WONG EDAN BAGU

WONG EDAN BAGU
SALAM RAHAYU kanti TEGUH SLAMET BERKAH SELALU DARI WONG EDAN BAGU UNTUK SEMUA PARA PENGUNJUNG BLOGGER PESONA JAGAT ALIET . . . _/\_

Senin, 27 Juni 2011

WAHYU PANCA GA’IB

BAB ; TENTANG WAHYU PANCA GA’IB
Pandangan Masyarakat………

1. Pengantar
Ada beberapa istilah atau sebutan yang dipakai oleh masyarakat, untuk menamakan dukun dengan sebutan: suhu, paranormal, kesepuhan, guru spiritual, dan sebagainya. Hal itu tergantung dari kepentingannya.

Jenis-jenis dukun, ada yang disebut: dukun cabul, dukun palsu, dukun santet, dukun bayi (dukun beranak), dukun sunat, dukun pengantin, dukun sangkal putung dan sebagainya. Hal itu menunjuk pada perilaku dan spesialisasi dari dukun tersebut.

Dengan terang-terangan, sindiran atau cara lain yang rasanya kurang simpatik, dari kelompok tertentu ada yang menganggap bahwa profesi dukun bertentangan dengan ajaran agama. Hal tersebut bisa dengan alasan yang mendasar maupun karena sentimen pribadi.

Sentimen tersebut biasanya hanya diarahkan kepada dukun secara perseorangan atau kelompok dukun secara kecil-kecilan. Artinya bila ada kelompok berkelembagaan besar, yang berperilaku seperti dukun, malah tidak menjadi sorotan atau sasaran dari sentimen tersebut.

Timbul juga dugaan bahwa sentimen tersebut muncul karena adanya kekhawatiran, kalau-kalau menyaingi hakikat dari suatu ajaran agama dalam realita kehidupan. Walaupun dalam hal lain, sentimen berbau kecemburuan kadang menunjukkan bahwa kemampuan menjabarkembangkan suatu paham masih kurang.

Maka tidak menutup kemungkinan, yang bersikap sentimen negatif kepada dukun atau kelembagaan seperti dukun, dia sendiri menjadi dukun atau memanfaatkan jasa perdukunan. Baik disadari atau tidak.

2. Berbagai Istilah
Dukun dengan sebutan suhu, biasanya diarahkan kepada dukun yang kebetulan Warga Keturunan Cina. Namun dengan berkembangnya pergaulan dan pembauran, dukun berlatar belakang pribumi pun disebut atau menyebut dirinya suhu. Walaupun pembauran perilaku lebih penting dari pada pembauran perkataan.
Sebutan dukun sebagai paranormal, dimana kata ini berasal dari serapan bahasa asing, mungkin dimaksudkan agar profesi perdukunan kedengaran lebih keren dan sedikit terangkat dari keterpurukan gara-gara sentimen negatif.

Dukun disebut kesepuhan yang berasal Bahasa Jawa yang artinya tua atau dituakan. Pada era 70-an, kebanyakan para dukun sudah berusia 40 tahun atau lebih. Mungkin ada kekhawatiran bila belum mencapai usia tersebut tidak akan kuat. Dalam arti perilakunya tidak mencerminkan ketuaannya.
Namun karena kemajuan jaman dan berkembangnya wawasan, boleh jadi dalam usia muda bisa saja menjadi dukun. Tentunya setelah melalui proses pembelajaran dan pematangan dari ajaran pedukunan. Dukun dengan sebutan kesepuhan seakan membawa resiko moral dan dapat “terhindar” dari sebutan dukun yang bertentangan dengan ajaran agama.

Meskipun modal dasar untuk menjadi dukun hanyalah mau dan mampu, namun ada tantangan kompetensi didalam meraih pangsa pasar. Dari hal inilah kadang ada dukun yang secara pamer, mempertontonkan kemampuan menyantet didepan kamera televisi. Dimana pamer adalah perilaku yang dianggap tabu oleh orang yang berbudaya timur.

Dukun yang suka pamer itulah yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama. Karena pamer terdorong oleh rasa sombong. Sedangkan sombong adalah biang dari segala dosa. Namun kesombongan sebagai sifat naluri manusia, sulit rasanya dibendung. Karena bersifat naluriah, maka manusia, apapun latar belakangnya, kemungkinan melakukannya. Termasuk juga manusia yang berpredikat Ustad, misalnya berlaku sombong dengan pamer kekuatan.

Pamer kekuatan dengan alasan Jihad Fi Sabilillah untuk membela Allah, atau berjuang di jalan Allah. Manakala ada peristiwa serangan terhadap negara atau kawasan Islam. Dengan berbondong-bondong mendaftar sebagai laskar jihad. Kenapa hal tersebut termasuk sombong? Sebab perilakunya melebihi kemampuannya dan diluar kewenangannya.

Bukankah perang itu operasi militer. Tentunya memakai segala peralatan canggih. Pemilihan perseorangan prajuritnyapun dengan saringan yang ketat. Mana mungkin orang sipil mampu. Kecuali bagi yang pernah memperoleh pendidikan militer dinegara asing secara ilegal.
Bukankah lebih tepat mewujudkan Rahmatan Lil Alamin dengan ikut membantu mencegah, membantu saat terjadi maupun sesudah terjadinya suatu bencana merupakan perjuangan di jalan Allah? Karena membantu para korban bencana adalah perilaku utama yang langsung dapat dirasakan oleh sesama hidup.

Bila ingin terkesan Jihad dengan perang melawan musuh, disekitar kita banyak musuh yang sulit dilawan. Berupa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan. Karena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterbencanaan merupakan lawan dari sifat rahman dan rahim, maka perang melawan hal-hal tersebut merupakan Jihad yang sejati. Jihad fi Sabilillah Arrahman dan Arrahim.

Kesepuhan yang dimaksud adalah kedewasaan dengan tingkat kematangan jiwa. Namun kedewasaan dalam hal ini tidak sama dengan usia tua. Dewasa asal kata dewa dan rasa. Dewa artinya pancaran cahaya Illahi. Maka bagi yang sudah bisa menerima, merasakan dan mengamalkan pancaran cahaya Illahi itulah yang dimaksud dewasa.
Kedewasaan dalam hal ini dapat dicapai antara lain dengan cara memperbanyak rasa ingat kepada Tuhan. Dan sebaik-baik dari menyebut Nama Tuhan adalah dzikirullah. Dan tidak akan masuk neraka bagi yang menyebut nama Allah.

Ada dukun yang oleh para pasien pelanggannya atau penganutnya, disebut sebagai guru spiritual. Yang bisa dimintai pertolongan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada kaitanya dengan hal-hal kegaiban atau tak kasat mata.

Bila dukun memperlakukan para pasiennya dengan ramah penuh rasa kekeluargaan dan berhasil didalam memberikan pertolongan, tidak menutup kemungkinan akan datang lagi dengan membawa pasien baru. Pada giliranya akan membawa keakraban yang membuat kesan seakan-akan sang dukun sebagai orang tuanya yang kedua. Karena dalam kenyataan sehari-hari banyak orang atau keluarga merasa kehilangan orang tua kedua yang artinya kehilangan tokoh yang dapat diajak komunikasi dengan transparan dalam kepribadian.

Andai ada pelanggan tetap dari dukun, seharusnya dibatasi hanya pada rasa kagum yang wajar saja. Jangan sampai ada rasa memuja-muja secara berlebih-lebihan, seakan mempertuhankan dukun. Karena memuja selain kepada Allah berarti memberhalakan. Sikap memberhalakan memang dilarang oleh agama. Baik memberhalakan dukun, memberhalakan kyai, memberhalakan harta dan juga kedudukan.

Maka kekaguman pada sebatas rasa sebagai anak kepada orang tuanya. Dan etika anak kepada orang tua antara lain adalah bisa mikul dhuwur mendem jero. Artinya bisa memikul setinggi-tingginya kepada apa yang menjadi kebaikanya dan memendam sedalam-dalamnya apa yang menjadi kekurangannya sebagai manusia lumrah.

Hal tersebut bisa dengan cara mengkritik secara sopan dan mengingatkan secara santun, disaat suasana hati sedang tenang, misalnya dengan mengatakan:”… Bapak pernah mengatakan.. pernah memerintahkan,.. pernah melarang.. dsb”

Diantara pasien yang menjadi pelanggan tetap, menganggap si dukun sebagai orang tua yang kedua, kemungkinan ada yang berminat menimba ilmunya. Bila dia berhasil menjadi pewaris ilmunya, bila kelak berhasil didalam memberikan pertolongan kepada pasiennya, dia mendapat satu poin, maka gurunya mendapat dua poin nilai kebaikan dalam kematianya kelak.

Karena Pak Ustadz dan Mbah Kyai pernah mengatakan: “Bila mati anak adam, hilanglah semua amalnya, kecuali amal tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal yang soleh dan sadaqah jariyah.” Dalam hal ini pewaris ilmu mengamalkan ilmu yang bermanfaat, dan si dukun mengajarkan ilmu yang bermanfaat tadi kepada siswanya.
Ilmu yang bermanfaat tidak harus ilmu agama, tetapi tidak boleh bertentangan dengan agama. Meskipun agama sebagai sumber ilmu, bisa juga terpecah-pecah menjadi beberapa madzhab atau sekte yang saling berebut kebenaran aqidah.

Bermanfaat disini karena dapat memberikan pertolongan kepada orang lain. Dan jasa pertolongan tidak akan mendapatkan pasaran manakala tidak bermanfaat. Banyaknya pasien, merupakan bukti, bahwa jasa perdukunan punya pangsa pasar juga. Pangsa pasar untuk barang dan jasa apapun, dibutuhkan kemampuan bersaing dalam kualitas. Dan tak ada peraturan yang melarang dukun berebut pasaran dengan cara berlomba kebaikan.

Tetapi ada dukun yang terkesan alot bila diminta mewariskan ilmunya. Semua itu berujung pada kekhawatiran, bila muridnya lebih pintar, pada gilirannya nanti dapat mengancam pasarannya.
Dukun semacam itu mementingkan diri sendiri, dan akan selalu dihantui kekhawatiran kehilangan citra dan kharisma. Pada hal, ajaran apapun, bila sudah tertumpangi kepentingan pribadi atau kelompok, akan bergeserlah aturan dan norma, disesuaikan dengan pemaksaan kehendaknya, meskipun ajaran agama memesankan bahwa janganlah mengukur (ajaran) agama dengan kehendak pribadi.

Dukun yang tidak ingin kehilangan pasaran, haruslah rajin mengembangkan diri dengan banyak membaca tulisan, membaca suasana hati orang, membaca gejala alam dan juga belajar membaca denah kapal terbang yang hilang dan kapal laut yang tenggelam. Tentang membaca ini sebagaimana diwahyukan kepada Rasulullah dalam Surat Al Alaq.

Celakalah dukun yang memberikan pertolongan dengan pertimbangan tebal-tipisnya amplop. Juga oknum ustadz yang enggan dipanggil mengaji pada kali kedua, manakala kali pertama honornya tidak sesuai perjanjian, meskipun harusnya selalu mengingatkan kepada para pendengar dakwah, bahwa para Nabi didalam berdakwah tak ada yang menerima rupiah.

3. Jenis-jenis Dukun
Batasan istilah dukun kira-kira artinya, suatu profesi pelayanan masyarakat dengan menggunakan ilmu atau keahlian tertentu, dimana keahlianya itu diperoleh melalui pembelajaran secara tutur tinular antar pribadi.

Dikatakan profesi, karena kesulitan kami dalam memakai kata yang tepat. Pada hal profesi tertentu, sering membentuk kelembagaan dengan mengorganisasikanya. Namun sampai sekarang belum terdengar ada organisasi Persatuan Dukun Indonesia.

Karena proses pembelajaran ilmu perdukunan yang bersifat les prifat, maka belum ada jenjang organisasi persekolahannya. Keadaan semacam ini teralami sejak istilah dukun ini ada sampai dengan makalah ini dibuat.
Laku mirip dengan kegiatan perdukunan, baik yang tidak maupun yang ditayangkan di televisi, tentang misteri alam gaib, pemburu hantu dan sejenisnyapun belum ada Sekolah Dasar Alam Gaib, Sekolah Lanjutan Alam Gaib, Perguruan Tinggi Alam Gaib sampai menghasilkan Sarjana Alam Gaib. Dimana penayangannya di televisi, para penonton tidak tahu pasti, apa yang mereka lakukan itu benar-benar atau hanya sekedar bisnis siaran.

Benar dan tidaknya tayangan tersebut diatas memang tidak diperlukan, bila dilihat dari bisnis siaran, yang sudah barang tentu dirancang agar dapat menarik minat penonton untuk memperhatikannya. Meskipun ada juga penonton yang sempat menyeletuk: “Kalau sekedar jelalatan dan penampakan berupa trik kamera, akupun bisa.”

Memang ada bukti, ketika televisi ramai-ramai menayangkan kesurupan masal, tidak serta merta diikuti kepedulian dari yang punya acara mirip laku pedukungan yang disiarkan itu, ada upaya penyembuhan atas kesurupan masal tadi. Tidakkah kasihan kepada oknum ustadz yang berusaha menolong tetapi malah kesurupan juga.

Secara sinonim, kata dukun artinya kira-kira tukang atau pawang. Dukun cabul artinya tukang mencabuli orang. Dukung santet artinya tukang yang memberikan jasa penyantetan, yang konon korbannya bisa mati mengenaskan, mirip ditayangan sinetron bernafaskan keagamaan itu.

Sinetron semacam itu seakan memberikan gambaran kelak akan terjadi seperti itu. Kelak akan tejadi berarti meramal. Khusus dukun ramal, artinya tukang nujum. Namun bukan berarti pemapar mengatakan bahwa pengarang cerita sinetron yang kabarnya ustadz itu sebagai dukun ramal dengan menggunakan media sinetron. Karena biasanya membicarakan kejelekan pribadi seorang ustadz dapat memulai terpicunya konflik sara. Jangan pula sampai terjadi konflik antara dukun dengan ustadz, apalagi ustadz yang menjadi dukun.

Dukun palsu artinya tukang memalsukan, bukan dukun tetapi memplokamirkan dirinya sebagai dukun. Dukun pijat artinya tukang memijat badan lelah. Tentu saja bukan tukang pijat seperti di panti-panti pijat, dimana pemijatnya konon cewek-cewek cantik, yang terkadang malah “dipijat” oleh tamunya dengan meminta bayaran yang cukup tinggi. Agaknya pasien dipanti pijat itu lelah dan terlalu jenuh dengan keseharianya, yang sibuk mengobok-obok hidung sendiri yang belang.
Dukun sunat artinya tukang melayani permintaan jasa khitanan. Tempo dulu dukun sunat cukup laris. Dengan banyaknya dokter dan perawat yang memberikan jasa penyunatan, kini pemakai jasa dukun sunat hanya orang tradisional saja.

Sudah barang tentu ustadz dan kyai yang mengalami jaman dukun sunat, pernah juga meminta jasa penyunatan kepada dukun. Bila hal ini juga dilarang oleh agama, dimana mengakibatkan hilang ibadah shalatnya selama empat puluh hari, na udzu billahi mindzalik.
Istilah dukun yang dekat pengertiannya dengan kata pawang, yaitu dukun atau pawang ular, buaya, pawang hujan, pawang burung berkicau dan sebagainya. Meskipun pawang burung hanya mampu mengendalikan perilaku hewan burung, dan tidak bisa mencegah dan mengobati flu burung.

Dan berbahagialah, burung-burung piaraan para oknum pejabat, yang memperoleh layanan khusus sehingga dianggap bebas dari flu burung dan bebas pula dari pembantaian massal.
Unggas-unggas yang menjadi penyebab manusia tertular virus yang mematikan itu memang patut bila dibantai. Ini pandangan dari sisi kesehatan. Tetapi bila dilihat dari kepentingan pelestarian alam, perlu penelusuran mendalam tentang kebenarannya.

Pelestarian satwa liar demi keseimbangan alam, perlu disepakati bersama. Jangan sampai terjadi lagi bencana alam dan merebaknya penyakit endemik yang menyebabkan kesengsaraan. Kesengsaraan yang ditimbulkan tidak cukup hanya ditutupi dengan pakaian seragam para pejabat dan jubah para ustadz, yang biasanya digunakan untuk menutupi operasi satwa langka.

Penyakit yang menjangkit secara endemik dari ternak dan hewan piaraan, mungkin berasal dari satwa langka yang seharusnya bebas di habitatnya. Karena dipelihara dengan segala macam layanan hidupnya yang tidak lagi alamiah, maka tidak menutup kemungkinan tingkat ketahanannya menjadi berkurang. Karena perkembangbiakan, ketahanan hidup dan kematiannya adalah alamiah, dengan membentuk rantai makanan sebagaimana adanya.

Bagi yang rendah tingkat ketahanannya pada penyakit dan rendah pula upaya pertahanan hidupnya, akan sakit dan mati karena seleksi habitatnya.

Sakit, kerusakan dan kematian akan memberikan makanan pada koloni tertentu yang akhirnya akan terurai dan menyuburkan hutan. Kesuburan hutan yang pasti akan mencegah banjir dan tanah longsor. Karena pelestarian hewan dan tumbuhan liar erat sekali kaitanya, maka tidak mengheranan apabila ada semacam rentetan waktu antara bencana alam dengan penyakit endemik.

Dan berbahagialah, dukun yang berusaha memperluas wawasan sains. Apalagi yang bisa dihubungkan dengan Kitabullah, yang mengatakan bahwa: Anugerah berasal dari Allah dan musibah berasal dari manusia. Akan tetapi pemapar tidak berani mengatakan, bahwa pemelihara hewan liar adalah biang terjadinya bencana. Apalagi bila yang mengatakan hal tersebut adalah dukun yang berlatar PNS, sedangkan yang terkena kritiknya itu oknum pejabat, bisa terancam karirnya.
Pun juga tidak mengatakan, bahwa apabila kita secara kebetulan ada oknum pemuka agama dan pemuka masyarakat yang memelihara hewan liar itu adalah pemicu bencana dan penyakit. Sebab pemicu, penyebab dan biang antara keduanya, bencana dan penyakit, merupakan perbuatan keji dan mungkar. Yang sudah barang tentu perbuatan keji dan mungkar itu yang menyebabkan orang kehilangan hikmah dari ibadah shalatnya.
Lalu apa yang pemapar maksudkan didalam pernyataan ini? Hanyalah sekedar menanggapi kenyataan yang sedang melanda bangsa dan negara. Barangkali dapat menjadi sebutir pasir, dalam upaya pelestarian alam untuk mencegah bencana alam dan berbagai penyakit. Namun juga bukan berarti pemapar akan memplokamasikan diri, bahwasannya sikap mencintai alam dan lingkungan hidup adalah bagian dari jihad fi sabilillah.

Pemapar hanya ingin berusaha menjalankan apa yang pernah dikhotbahkan oleh para khotib, bahwa, amalkan ilmu bagi orang yang berilmu, amalkan harta bagi yang mampu dan amalkan tenaga bagi yang tidak berilmu dan berharta. Dimana hal itu merupakan kewajiban para hamba kepada khaliknya, tanpa pamrih memperoleh anugerah bagi pribadinya, selain hanya mewujudkan rahmatan lil alamin.

