebih hebat dari gen, termasuk mengenai
kecenderungan orientasi seksualnya. Heteroseksual bisa berubah menjadi
homoseksual, atau sebaliknya. Dan, setiap orang memiliki potensi menyukai
sesama jenis, lesbi atau gay.
"Meskipun pola asuh dan lingkungan
mendorong heteroseksual, namun perubahan yang terus berjalan sampai dewasa bisa
mengubah orientasi seksual seseorang. Apalagi mereka yang tidak dibekali
pembentukan diri, karakter, pendidikan agama, dan moralitas dari
orangtuanya," papar psikolog klinis Lita Gading kepada Kompas
Female.
Menurut Lita, proses orientasi seksual
dipengaruhi banyak faktor. Gen porsinya sangat kecil, katanya. Lingkungan
internal dan eksternal lebih dominan, termasuk pola asuh, trauma, pencarian
figur ayah atau ibu saat kecil hingga remaja, dan perhatian orangtua pada fase
pertumbuhan dari anak hingga remaja. Kemampuan dan perhatian orangtua dalam
memberikan arahan dan bimbingan fungsional perbedaan jenis kelamin juga menjadi
faktor lain yang memengaruhi.
"Saat remaja adalah fase laten. Anak
sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa
laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah.
Anak bingung jika tidak diarahkan. Apalagi masa usia 15 tahun misalnya, sudah
muncul ketertarikan terhadap lawan jenis," jelasnya.
Preventif lebih efektif
Saat remaja hilang arah, tanpa adanya figur
orangtua sebagai tempat berbagi dan bertanya, orientasi seksual bisa saja
berubah. Usia remaja sangat sensitif. Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa
terpengaruh lingkungan untuk memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual.
"Karenanya remaja harus terus-menerus
didampingi orangtuanya. Berikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus
memosisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan jaman sekarang dan
jangan merasa paling benar," saran Lita.
Pola asuh yang tepat akan membantu remaja
mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja
mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman.
Trauma di masa kecil, termasuk karena kekerasan seksual atau fisik juga bisa
memengaruhi pembentukan karakter remaja.
Hubungan lesbian siswi SMP di Depok, Jawa
Barat, berinisial Tn (15) dengan Sj (26) yang tidak lain guru taekwondonya,
adalah salah satu realitas sosial yang menunjukkan tingginya pengaruh
lingkungan.
"Lingkungan terdekat sangat memengaruhi.
Apalagi jika remaja memiliki perasaan, persepsi, dan keinginan yang sama dengan
orang yang disukainya. Kesamaan ini bisa terbangun karena adanya kedekatan,
sering bertemu, atau menjadikan gurunya sebagai tempat curhat. Selain juga
karena adanya chemistry," jelas
Lita, menganalisa realitas sosial ini.
Olahraga taekwondo memiliki kecenderungan
orang yang kuat dan melindungi, serta memicu adrenalin. Sosok seperti ini bisa
didapatkan Tn dari Sj.
"Anak merasa terlindungi,"
tambahnya, sekaligus menegaskan bertemunya si anak dalam lingkungan
berorientasi seksual homoseks (guru yang lesbi) inilah yang membentuk orientasi
seksual anak berubah.
Jika sudah merasa nyaman, anak pun memilih
homoseksual sebagai orientasi seksualnya. Kalau sudah seperti ini, kemungkinan
untuk berubah sangat kecil, kata Lita.
Sulit mengubah orientasi
seksual
Masih menurut Lita, penelitian Asosiasi
Psikiatri Amerika menunjukkan terapi yang dilakukan untuk orientasi seksual masih
minim. Sekalipun ada, tingkat keberhasilannya kecil.
"Orientasi seksual terbanyak (dalam
homoseksual) adalah lesbian. Penyebabnya karena sifat trenyuh hatinya, simpati,
dan empati, lebih condong ke wanita," kata Lita.
Terapi hanya sedikit membantu seseorang untuk
mengubah orientasi seksualnya. Semuanya harus kembali kepada kesadaran atau
keinginan individu. Selain juga cara penanganan orangtua yang seharusnya tak
bisa memaksa.
"Kalau sudah terjadi orangtua harus
menerima selain juga berusaha untuk mengembalikan ke heteroseksual.
Bagaimanapun orangtua harus menyadari bahwa ini adalah akibat kesalahan pola
asuhnya," tegas Lita.