Dalam rangka ikut mewujudkan rahmatan lil alamin, tidak perlu digembar-gemborkan lewat mass media atau loud speaker. Tidak juga dengan cara berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai laskar jihad. Karena pemapar sendiri nyaris menyebabkan ibu pemapar mati sahid saat melahirkan. Dan ibu pemapar juga belum pernah mendaftarkan diri sebagai laskar jihad.

Dari sisi pengertian tentang dukun sunat, dukun pengantin, dukun pijat, pawang hujan, pawang burung dan sebagainya, agaknya bukan termasuk kategori dukun yang dilarang oleh agama. Karena kemungkinan tokoh-tokoh agama ada yang menggunakan jasanya.

Yang dianggap terlarang mungkin dukun yang dapat meramal nasib, meramalkan kejadian yang akan datang, mengerti masa lalu seseorang, terjadi kapan tsunami dan sebagainya. Pada pokok-dukun peramal. Karena konon, ramalan itu bersumber dari rencana Allah yang berhasil disadap oleh setan, dan selanjutnya dukun diberitai (baca diberi berita) oleh setan.

Perihal setan, malaikat, surga, neraka, kiamat dan sebagainya, adalah hal-hal yang bersifat supra natural, dimana manusia biasa tidak bisa menginderanya. Jelasnya, secara awam manusia sulit membedakan antara perilaku setan dan malaikat. Yang diketahui adalah kriteria sifat dari setan dan malaikat. Setan sebagai musuh nyata manusia karena suka menggoda. Sedangkan malaikat sebagai utusan Allah yang bersifat Gaib.

Dalam hal gaib, termasuk didalamnya setan, malaikat, jin, ruh dan alam gaib lainnya, menyatu didalam sifat kegaibannya. Dalam hal ini gaib yang baik dan yang buruk dalam satu keberadaan. Tentang baik dan buruk, selanjutnya diukur dengan rasa nurani.

Manusia hidup terdiri dari jasmani dan ruhani. Ruhani bersifat gaib. Maka apabila manusia mau memberdayakan daya gaib dari ruhnya sendiri, untuk menyingkap misteri gaib, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan mencapai kemampuan “ngerti sakdurunge winarah”, yang merupakan perolehan dari suatu laku, adalah merupakan upaya menggunakan hak kemandiriannya.
Para wali dan tokoh-tokoh legenda masa lalu yang bukan wali, sama-sama mempunyai kemampuan supra natural. Namun pihak tertentu mengatakan yang bukan wali, kemampuannya merupakan ilmu sesat. Walaupun kadang tidak jelas perbedaan antara yang sesat dan yang tidak sesat. Tetapi sebagaimana yang pemapar katakan didepan, seagama tetapi berbeda sekte juga saling tuding kesesatan, apalagi yang tidak seagama. Maka dari hal inilah dapat diketahui, tingkat kedewasaan seseorang dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Keesaan Tuhan.

Pada prinsipnya, shalat merupakan tiang agama. Shalat yang afdol dilakukan tepat waktu, dalam arti, mencegah perbuatan keji dan mungkar jangan ditunda-tunda. Bila sudah nampak kebaikan perilaku dan manfaat bagi orang lain, maka orang lain akan menirunya, tanpa harus digembori. Dan hal inilah yang dapat ditarik hikmah, bahwa sebaik-baik shalat, dilakukan secara berjamaah. Yang sudah datang pertama menempati tempat shalat pada shaf depan. Artinya yang sudah mendahului mencegah perbuatan keji dan mungkar, berada pada barisan terdepan dalam perilaku luhur budi. Yang demikian akan mempercepat dan memperlancar proses menuju rahmatan lil alamin. Menuju dunia yang penuh rahmat Allah, agar terwujud baldatun toyibatun wa robun gofur.

Bencana alam dan penyakit menimbulkan sakit dan derita lainnya. Dan kata para ulama: “Bukan muslim sejati, bagi yang menyakiti (hati) orang dengan lisannya dan menyakiti (jasmani) orang dengan anggota badannya”. Bila hadis tersebut diatas dijadikan tolok ukur, maka dapatlah diukur salah tidaknya bagi muslim yang menyiksa TKI, menyinggung perasaan orang dan berbohong. Apalagi yang melakukan aksi teror. Bila hal tersebut dikerucutkan, kelihatannya keadaan sekarang perlu mensejatikan orang muslim, agar menjadi suri tauladan dalam membangun rahmatan lil alamin. Bukan sekedar alim, alim pulasan. Sebagaimana terkidungkan di Serat Wedatama.
Anggapan bahwa ilmu dukun adalah ilmu setan, kenyataannya bukan hanya dukun saja yang dapat digoda setan. Semua manusia. Semua anak Adam. Apapun latar belakangnya. Tidak terkecuali oknum Menteri Agama, yang berusaha menggali harta karun di seputar Istana Bogor. Walaupun hasilnya hanya menggigit jari dengan resiko malu digelar.

Andai benar ada harta karun disana, berniat untuk mendapatkannya saja sudah berdosa. Hukumnya haram, kata Ulama. Pada hal target terkecil untuk orang yang paling awam dalam ihwal agama, minimal takut dosa dan tahu malu. Dari itulah maka perbuatan diatas tak takut dosa dan tak tahu malu. Takut dosa adalah ihwal habluminallah, sedangkan tahu malu adalah ihwal habluminanas. Tentang kasus upaya menggali harta karun diatas, secara habluminanas, bukan pribadi knum saja yang menanggung malu, tetapi melibatkan instansi yang nota bene Departemen Agama, suatu kelembagaan yang dekat dengan citra Islam.
Bila dukun dapat menasihati kearah kebaikan yang dapat diamalkan oleh murid dan kliennya, dengan sendirinya bukan ajaran setan yang diberikan, dan tidak ada alasan untuk dianggap menghilangkan hikmah shalat seseorang, manakala mendekatinya. Seperti dikemukakan didepan, bahwasanya perbuatan keji dan mungkar dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan monopoli dukun saja. Perbuatan keji dan mungkar biasanya menumpang pada hawa nafsu. Maka terbuktilah kebenarannya, bahwasannya musuh terbesar umat manusia adalah hawa nafsu.

Dikatakan, manakala seorang muslim membaca: “audzubillahi minas syaitanirrajim”, akan terbebas dari godaan setan. Tetapi pengalaman pemapar berjalan bersama teman berlatar belakang ustadz, ditengah malam lewat kuburan yang konon angker, kebetulan malam Jum’at Kliwon. Pemapar sengaja bercerita hal yang seram-seram. Ternyata teman tadi lari tunggang langgang sambil membaca kalimah diatas dengan gemetaran.

Peristiwa kecil itu agaknya menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Maka benarlah sabda Rasul: “Iman dahulu, baru Islam”. Kalau hanya gara-gara melewati kuburan saja, iman seorang ustadz sudah goyah, apalagi godaan yang lebih berat. Misalnya berlama-lama didalam goa untuk melakukan do’a dan ritual lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Goa Hira.
Bila seorang atau sekelompok orang (baca dukun), melakukan ritual ditepi pantai sebagaimana yang dilakukan Nabi Hidlir dan Nabi Musa, dalam rangka berupaya meningkatkan ketahanan iman dan mengagumi ciptaan Tuhan, janganlah dipandang suatu kemusrikan dan kemunafikan, sambil membuktikan lafal “audzubillahi minas syaitanirrajim” sangat mustajab apabila digunakan untuk berdo’a. jangan asal membaca do’a, tetapi dihayati dilubuk hati yang paling dalam dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata orang, berdo’a yang memenuhi syarat kebenaran obyektif adalah dengan menggunakan bahasa hati nurani, tahu makna kata yang tersurat dan memahami hakikat yang tersirat. Bila di sertai penghayatan yang mendalam dengan penuh perasaan dihati yang selalu ingat kepada Tuhan, niscaya akan lebih sambung, ketimbang dengan sejumlah kalimat panjang yang membebani memori pada penalaran. Andai beban tadi merupakan hambatan, maka akan menghalangi kemampuan keheningan rasa. Dari itulah maka secara pengalaman pribadi, dzikirullah dan fikirullah terasa lebih sambung, karen ringannya beban yang harus dihafal.

Bila secara kebetulan ada tokoh yang melarang seseorang untuk meminta pertolongan kepada dukun, mungkin orang itu sedang dalam keadaan lupa, bahwa dirinya ketika sedang lelah meminta pertolongan kepada dukun pijat. Waktu khitan dikerjakan oleh dukun sunat. Jadi pengantin dirias oleh dukun pengantin, dan meminta pertolongan kepada dukun sangkal putung bila sedang terkilir.
Pemahaman sebagian orang awam, mana kala bukan dokter dan bukan paramedis, tetapi memberikan layanan bidang kesehatan, disebut dukun. Dan kenyataannya, dukun bisa berasal dari petani, pedagang, PNS, abangan, priyayi juga santri. Namun yang berasal dari santri lebih suka disebut taabib. Tabib dalam Bahasa Arab yang artinya dukun.

Bila dukun yang bukan berasal dari santri dikonotasikan jelek, maka mungkin anggapan itu lebih bersifat sentimen pribadi atau kelompok, yang berujung pada persaingan.
Dan persaingan semacam itu jugalah yang pada akhirnya membuahkan terpecah-pecahnya agama menjadi beberapa mahdzab. Dimana masing-masing mahdzab bersikukuh bahwa hanya merekalah yang paling benar dan calon penghuni syurga, yang lain akan masuk neraka.

Mungkin tak disadari, bahwa sikap ingin benar sendiri, termasuk mendahului iradah Allah, bahwasannya untuk menentukan siapa-siapa yang bakal masuk surga dan neraka, harus melalui proses “interogasi” oleh Allah. Padahal anggapan mendahului kuasa (iradah) Allah, sering dialamatkan kepada dukun.

4. Sasaran Sentimen
Bahwasannya perilaku seseorang biasanya menganut suatu sumber. Sumber itu diperoleh melalui para penentu kecenderungan. Penentu kecenderungan adalah seseorang atau sekelompok orang yang bisa diteladani. Dimana keteladanannya sudah teruji kebenarannya.

Para penentu kecenderungan tercakup didalam institusi kecenderungan. Contoh institusi sebagai penentu kecenderungan adalah: badan-badan keagamaan, organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Tokoh-tokoh penentu kecenderungan misalnya: para pemuka agama, pejabat pemerintah, para pengurus partai politik, para pengurus organisasi sosial kemasyarakatan dan tokoh yang dituakan di masyarakat. Termasuk didalamnya adalah keberadaan keraton.

Bila para dukun masih berkebiasaan menggunakan pusaka-pusaka seperti keris dan sejenisnya, toh dia sebagai penganut kecenderungan. Sumber kecenderungannya adalah Keraton Yogya, Solo dan Cirebon. Kebiasaan seperti itu, bila dilakukan oleh dukun ada yang menghujat, tetapi bila dilakukan oleh keraton, belum ada yang berani menghujat. Dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, meskipun menganggap kerbau hewan keramat dan disebut kyai.

Bila dukun melakukan ritual di goa, ada yang menganggap jelek, dengan tidak mengingat proses turunnya Surat Al Alaq. Bila dukun melakukan ritual digunung dianggap laku kejelekan, tanpa mengingat bahwa Nabi Musa melihat Cahaya Illahi juga di Gunung Tursina. Bila dukun melakukan ritual di makam keramat, dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa ibadah haji sebagian rukunnya adalah ziarah ke makam para nabi. Bila dukun melakukan ritual dipantai juga dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa pertemuan antara Nabi Musa dengan gurunya (Nabi Khidlir), juga ditepi pantai.
Perilaku dukun seperti tersebut diatas, adalah suatu bentuk perilaku budaya batin. Dimana perilaku budaya pada umumnya ada yang dibolehkan, meskipun nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama. Yaitu pengawetan jenasah Fir’aun di Mesir. Maka dari itulah, dengan perkataan lain, sasaraan sentimen negatif hanya diaarahkan kepada dukun sebagai kelompok kecil. Tetapi bukan berarti pemapar ingin mengatakan bahwa, kelompok penghujat dukun beraninya hanya kepada anak kecil.

5. Kesimpulan
Dukun sebagai pelayan jasa kepada masyarakat, tak dapaat dipertahankan keberadaannya, bila tidak mempunyai nilai guna dimasyarakat.
Dukun bisa berasal dari berbagai latar belakang.
Tidak semua dukun salah dan tidak semua dukun benar.
Sentimen negatif arahkan pada penentu kecenderungan dari perilaku dukun.
Masalah benar dan salah, semua orang bisa mengalami. Dan pernyataan salah atau benar yang adil adalah pernyataan dengan kebenaran yang obytektif dari seluruh aspek.

PANCA GAIB DAN ADIATMA
Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI.

KUNCI ;
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
Tinarbuka rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye sejatine kahanaNe Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka kabeh kang ana ing jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua yang ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya makro kosmos dan mikro kosmos.
Nutup, kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa nepsu kang kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa nutupi ras sesambungan gaib marang Gusti kawula, yang artinya: menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari luapan hawa nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila dilepas bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan hambanya.
Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan tethukulan uga alam saisine, yang artinya: rukun dengan pengertian menyatukan rasa dengan keberadaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan juga alam seisinya. Anggap semua manusia itu saudara, dan anggap hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
Suci, kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak, amarga ati sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang Maha Suci, mula aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang sipate ora suci, artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hati nurani dan seluruh tubuh itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah mudah mengisi dengan segala sesuatu yang sifatnya tidak suci.
Dadi, kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan kang samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine KUNCI, artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang dikehendaki menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa memahami apa yang tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna, artinya apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi kata serta dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang hakekat hidup, disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan perasaan yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang terdalam dari yang tersirat dan tersurat di dalam KUNCI.

Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri denga Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng. Dan khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna, akan menghasilkan:


Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
GUSTI INGKANG MAHA SUCI, yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai tempat berlindung, sebagai asal semua makhluk dan sekaligus sebagai tempat kembalinya semua makhluk.
KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI, artinya: saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai hamba yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon maaf dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosanya.

SIROLAH, artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya berasal dari Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan manusia mempunyai naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini pulalah yang menjembatani hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan Yang Maha Suci, Sirolah adalah unsur terkecil yang sangat halus dan lembut, akan tetapi mempunyai kekuatan yang amat besar.
DATOLAH, artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci, Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka dari itu harus di jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal ini adalah mudah terkena penyakit, mudah terkena musibah dan sebagainya. Maka harus selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini adalah sebagai tempat bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah mengandung unsur atau anasir sarinya: api, air, angin dan tanah, yang semuanya dalam wujud ether. Anasir-anasir yang berwujud ether ini apabila digerakkan menurut susunan molekul dan bentuk medan magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah dengan membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang tekun dan teratur.
Ether dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan hawa nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut sak serik, yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata pak kyai, orang sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan mengendalikan nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang diajarkan agama, dan janganlah atau kurang benar kiranya apabila melakukan puasa diluar perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan yang baik adalah, makanlah pada waktu makan, cobalah tinggalkan makanan pokok dan sekaligus tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal dari unsur hewan. Kebiasaan ini oleh orang jawa dinamakan ngrowot, yang didalam bahasa sanskerta dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan Himsa artinya melakukan kekerasan.

Baik pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah hari lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri mengalami kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan dijalankan. Dan karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh disebut puasa diluar perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap berat dalam melakukan ahimsa adalah tidak boleh marah selama menjalankanya. Apabila terpaksa marah sebaiknya dibatalkan dulu, dan lakukan kali lain. Pantangan terberat kedua adalah tidak boleh membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja. Ini semua karena mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak boleh melakukan kekerasan.

Sedangkan cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan melakukan latihan pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh sembarangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri sebagai kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan melestarikan jenis. Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan memperhatikan waktu dan tempat yang terhormat. Waktu yang tepat untuk itu adalah lewat tengah malam. Karena pada saat itu sudah cukup waktu beristirahat, maka kecil kemungkinan untuk diganggu oleh apa dan siapapun juga. Karena orang yang berbudaya, didalam melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi manakala ada gangguan sedikit saja.
SIPATOLAH, artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar perilaku atau tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci. Apabila Sirolah dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber energi, maka sipatolah berfungsi sebagai alat penggerak dari energi itu, sesuai dengan sifat peralatan yang ada serta dibudidayakan dapat bergerak sesuai dengan medan magnet dan orbit nucleusnya, maka terbentuk penimbunan tenaga dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan supranatural serta membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali, asal mau membudidayakanya.

Karena gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya menyerupai gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana sifat dan bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap orang, sesuai dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada yang menyebutnya daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu pengertian yang disingkat MB.

Apabila MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan yang positif, maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-hal yang positif juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi rendahnya tingkat keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana perilaku orangnya, dalam arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan ketelatenan. Maka kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu ajaran dan satu tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri ini juga dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan supranatural juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya akan timbiul dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran apapun, yakni bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang mendesak, yang karena keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu mendorong seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran, untuk mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat sambil berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam keadaan normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain misalnya seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat dengan setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi kemampuan biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara kebetulan nalurinya mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu penting, ternyata benar, meskipun sebelumnya belum ada pemberitahuan.
Demikianlah sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula oleh hewan. Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila didekatnya ada kepulan asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan tempat mereka hidup, akan terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca suasana hanya dengan kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan nalar dan fikiran, karena memang mereka tidak memilikinya.

KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA, artinya saya sebenarnya satria/wanita yang seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau didalam bahasa jawa disebut: Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan tersurat didalam Kunci.

Disamping itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata Satria. Yang asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam, Tri artinya tiga dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah: eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima. Yang artinya kepada Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang didasari rasa sabar, rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang lebih mendalam akan penulis sampaikan pada tulisan lain.

Sedangkan tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang Maha Esa, Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci. Dan kadang-kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad atau Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi. Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan perintah Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar menjadi manusia yang baik.

Apabila semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat dilaksanakan dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut bisa mencapai tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas nama sang adhiatma. Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya manusia yang hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi didalam rasa dan naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya memperoleh kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu duniawi.

Menurut kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa membias pada orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi Awatara atau titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma tidaklah mudah, karena hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh secara kehendak hati dari yang bersangkutan dan dirinya tak benar-benar memproklamiskanya, dalam arti tidak benar bahwa seseorang adalah titisanNya.

Cirri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu dengan Tuhannya.
Tinggi rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa berguru sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni dan hal itu seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh tuntunan Ilmu Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu akan kalah tingkat rasa Ketuhanannya.
Tidak merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan tetapi sebaliknya selalu meras masih banyak ilmu Ketuhanan yang perlu dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
Banyak dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda dan anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar belakang kehidupan pribadi setiap orang.
Bersedia menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang yang kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua cirri-ciri yang terakhir dan tersendiri adalah:
Ada ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada lidahnya. Dan masih ada cirri-ciri lain yang tak dapat disebutkan disini, dimana atas cirri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya sebelum diberi tahu oleh orang lain.
Dari ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan terakhir, akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain. Maka dari itu pengertian yang menyangkut dari ketujuh cirri-ciri tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.

Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing panggawe”. Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma artinya hukum yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya sendiri. Karma dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan Karma dari peri laku jelek disebut Asubha Karma.

Subha Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati Moksa. Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari belenggu hawa nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan Asubha karma terjelek adalah apabila mati seseorang menitis pada hewan.
Apabila seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut akan terbebas dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia, sebagai manusia lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara yang selanjutnya disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan dunia. Sedangkan Atma dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu kembali kepada Tuhan dan tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh Tuhan.
Sebenarnya semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan memenuhi syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti yang tersurat dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai tataran mati Moksa, semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis untuk merubah peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai dengan tujuh kali peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut:

ADI DAIWA
Yaitu Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun. Mungkin diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-tugas Ketuhanan. Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya yang bersifat langgeng, dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu keajaiban-keajaiban diatas rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran cerita pewayangan, orang tersebut dinamakan Maha Resi.


ADHI BATHARA
Yaitu manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali saja. Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma didalam hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali itu, orang tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-kira setingkat di bawah Maha Resi.

ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah Resi.
ADHI BRAHMANA

Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.

ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin, seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.

ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi Adhi Waisya.

ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.

Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik, kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.

Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup, maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan penitisan paling tinggi.

Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.

Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi akar budaya spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang dianutnya.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno, mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.

Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa, walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri, itupun bagi yang mau saja.

Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu tertentu.

Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.

Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu anggota keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut dengan muka kecut.

Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa yang disombongkanya.


Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu. Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di dengar akan tetapi sulit dibantah.

Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara, sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.

Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin, dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan keluhuran budi pekerti.

KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan Yang Maha Satu.

Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib), yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.

KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.

Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.

Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.

PAWELING ;
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak, oleh sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan, kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya. Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali, luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo atau sang Guru Sejati.

Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari kata Div yang artinya cahaya.

Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa. Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo yang biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.

Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak, lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai manusia.

Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.

Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-benar kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.

SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya. Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.

Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik , disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan Perayangan.

Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana, dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.

Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi pihak-pihak yang berseteru.

Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat terpuji.

Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti embat-embating catur artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.

Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.

SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA FALSAFAH
Untuk memudahkan menarik kesimpulan secara falsafah, baiklah ditarik pesan-pesan kefilsaftan yang terkandung didalam wayang. Didalam cerita wayang, Semar digambarkan sebagai tiga dewa bersaudara, yakni Dewa Antaga, Dewa Ismaya dan Dewa Manikmaya. Selanjutnya Dewa Antaga menjelma menjadi manusia bernama Togog, yang bertugas yang bertugas sebagai pamomong orang-orang “seberang”. Yang dimaksud seberang adalah orang-orang yang perilakunya menyeberang dari nilai keluhuran budi.

Sedangkan Dewa Ismaya menjelma menjadi Semar, yang bertugas sebagai pamomong para satriya yang berbudi luhur. Dewa Manikmaya selanjutnya bergelar Bathara Guru, yang menjadi raja dari para dewa dan bertahta di Jungring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa atau puncak gunung yang selalu berawan dibukit Himalaya. Hima artinya awan dan laya artinya tempat.

Tiga dewa itu asalnya dari sebutir telur gaib yang mengeluarkan cahaya tapi bukan api. Mungkin semacam bermuatan radiasi, yang melayang-layang diangkasa. Setelah berhasil ditangkap oleh Hyang Wenang, kemudian di”sidikara” maka berubahlah setelah terlebih dahulu tercerai berai. Cangkang telur berubah menjadi Antaga, putih telur menjadi Ismaya dan kuning telur berubah menjadi Manik Maya.

Seterusnya Antaga si sulung, dan Manik Maya si bungsu, sesuai dengan asal muasalnya. Antaga menjadi Togog sebagai pamomong orang-orang yang berwatak kasar, keras dan kuat sesuai dengan sifat cangkang atau kulit telur. Namun demikian selalu dapat dikalahkan oleh para satriya sejati yang selalu diemong oleh Semar, sesuai sifatnya berasal dari putih telur yang bening, tidak mudah dicerna, tidak mudah membusuk, awet dan bersifat melekat. Akan tetapi tidak bisa menjadi embrio.

Maka sifat Semar adalah putih, bening, sulit dicerna, tidak membusuk dan awet. Putih sebagai lambang kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sulit dicerna dalam pengertian sulit diduga, susah dipahami tak gampang dimengerti jalan pikiranya, sebelum sampai pada akhir permasalahan atau akhir suatu cerita. Tak dapat tumbuh menjadi individu baru dalam arti kehadiranya didunia tidak secara wantah atau secara fisik, tetapi hanyalah pancaran sifat-sifat terpuji atas dorongan rasa Ketuhananya, orang yang berjiwa Semar mempunyai sifat dapat ngemong para satriya sejati yang luhur budi pekertinya.

Cara ngemong dengan pelayanan yang sama, baik dalam keadaan sependapat ataupun dalam keadaan bertentangan denganya, dengan tidak memperhitungkn untung dan rugi, tanpa berpikir untuk memperhitungkan upah, karena ia selalu berpikir bahwasanya pamomong hanya mempunyai kewajiban berderma tanpa memperhitungkan hasil dari derma itu. Karena perbuatan baik tidak harus digembar-gemborkan, karena semua itu merupakan urusan penderma dengan Tuhanya. Dan menanamkan kebajikan tidak seharusnya selalu diingt, tetapi sebaiknya, apabila hutang budi janganlah dilupakan.

Demikian dengan serba sedikit dan sangat sederhana, ingin ikut meluruskan kepada kesalah tafsiran didalam usaha membabar jati diri Sang Semar didalam kehidupan sehari-hari maupun didalam ruang lingkup Budaya Spiritual Jawa, yang terkadang terlanjur menganggap bahwa seseorang atau tokoh tertentu dianggap romo dalam arti Roh Ismoyo oleh para penganutnya dengan pengkultusan yang keliru.

Namun juga tidak menutup kemungkinan ada oknum tokoh spiritual yang secara sengaja memproklamirkan dirinya sebagai orang yang kesinungan Ismoyo secara tidak bertanggung jawab dan agar dirinya selalu dianggap orang yang lebih berkharisma dengan kesinungan Ismoyo tadi, yang pada giliranya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi saja, yang tak urung akan menipu bahkan menjerumuskan pencari berkah.

Dari itulah tulisan kecil ini bertujuan untuk membantu para penghayat Budaya Jawa, agar sedikit dapat membedakan, apakah seseorang benar-benar kesinungan Ismoyo atau hanya di Ismoyo-kan oleh para penganutnya atau hanya pura-pura kesinungan Ismoyo.

Kembali ke pokok masalah didalam uraian tentang PAWELING, bahwa satriya sejati yang sudah bisa menghayati atau mengamalkan Isi Kunci, dengan kemampuan anggelar dan anggulungnya, mereka itu pada dasarnya adalah para putra Romo. Putra dalam arti Puput ing Rasa artinya sudah cukup sempurna dalam olah rasa dengan tujuan angudi manunggaling Gusti Kawula, dan selalu berbakti kepada Romo ingkang pinundhi, yaitu sekali lagi Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, atau Roh Mono yang tidak berujud jasad manusia, yang tidak pernah dilahirkan, dan bukan seperti yang digambarkan didalam cerita wayang.
Dimana di dalam wayang kadang kala juga di plesetkan oleh dalangnya dari pakem yang baku, demi untuk memperoleh popularitas, yang tanpa disadarinya sebenarnya pelecehan pakem juga melecehkan diri Sang Dalang itu sendiri, sebagai tokoh yang wasis ngudal piwulang.

Maka sudah barang tentu Semar bukanlah tokoh perseorangan yang berperawakan gemuk pendek, kuncungan, bergigi satu dan bertelanjang dada, seperti digambarkan didalam wayang kulit atau wayang orang itu. Dan banyak orang yang mengetahui bahwasanya wayang adalah gambaran pengejawantahan suatu tokoh, atau penokohan tertentu saja.
Rinasa dayaning sukma
Yang artinya merasakan daya sukmanya sendiri, dalam bentuk getaran atma atau getaran rasa sejati. Dan seseorang yang merasakan getaran sukmanya sendiri, pada tingkatan tertentu, dapat merasakan begitu cepatnya perjalanan sukma itu, sepadan dengan getaran yang diupayakan didalam olah getaran rasa sejati. Seseorang yang sudah mampu melakukan hal tersebut diatas, apabila sedang berkonsentrasi, maka apa saja yang disentuhnya dapat dijadikan sarana, apa yang dikatakan akan menjadi sabda, dalam arti kata-kata tertentunya mengandung kekuatan spiritual dan kelak akan ambabar dumadi, dan apa yang menjadi petunjuknya, apabila dijalankan merupakan suatu laku yang sangat bermanfaat.
Dan apabila orang itu berdekatan dengan orang lain, jadilah saraya, yang artinya dapat mengatasi persoalan yang cukup pelik yang dialami oleh orang yang didekatinya itu. Pendekatan diri orang yang sudah dapat mencapai tataran tertentu didalam olah rasa, orang yang didekatinya itu alamat bakal memperoleh guna, banda wiryo artinya ilmu, harta benda dan kemuliaan.

Didalam berkonsentrasi, orang tersebut, dapat menggunakan sarana apa saja sebagai media komunikasi dengan hal-hal yang bersifat gaib, hal ini sesuai dengan prinsip yang tertera didalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya itu adalah diriku.
Kata demi kata yang terkandung didalam paweling adalah:

Siji-siji, loro-loro, telu telonana, maksudnya, apabila sudah bisa membaca Kunci dalam arti mampu anggelar lan anggulung, serta wis tumata dayaning raga, disebut sudah sampai pada tataran siji. Apabila sudah sampai pada tataran tumata dayaning citpa, dianggap mencapai tataran loro, dan apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, disebut sudah mencapai tataran tiga.
Siji sakti yang artinya kesatu kuat. Hal ini apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning raga, akan menyebabkan atau menimbulkan kekuatan.
Loro dadi artinya dua menjadi, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning cipta, apa yang diangan-angankan akan menjadi kenyataan.
Telu pandita yang artinya tiga pendeta, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, dianggap sudah mulai bisa mendekatkan rasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah mencapai tataran Rinasa Dayaning Sukma sendiri.
Siji wahyu yang artinya kesatu anugerah, didalam mencapai tataran satu, itu merupakan anugerah. Karena sulit dicapai dan tidak sembarang orang dapat melakukanya. Sebab betapa sulitnya mengatur semua bagian-bagian raga agar dapat difungsikan sebagai olah gaib menyatukan diri dengan keberadaan Tuhan.

loro Gat Rahina, yang artinya ketiga pagi ufuk biru. Yang maksudnya adalah, sikap selalu menganggap atas segala sikap yang pernah dialami merupakan gambaran seperti datangnya pagi di ufuk biru, dimana selalu menjanjikan terbitnya matahari kehidupan yang selalu akan lebih baik dimasa yang akan datang dibandingkan masa kini. Dikarenakan pada tataran yang ketiga, yaitu Rinasa Dayaning Sukma, akan selalu terasa tidak ada kebahagiaan kecuali merasakan daya sukmanya sendiri, didalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Suci.
Telo rejeki, yang artinya kedua rejeki. Maksudnya adalah, apabila sudah mencapai tataran yang kedua, akan membawa kewajiban harus kerap kali bersyukur atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan, yang pada giliranya akan memberikan petunjuk kearah perolehan rejeki, yang kadang-kadang diluar dugaan yang diperkirakan. Mungkin perolehan itu relatif besar, dimana selama ini perolehan seperti itu belum pernah didapatkan. Sesuai dengan bunyi doa: nyuwun sandang ingkan dereng nate kaangge, nyuwun pangan ingkan dereng nate katedha. Yang artinya memohon sandang yang belum pernah kita memakainya dan memohon pangan yang belum pernah kita memakanya.

SINGKIR ;
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN, yang artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu muncul pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.

Maka pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa kasih sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha Pengasih. Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang tidak boleh kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi biangnya reruwet dan rubeda adalah hawa nafsu yang ditunggangi setan. Maka titik pusat yang perlu disingkirkan adalah hawa nafsu dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri.
Menurut pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa nafsu merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan yang berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat kurang terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa setan secara wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah hawa nafsu.

Dan apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam mimpi, sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu seseorang mengalami konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-bawa kedalam mimpi.

Konflik kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan secara naluri semua orang mempunyai kecenderungan memaksakan kehendaknya kepada orang lain, sekali lagi atas dorongan hawa nafsu tadi. Disinilah sedikit bukti bahwasanya setan itu adalah hawa nafsu.

Selain itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang dalam, tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya. Itu semua sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa yang dilihat dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan terbentuk rupa bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang ditakutkan. Maka pada saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.

Segala sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila tidak dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan dalam hal ini juga berasal dari hawa nafsu.
Setan yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya, hanya merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya merasa bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk bayangan seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan memukulnya dengan membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal setan dalam hal ini juga dari hawa nafsu.
Demikian seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual Jawa. Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu secara benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru mengaji kepada Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali ditanya secara mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata: “Apabila ingin melihat setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan dirimu…”

Pendek kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara dogmatis, tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini. Akan terapi maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama adalah dogmatis. Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki oknum Ustad tadi pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan membanding-bandingkan, mencari perbedaan dan mempersamakan antara agama dengan Budaya Spiritual Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya agama adalah Wahyu Illahi, sedangkan budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah reruwet dan rubeda, yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila keruwetan dan godaan itu datangnya dari setan, dan setan selalu identik dengan hawa nafsu, maka yang perlu disingkiri adalah hawa nafsu itu sendiri. Yang dimaksud adalah hawa nafsu sendiri yang dikendalikan dengan tepat, termasuk pakarti hawa nafsu yang datang dari luar diri sendiri, seperti dinasehatkan oleh tembang mijil yang dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.

Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang dimaksud Sira (kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain adalah hawa nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi. Seperti kata Pak Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang meminta banyak korban, Nabi berkata bahwa masih ada perang yang melebihi Perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Karena memang nyata benar bahwa hawa nafsu adalah musuh bebuyutan manusia, yang apabila tidak tepat pengendalianya, manusia tidak dapat “padang paningaling sukmane”.

Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane” adalah juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif. Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah orang yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin sedangkan hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh kotoran, sudah barang tentu bayangan menjadi kurang jelas. Menjadikan kita tidak mampu melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi kata Pak Ustad: “apabila masih membawa hawa nafsu, menjadikan kita tidak bisa Makrifatullah”.

Begitulah adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat disingkirkan atau dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati yang selalu bermaksud ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat menyuarakan, menghayati dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI, baik secara gelar maupun secara gulung atau secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING(asma sejati atau jati diri dari atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak dan berkarya.

Tiga kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam perilaku sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya seseorang dianggap sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang anindakake pakaryane Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo, maka dia boleh dianggap sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga menyandang tugas-tugas spiritual pada saat menjalani masa hidup, sesuai dengan tingkatan tataran, lingkungan dan jamanya.

MIJIL DAN ASMA SEJATI ;
Antara Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati. Yang dimaksud adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan identitas dari roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya memberdayakan secara lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk tujuan-tujuan tertentu yang ada hubunganya dengan peri laku jiwa raga sehubungan dengan upaya anggelar lan anggulung isine Kunci.

Yang jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati dapat dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa sejati, dimulai dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis buang air kecil, atau kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama seperti itu sama seperti bila kita sedang dilanda rasa takut terhadap sesuatu.

Secara anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula dari pusat susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya bergerak atas dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan saraf otak. Namun dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran rasa merinding itu tidak dimulai atas perintah berupa rangsangan dari susunan saraf otak, akan tetapi gerakan itu timbul sebagai akibat adanya konsentrasi atau pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan, dan dorongan itu langsung menuju saraf motorik.

Pada giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan seluruh badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin bergerak, akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan kadang-kadang apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan diri kita dengan sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak mampu mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul begitu saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali diwatek. Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada mulut, menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas kata-katanya.

Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud arsa Beksa Beksanira Pribadhi, yang artinya bermaksud menari tarianya sendiri. Tarian disini lebih tepat dikatakan sebagai tarian sakral atau semacam gerakan yoga yang timbul secara spontan atau timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam tarianmu dimaksudkan atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri. Sebagaimana raga memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati diri dari sukma orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati menjalankan perintah raganya.

Besar kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari banyak sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan mijil tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah frekuensi itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam pemusatan rasa hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat konsentrasi sangat tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik, jumlah pembiasaan, keadaan lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu semua juga kadang-kadang terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi merupakan upaya memperoleh getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jati diri memiliki identitas dan kekhususan tersendiri.

Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa beksa beksanira pribadhi, yang merupakan getaran yang meliputi seluruh tubuh, maka selanjutnya boleh melatih diri dengan gerakan didalam getaran pada tiap bagian-bagian tertentu, dimana gerakan pada bagian-bagian tertentu ini, ada yang menganggap gladen (latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.

SEDIKIT TENTANG TENAGA DALAM ;
Kekuatan tenaga dalam atau sering disebut tenaga murni atau tenaga inti juga kekuatan sejati dan ada juga yang menyebutnya tenaga gaib dan sebagainya itu, berasal dari hasil pembudidayaan dari hasil pembudidayaan dari daya kekuatan dari apa yang disebut Bayu Sejati, dimana semua orang memilikinya. Apa yang disebut bayu sejati, erat kaitanya dengan apa yang dinamakan oleh Penghayat Budaya Jawa sebagai Kadang Papat Kalimane Pancer.

Sesungguhnya kawruh tentang kadang papat lima pancer it hanya suatu perwujudan dari sejenis Ilmu Jiwa (khas) Jawa. Tidak ubahnya tentang kawruh kebudayaan mengenai perhitungan hari baik untuk berkhajat yang sampai sekarang sebagian kalangan masih mepergunakanya. Biasanya disebut perhitungan hari dan pasaran yang masih dianggap erat kaitanya dengan peri kehidupan Orang Jawa.

Kawruh khusus di bidang hari pasaran, selanjutnya bisa dikatakan sebagai bagian dari Ilmu Perbintangan atau Astrologinya Orang Jawa, yang tidak berbeda jauh dengan fungsi ilmu perbintangan atau astrologi dari manca negara yang sering digunakan untuk meramalkan nasib.
Berbicara mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer, yang sebenarnya semacam Ilmu Jiwa Jawa itu, yang menguraikan tentang kebakuan sumber daya manusia di bidang pembagian perwatakan atau temperamen manusia itu memang bisa dikelompokkan menjadi empat hal, sedangkan yang kelimanya sebagai penyempurna. Jelasnya tentang kawruh kadang papat lima pancer itu, merupakan pembagian perwatakan didalam Ilmu Jiwa Jawa.