Orangtualah yang patut disalahkan jika lesbian
terjadi pada remaja. Karena anak masih berada dalam koridor pola asuh orangtuanya,
tandasnya.
Pria
Homoseksual Lebih Rentan Kanker
Pria
penyuka sesama jenis diketahui lebih rentan menderita kanker dibandingkan
dengan pria yang heteroseksual. Kesimpulan itu didapatkan berdasarkan hasil
penelitian terhadap 120.000 orang di California, Amerika Serikat.
Penelitian
yang dimuat dalam jurnal Cancer ini dilakukan berdasarkan survei California
Health Interview yang dilakukan tahun 2001, 2003 dan 2005. Sekitar 3.690 pria
dan 7.252 wanita yang diinterview pernah didiagnosa kanker dalam hidupnya.
Dari
total 122.345 responden yang disurvei, 1.493 pria dan 918 wanita menyatakan
dirinya penyuka sesama jenis dan 1.116 wanita adalah biseksual. Pria gay dua
kali lebih besar berpotensi untuk didiagnosa kanker. Sementara wanita yang
lesbian pada umumnya memiliki kesehatan yang buruk.
Dr.Ulrike
Boehmer, dari Boston University School of Public Health, mengatakan sebenarnya
sulit menyimpulkan kaum homoseksual lebih beresiko kanker karena alasan di
balik tingginya insiden kanker sangat rumit.
"Kebanyakan
pria gay yang disurvei adalah orang-orang yang sembuh dari kanker atau survivor
sehingga ini tidak mewakili kasus kanker sesungguhnya. Harus ada studi lanjutan
untuk memastikan bahwa kaum homoseksual memang beresiko menderita tumor dan punya
angka survival yang tinggi," kata Boehmer.
Ia
mengatakan, jika kasus kanker dipersempit pada tingginya kejadian kanker anal
pada kaum homoseksual dan infeksi HIV, hal itu masih mungkin. Faktor lain yang
meningkatkan risiko kanker adalah Human Papilloma Virus yang bisa memicu kanker
anal.
"Seperti
diketahui infeksi HIV menyebabkan beberapa jenis kanker. Dan pria yang
homoseksual berpotensi tinggi terkena HIV dibanding dengan pria yang
heteroseksual," katanya.
Kaitan
antara kecenderungan seks dan status kesehatan paling nyata terlihat pada
wanita yang lesbian dan biseksual karena mayoritas memiliki status kesehatan
yang buruk.
Dr.Boehmer
mengatakan wanita lesbian dan biseksual pada umumnya lebih stres dibanding
wanita heteroseksual. "Secara psikologis mereka lebih tertekan akibat
perlakuan diskriminasi, kekerasan dan juga prasangka lingkungan
sekitarnya," katanya.
Hati-hati
dengan Layanan Pembesar Alat Kelamin
Ukuran
alat kelamin tak dimungkiri masih menjadi salah satu parameter penting dalam
seksualitas pria. Hal itu pula yang membuat sebagian kaum Adam merasa "tak
puas" selalu berupaya mencari cara untuk memperbaiki ukuran kelaminnya.
Meski demikian, minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi menyebabkan banyak pria terjebak pada prosedur pembesaran yang sembarangan terhadap alat kelamin. Tak semua prosedur pembesaran dapat memberikan hasil yang diharapkan, terutama pelayanan sembarangan yang tidak berdasarkan pada ilmu kedokteran. Alih-alih mendapat ukuran sesuai keinginan, layanan ini justru akan menyebabkan kerusakan permanen pada alat vital.
Spesialis urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) dr Nur Rasyid mengingatkan, kaum pria sebaiknya tidak mencari upaya untuk membesarkan alat kelaminnya. Pasalnya, alat kelamin pria dewasa sebenarnya sudah mencapai ukuran yang maksimal sehingga tidak mungkin dapat diperbesar lagi.
Kecuali pada anak dalam usia prepubertal atau sebelum memasuki usia puber, alat kelamin pria masih dapat bertumbuh sehingga masih dapat dilakukan upaya pembesaran.
"Umumnya pria setelah berusia 21 tahun, organ vitalnya sudah mengalami pematangan sempurna," ujar Nur dalam seminar media bertajuk "Disfungsi Ereksi (DE): Mengapa Pria Enggan Membicarakan serta Mengonsultasikannya ke Dokter?" di Jakarta, Rabu (22/5/2013).