Semua perilaku manusia dianggap terpengaruh oleh kadang papat lima pncer, yang terdiri dari: kadreng, kuwawa, greget lan bisa. Yang artinya kira-kira: kemauan, kemampuan, semangat dan bisa. Apabila disebut dengan Bahasa Jawa Tengahan sebagai: daya ngumbara, daya purba, daya wasesa lan daya wasis. Dan jika disebut dalam Bahasa Jawa Kuno adalah: daya netra, daya lodra, daya ludira, lan daya grana. Manakala disebut dalam bahasa arab kira-kira: sufiya, luwamah, amarah dan mutma’inah.

Jelasnya kawruh tentang kadang papat lima pancer itu adalah pembagian perwatakan manusia. Dimana semua manusia memiliki, memakai dan merasakan tanpa kecuali. Baik dia Orang Arab, Belanda, Cina maupun Orang Jawa. Dimilikinya hal tersebut diatas juga tanpa mengenal batasan apakah mereka memeluk Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha ataupun Penghayat kepercayaan Kepada Tuhan YME. Tanpa mengingat pula apakah dia cocok atau tidak dengan kawruh tersebut.

Hanya saja yang perlu diingat, watak Orang Jawa itu pada umumnya ramah dengan penuh rasa kekeluargaan, memanusiakan manusia dan menghormati orang lain. Memanusiakan disini yang dimaksud adalah nguwongake. Kadang-kadang bukan manusia saja yang sering diuwongake. Juga walaupun bukan tokoh personal, bukan bangsanya lelembut, bukan dhedhemit, bukan jin peri perayangan, bukan pula arwah gentayangan, semua sering diuwongake.

Karena pada umumnya Orang Jawa sering senang menggunakan gaya bahasa personifikasi, hal-hal yang bukan person seakan-akan dipersonkan. Maka yang disebut hawa nafsu sufiyah, luwamah, mutmainah dan amarah juga dipersonifikasikan. Maka apabila hawa nafsu dinamakan kadang atau saudara disebabkan karena sifat nguwongake tadi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa hawa nafsu tersebut digunakan terus selama hayat dikandung badan.

Malahan gaya personifikasi Orang Jawa diberlakukan pada hewan, tumbuhan dan benda mati. Misalnya kucing diberi nama si manis, anjing dipanggil si bekti, kerbau ada yang bernama trubus dan sebagainya. Benda mati berupa senjata, kereta, gamelan dan sebagainya yang berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta bukan saja diberi nama namun masih ditambah kata sandang Kyai didepan nama tersebut. Namun sudah barang tentu bukan Kyai dibudang agama. Dan ada pula Orang Jawa yang mengatakan “wah Kyaine liwat” manakala melihat harimau sedang berlalu.

Bukan saja manusia yang dimanusiakan, maka kepada manusia yang sebenarnya, lebih-lebih dimanusiakan, walaupun kepada orang yang menganggap laku Orang Jawa sebagai musyrik, munafik dan klenik. Orang tersebut tetap dihormati dan dibuat senang hatinya. Bila perlu apabila kita dimintai pertolongan ya di tolong juga. Demikian itu sikap Njawani.

Lalu bagaimana jelasnya mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer yang sering dihubung-hubungkan dengan adanya kawah, ari-ari, puser lan getih itu? Kesemuanya itu merupakan perwujudan fisik. Orang Jawa bilang blegere dat, yang dianggap mempunyai daya dibalik pisiknya, sebagai sifat. Dikatakan dalam Bahasa Jawa dat anggawa sipat (dzat membawa sifat).
Maka kawah sebagai dat mempunyai sifat purba, ari-ari mempunyai sifat wasesa. Puser sebagai dat mempunyai sifat wasis dan getih membawa sifat ngumbara. Proses mengenai dat dan sifat ini dipengaruhi oleh daya naluri yang berkembang menjadi nalar, akan membentuk sifat di dalam perilaku.

Dat dan sifat akan membentuk naluri dan perilaku, setelah mengalami proses pralina terlebih dahulu. Pralina artinya sudah tidak berwujud lagi akan tetapi tidak hilang. Proses pralina ini terjadi karena apabila bayi sudah lahir dan sampai dewasa, kadang papat secara fisik sudah tidak dipergunakan lagi. Karena kawah sudah dikumbah, getih wis ngalih, puser wis diunder lan ari-ari wis di rukti atau dibenamkan layaknya perlakuan kepada jenazah.

Menurut teori ilmu alam, berlaku hukum keabadian untuk zat dan energi. Maka segala macam bentuk fisik tak akan hilang walaupun tidak terlihat lagi, karena mengikuti proses siklus didalam berdaur ulang.

Didalam proses pralina, metapisis dari kadang papat terlebih dahulu berubah wujud menjadi ether yang merupakan bentuk halusnya metaphisik. Kata ether didalam Bahasa Jawa disebut Sir. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dat membawa sipat dan semuanya tercakup didalam sir. Maka kemudian ada sebagian Penghayat Kebudayaan Jawa yang sering menyebut-nyebut Sirulah, Datulah dan Sipatulah.

Ada sedikit bukti bahwa dat membawa sipat, yaitu: mengapa seseorang mempunyai sifat kasmaran, tak lain karena dia mempunyai piranti seksual. Seseorang menitikkan air liur karena melihat mangga muda, sebab tubuhnya sangat membutuhkan Vitamin C. manusia dianggap berperasaan karena didalam tubuhnya ada segumpal hati dan sebagainya.

Oleh karena secara ilmu alam, apabila sesuatu zat mengalami perubahan bentuk dan wujud, pasti didalam perubahan itu menimbulkan energi. Maka perubahan kadang papat pada proses pralina, akan menimbulkan energi berupa dorongan naluri perwatakan dan perilaku, yang juga menimbulkan daya lebih bersifat supranatural yang dimiliki oleh semua orang manakala mau membudidayakanya.

Disamping mempunyai kadang papat yang dapat menimbulkan daya kekuatan naluri, manusia masih mempunyai daya yang melebihi daya dari kadang papat yang biasa disebut bayu sejati yang bersifat sebagai sumber energi metapisis manusia. Bayu sejati bersifat Illahiyah karena asli ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang ditiupkan kepada manusia pada saat jabang bayi berada didalam kandungan ibu pada usia seratus hari. Seumpama kadang papat sebagai pakaian, bayu sejati adalah pemakainya. Dan bayu sejati inilah yang disebut lima pancer, yang pernah menjadi kekuatan uwatnya pada saat sang jabang bayi lahir.
Dan sebenarnyalah getaran rasa sejati yang dibangkitkan dengan mijil berasal dari getaran gelombang metapisiknya kadang papat. Selanjutnya getaran yang timbul pada bagian-bagian tubuh, disebut aji, yang artinya terhormat, terpelihara atau rahasia jati diri. Namun janganlah disamakan dengan ajian yang diceritakan di dalam wayang, film ataupun sandiwara radio. Ini semua hanyalah tenaga dalam, yang maksudnya tenaga yang berasal dari dalam dirinya sendiri.

AJIAN ATAU AJI JAYA KAWIJAYAN ;
Seperti telah disinggung didepan, bahwa ajian disini bukanlah semacam ilmu kekebalan, atau sesuatu yang menjanjikan kehebatan dan sebagainya. Kata jaya kawijayan artinya jaya adalah kuat dan kawijayan adalah kekuatan. Kuat dan kekuatan disini dengan tolok ukur seberapa kuat orang tersebut didalam mengendalikan hawa nafsu, yang konon merupakan musuh bebuyutan manusia.

Dan selanjutnya getaran yang timbul dari sumber dayanya kawah akan membentuk aji wijaya mulya, wijaya kusuma, yang berada di telapak tangan kanan dan kiri. Sedangkan antara jempol dan telunjuk tangan yang disebelah kanan akan menimbulkan aji ismu gunting dan yang disebelah kiri disebut aji ismu dhateng. Aji madiguna berada pada tulang ekor dan sebagainya, ini semua hasil dari pengendalian nafsu supiyah.

Getaran yang berasal dari metapisiknya luwamah, membangkitkan aji braja dhenta, yang menempati kepalan tangan. Aji braja musthi berada pada pusat getaran dikepalan tangan kiri. Aji braja wikalpa berada ditelapak kaki kanan. Aji braja lamatan berada ditelapak kaki kiri. Aji braja sekethi berada ditengah telapak tangan kiri. Aji rah muka dan rah anggana menempati pundak kiri dan kanan. Aji bandung naga sewu berada ditulang belakang, aji candha birawa bertempat ditenggorokan. Aji bandhung budhawasa menempati sekojur kaki kanan dan kiri.

Getaran metapisiknya amarah dapat membangkitkan aji hagni suci yang berada dititik pertemuan pandang kedua bola mata dengan ujung hidung. Aji trinetra berada ditengah-tengah kedua alis mata, dan aji pamungkas yang penempatan dan tata caranya tidak dapat penulis kemukakan disini, karena menurut anggapan penulis, hal ini merupakan salah satu diantara sekian banyak rahasia Ketuhanan.
Namun demikian dapat diajarkan secara lisan dengan persyaratan tertentu.
Getaran metapisiknya mutmainah dapat menimbulkan aji nala wigara, yang pusat getaranya berada ditengkuk. Aji padma sana pusat getaranya berada dikedua lengan tangan dengan sikap cakra krodha. Aji gineng berada di pusat atau wudel. Aji mahondri berada pada semua jari kaki kanan dan kiri. Aji kawastrawam berada dipinggang kiri dengan dikepali dua tangan disertai pandangan muka serong kekanan dengan badan condong kedepan kanan. Aji bajingakiring setempat dengan aji mahondri, akan tetapi bertumpu pada lentingan kedua ujung kaki. Aji rawa rontek pusat getaranya memakai sikap berdiri dengan salah satu kaki berpusing, atau berjingkat dengan berdiri bertumpu dengan salah satu kaki. Kalandana putih adalah aji yang pusat getaranya pada langit-langit mulut, dan masih banyak lagi.

Sedangkan getaran yang ditimbulkan oleh bayu sejati, dapat digunakan antara lain untuk: sambung rasa kepada para insan gaib. Dan sambung rasa sambang yang artinya dapat digunakan untuk menghadiri suatu tempat secara metapisis tanpa menggunakan raga, akan tetapi nampak kehadiranya berupa cahaya berwarna kristal.

Sambung rasa asmara yang dapat dipergunakan untuk memberikan kepuasan asmarawi kepada atau suami tercinta apabila secara kebetulan berada ditempat terpisah yang cukup lama, dengan tehnik pengiriman rasa senggama lewat impian. Dengan daya bayu sejati dapat pula untuk angracut aji bandhung budhawasa yang cara dan fungsinya hampir sama dengan sambung rasa asmara hanya saja tugas yang diemban oleh aji ini untuk menjaga rumah, manakala ditinggal pergi cukup lama. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan yang sengaja tidak penulis paparkan disini, karena akan lebih baik hasilnya apabila diajarkan lewat tatap muka secara langsung.

MAKNA KATA DAN ISTILAH DI DALAM MIJIL ;
Mijil artinya:
Metu lan amiji, artinya keluar dan (tetapi) menyatu. Yang keluar berupa getaran dan yang menyatu dan yang menyatu adalah jiwa dan raga yang terus bersambang dan bersambung rasa. Hal ini hanya mungkin dijalankan manakala seseorang sudah mengenal jati diri rohnya.
Sedya manjing sajroning rasa, yang artinya: kemauan masuk kedalam rasa. Kemauan yang dimaksud adalah semua khajad, niat dan cita-cita penyampaianya harus disalurkan dengan olah rasa perasaan yang halus. Sehingga membentuk suasana yang benar-benar komunikatif, baik untuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.

Sedya rasa manjing jroning raga, yang artinya; kemauan dan rasa menyatu di dalam tubuh. Maksudnya setelah kemauan memasuki rasa untuk dikomunikasikan, selanjutnya diharapkan dapat memperoleh apa saja yang dibutuhkan oleh raga. Baik kebutuhan materi maupun non materi.
Cipta manjing jroning sukma, artinya daya cipta memasuki sukma. Apabila sudah memasuki proses ini, maka daya cipta dapat memberdayakan sukma, yang pada giliranya proses manunggaling Gusti kawula sudah mulai dekat. Karena pada dasarnya hubungan makhluk dengan khaliknya yang paling tepat adalah bentuk hubungan sukmawi.
Dayaning Sukma rinasa ing raga, yang artinya keberadaan dan daya dari kekuatan sukma dapat benar-benar dirasakan oleh raga. Apabila proses pernah dilalui, orang akan benar-benar merasakan daya sukma itu, yang bersifat tahan benturan, tahan api, tahan angin dan juga tahan akan segala senjata. Pernah seseorang membuktikan, suatu ketika sedang gladian olah getaran, ada yang membentur batu karang pas bagian kepalanya akan tetapi tidak terluka ataupun merasakan sakit.

Rasa angagem kuwasane sukma sejati, yang artinya rasa perasaan dan rasa naluri sudah memakai kekuatan sukma sejati. Apabila sudah mencapai proses ini, apa yang menjadi angan-angan, kata-kata, maupun cita-cita sering gampang menjadi kenyataan. Dan diharapkan jangan sembarang bicara yang jelek atau menyumpahi orang. Karena kemungkinan akan fatal akibatnya. Dari itulah kenapa ada pantangan tidak boleh “nyepatani”.

Sukma Sejati sambung rasa marang Sukma Kawekas, artinya Sukma Sejati berhubungan secara rasa dengan Sang Maha Hidup. Pada tataran ini proses manunggaling Gusti Kawula sudah semakin dekat. Orang dapat merasakan kehadiran insan gaib secara wantah atau biasa pada alam nyata.

Sukma Kawekas Sambang Rasa marang Sukma Sejati, artinya Sang Maha Hidup memberi perlindungan kepada Sang Sukma Sejati. Apabila sudah sampai pada tataran ini seseorang sering memperoleh bukti yang benar-benar nyata atau suatu kejadian yang apabila tanpa perlindunganya, tak mungkin tertolong. Misalnya; bersepeda motor tertabrak mobil, mobilnya peok, penumpangnya terluka, akan tetapi sepeda motor dan pengendaranya baik-baik saja.

Sukma Sejati angobahake rasa tumuju marang paraning sedya, artinya Sang Hidup menggerakkan raga dengan menggunakan rasa mengarah kepada tujuan hidup. Pada proses ini sering dialami oleh seseorang, manakala suatu hari dalam keadaan payah karena benturan ekonomi, tiba-tiba ada getaran sulit dikendalikan pada kaki dan perasaan ingin menuju kesuatu tempat. Begitu kuatnya keinginan itu sehingga tidak dapat dicegah. Ternyata setelah sampai pada tempat tujuan bertemu dengan kenalan yang dapat mengarahkan ke dunia bisnis, dan akhirnya berhasil.



LAIN-LAIN ;
Angagem aji atau memakai ajian berarti memakai daya sukmanya sendiri yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Bahasa Jawa dikatakan angagem dayaning Sukma asal saka Gusti.
Singkir mijil yaiku ambalekake kaya asal kamulane. Yangartinya mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Lan angilangake kahanan ala saka jiwa raga pribadhi, artinya menghilangkan keadaan jelek dari diri pribadi.

Upacara Hagni Suci adalah adalah suatu kegiatan pengakuan dosa dan upaya penyuciannya dengan cara penghayalan seakan akan diri ini sedang dibakar api yang sangat besar, dengan upacara dan doa khusus yang menggunakan sarana kembang sepatu.
Nawala Tirta adalah suatu upacara ritual dalam upaya pengiriman berita insan gaib atau yang tergolong dengan Utusan Langgeng yang tataranya dibawah Ismoyo, dengan maksud melaporkan hasil perolehan atau suatu lelaku yang pernah dilaksanakan atas suatu “Dhawuh”. Untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut. Dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, diapungkan dilaut.

Walik mijil, adalah upacara ritual, dimana seseorang seakan-akan dilahirkan kembali (renatal), dengan cara dalam upacara ritual yang mengharuskan seseorang dilangkahi oleh ibu kandungnya sendiri. Apabila sudah meninggal, boleh diwakili saudara tua perempuan yang sedarah dengan almarhum ibunya.

KESIMPULAN
Dari itu semua sebenarnya yang namanya Asma Sejati itu tidak lain adalah jati diri dari roh orang yang bersangkutan, yang diberikan oleh sesepuh atau kesepuhan yang dianggap sudah mumpuni atau menguasai olah spiritual sehubungan dengan gelar dan gulungnya Kunci, Paweling, Singkir lan Mijil.

Pada waktu manusia berada didalam kandungan ibu kira-kira usia seratus hari, kepada calon jabang bayi itu diberikan roh oleh Tuhan, dengan satu macam roh untuk semua manusia di bumi ini. Intinya semua orang diberikan roh yang hanya satu oleh Tuhan Yang Maha Satu.
Maka Asma Sejati disini dipergunakan untuk identitas atau jati diri yang membedakan antara si A dengan si B, si C dan seterusnya. Atau dengan perkataan lain untuk membedakan roh atau atma pada diri setiap orang itulah maka diperlukan Asma Sejati, yang apabila di Mijilkan akan berhubungan dengan dengan benar-benar menyatu antara raga dan jiwa.

Dari kedua pengertian tentang mijil dan satu pengertian tentang Asma Sejati, maka pengertian Mijil ing Asma Sejati adalah ngetokake daya rasa pracaya marang Ingkang Maha Tunggal kanthi nyawiji migunakake kekuatan atmane dhewe. Yang artinya mengeluarkan daya dari rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Satu dengan cara menyatu menggunakan kekuatan atmanya sendiri.

Demikian sekilas dan serba sedikit uraian tentang pengertian Kunci, Mijil, Asma Sejati, Paweling dan Singkir yang juga disebut Panca Gaib yang dapat penulis sajikan sebatas kemampuan dengan maksud dapatlah yang sedikit ini dijadikan pedoman seadanya dengan maksud untuk memberi jawaban atas pertanyaan dari berbagai kalangan dan kadang yang sampai tulisan ini dibuat belum ada yang sudi memberikan jawaban.

Sudah barang tentu jawaban ala kadarnya ini masih jauh dari makna dan pengertian yang terkandung didalam Panca Gaib yang memang sangat sulit, rumit dan serba luas, penuh kerahasiaan, halus serta tidak terukur oleh dimensi waktu maupun ruang.
Namun demikian penulis yang belum tahu apa-apa ini dengan sangat terpaksa memberanikan diri membuat uraian ini. Maka sudah barang tentu masih banyak kekurangan yang perlu penyempurnaan. Walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, begitupun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan, Rahayu.

Srandil
MANDHALA GIRI ;
Mandhala Giri berasal dari kata di dalam Bahasa Sansekerta, Mandhara dan Giri. Mandhara artinya dua buah berjajar hampir sama besar dan berdekatan sedangkan Giri artinya Gunung. Sedangkan kata Srandil berasal dari kata didalam Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih gunung tumpul yang puncaknya tampak seperti patah, sehingga hampir sama luasnya antara kaki dan puncaknya. Maka sebutan Gunung Srandil tidak hanya ada di Desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap saja, yang konon diceritakan ada pertapan, yang merupakan petilasan para leluhur Tanah Jawa.
Yang dimaksud para leluhur Tanah Jawa itu antara lain, disebutkan beberapa tokoh legenda, yaitu:
Di lingkungan Beteng
HYANG AGUNG HERU CAKRA
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA
IBU RATU RETNO DUMILAH
HYANG LANGLANG BUWANA (yang petilasan pertapaanya di puncak Gunung Srandil)
Di luar lingkungan Beteng
HYANG SUKMA SEJATI
HYANG WURUNG GALIH
HYANG KUMALA YEKTI (yang juga disebut KI SALINGSING, yang petilasanya berada agak jauh dari Gunung Srandil yaitu di tepi Pantai Selatan. Berupa makam ?)
Di sebelah barat Gunung Srandil, terletak sejajar seakan akan saudara kembar dari Gunung Srandil, ada Gunung Selok, yang konon di puncak gunung itu ada dua pertapaan yaitu Pertapaan Jambe Lima dan Pertapaan Jambe Pitu.
Pertapaan Jambe Lima merupakan sebuah petilasan, yang berada di dalam bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG CAKRA WANGSA
HYANG SUKMAYA RENGGA
Dan yang berada di luar bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG SABDA PALON
HYANG NAYA GENGGONG
Pertapan Jambe Pitu merupakan petilasan yang dipercaya sebagai Singgasana Gaibnya:
HYANG LENGKUNG KUSUMA
HYANG LENGKUNG SWIRI
HYANG WISNU MURTI
Lalu diluar lingkungan bangunan pertapaan ada petilasan HYANG JAPEN.
Di pantai curan Laut Selatan ada beberapa goa, satu diantaranya merupakan petilasan IBU SUCI RAHAYU dan IBU RATU SRI KENCANA WATI, yang terletak di Goa Suci Rahayu, kira-kira letaknya di bawah Jambe Pitu.

Sepertinya sudah menjadi naluri adat yang mendarah daging bagi sebagian Orang Jawa, mempunyai perilaku wayang sentries, yaitu berupa kebiasaan sikap hidupnya berkiblat kepada keberadaan wayang. Serta sebagian menganggap bahwa wayang mempunyai kekuatan magis tertentu. Di samping sebagai peninggalan hasil cipta, rasa, karsa dan karya para leluhur yang benar-benar adiluhung.

Salah satu contoh kebiasaan sikap yang nyata-nyata berkiblat kepada wayang misalnya: salah satu KOREM di beri nama MAKUTHA RAMA. Dimana Makutha Rama adalah “WAHYU KEPRABON” yang diberikan oleh para dewa kepada Sang Arjuna sebagai yang “BINELAH PANITISE” dari Dewa Wisnu yang juga menitis kepada Prabu Bathara Kresna.

Senjata Cakra milik Bathara Wisnu yang di anugerahkan kepada Bathara Kresna, dijadikan salah satu symbol kesatuan tentara, lalu candi-candi di Dieng dan petilasan-petilasan di Rahtawu Jawa Tengah, hampir semua tokoh legendanya diambil dari nama tokoh wayang. Juga Pulau Madura, dianggap sebagai Negara Mandura dan Gunung Semeru seakan-akan sebagai Gunung Mahameru di India sebagai negara yang menjadi asal-muasalnya Wira Carita dari wayang.
Disamping itu, sebagai Orang Jawa juga sering mempersamakan rupa dan perilaku seseorang pada tokoh wayang, misalnya ketampananya seperti Arjuna, Cantiknya Seperti Subadra, kumisnya tebal melintang seperti Gatotkaca, tinggi besar dan gagah seperti Bima, gemuk sekali seperti Limbuk, kurus sekali seperti Cangik, berambut panjang terurai tak karuan seperti Burisrawa, tukang Hasut seperti Sakuni. Arif dan bijaksana seperti Prabu Krisna, berlagak gagah seperti Dursasana, pemberang seperti Baladewa, sewenang-wenang dan serakah seperti Dasamuka, kembar mirip sekali seperti Nakula dan Sadewa dan sebagainya.

Buku Wira Carita yang bersumber dari salah satu bagian dari Kitab Weda yang berasal dari India, direka-reka seakan tempat, waktu dan tokoh ceritanya berasal dari Jawa. Disadari atau tidak perilaku seperti itu sudah berurat akar didalam perilaku sebagian Orang Jawa.

Dengan demikian, keberadaan beberapa pertapan di Srandil juga dianggap ada hubunganya dengan wayang. Intinya menyadur dari Kitap Wira Carita MAHABARATA yang diturunkan lagi dari Kitab PURWA CARITA dengan mengambil salah satu episode atau lakon SAMODRA MANTANA, yang menceritakan bahwa para dewa akan mengupayakan “TIRTA AMRITA” yang biasa disebut dalam wayang sebagai “TIRTA AMERTA” yang artinya Air Kehidupan, atau Air Pembawa Hidup dan juga disebut Air Penyebab Hidup.
Di ceritakan di dalam kitab tersebut, di Kahyangan Suralaya atau tempat bertahtanya para dewa. Ada dua buah gunung yang letaknya sejajar yang keduanya itu bernama Mandhara Giri. Hyang Jagad Giri Nata yang merupakan Raja dari para dewa memerintahkan kepada Dewa Wisnu untuk melakukan tiwikrama merubah jasad dirinya menjadi Hyang “AKUPA” yaitu sebangsa Penyu Raksasa yang mampu menggendong dua buah Gunung Mandhara Giri tadi, untuk di bawa menyelam sampai di bawah dasar Samodra Selatan dan meletakkanya dengan pucuk di bawah dan kaki gunung di atas. Dengan letak menungging tersebut akan dijadikan sebagai mata bor untuk melubangi dasar Samodra Selatan.

Sebagai tali pemutarnya, Hyang Jagad Giri Nata memerintahkan agar Hyang Ananta Boga, sebagai dewa dengan wujud Ular Raksasa, untuk melingkarkan dirinya pada dua buah gunung tadi, dengan lingkar yang melintangi kedua gunung tadi dalam bentuk angka delapan.

Sebagai tenaga pemutar di perintahkan kepada Para Sura atau Para Dewa untuk menarik kepala dan Para Asura atau Para Raksasa untuk menarik ekornya. Demikian kepala dan ekor Sang Ananta Boga di tarik-tarik secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga Mandhara Giri berputar bagai bor delapan tahun lamanya.

Setelah lapisan tanah dan batuan dari dasar Samodra Selatan berhasil di bor sampai puncak Mandhara Giri menjadi tumpul, maka akhirnya keluarlah:
NILA ANTAKA
Yaitu sebangsa cairan berbisa yang racunnya dapat menyebabkan Para Dewa bisa mabok sampai meninggal. Untuk mencegah kemungkinan kefatalan itu, maka Hyang Jagad Giri Nata atau Bathara Guru memutuskan untuk menelan NILA ANTAKA tersebut, agar di belakang hari tak lagi terminum oleh para Dewa, manusia, maupun raksasa.

Mungkin sudah kodrat Tuhan Yang Maha Esa, racun itu terhenti hanya sampai ditenggorokan saja, yang menyebabkan leher Hyang Jagad Giri Nata lebam membiru untuk selamanya. Dari kejadian ini lalu Bathara Guru diberi gelar Hyang Nilantaka atau Hyang Nilakanta karena lehernya berwarna Nila. Ini adalah pengorbanan dirinya rela cacat seumur hidup dengan maksud agar para penganutnya tidak menelan sesuatu yang menyebabkan rusaknya moral.

Berangkat dari kisah diatas, maka selanjutnya ada semacam kepercayaan bahwasanya seseorang dapat dianggap benar-benar dan sungguh-sungguh sebagai pembimbing spiritual di pertapaan Mandhara Giri Srandil, manakala bisa meniru sifat rela berkorban seperti Bathara Guru, dan orang tersebut baru dianggap sebagai “Guru Laku”. Bathara Guru di pewayangan di gambarkan bertangan empat dan menaiki Lembu Nandini.

“GURU” dituntut oleh kewajibanya harus bertangan empat. Dua buah tangan untuk mengerjakan keperluan pribadinya dan tangan lainya di gunakan untuk keperluan para “SISWA” nya yang biasanya di sebut para putra wayah yang berguru kepadanya.

Berdiri diatas Lembu Nandini melambangkan selalu berlandaskan kesucian Illahiyah, didalam pikiran, perkataan dan perbuatanya. Berani menelan Nilantaka yang maksudnya harus berani bersumpah di pertapaan Mandhara Giri Srandil “rela mati bila tidak berhasil memuliakan para putra wayahnya”.

Selain itu, yang lebih penting lagi, dalam dia berdiri sebagai pendeta, memang benar-benar atas pilihan kesucian Gaibnya Tuhan. Bila yang dianggap sebagai Guru Laku nyata benar demikian, biasanya, konon kulit dibagian tubuh tertentu ada “TOH” yaitu semacam bercak abadi yang berwarna biru keungu-unguan, dibagian leher atau ketiak kiri kanan, yang sebelumnya tidak di ketahui oleh dirinya sendiri, sebelum diberitahukan oleh orang lain yang secara tidak sengaja melihatnya.

GAJAH AIRA VATA ;
Yang juga bernama Gajah Era Wata yang di dalam pewayangan di sebut Gajah Era Wana. Yaitu gajah yang berasal dari sorga, berkulit putih dan kulitnya bercahaya terang, yang terkadang terlihat kadang tidak oleh penglihatan mata manusia biasa.

Selanjutnya gajah ini di anugerahkan kepada Batara Brama atau Hyang Agni sebagai kendaraan dinas jawatanya. Sewaktu ada lakon Begawan Bala Rama yang tak lain adalah Baladewa, Sang Begawan di anugerahi Gajah Puspadenta oleh Hyang Agni. Konon gajah ini keturunan dari Sang Aira Vata. Untuk meyakinkan kepada Baladewa bahwa gajahnya adalah keturunan dari Aira Vata, kelak bila menjadi Raja Mandura menggantikan Ayahnya, akan berpermaisurikan Dewi Erawati yang namanya berasal dari kata Erawata.

Di dalam lakon ASMARA DAHANA, diceritakan Sang Dewi Uma Parwati permaisuri dari Bathara Guru yang secara kebetulan sedang mendampingi sang suami, untuk memeriksa barisan prajurit Dandara yaitu pasukan dari Para Dewa di Repat Kepanasan atau Alun-alun di Kahyangan Suralaya. Dengan serta merta Dewi Uma Parwati menjerit kuat karena terkejut dan sangat takut melihat Gajah Erawata yang di tuntun oleh Bathara Agni.

Pada hal pada waktu itu secara kebetulan Sang Dewi sedang Hamil. Pada giliranya pada waktu Sang Dewi bersalin, melahirkan seorang bayi yang tidak lumrah sebagaimana bayi-bayi dewa yang lain. Karena bayi itu ternyata berkepala gajah dan berbadan raksasa laki-laki dan diberi nama Bathara Gajayana, yang setelah dewasa mengemban tugas sebagai Dewa Kearifan dan selanjutnya sekarang di pakai sebagai lambang sebuah perguruan tinggi di Bandung.

CUPU LINGGA MANIK ;
Adalah sebuah cawan yang bahanya dari batu permata berwarna ungu tua berbentuk segi delapan. Sebenarnya ada sedikit misteri di dalam kemunculan cupu ini. Karena secara kebetulan secara tiba-tiba saja sudah berada di dalam mulut sang Ananta Boga. Maka oleh Bathara Guru lalu di anugerahkan kepadanya.

Di dalam lakon lahirnya Dewi Sri dan Raden Sadana, Dewa Ananta Boga mendapat perintah dari Bathara Guru untuk bertapa delapan tahun lamanya, karena dia dipersalahkan terkesan tidak rela di dalam menjalankan tugas menjadi tali pemutar Gunung Mandhara. Karena ditengah pengeboran itu timbul rasa sengsara tak terkira, kenapa dia harus menjadi tali pemutar yang di tarik-tarik selama bertahun-tahun. Dia menganggap kodrat Tuhan atas dirinya sebagai dewa berbadan ular adalah ketidak adilan dari para dewa.

Maka bertapalah dia, atas perintah Bathara Guru yang juga sebagai hukuman khas para dewa yang dianggap melanggar, dengan mulut menganga melingkari Arga Kailasa selama satu tahun sehingga Cupu Manik didalam kulumanya terlepas. Dan diterimalah keprihatinan Sang Ananta Boga oleh Tuhan Yang Maha Tunggal. Tutup cawan berubah menjadi seorang ksatria tampan diberi nama Raden Sadana dan bagian wadah cupu menjelma menjadi putri cantik bernama Dewi Sri.

Selanjutnya Raden Sadana dan Dewi Sri diserahkan kepda Bathara Guru, oleh penguasa para dewa itu, Raden Sadana dan Dewi Sri diserahi tugas menjadi petani dan pemelihara padi di bumi. Sebagai anugerah atas keberhasilan tapanya, Ananta Boga diberi anugrah berupa Aji Kawastrawam yang dapat digunakan sebagai sarana untuk merubah wujudnya menjadi ksatria tampan, apabila ajian itu di watek atau diamalkan.

Sesuai kelaziman para dewa, walaupun Aji Kawastrawam adalah milik sah dari Sang Ananta Boga, akan tetapi tidak boleh sembarangan cara menggunakanya. Dalam arti ajian tersebut hanya dapat digunakan untuk sarana di dalam tugas-tugas Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Apabila ajian itu di watek, sebelum menjadi ksatria tampan, terlebih dahulu akan mengeluarkan minyaknya yang disebut LENGA TALA dan bekas kulit ari dari ular yang disebut WLUNGSUNGAN.

Lenga Tala dapat digunakan untuk menyembuhkan luka yang sangat parah dan bahkan dapat menyembuhkan orang mati yang belum waktunya. Sedangkan Wlungsungnya dapat digunakan untuk dapat merambah air tanpa harus tenggelam dan sebagai pelindung perisai diri yang sangat ampuh dalam menghadapi segala benturan.

Sebagaimana diceritakan di dalam lakon Subadra Larung. Diceritakan Sang Subadra yang adik kandung dari Sri Bathara Kresna, meninggal karena ditikam oleh Burisrawa, gara-gara menolak cintanya. Sebagai suaminya, menangis dan berdatang sembahlah Arjuna kepada Bathara Kresna, untuk maminta kesembuhan atas kematian istri tercintanya.
Prabu Kresna Raja Dwarawati yang dikenal sebagai titisan Dewa Wisnu yang memiliki Kembang Cangkok Wijaya Mulya, yang dapat menyembuhkan orang mati sebelum waktunya, atas firasat, yang diterimanya, Prabu Kresna tidak mau menggunakan Kembang tersebut untuk menyembuhkan, walaupun yang mati adalah adik kandungnya sendiri. Karena kembang itu keberadaanya masih ada hubunganya dengan kelaziman para dewa.

Maka selanjutnya di putuskan, bahwa Subadra bisa hidup kembali, tetapi harus dengan syarat mayatnya di larung atau dihanyutkan dengan sampan di lautan. Konon sesampai di tengah laut, di ketemukan oleh Raden Anantareja, putra Dewi Nagagini hasil dari perkawinan dengan Raden Wrekodara, yang karena tugas-tugas kemanusiaanya, terpaksa meninggalkan Nagagini sewaktu sedang hamil. Dan lahirlah Raden Anantareja yang sejak bayi sampai dewasa hanya diasuh oleh ibu dan kakeknya Anantaboga. Saat pun tiba Anantareja ingin melihat dan berbakti kepada ayahnya. Kecuali hal itu kesatria ini agaknya malu karena kakeknya seekor ular raksasa.

Berangkat dari beban rasa dari sang cucu, sebagai seorang dewa, Anantaboga pun menangkap filsafat, bahwasanya pada saat itulah ia harus menggunakan Ajian Kawastrawam. Maka keluarlah Lenga Tala yang berisi dua ajian, yaitu Upas Bento Geni yang berfungsi mematikan lawan manakala bekas pijakan telapak kakinya terjilat oleh pemilik Upas Bento Geni, siapapun orangnya termasuk dewa sekalipun.

Yang kedua Ajian Panglerepan yang berfungsi sebagai penghidup, penyembuh, pengawet muda dan pesona. Namun pada awal pemakaianya ajian ini hanya dapat digunakan sebagai penghidup dan penyembuh hanya satu kali ditelan oleh pasien. Sesudah itu, apabila pasien tadi berhubungan badan dengan seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan daya awet muda, tampan dan sangat mempesona lawan jenis, dan konon bidadaripun akan terpesona penuh kepasrahan manakala pernah bertemu, bersalaman, beramah tamah, apalagi sempat berciuman dengannya.

Kecuali Lenga Tala, terkelupaslah Wlungsungan yang disebut Wasunanda, yang dapat digunakan menyelam didalam tanah sebagaimana meyelam didalam air dan dapat mengambang diatas air sebagaimana berada di daratan. Lenga Tala dan Wasunanda semuanya diberikan kepada cucunda Antareja yang terperangah dalam kebahagiaan dan kebanggaan. Terperangah karena melihat Sang Kakek berujud ksatria, bahagia karena diijinkan mencari ayahnya dan bangga karena diberi bekal ajian tadi.

Berangkatlah Raden Anantareja dari dasar samodra dan kebetulan saja menemukan sosok mayat diatas rakit yang terapung-apung di laut lepas. Karena sebelumnya sudah mendapatkan petunjuk dari sang kakek, lalu digunakanlah Aji Panglerepan untuk menyembuhkan Subadra, yang langsung siuman, berkenalan dan sanggup menghadapkan Anantareja kepada Ayahnya yaitu Bima yang juga kakak ipar Subadra.
Dalam pada itu, Arjuna yang dirundung was-was didalam penantian, sudah hampir putus asa dan bermaksud akan melakukan bunuh diri secara diam-diam denga menelan Kala Wulung yang sedang bertelur. Kala Wulung adalah sebangsa serangga kala hitam yang berbisa sangat mematikan. Apalagi bila sedang bertelur. Akan tetapi sebagai pemilik keris Pusaka kala Nadah, bisa kala itu tidak membuatnya mati, bahkan menjadikan bahan ajian manakala sudah berhubungan badan dengan bekas pasien yang diobati dengan Aji Panglerepan.

Singkat cerita berbahagialah keluarga besar Pandawa atas pulangnya Subadra disertai Anantareja yang langsung dipertemukan dengan ayahnya. Dan setelah Arjuna melakukan hubungan badan dengan istrinya, maka menyatulah Kala Wulung dengan Panglerepan yang selanjutnya dinamakan Ajian Madiguna, yang artinya sperma berilmu.

Sebagai titisan Wisnu, Kresna waspada bahwa kematian sementara dari Subadra akan membawa hikmah dan faedah yang bernilai Ketuhanan, keadilan dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Dan dia tahu, Subadra tidak harus disembuhkan dengan Cangkok Wijaya Mulya miliknya. Karena kelak akan digunakan untuk menyembuhkan Arjuna dari kematian sebagai akibat dari perang tanding melawan Palgunadi dalam lakon Palguna Palgunadi.