Hanya saja, ukuran organ vital pria dapat bertambah besar saat mengalami ereksi. Nur mengatakan, hal ini terjadi karena peningkatan suplai darah di pembuluh darah penis. Volume darah pada penis saat ereksi dapat mencapai empat kali volume darah saat penis tidak ereksi.
"Maka, jika ereksinya lancar, ukuran penis seharusnya tidak menjadi masalah karena akan membesar sendiri," kata Nur.
Sayangnya, imbuh Nur, tidak semua pria mengetahui ukuran penis yang normal. Masih banyak yang merasa ukuran yang dimilikinya kecil, padahal sebenarnya normal.
Kata Nur, ukuran penis rata-rata orang Indonesia yang dianggap cukup untuk memenuhi fungsi organ seksual mencapai 9 sentimeter saat ereksi. Maka dari itulah, pentingnya artinya kaum pria untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang tepat.
Meski demikian, minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi menyebabkan banyak pria terjebak pada prosedur pembesaran yang sembarangan terhadap alat kelamin. Tak semua prosedur pembesaran dapat memberikan hasil yang diharapkan, terutama pelayanan sembarangan yang tidak berdasarkan pada ilmu kedokteran. Alih-alih mendapat ukuran sesuai keinginan, layanan ini justru akan menyebabkan kerusakan permanen pada alat vital.
Spesialis urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) dr Nur Rasyid mengingatkan, kaum pria sebaiknya tidak mencari upaya untuk membesarkan alat kelaminnya. Pasalnya, alat kelamin pria dewasa sebenarnya sudah mencapai ukuran yang maksimal sehingga tidak mungkin dapat diperbesar lagi.
Kecuali pada anak dalam usia prepubertal atau sebelum memasuki usia puber, alat kelamin pria masih dapat bertumbuh sehingga masih dapat dilakukan upaya pembesaran.
"Umumnya pria setelah berusia 21 tahun, organ vitalnya sudah mengalami pematangan sempurna," ujar Nur dalam seminar media bertajuk "Disfungsi Ereksi (DE): Mengapa Pria Enggan Membicarakan serta Mengonsultasikannya ke Dokter?" di Jakarta, Rabu (22/5/2013).
Hanya saja, ukuran organ vital pria dapat bertambah besar saat mengalami ereksi. Nur mengatakan, hal ini terjadi karena peningkatan suplai darah di pembuluh darah penis. Volume darah pada penis saat ereksi dapat mencapai empat kali volume darah saat penis tidak ereksi.
"Maka, jika ereksinya lancar, ukuran penis seharusnya tidak menjadi masalah karena akan membesar sendiri," kata Nur.
Sayangnya, imbuh Nur, tidak semua pria mengetahui ukuran penis yang normal. Masih banyak yang merasa ukuran yang dimilikinya kecil, padahal sebenarnya normal.
Kata Nur, ukuran penis rata-rata orang Indonesia yang dianggap cukup untuk memenuhi fungsi organ seksual mencapai 9 sentimeter saat ereksi. Maka dari itulah, pentingnya artinya kaum pria untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang tepat.
Berbahaya
Nur mengingatkan masyarakat akan bahaya prosedur pembesaran alat kelamin yang masih banyak ditemukan. Upaya pembesaran penis yang berbahaya di antaranya adalah dengan melakukan penyuntikan penambahan volume di bawah kulit penis. Penambahan volume dapat dilakukan dengan menyuntikkan silikon, bahkan hingga minyak tradisional.
Nur mengatakan, pengisian volume dengan bahan berbahaya mungkin terlihat baik pada awalnya. Namun, efeknya tidak akan lama. Paling lama sekitar enam sampai dua belas bulan. Setelahnya, bentuk dan kulit penis bisa mengalami kerusakan.
"Mungkin mirip dengan penyuntikan silikon di dada atau wajah. Jika sembarangan, tentu akan buruk hasilnya. Melakukannya pada organ vital akan berakibat kerusakan fungsi dari alat vital," paparnya.
Nur mengingatkan masyarakat akan bahaya prosedur pembesaran alat kelamin yang masih banyak ditemukan. Upaya pembesaran penis yang berbahaya di antaranya adalah dengan melakukan penyuntikan penambahan volume di bawah kulit penis. Penambahan volume dapat dilakukan dengan menyuntikkan silikon, bahkan hingga minyak tradisional.