Sebenarnya Prabu Palgunadi dari Negara Paranggelung bukanlah siswa resmi Resi Drona, karena perbedaan status social, yakni Prabu Palgunadi hanya raja kecil dari wilayah sempit, tidak boleh berguru kepada Resi Drona yang notabene adalah Guru Besar dari Raja Besar keturunan Bharata. Namun karena besarnya minat untuk berguru kepada Drona yang terkenal piawai didalam ilmu perang dan kanuragan itu, maka pada akhirnya ditempuhlah siasat untuk mencapai maksudnya.
Maka disuruhlah istrinya untuk mengabdi di padepokan Soka Lima tempat Resi Drona mendirikan Kampus Akademi Militer. Didalam mengabdi, Dewi Anggraini yang terkenal sebagai wanita yang sangat tinggi kesetiaan dan pengabdianya kepada sang suami itu, di suruh mengamati dan mencatat semua pelajaran dan kegiatan Soka Lima, dengan menyamar sebagai Sekretaris Rektor Urusan Kemahasiswaan, maka misi itu sangatlah mudah dijalankan.

Semua kegiatan perkuliahaan yang berhasil disadap dengan cermat oleh Anggraini, diberikan kepada Palgunadi yang berupaya belajar sendiri di tengah hutan dengan membuat patung Drona sebagai guru idolanya itu, untuk kemudian dipelajari, dianalisa lalu dipraktekkan dengan tekun dan seksama. Walaupun isi diktat lewat Anggraini hanya disampaikan dengan system tutor semata, akhirnya Palgunadi berhasil menjadi Sarjana Perang yang handal, setingkat lebih tinggi dari Arjuna, mahasiswa terkasih Drona.

Suatu saat, usai Wisuda Sarjana Soka Lima, seluruh insane almamater mengadakan wisata Purna Sarjana, dengan mempraktekkan kepiawaian masing-masing dengan berburu hewan dihutan. Hanya saja secara kebetulan hutan yang digunakan sebagai kawasan praktikum itu, sekawasan dengan kampus “Universitas Terbuka” dengan mahasiswa tunggal yakni Palgunadi. Pada kegiatan itu, sebagai sekretaris rector yang merangkap Kepala Urusa Rumah Tangga dari Universitas Soka Lima, Anggraini ikut pula.

Tidk ketinggalan anjing-anjing pelacak keberadaan hewan liarpun digunakan sebagai sarana. Singkat cerita, betapa terkejutnya Arjuna, yang melihat moncong anjingnya terluka parah karena tertancap lima anak panah sekaligus. Dengan geram Arjuna melacak asal muasal anak panah tersebut.
Dalam pada itu Anggraini cepat tanggap, atas kejadian itu tak urung bila pelacakan Arjuna sampai di kampus Palgunadi bakal terjadi keributan. Maka secara diam-diam Anggraini mengikuti Arjuna dari jauh. Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Anggraini, tanda-tanda keributan mulai nampak.
Apabila berbicara serius disertai senyum pertanda bahwa Arjuna sedang menahan amarah besar kepada Palgunadi. Nampaknya Arjuna cemburu melihat meliht kampus UT Swasta di tengah hutan, yang memperlihatkan kerapian managemennya. Palgunadi mahasiswa tunggal yang menempuh program non gelar itu berbadan kekar, dengan sorot mata yang tajam yang menunjukkan tingkat kematangan ilmunya.

Alat-alat perang tersedia dengan sangat cukup sebagai sarana dan prasarana praktikum. Jadwal kegiatan harian, bulanan dan kalender akademik tertata rapi dan tercantum frekuensi kegiatan yang sangat padat dan efektif, melebihi Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Diktat-diktat dari hasil serapan dan sadapan istrinya, dibukukan, disusun rapi dan lengkap tak ada yang tercecer.
Yang membuat arjuna semakin cemburu ilmu adalah, di kampus UT Swasta itu mempunyai perpustakaan jauh lebih lengkap disbanding Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Apalagi ditambah buku petunjuk praktikum susunan Sang Mahasiswa Tunggal itu jumlahnya cukup banyak dan tidak dimiliki oleh Soka Lima.
Kemarahan karena cemburu ilmu itupun makin menjadi-jadi manakala di halaman Kampus itu terpampang patung Drona sebagai symbol almamater. Yang demikian itu sangat menyinggung perasaan Arjuna sebagai mahasiswa terkasih dari Drona, yang karena dosen tetap dari Perguruan Tinggi Negeri itu cara penyelenggaraan kegiatan belajar terkesan seenaknya, teoritis, monologis, teks book dan dogmatis, dimana hal seperti itu sangat membosankan. Sebagai dampaknya hasil lulusan dari pendidikanyapun hanya layak title tetapi tidak layak pakai.

Disertai luapan amarah itupun dengan setengah menghardik, Arjuna bertanya: “Hai Ki Sanak, kaukah yang melukai anjingku?!” dengan tenang Palgunadi mengangguk. Dalam pada itu Anggraini sudah tiba dan langsung berdiri ditengah-tengah keduanya. “dengan satu persatu atau lima anak panah sekaligus, heh!” Tanya Arjuna ketus. Dengan kesabaran yang menunjukkan kematangan ilmu dan kedewasaanya Palgunadi sembari tersenyum, menjawab dengan isyarat memekarkan lima jari tangannya.

“Dari mana kau menyadap ilmu kami”, Tanya Arjuna sambil menunjuk ruang perpustakaan. Dalam pertanyaan ini sebenarnya Arjuna sangat malu hati. Karena para mahasiswa di Soka Lima enggan membukukan kuliah dari dosennya. Bahkan membuat sinopsispun jarang dilakukan. Membuat karya ilmiah kadang-kadang dengan menyontek dan mengubah judul. Penelitian ilmiahpun dapat didengkul. Dan apabila semua itu disyaratkan untuk mencapai kelulusan satu strata, jalan pintas dengan menyogok dosen yang semakin kaya itupun dilakukan, lebih-lebih oleh Mahasiswa dari Korawa yang notabene anak-anak pejabat tinggi dan sering mendikte dosen.

Dengan ramah Palgunadi menjelaskan, bahwa yang mensuplai diktat dan bertindak sebagai tutor sebenarnya adalah Anggraini, istrinya. Mendengar itu Arjuna berujar kasar: “pantas selama ini Anggraini rajin sebagai peninjau kuliahku…!”. Mendengar ini Palgunadi nampak cemburu berat melihat ketampanan Arjuna yang “nilai jualnya” lebih tinggi darinya.

Maka Palgunadi bertanya kepada Anggraini: “Benarkah apa yang dikatakan Arjuna , hai istriku?” Angrainipun mengangguk takut. Tahu rasanya bila Palgunadi cemburu berat, walaupun kenyataanya belum pernah sengaja atau tidak, ia bercinta dengan Arjuna, yang bintang kampus karena ketampanan dan kesederhanaanya itu. Bagi Anggraini hanya seorang laki-laki yang ia cintai, yaitu suaminya, betapapun nilai jualnya tak lebih tinggi disbanding Arjuna.

Kecemburuan Palgunadi makin membara, manakala ia ingat sewaktu membaca majalah dinding Kampus Soka Lima, yang sering memuat rubrik berisikan kepiawaian Arjuna di dalam bermain cinta, penyandang title sebagai raja cumbu rayu dan sanggup mencintai sejumlah wanita dalam waktu yng sama. Palgunadipun tertegun disertai perasaan dan khayalan yang memicu rasa cemburunya. Dalam pada itu Arjuna mengacak-acak perpustakaan Palgunadi sehingga berantakan tak karuan.

Bagai air bah dari bendunga pecah, kesabaran Palgunadi tak terkendali lagi. Diseretnya Arjuna dan duelpun tak dapat dihindari. Setelah perang tanding cukup seru dan lama, ternyata arjuna berhasil dibunuh oleh Palgunadi. Disitulah akhirnya Kresna menggunakan Kembang Cangkok Wijaya Mulya sebagai penyembuh untuk Arjuna.

Selanjutnya nasib Palgunadi menjalani eksekusi hukuman mati dengan tuduhan membunuh, menyontek ilmu dan melecehkan Guru Besr dengan mematungkannya dimana hal ini sangat menyinggung almamater. Dengan melewati proses peradilan yang penuh rekayasa, akhirnya Anggrainipun bela pati dengan bunuh diri, dan kekayaan kampus UT nya disita untuk negara.

KUDA AUCES RAWAS ;
Atau Kuda Uces Rawas yang juga disebut Kuda Swandana, yaitu kuda sebanyak empat ekor dengan warna kulit yang berbeda satu dengan yang lainya, yaitu merah, hitam, kuning dan putih. Keempat kuda dari surga ini dianugerahkan kepada Bathara Wisnu sebagai penarik kereta kedewaanya, agar menjadi sarana dalam menjalankan tugas sebagai dewa pembagi kebahagiaan.
Dalam Lakon Kresna Gugah keempat kuda itu dianugerahkan oleh Wisnu kepada Kresna, sebagai penarik kereta perang untuk Arjuna di dalam Perang Bharatayuda, yang di kusiri sendiri oleh Prabu Kresna. Dalam lakon itu, kecuali mendapatkan anugerah Kuda Swandana, masih ada partai tambahan untuk Kresna, berupa Kitab Jitab Sara, yang memuat kerahasiaan dan tata aturan di dalam Bharatayuda Jaya Binangun kelak.

Sebagai penyandang title Bhatara, Prabu Kresna yang mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda, juga masih saja terpaksa melakukan KKN. Di dalam Bharatayuda, Prabu Baladewa yang kakak kandung Prabu Kresna, sebagai kekuatan poros tengah yang cenderung memihak kepada Kurawa itu, di dalam Jitab Sara dia harus bertempur melawan Anantareja yang memiliki Ajian Bento Geni, dengan kemampuan dapat membunuh musuh hanya dengan menjilat tanah bekas pijakan telapak kakinya.

Agar Baladewa tidak mati konyol di tangan Anantareja, oleh Prabu Kresna di perintahkan untuk bertapa di Grojokan Sewu, sampai batas waktu yang tidak di tentukan, dengan tujuan agar tidak mendengar berita tentang Bharatayuda.

Anantareja sendiri ditipu oleh Prabu Kresna, dengan disanjung bahwa semua ksatria tidak ada yang mampu membawa Senjata Cakra miliknya, kecuali Anantareja. Namun harus dengan syarat, cara membawanya pada bagian tajamnya di biarkan bergulir di tanah sedang yang dipegang adalah hulunya.

Begitu dilakukan dengan cara tersebut, Cakra yang sangat ampuh itu, roda bergigi delapan bagian tajamnya cakra itupun akhirnya mengenai baying-bayang Anantareja, dan pada saat itu pulalah dia meninggal duni. Karena memang disitu letak kelemahanya, tak dapat dibunuh dengan cara apapun kecuali bila baying-bayang badanya yang kena tikam. Demikian Prabu Kresna melakukan KKN didalam melindungi keluarganya dari kematian, berhubung dia mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda dari Kitab Jitab Sara.

Demikianlah, walaupun Krisna adalah titisan Wisnu, Dewa pembagi kebahagiaan, agaknya tetap saja khilaf dan tergoda untuk melakukan KKN dan melanggar HAM. KKN karena memprioritaskan Baladewa yang kakaknya sendiri agar tetap bertahan hidup sampai usai perang Bharatayuda. Sedang pelanggaran HAM dia lakukan dalam merencanakan kematian Sang Anantareja.

Pelanggaran itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh pemegang Kitab Jitab Sara yang merupakan rahasia Para Dewa. Atas perbuatanya itu Krisna dipersalahkan dan dianggap berdosaoleh para dewa. Dan sebagai hukumanya dia tidak berhak masuk ke Nirwana untuk menuju Moksa didalam kematianya kelak kecuali atas pertolongan Prabu Yudistira titisan Bhatara Dharma, didalam lakon Pandawa Moksa.

TIRTA AMRITA ;
Tirta Amrita berasal dari kata Tirta yang artinya air, A artinya tidak dan Mrita artinya mati. Makna lengkapnya adalah air yang menyebabkan tidak mati atau air kehidupan. Dari mengambil makna ini maka menyebabkan tirta amrita dijadikan rebutan diantara Para Sura dan Asura yang menyebabkan pertempuran mirip tawuran antar kelompok di jaman ini.
Pada akhirnya Tirta Amrita yang didunia pewyangan sering disebut Tirta Amerta, yang keluar paling akhir dari perut bumi melalui dasar Samodra Selatan ini, oleh Batara Guru diambil alih dan disembunyikan disuatu tempat yang tidak diketahui oleh para dewa, raksasa dan manusia. Kecuali oleh seseorang yang nunggak semi atau dapat meniru perilaku Batara Guru didalam menelan Nilantaka yang merupakan bukti sikap rela berkorban demi kepentingan tiga dunia.

Semisal ada seseorang yang karena ketekunanya dan berhasil tahu Tirta Amrita disimpan, belum tentu tahu cara mengambilnya. Dan seumpama dia bisa mengambilnya, belum tentu tahu cara menggunakanya. Karena cara mengambil dan menggunakanya harus menggunakan cara tertentu dan khusus yang mensyaratkan berbagai macam laku, sarana dan prasarana khusus yang harus dipimpim oleh orang yang mempunyai cirri-ciri toh ungu seperti disebutkan terdahulu.

Demikian seklumit tentang hubungan pewayangan dengan pertapaan Mandhara Giri di Gunung Srandil dan Selok yang dianggap sebagai tapak petilasan dari lakon Samodra Mantana. Bila kita menganalisa lakon diatas, serta ditarik hikmah kesimpulanya, maka bagi siapa saja yang bermaksud hendak lelaku di pertapan mana saja khususnya di Srandil, seharusnya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Harus ada Guru Laku atau pembimbing spiritual yang dapat dipercaya dalam arti tidak hanya sekedar mengetahui tempatnya dan nama tokoh-tokoh legenda saja, maaf, sebagaimana juru kunci yang hanya sekedar menjual jasa pelayanan kepada peziarah, dengan bermodalkan anya dapat membaca yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Sedangkan “berdoa” tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Diharapkan sebagai pembimbing spriritual, minimal harus mampu berdoa dan mengetahui hal-hal gaib.
Mematuhi “dhawuh” atau petunjuk Guru Laku. Yang dimaksud adalah petunjuk yang mengandung kebenaran objektif dan bermanfaat bagi para pengikutnya, dalam hal: cara, aturan, etika dan yang lebih baku adalah tentang petunjuk bagaimana seharusnya perilaku di pertapaan yang sesuai dengan nuansa gaib yang baik dan benar, dengan kewaspadaan batin mengetahui mana yang dijalankan dan mana yang tidak.
Jangan open, maksudnya adalah jangan bernafsu memiliki sesuatu yang seharusnya bukan jatahnya. Jangan pula dengki dan konkiren atas apa yang diberikan oleh Guru Laku kepada semua siswanya. Karena sesungguhnya hanya atas petunjuk gaib, Guru Laku memberikan apa-apa kepada siswanya yang satu sedangkn yang lain tidak. Bukan berarti Guru Laku tidak adil. Semua itu disesuaikan menurut jatah masing-masing orang yang mestinya berbeda-beda berdasarkan kepentingan pribadi tiap siswanya, karena setiap orang mempunyai kepentingan, khajad, sifat dan kisah hidup yang berbeda-beda pula.

Maka sebaiknya janganlah meminta apa-apa yang tidak semestinya kepada Guru Laku. Namun demikian, berhubung Guru Laku juga manusia biasa yang tidak lepas dari lupa dan lalai, salah dan lemah maka para siswanya tentu saja boleh mengingatkan manakala Guru Laku kebetulan berkata dan berbuat yang menunjukkan kealpaanya.

Perlu pula diingat, berhubung Guru Laku biasanya besar rasa kasihnya kepada segenap siswanya, maka sering dirundung rasa tidak tega apabila ada siswanya yang merengek meminta sesuatu yang bukan jatahnya. Kadang diberikan begitu saja, meskipun bukan jatahnya atau belum jatuh waktu sang siswa memiliki apa yang di mintanya itu.
Begitulah kelemahanya, apabila seseorang sedang terbelenggu oleh objek cintanya. Dibalik kepintaranya terselip ketololanya dan dibalik kecermatanya akan nampak keteledoranya. Apa yang diberikan dengan cara diatas, karena dipengaruhi oleh ketololan dan keteledoran serta tergesa-gesa dan belum waktunya, lalu yang diberikan itu tidak menganut tatanan gaib. Maka biasanya akan terjadi sesuatu yang kurang baik bagi yang diberi sesuatu oleh Guru Lakunya itu.

Apa yang terjadi seperti dicontohkan diatas, biasanya tingkat kesulitan yang diterima oleh siswa yang menerima pemberian yang bersifat “Anggege Mangsa” itu, kejadianya sebagaimana yang tersirat dalam lakon wayang “Nara Singha”.

Pada waktu itu Kahyangan Suralaya berhasil dikuasai oleh Raja Raksasa Prabu Sumangliawan dan Patihnya Kala Mangli, yang sesungguhny kecuali mereka kakak beradik, kedua raksasa itu seperguruan dan satu pertapaan.

Mereka berdua sangat sakti, bahkan tidak dapat dikalahkan oleh dewa, ksatria maupun raksasa sendiri. Kesaktian itu mereka peroleh berkat keberhasilanya didalam bertapa dan memperoleh anugerah dari Dewa Hagni berupa “Sabda”, tidak dapat dikalahkan oleh dewa, manusia maupun raksasa. Dan agaknya Sabda Sang Hagni kini menjadi bumerang bagi para dewa sendiri, dimana sabda itu tidak mungkin ditarik kembali.

Akibatnya sewaktu mereka berdua melakukan “Demontrasi” dengan aksi pengerahan massa besar-besaran dengan tindakan yang cenderung anarkis di pusat pemerintahan para dewa, Raja para dewapun tidak sanggup untuk mengatasinya. Apabila akan mengatasi dengan cara kekerasan, kubu para dewa memang menang persenjataan dan prasarana. Akan tetapi dari segi jumlah massa dan tingkat kenekatan, kubu Sumangliawan lebih unggul.

Pada akhirnya pemerintahan para dewa mengadakan Sidang Kabinet mendadak dengan agenda tunggal membahas masalah mengatasi kerusuhan yang terkesan terorganisir dan terencana dengan rapi, disertai dukungan kekuatan massa yang sangat besar, yang kebanyakan dari kalangan raksasa, yang sudah barang tentu sangat kasar dan beringas. Mengingat latar belakang mereka memang demikian. Sedang aksi serupa yang dilakukan oleh manusia saja bisa kasar, beringas dan anarkis, apalagi oleh raksasa.

Secara analisis, kerusuhan sebagai akibat dari dua orang tokoh LSM kalangan raksasa itu, berawal dari intimidasi dan penetrasi terselubung oleh para dewa sendiri, terhadap niat mereka berkoalisi, dimana masing-masing dari mereka sebenarnya adalah mempunyai kekuasaan dan kewenangan wilayah sendiri-sendiri, sebagai kekhawatiran terhadap kemungkinan pengerahan massa yang mengarah ke makar. Dan ternyata kekhawatiran para dewa itu kini benar-benar terjadi.