Nur mengatakan, pengisian volume dengan bahan berbahaya mungkin terlihat baik pada awalnya. Namun, efeknya tidak akan lama. Paling lama sekitar enam sampai dua belas bulan. Setelahnya, bentuk dan kulit penis bisa mengalami kerusakan.
"Mungkin mirip dengan penyuntikan silikon di dada atau wajah. Jika sembarangan, tentu akan buruk hasilnya. Melakukannya pada organ vital akan berakibat kerusakan fungsi dari alat vital," paparnya.
8
Manfaat Seks yang Menyehatkan
Hubungan
seks bukan hanya penting untuk menjaga kesehatan hubungan, tetapi juga sebuah
cara yang menyenangkan untuk tetap sehat. Karena itu, jangan biarkan gairah
cinta Anda dan pasangan meredup agar bisa memetik manfaat sehat berikut ini.
Meningkatkan
percaya diri
Memiliki
kepercayaan diri bukan hanya penting untuk Anda, tetapi juga orang di sekitar.
Bagaiaman Anda memandang diri di dunia ikut menentukan cara Anda berinteraksi
dengan orang lain baik dalam hubungan sosial atau pekerjaan.
Melakukan
hubungan seks dengan cara yang Anda inginkan akan membantu kita lebih bahagia.
Bersama dengan seseorang yang mencintai dan menerima Anda apa adanya sudah
tentu akan meningkatkan kepercayaan diri.
Mengurangi
stres
Stres
yang berlangsung lama (kronik) berdampak negatif pada kesehatan. Selain
mengurangi kekebalan tubuh, stres juga akan meningkatkan tekanan darah serta
membuat kita rentan mengalami kecemasan dan depresi.
Hubungan
seks yang menyenangkan dan dilakukan secara teratur telah terbukti menurunkan
tekanan darah dan membuat kita mampu menghadapi masalah yang berkontribusi pada
stres. Seks juga membuat komunikasi dengan pasangan lebih lancar sehingga Anda
berdua bisa mengungkapkan perasaan.
Membakar
kalori
Hubungan
seks bisa dikategorikan ke dalam olahraga karena mampu membakar 90 kalori dalam
setengah jam.
Menguatkan
hubungan
Berintim-intim
di ranjang akan menyebabkan peningkatan hormon-hormon tertentu, termasuk ketika
Anda dan pasangan melakukan obrolan mesra sesudah bercinta. Hormon yang penting
adalah oksitosin yang sering disebut "hormon cinta". Hormon ini
sangat diperlukan untuk menguatkan ikatan cinta dengan pasangan.
Mencegah
kanker prostat
Beberapa
penelitian menunjukkan, pria yang sering melakukan ejakulasi (sekitar lima kali
dalam seminggu) lebih jarang terkena kanker prostat. Proses ejakulasi sendiri,
yang melibatkan prostat, sebenarnya adalah mengeluarkan produk tubuh yang bisa
menyebabkan kanker.
Menyehatkan
jantung
Bercinta
sudah disebutkan termasuk kegiatan fisik yang bisa membakar kalori. Bahkan pria
yang sudah lanjut usia tidak perlu khawatir terkena serangan jantung atau
stroke asalkan hubungan seks dilakukan secara perlahan-lahan. Bercinta secara
teratur (2-3 kali seminggu) disebutkan bisa mengurangi risiko serangan jantung
pada pria lanjut usia.
Mengurangi
nyeri
Menderita
nyeri kronik bisa menurunkan kualitas hidup dan membuat tubuh lebih rentan
stres, susah tidur, bahkan depresi. Acara bercinta yang panas dan teratur bisa
dilakukan untuk menghindari penggunaan obat penghilang sakit. Penelitian
menunjukkan, hormon oksitosin dan endorfin yang dikeluarkan saat bercinta bisa
menghilangkan sakit dengan cara menurunkan persepsi dari sinyal nyeri dari area
tubuh yang bermasalah.
Membantu
tidur nyenyak
"Bertempur"
di ranjang dengan pasangan membuat tubuh akan menjadi lebih rileks sehingga
tidur pun lebih nyenyak. Hal ini ada hubungannya dengan peningkatan hormon
oksitosin dan endorfin setelah orgasme.
Seks,
Bisa Menyembuhkan Bisa Mematikan
Terjalinnya
sebuah hubungan khusus antara pria dan wanita bisa terjadi karena dua hal yang
melatarbelakanginya, yakni seks dan cinta. Seks adalah pedang bermata dua yang
tajam dan menggiurkan. Di satu sisi sebagai alat penyembuh yang luar biasa
ampuh, tetapi bisa berubah menjadi sesuatu yang menyiksa dan mematikan kalau digunakan
untuk maksud sembarangan.