Waktu itu yang ditugasi oleh Batara Guru untuk melakukan penetrasi dan intimidasi terselubung adalah Batara Hagni, yang disuruh memerintahkan kepada kedua raksasa itu untuk bertapa dengan janji imbalan kesaktian seperti tersebut terdahulu, dengan syarat selama bertapa tidak boleh mengadakan hubungan dan pendekatan kepada aparat penguasa para dewa.

Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan para dewa. Karena mereka bertapa dihutan “konsolidasi” yang memungkinkan untuk mengadakan pendekatan dengan arus bawahsecara intensif tanpa dapat dipantau oleh para penguasa. Sebagai akibatnya timbulah gerakan makar yang sangat kuat, bagai jebolnya bendungan besar, yang tak urung merepotkan para dewa sendiri.

Secara strategis, untuk mengatasi masalah ini diserahkan kepada Batara Wisnu, dengan cara melakukan tiwikrama merubah wujud dirinya menjadi Nara Singha, yaitu seorang ksatria berbadan raksasa, berkepala singa dan berperangai dewa. Ini adalah modal yang pertama. Sedang modal lainya berupa Bende atau terompet Panca Jannya dan Senjata Cakra Baskara.
Dengan kepribadianya, Dewa Wisnu yang disertai modal diatas, dapat dipastikan bisa mengatasi masalah. Sebagai Dewa Pembagi Kebahagiaan, Wisnu disenangi oleh semua kalangan, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berseberangan. Dengan tiwikrama, Wisnu mengetahui bahasa kebutuhan masing-masing kelompok yang berbeda.

Dengan Terompet Panca Jannya yang menurut makna kata adalah lima kelompok insan, Wisnu menggunakan tehnik-tehnik tertentu untuk menyampaikan pesan perdamaian, misalnya lewat jalur budaya, adat kebiasaan dan kekhawatiranyang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Senjata cakra yang berupa anak panah dengan bentuk roda bergigi delapan yang semuanya sangat tajam itu, dipergunakan untuk upaya penyelesaian masalah dengan cara berunding yang membutuhkaan ketajaman kata yang diplomatis, dimana hal itu merupakan bakat Sang Wisnu.

Akan tetapi betapa sulitnya hal itu dilakukan, karena ternyata Dewa Wisnu tidak ikut hadir didalam pertandingan itu, ternyata dia sedang bertapa dan tidak seorang dewapun berhasil membangunkanya. Lalu Batara Guru memerintahkan kepada Bidadari Wil Utama dengan diikuti empat puluh bidadari yang lain, untuk menggoda Wisnu agar terbangun dari tapanya, tetapi dengan syarat Wil Utama dalam keadaan apapun tidak sampai tergoda untuk berhubungan badan dengan Sang Wisnu, sebagai dewa yang terkenal tampan dan romantis itu.

Singkat cerita Wil Utama berhasil membangunkan tapa Wisnu, akan tetapi keduanya yang pada masa lalu pernah gagal didalam memadu kasih, akhirnya lupa daratan dan kisah-kasihnya kumat lagi, maka hubungan badanpun tak dapat dihindari. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Setelah usai berasik-masyuk, maka sadarlah Wil Utama bahwa dia telah melanggar pantangan dari Batara Guru.

Karena mendapat laporan tentang perselingkuhan antara Wisnu dan Wil Utama, Batara Gurupun marah besar. Setelah memerintahkan Wisnu untuk maju menghadapi perusuh dan berhasil dengan baik, walaupun nyaris gagal karena kesaktian dua raksasa kakak beradik itu, akhirnya Wil Utama diadili dan mendapat hukuman berupa kutukan dari Raja Para Dewa:”…Hai Wil Utama, yang kau lakukan itu perilaku seekor hewan…” Dan menangislah Wil Utama memelas sekali karena dia kini berubah menjadi kuda sembrani. Walaupun didalam hati Batara Guru iba kepada Wil Utama, namun sabda tak dapat ditarik kembali.
Akhirnya kepada Wil Utama dijanjikan akan diberi “grasi” apabila dia mau bertapa di tepi Sungai Gangga. Besok kelak apabila ada seorang ksatria mendapat kesulitan untuk menyebrang dan kuda sembrani yang jelmaan Wil Utama tadi berhasil menolongnya dengan cara “ditunggangi” oleh ksatria itu sampai keseberang, maka akan pulih wujud kebidadarian Sang Wil Utama.

Namun karena kuda betina yang harus menolong Raden Kombayana dari Atas Angin itu, tidak sekedar ditunggangi saja, tetapi lebih dari itu, maka kuda tungganganpun akhirnya bunting, dan melahirkan bayi manusia yang berkaki kuda, yang diberi nama Raden Haswa Suta Utama yang biasa dipanggil Aswatama. Sejak melahirkan itulah kuda betina berubah menjadi bidadari lagi dan segera kembali lagi untuk menunaikan tugas kebidadarian seperti sedia kala dan tak sempat diperistri oleh Raden Kombayana.

Demikianlah yang tersirat dari lakon ini, bahwasanya bagi siapa saja yang tidak mematuhi dan menurut ajaran Guru Laku dan tidak mau menerima pembagian secara jatah, serta anggege mangsa, akan berakibat kurang baik yang juga berdampak sampai kepada keturunanya.
Jangan mudah mengucapkan supata dan menyumpahi orang, yang maksudnya jangan mudah berkata-kata yang jelek, karena apabila sudah pernah merambah suatu pertapan yang tinggi nilai sakralitasnya, disekujur tubuh seakan-akan diselimuti daya gaib dari pertapaan itu. Akibatnya apa yang dikatakan manjur, sehat sentosa badanya, serta mudah terkabul cita-citanya. Layaknya seperti ada yang mengatur pola hidupnya dan selamat warga dan harta yang dimilikinya. Apabila sudah manjur apa yang dikatakan, pakailah nuansa itu untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Jangan digunakan bersupata dan menyumpahi orang karena akibatnya bisa fatal. Apalagi Pertapaan Mandala Giri Srandil yang konon merupakan petilasan dari Para Dewa Mengebor Tirta Amrita.
Jangan memperhitungkan untung dan rugi didalam penggunaan biaya selama dalam pertapaan, sebab dengan demikian akan terkesan tidak dengan suka rela. Padahal suka rela adalah modal utama dari laku bertapa dan bergaul dengan dunia gaib. Apabila proses gaib terbuka melalui azas sukarela dengan dilandasi rasa percaya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, maka akan terasa dekat kepadaNya. Dengan kedekatan kepada Tuhan, pada giliranya akan mudah terkabul segala doanya, karena semacam ada rasa yang sambung kehadiratNya.
Telaten, rajin dan bersungguh-sungguh, yang maksudnya jangan mudah putus asa apabila belum dapat mencapai apa yang menjadi keinginanya. Selalulah percaya kepada Tuhan yang senantiasa akan memilihkan yang terbaik kepada hambaNya, pada saat yang bertepatan dengan kebutuhan akan dapat mengatasinya atas Karsa Tuhan.
Telaten dalam pengertian jangan menolak rejeki yang hanya sedikit. Sebaliknya apabila mendapat rejeki yang banyak dan mendadak malah bingung cara menggunakanya. Akibatnya yang dibelanjakan hal-hal yang tidak bernilai guna dan mungkin apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Akhirnya apabila tidak tepat didalam pengelolaan rejeki, akan tanpa gunalah didalam menjalani laku pertapaan, ibarat membuang niat, kehabisan syarat tanpa mendapat berkat.
Menjaga tata-susila di pertapaan, baik kepada sesama peziarah maupun kepada sesama rombongan dan keluarga sendiri. Terlebih lagi tata-susila terhadap para leluhur yang akan diziarahi, walaupun hanya berupa suatu tempat yang merupakan petilasan. Tanamkanlah rasa didalam hati seakan-akan kita sedang berhadapan dengan beliau, saat sedang berdoa dengan menempati petilasan itu. Mengeluhlah kepadanya sebagaimana bila kita mengeluh kepada orang tua sendiri, dengan penuh rasa nelangsa yang disisipi cita-cita.
Sebagaimana tercantum didalam rangkaian kata didalam doa: “Bersujud kepada Tuhan Yang Maha Suci, sembah bakti kepada para pepunden sari…Sembah dihaturkan segala derita dan cita-cita, Derita memohon disembuhkan, cita-cita mohon dikabulkan. Mohon berkah perlindungan. Berkah mohon rejeki yang agung dan meyelamatkan, perlindungan mohon selamat di dunia sampai akhirat, meliputi warga dan harta benda kami, amin”.
Namun demikian tidak menutup kemungkinan, apabila doa tadi sudah dikabulkan oleh Tuhan, akan mengundang kecemburuan social dengan timbulnya sangkaan yang bukan-bukan, baik oleh tetangga, kenalan atau bahkan mungkin oleh kerabt dekatnya sendiri yang belum tahu pasti proses yang mendahuluiperolehan berkah itu.

Mungkin mereka akan meyangka kita melakukan KKN atau mendapat rejeki yang tidak halal. Bahkan juga pengalaman teman peziarah yang sudah terkabul cita-citanya, disangka nyupang atau memelihara sebangsa tuyul dan pesugihan lainya. Dan gangguan itu akan berkembang terus manakala peziarah yang sudah berhasil itu kurang peduli terhadap lingkungan dekatnya. Kita dikir memelihara setan dari Srandil. Padahal si pengira tadi belum tentu mengetahui keberadaan Srandil dan belum tentu tahu apa, siapa dan bagaimana setan itu.

Menurut pendapat penulis, tanpa ke Srandilpun seseorang dapat juga digoda setan, lebih-lebih bagi yang tipis imanya dan kurang rasa pasrahnya kepada Tuhan. Padahal dari agama apapun mengajarkan, orang yang tinggi imanya, tak mudah di goda setan. Dan kecenderungan mengumbar hawa nafsu itulah sebenarnya yang merupakan kendaraan setan menuju alam pikiran manusia. Dan seseorang yang selalu merasa dekat kepada Tuhan seharusnya tidak takut kepada setan dalam bentuk apapun, kecuali kepada Tuhan. Maka dimanapun dan kapanpun perilaku seseorang menunjukkan kemantapan dan ketetapan hati yang selalu taat dan percaya kepada Tuhan.

TOKOH LEGENDARIS ;
Sebelum hal ini diuraikan, perlu kiranya dipahami beberapa kata dan istilah yang disandangkan kepada Tokoh Legendaris pada pertapaan, terutama di Pertapaan Mandala Giri Srandil:
Hyang
Berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya kira-kira pemelihara.
Dewa
Berasal dari kata Div yang artinya cahaya Ketuhanan.
Batara
Berasal dari kata Batr yang artinya menemani.
Orang Jawa menyebut Hyang denga kata Eyang, Dewa dengan kata Dewa (baca:Dewo), Batara dengan kata Bathara dan Batr dengan kata Batir.
Berhubung tokoh-tokoh yang dianggap para leluhur di Pertapaan Mandala Giri Srandil tidak tercantum di dalam Buku Sejarah dan buku-buku lainya, maka untuk memudahkan kita meyebutnya tokoh legendaris, yang dipercaya bahwa pada saat hidupnya dahulu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu serta mempunyai keutamaan-keutamaan didalam ilmu Ketuhanan, keluhuran budi pekerti atau sifat lain yang utama, misalnya:

HYANG AGUNG HERU COKRO ;
Menurut kepercayaan, nama itu adalah gelar spiritual dari nama aslinya SULTAN AGUNG HANYOKRO KUSUMO, di mana nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang. Pada waktu menjadi Raja Mataram Islam, beliau bertapa dilingkungan Pertapaan Mandala Giri Srandil, yang pada waktu itu dilingkunganya masih merupakan hutan belantara yang masih rawan dan perawan dan terkenal sangat angker. Konon siapapun yang datang kesana hanya pulang namanya saja dan bahkan hewanpun akan mati apabila memasuki kawasan itu.

Tetapi karena beratnya misi untuk mengusir penjajah Belanda dan berencana akan melakukan penyerbuan ke Batavia, maka sebagai awal-mula dari niatnya itu, beliau perlu memperkuat jiwa dan raganya dengan bertapa di Gunung Srandil, dengan maksud seperti yang tersirat dalam Candra Sengkala “SIRNANING YAKSA KATON GAPURANING RATU”.

Candra Sengkala adalah pernyataan suatu bilangan angka tahun Çaka didalam bentuk perkataan yang disandikan dan mengandung pengertian didalam apa yang menjadi tujuanya. Serta mengandung pesan-pesan kefilsafatan yang sangat dalam maknanya. Dan biasanya hanya orang Jawa yang memahami Sastra Jawa saja yang tahu makna kata-kata dalam Candra Sengkala tersebut.
Apabila Candra Sengkala diatas dibaca dari belakang, maka mengartikan suatu bilangan 1610, yang menunjukkan angka tahun Çaka. Sedangkan makna kata di dalam Candra Sengkala itu merupakan pesan tersembunyi kepada rakyatnya, bahwasanya apabila Bangsa Indonesia ingin mencapai Gemah Ripah Loh Jinawi atau adil makmur dan tenteram, terlebih dahulu harus menyingkirkan angkara murkanya para penjajah Belanda.

Semenjak Pertapaan Mandala Giri Srandil ada, maksudnya sejak jaman purba, kawasanya belum pernah terjamah manusia. Dan Hyang Agung Heru Cokro adalah orang pertama yang berani memasuki pertapaan tersebut. Semenjak itu dan seterusnya, pertapaan itu bisa diziarahi oleh siapa saja dan tidak angker lagi, bahkan dapat melayani para pengalap berkah.

Itu semua karena Hyang Agung Heru Cokro, kecuali dikenal sebagai prajurit yang mempunyai kelebihan dalam olah pertempuran, beliau juga memiliki ilmu yang dapat memilahkan antara Gaib Hakiki dengan Gaib yang Mungkar. Gaib hakiki adalah gaib yang memiliki nilai Ketuhanan, sedangkankan gaib mungkar adalah gaibnya sebangsa setan dan jin. Dengan demikian Hyang Agung Heru Cokro berhasil mewariskan kegunaan Pertapaan Srandil kepada para penerusnya sampai sekarang.

NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI ;
Ini merupakan nama dari gelar pada tokoh yang bernama DEWI NAWANG WULAN sewaktu masih menjabat sebagai bidadari. Diceritakan pada waktu sedang mandi bersama-sama dengan para bidadari yang lain di Sendang Sanjaya, pakaian jabatanya sebagai bidadari berhasil dicuri oleh seorang jejaka dari Tarub, yang lalai akan keluhuran budi pekertinya sehingga mencuri pakaian itu. Namun sebagian kalangan menganggap hal itu merupakan takdir Tuhan, untuk mengukir legenda yang sampai sekarang sebagian orang masih mempercayainya.

Jejaka dari Tarub yang kemudian disebut Jaka Tarub itu kisah legendanya menjadi berkembang dan sebagian masih ada yang menjadikan tradisi dari apa yang dipercaya telah dilakukan oleh Tokoh Jaka Tarub tadi. Di mana Tarub adalah sebuah kata yang artinya tempat persiapan pendirian suatu negara dan pemerintahan.

Dikatakan bahwa Tarub artinya suatu tempat persiapan sehari semalam sebelum didirikan suatu negara. Sehari semalam dalam arti tinggal sat langkah lagi dalam persiapan menuju pelaksanaan. Sudah barang tentu langkah-langkah sebelumnya sudah ditempuh dengan berbagai upaya. Sampai sekarang apabila Orang Jawa akan mengadakan khajatan mantu, sehari semalam sebelum pelaksanaan, dinamakan Tarub Mantri atau Midodareni. Tarub Mantri artinya Petugas atau Pejabat dari Desa Tarub, sedangkan Midodareni artinya kira-kira “membidadarikan” sang calon penganten perempuan.

Berhubung pakaian jabatan bidadari dari Dewi Nawang Wulan itu di sembunyikan oleh Jaka Tarub, maka dengan di paksa oleh kodrat, Dewi Nawang Wulan lalu di peristri oleh Jaka Tarub, yang nantinya Jaka Tarub ini menjadi Raja Mataram Hindu dengan gelar Prabu Sahanjaya yang juga disebut Prabu Sanjaya. Saha artinya disertai, Jaya artinya kekuatan.

Setelah melalui kurun waktu yang cukup lama, saatnya memastikan secara kebetulan Dewi Nawang Wulan menemukan tempat pakaian bidadarinya disembunyikan. Maka dengan serta merta dipakainya dan segera terbang ke alam bidadarinya. Akan tetapi sungguh malang nasibnya, kehadiranya di alam dewa-dewi tidak lagi bisa diterima. Karena sudah pernah berhubungan dengan manusia dengan diperistri oleh Jaka Tarub sampai dikaruniai anak bernama Nawangsih. Atas penolakan itu Sang Dewi bermaksud kembali ke Jaka Tarub, tetapi hal itu tidak mungkin karena penyandang title bidadari tak mungkin hidup didunia manusia. Maka selanjutnya Sang Dewi hanya dapat menempati alam di “antara” alam dewa dan manusia.

Selanjutnya secara legenda dipercaya bahwa Dewi Nawang Wulan diperbolehkan menguasai alam “ANTARA”, An artinya bukan dan Tara artinya makhluk bumi. Yang dimaksud adalah alam yang menjadi perantara atau menjembatani hubungan antara manusia dengan Gaibnya Tuhan. Alam antara luasnya tidak terukur secara dimensi. Sedang dibumi yang memiliki tempat yang sangat luas adalah antariksanya Samodra Selatan. Dari itulah Dewi Nawang Wulan dipercaya menjadi penguasa Samodra Selatan dan selanjutnya digelari nama Ratu Kidul atau Nyi Rara Kidul yang ceritanya menguasai dedemit Samodra Selatan.

Adapun anggapan dan pandangan yang secara kebetulan berbeda dengan anggapan penulis, itu hak masing-masing orang. Malah ada yang mengatakan bahwasanya Ratu Kidul terkadang meminta tumbal berupa manusia pada waktu-waktu tertentu, konon katanya Ratu Kidul sedang mempunyai khajatan dan sebagainya. Akan tetapi seandainya Ratu Kidul dianggap tokoh legenda yang sangar, dahsyat dan jahat karena sering meminta korban manusia yang mati tenggelam di Samodra Selatan, pandangan itu benar adanya. Dalam arti kebenaran secara fisik.

Kecuali dahsyat, kadang nyata sekali jahat dan tidak segan-segan minta korban nyawa manusia. Akan tetapi sudah barang tentu hanya kepada manusia yang kurang hati-hati atau dengan sangat terpaksa nyemplung Laut Kidul yang begitu dahsyat dan jahat gelombang, kedalaman dan badainya, lebih-lebih apabila kebetulan cuaca buruk. Siapa orangnya yang bisa bertahan hidup dengan menantang keganasan Samodra Selatan, apabila tanpa sarana yang memadai untuk turun dilaut itu. Jadi yang penulis maksud dengan pengertiankeganasan secara fisik adalah keganasan Laut Selatan itu sendiri yang memang laut terbesar didunia.

KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA ;
Tokoh ini dikisahkan sebagai suami Nini Dewi Tunjung Sekar Sari. Dengan demikian dapatlah diterik kesimpulan bahwa tokoh ini tak lain adalah Jaka Tarub. Nama Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah gelar spiritual dari Jaka Tarub dimasa tuanya saat menjadi pendeta. Oleh karena itu Dewi Nawang Wulan menyesuaikan, lalu mempunyai title spiritual dengan sebutan Nini Dei Tunjung Sekar Sari.

Apabila ditarik makna kata demi kata; Kaki artinya lelaki tua atau dituakan, mempunyai ilmu yang bermanfaat. Ada juga yang menarik makna secara akronim, K artinya kawula A anggayuh, K artinya kagem dan I adalah ing pangreh atau aturan gaib. Dari penarikan makna agar sesuai yang diinginkan. Dianggap demikian juga boleh.

Tunggul artinya puncak atau pemuka, Sabda artinya perkataan yang mengandung kekuatan gaib, Jati artinya yang sesungguhnya, Daya artinya memberi kekuatan, Among artinya memelihara atau momong dalam pengertian sabar, rela dan menerimma didalam laku Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa dan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Adapun Raga artinya jasad ragawi yang memegang teguh sifat terpuji.

Selain itu Among Raga juga mengandung pengertian dapat menata perilaku raganya sendiri, didalam olah Yoga Pranawa. Yoga artinya laku atau ilmu tentang menyatunya insane dengan Khaliknya, sedangkan Pranawa artinya terang hati, didalam proses pengolahan ilmu kemasyarakatan sebagai modal didalam menjalankan tugas among. Ada tokoh pamomong didalam wayang yang disebut Semar, maka dari itulah kadang ada yang menganggap bahwa Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah Semar.

Menurut pemikiran penulis, sebagaimana yang pernah penulis uraikan dalam tulisan lain, bahwa Semar bukanlah tokoh personal, dalam arti bukan perwujudan suatu makhluk sebangsa manusia ataupun makhluk halus yang mempunyai keistimewaan tertentu. Kata atau istilah Semar adalah penokohansuatu predikat untuk seseorang yang mempunyai sifat pamomong. Maka dalam hal ini kecuali makna predikat, Semar juga mengandung makna sifat didalam predikat itu. Dari kedua makna ini maka kapan saja dan dimana saja ada tokoh Semar dalam arti kapan saja dan dimana saja ada tokoh yang mempunyai sifat pamomong.

Maka apabila ada seorang dukun yang pada waktu melayani pasienya lalu tertawa ngakak sambil menuding-nudingkan jarinya seperti layaknya Semar didalam pewayangan, sesungguh hal yang dilakukan itu sesuatu yang menggelikan. Walaupun dukun itu banyak penganutnya dan sebagian ada yang menganggap bahwa dukun itu konon kesinungan Semar, itu hanyalah isapan jempol belaka, apabila mengacu pada uraian diatas. Agaknya Sang Dukun pura-pura kesinungan Semar, dengan maksud untukmenumbuhkan citra dan menambah kharisma.

Apalagi bila kita membaca Kitab Purwa Carita didalam episode atau lakon Lahirnya Ismoyo. Syahdan saat itu di Kahyangan Alan-alang Kumitir tempat bertahtanya Sang Hyang Wenang, ada kejadian yang sangat aneh. Ada sebutir telur besar yang berputar-putar seperti mengelilingi orbit tertentu dan berjalan terus tanpa henti. Kemudian telur itu dapat ditangkap oleh Hyang Wenang selanjutnya dibanting. Maka pecah berantakan telur tersebut.

Namun aneh bin ajaib, telur yang pecah berantakan itu menjelma menjadi tiga Ksatria tampan. Oleh Hyang Wenang, ksatria pertama yang berasal dari cangkang telur, diberi nama Antaga dengan sebutan Hyang, pada waktu berada di alam kedewataan. Setelah turun ke bumi bernama Togog yang bertugas momong para ksatria dari seberang. Yang dimaksud adalah manusia yang sudah menyeberang dari kaidah keTuhanan. Antaga diturunkan kebumi karena dianggap bersalah pada waktu masih dialam kedewataan.

Ksatria kedua yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya. Yang karena kesombonganya berdua dengan Antaga mengadakan sayembara menelan gunung. Antaga yang tadinya tampan karena berupaya menelan gunung, sampai-sampai mulutnya menganga dan nyaris sobek bibirnya sampai kedua pipinya, namun tidak berhasil. Sedang Ismoyo berhasil menelan akan tetapi tidak berhasil memuntahkanya kembali, sesuai dengan aturan main yang disepakati. Akhirnya gunung itupun anjlog sampai kepantat dan berhenti sampai disitu.

Sayembara yang sebelumnya tidak diketahui oleh Hyang Wenang itu hanya atas kesepakatan antara Antaga dan Ismaya saja. Maka setelah mengetahui kesudahan dari kesudahan dari sayembara itu, keduanya dianggap tidak dewasa dalam arti dewa dalam rasa. Maksudnya belum dapat memaki perasaan sebagaimana para dewa. Untuk itu mereka berdua dipersalahkan dan diberi hukuman turun kebumi dan untuk Ismaya diberi nama Semar.

Sedang ksatria ketiga yang berasal dari kuning telur dan dianggap si bungsu diberi nama Manik Maya, yang dinobatkan menjadi Raja Para Dewa yang bertahta di Junggring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa dengan diberi gelar Hyang Jagad Giri Nata yang juga disebut Batara Guru. Disamping itu dikodratkan dapat mempunyai keturunan, sebab memang berasal dari kuning telur yang mengndung zat hidup. Sedangkan Antaga si cangkang dan Ismaya si putih tidak mempunyai keturunan.

Apabila ditarik pesan-pesan kefilsafatan dari lakon lahirnya Ismaya maka dapat dikatakan bahwa oknum dukun yang memproklamirkan dirinya sebagai yang kesinungan Semar, sangatlah tidak mungkin. Sebab secara nalar cerita, Semar tidak pernah dilahirkan, tidak pernah menitis dan yang lebih pentinguntuk diketahui Semar dan tokoh-tokoh pewayangan yang lain, hanyalah gambaran perilaku dan peri kehidupan manusia. Karena wayang artinya baying-bayang atau gambaran yang harus dikaji dan diamalkan isi ajaran yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakonya.

HYANG RATU RETNO DUMILAH ;
Tokoh ii dikisahkan sebagai penjaga “GEDONG CEPUK” yang koon berisi harta benda tak terhitung jumlahnya. Sebagai yang menjabat penunggu dan pembagi harta benda kerajaan, sepertinya tidak mungkin apabila dipilihkan tokoh dari kalangan luar istana. Diduga beliau adalah putrid Prabu Sanjaya dari istri Dewi Nawang Wulan, yang tidak lain adalah Dewi Nawangsih. Dimana sasana gaibnya berada di pojok barat laut di kaki Gunung Srandil, tepatnya pada batu yang tampak terbelah.

Ditempat inilah yang nyata-nyata mempunyai keajaiban secara fisik. Pada tahun delapan puluhan, saat penulis pertama kali ke Gunung Srandil batu belah itu masih sekitar setengah meter tingginya dan besarnya kira-kira seukuran bakul nasi. Akan tetapi sekarang (tahun 2000) tingginya sudah dua meter lebih dan besarnya melebihi gajah dewasa. Jadi batu yang sewajarnya ajeg besarnya, tidak demikian dengan batu belah itu.

Dari kenyataan itu dapat ditarik simpul nalar secara metafisik, sedangkan batu saja bisa tumbuh dan berkembang apalagi kehidupan manusia. Mungkin didalam itu semua mengandung pesan, barangsiapa ingin tumbuh kehidupanya, harus berupaya tanpa henti dan memohon kepada Tuhan untuk memperoleh ridhaNya dengan bersungguh-sungguh dan menumbuhkan daya kreatifitas secara ajeg berusaha.

HYANG LANGLANG BUWANA ;
Menurut perkiraan penulis, tokoh ini adalah Jaka Tarub, dimana pada waktu mempunyai rencana menjadi raja, melakukan pengembaraan keseluruh pelosok negeri dalam rangka konsolidasi dan penggalangan massa. Mulai dari rakyat sampai dengan pejabat semua dihubungi, agar apabila dia berhasil menjadi raja kelak, mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Karena pengembaraannya itulah beliau mendapat gelar Hyang Langlang Buwana. Dan sudah menjadi kebiasaan Orang Jawa, sering mempunyai banyak nama atau alias yang juga disebut Dasa Nama.

HYANG SUKMA SEJATI ;
Tokoh ini juga masih kerabat Prabu Sahanjaya, mungkin masih pamannya yang diberi tugas mengatur tatanan keagamaan dan olah spiritual lainya. Karena memang tokoh ini piawai didalam hal kasuksman atau ketuhanan, baik melalui jalur keagamaan maupun jalur budaya spiritual atau kebatinan.

Beliau terbiasa bertapa dan laku samadi dan terkenal tahan dan kuat di dalam olah tapa dan samadi, maka disebutkan beliau mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tokoh ini juga diserahi merawat benda-benda pusaka dan barang-barang spiritual milik kerajaan. Dan konon tokoh inilah yang mempunyai ilmu Pemecah Jasad. Diceritakan bahwa beliau dapat memecah jasadnya menjadi lima orang, maksudnya apabila dia melakukanya, akan tampaklah lima orang kembar.

HYANG WURUNG GALIH ;
Tokoh ini juga kerabat Kerajaan Mataram yang diserahi tugas menjaga keamanan wilayah ibu kota dan juga bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman keluarga raja, agar pengaruh-pengaruh jelek baik yang bersifat nyata ataupun maya tidak menimpa keluarga raja untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diingini, yang berasal dari wangsa lain, yang diduga akan merebut tahta. Maka boleh dikatakan bahwa tokoh ini ahli di bidang olah kanuragan atau ilmu kekebalan dan ilmu kebatinan yang lain.

Al kisah, Hyang Wurung Galih dikaruniai umur panjang, bahkan dia bisa bertahan hidup sampai jaman wali, dan sempat menjadi guru dali salah satu wali, yaitu Syekh Jakfar Sodiq yang disebut juga Sunan Kudus. Pada waktu menjadi guru dari Sunan Kudus, dia bernama Ki Selingsing yang juga bergelar Ki Ageng Pasir atau Hyang Kumala Yekti, yang konon makam beliau berada di pesisir Laut Kidul, dekat Gunung Srandil.

KI PAKU WAJA ;
Di sebelah selatan kaki Gunung Selok, ada gua kecil di tepi sungai yang bernama Goa Paku Waja. Dikatakan demikian karena merupakan petilasan pertapaan Ki Paku Waja. Tokoh ini tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Prabu Sahanjaya. Akan tetapi berkat kejelian pengamatan mata batin Sang Prabu, yang dapat melihat cahaya gaib yang bersinar kuat yang memancar keluar dari ubun-ubun Ki Paku Waja, yang sedang bersamadi di gua itu. Pancaran cahaya gaib itu adalah pertanda bahwa beliau berilmu tinggi dan mempunyai kewicaksanaan yang linuwih.

Beliau disebut Ki Paku Waja karena memang mempunyai sebuah paku yang terbuat dari baja yang ditancapkan di batu cadas pada goa tersebut sehingga mengeluarkan air yang menetes tiada henti dan mengandung karat.
Air dari cadas itu menetes terus menerus dan tertampung didalam lubang dengan ukuran kurang lebih 700 liter yang disebut Sendang Paku Waja.

Namun nama sebenarnya dari tokoh ini adalah Ki Guwarsa, yang konon berasal dari Hindia Belakang. Datang ke Jawa kira-kira 400 tahun sebelum masehi. Beliau berhasil bertahan hidup sampai menjelang berdirinya Kerajaan Mataram Kuna, karena memang dianugerahi umur panjang dan awet muda. Ceritanya dia bertapa di Goa Paku Waja beratus tahun lamanya.
Menurut kepercayaan, Ki Guwarsa adalah manusia yang mempunyai berbagai macam kelebihan, antara lain ilmu dibidang kenegaraan, hukum, ketuhanan, kesaktian, dan mampu menjadi guru para empu.

Al kisah, Prabu Sahanjaya beserta kerabat calon pejabat kerajaan yang sedang mempersiapkan pendirian Kerajaan Mataram, semuanya berguru kepada Ki Paku Waja. Dan dari dialah jaka Tarub dan rombonganya mendapatkan berbagai ilmu yang dapat digunakan sebagai modal pendirian sebuah kerajaan.

Lalu bagaimana halnya dengan Ki Paku Waja yang dimakamkan di Kaliwungu Kabupaten Kendal? Yang juga merupakan tokoh legendaris diwilayah itu. Mungkin dia ditokohkan sebagai mana Ki Paku Waja Selok, mungkin karena dianggap mempunyai berbagai ilmu linuwih pada jamanya. Hal semacam itu oleh Orang Jawa dinamakan nunggak semi dengan Ki Paku Waja. Yang artinya memiripkan diri dengan tokoh idolanya.

Menurut perhitungan jaman, antara Ki Paku Waja Gunung Selok dengan Ki Paku Waja Kaliwungu, tidak mungkin pernah bertemu, karena Ki Paku Waja Kaliwungu hidup pada jaman terakhir Wali Sanga, yang diperkirakan sekitar abad XVII.

Akan tetapi kemungkinan bisa saja terjadi, dapat bertemu dan berguru dengan Ki Selingsing, sesudah Syekh Jakfar Sadiq, dan nama Paku Waja untuk tokoh legendaris Kaliwungu, diberikan oleh Ki Selingsing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara Para Wali dan tokoh legendaris di Gunung Srandil, masih kalah tua dengan Ki paku Waja. Sampai pun dengan Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga, yang di percaya sebagai tokoh pamomong dengan memiliki sifat-sifat Semar. Karena yang di Srandil disebut sebagai kaki itu sebenarnya adalah Jaka Tarub.

HYANG CAKRA WANGSA atau Pak Cilik Cakra Wangsa
Mungkin tokoh ini paman dari Prabu Sahanjaya yang diberi jabatan sebagai Carik Negara atau menurut istilah sekarang mungkin Menteri Sekretaris Negara. Cakra Wangsa juga mempunyai keahlian memantau keberadan “Wahyu Keprabon” atau Wahyu Kerajaan. Hyang Cakra Wangsa mempunyai adik kandung yang juga mempunyai keahlian yang hampir sama dengan kakaknya, beliau adalah Hyang Sukmaya Rengga.

HYANG SUKMAYA RENGGA ;
Dua orang kakak beradik ini diberi jabatan hampir sama. Kalau Cakra Wangsa adalah Carik Nagara maka Sukmaya Rengga adalah Carik Jero atau kalau jaman sekarang mungkin adalah Menteri Sekretaris Kabinet. Kedua kakak beradik inilah yang paling akrab dengan Sang Prabu Sahanjaya, semenjak masih Jaka Tarub dalam semua kegiatanya. Lebih-lebih didalam mengupayakan serta memperoleh Wahyu Keprabon. Walaupun kedua orang ini sebagai pengikut namun apa yang menjadi petunjuk dan pengarahanya selalu dituruti oleh Jaka Tarub.

Sementara menjadi Carik Negara dan Carik Jero atau Carik Praja, kedua orang ini bernama Ki Sabdo Palon dan Ki Naya Genggong, yang petilasanya terletak di luar Bangunan Pertapan Jambe Lima. Sedang setelah menjadi Carik Negara dan Carik Praja, pada masa tuanya menjadi pendeta dan petilasanya kira-kira berada di Pertapan Jambe Lima.

HYANG LENGKUNG KUSUMA ;
Tokoh ini tak lain adalah putra sulung dari Hyang Sukmaya Rengga. Pada masa hidupnya mempunyai keahlian dibidang tata negara dan seni budaya, serta menguasai ilmu hukum kenegaraan dan terkenal pandai berbicara dan bijaksana.

HYANG LENGKUNG SWIRI ;
Beliau ini adalah adik kandung Hyang Lengkung Kusuma yang berarti anak kedua dari Hyang Sukmaya Rengga. Tokoh ini mempunyai keahlian yang sangat mirip dengan kakak kandungnya.

HYANG WISNU MURTI ;
Tokoh ini adalah anak bungsu dari Hyang Sukmaya Rengga yang juga mempunyai keahlian yang mirip dengan kedua kakaknya. Hanya saja si bungsu ini lebih menonjol dan lebih pintar serta bijak, bila dibandingkan dengan kedua kakaknya. Maka lalu diberi jabatan sebagai Pangarsa atau Ketua Dewan Sapta Prabu atau apabila disebut dengan istilah sekarang mungkin mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung, yang bertugas memberi nasihat kepada raja dan beranggotakan tujuh orang.
Para putra dari Hyang Sukmaya Rengga, ketiga-tiganya menduduki sasana gaib di Pertapan Jambe Pitu, kira-kira letaknya didalam lingkungan pertapaan. Adapun yang menduduki sasana gaib diluar Pertapan Jambe Pitu adalah Hyang Jepen.

HYANG JEPEN ;
Pada masa hidupnya tokoh ini mempunyai keahlian dibidang pertanian, diplomasi dan piawai mencari akal untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Kesukaanya mengembara, maka dari itulah beliau sangat jarang berada di dalam negeri sendiri. dan setelah tua dan menjadi pendeta, digambarkan tempat pertapaanya berada diluar bangunanya. Tepatnya diujung selatan bangunan Pertapan Jambe Pitu.
Selain dikenal sebagai tokoh yang nganeh-anehi atau eksentrik, beliau sering diminta bantuan oleh negara asing untuk mengatasi masalah kenegaraan. Selain itu, beliau sangat piawai menjadi penengah dan pendamai apabila ada beberapa negara yang sedang berselisih.

Mungkin apabila beliau hidup dijaman sekarang, pantas menduduki jabatan di PBB atau forum internasional lainya atau pantas menjadi penasihat antar kedutaan besar. Sebenarnyalah tokoh ini yang pantas menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Sapta Prabu. Akan tetapi karena beliau jarang sekali berada dinegaranya sendiri, maka jabatan itu lalu diserahkan kepada Hyang Wisnu Murti.
Keenam dari tujuh anggota Dewan Sapta Prabu adalah Hyang Wisnu Murti, Hyang Lengkung Swiri, Hyang Lengkung Kusuma, Hyang Sukmaya Rengga, Hyang Cakra Wangsa, Hyang Jepen dan yang ketujuh adalah Ibu Suci Rahayu.

IBU SUCI RAHAYU ;
Yang tidak lain adalah Ibu Suri dan menduduki sasana gaib di Goa Suci Rahayu, tepatnya didepan pintu goa. Karena dari tujuh orang anggota Dewan Sapta Prabu hanya beliau yang berjenis kelamin perempuan, maka dapatlah diduga yang menjadi keahlianya. Beliau adalah wanita sejati yang piawai mencari jalan keluar atas masalah kenegaraan, yang lebih khusus lagi masalah kewanitaan. Sedangkan yang menduduki sasana gaib di dalam Goa Suci Rahayu adalah Ibu Ratu Sri Kencana Wati.

IBU RATU SRI KENCANA WATI ;
Beliau ini tak lain adalah Putri Raja Sanjaya yang dilanda