Menurut
penulis buku-buku bertema kesehatan, Lianny Hendrata, seks adalah sesuatu yang
sakral karena bukan saja mempertemukan dua alat kelamin, tetapi juga
mempersatukan tubuh, pikiran, dan jiwa. "Seks dan cinta adalah dua hal
yang berbeda.
Namun,
kedua hal ini bisa bersatu menjadi hal yang sakral jika merupakan kesatuan
batin dari pasangan suami-istri. Jika hanya seorang saja yang berharap
mendapatkan cinta dengan memberikan seks, pihak lain akan mendapatkan
seksnya, tetapi belum tentu mau memberi cintanya dengan tulus," ujar
Lianny, seperti dikutip dalam buku karangannya berjudul The Power of Sex.
Lianny
mengungkapkan, hubungan intim yang dilandasi dalam satu ikatan pernikahan
(sakral) bisa memberikan banyak manfaat kesehatan bagi suatu pasangan. Dengan
seks, seseorang dapat mengatasi problem stres karena otot-otot tubuh
tersimulasi untuk menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.
Bahkan,
lanjut Lianny, aktivitas gerakan tubuh saat berhubungan intim mampu membakar kalori
yang banyak sehingga bisa menjaga bobot tubuh. Menurut dia, sudah banyak
penelitian menyebutkan bahwa seks sehat yang dilakukan dengan perasaan bahagia
akan memberi manfaat untuk kesehatan jiwa.
Pasalnya,
berhubungan seks bukan sekadar kegiatan fisik yang dilakukan secara sembarangan
atau mau dengan siapa saja. "Akan tetapi, lakukanlah kegiatan seks sebagai
wujud penyatuan energi batin bersama pasangan, dan mengubah energi tersebut
sebagai sumber kekuatan yang akan memperbarui tiap sel yang ada di tubuh
kita," paparnya dalam buku yang baru diluncurkan tersebut.
Lianny
juga memberi gambaran betapa seks juga memiliki kekuatan yang justru dapat
merusak dan menghancurkan seseorang apabila dilakukan dengan sembarangan.
Misalnya, dalam kasus sepasang kekasih yang sedang berpacaran.
Menurut
dia, seseorang yang mencintai pasangannya dengan tulus pasti tidak akan pernah
meminta untuk melakukan suatu "hubungan" yang memang belum semestinya
dilakukan.
"Kalau
pacar kita meminta seks sebagai tanda cintanya apakah akan kamu berikan?
Sekarang, kalau pacar kita mencintai kita, justru dia tidak akan merusak
kehormatan kita. Jadi kalau dia merancukan antara seks dan cinta, berarti itu
masih cinta nafsu," ujar Lianny saat peluncuran bukunya beberapa waktu
lalu.
Pada anak
muda yang belum menikah, seks bisa menjadi kekuatan yang menghancurkan hidup
apabila dilakukan sembarangan. "Zaman sekarang banyak sekali orang menikah
pada saat cinta birahi. Jadi bukan cinta sejati," cetusnya.
Lianny
memaparkan, betapa seks kini tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral di
kalangan remaja, terutama di luar negeri. Tak heran apabila fenomena seks
pra-nikah menimbulkan beragam dampak negatif, di antaranya adalah pembunuhan,
aborsi, dan bunuh diri.
Dalam
sebuah penelitian terhadap 4.000 anak muda yang dilakukan para ahli di
Universitas LOA di Amerika Serikat dan dimuat Journal of Marriage & Family diketahui bahwa mereka rata-rata telah
melakukan hubungan seks pra-nikah. "Kesakralan perbuatan seks sudah tidak
ada. Jadi dianggap sudah biasa," imbuhnya.
Adapun
di Indonesia, Lianny berpandangan bahwa seks sudah dianggap sebagai pergaulan.
Dengan demikian, bohong kalau dikatakan persoalan seks di Indonesia masih
dianggap suatu hal yang tabu. "Karena arus bawah itu sudah sangat luar
biasa," tandasnya.
Lianny
berharap informasi yang disampaikannya melalui buku The
Power of Sex bisa
memberikan pemahaman khususnya kepada anak muda bahwa seks adalah sesuatu yang
sakral dan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar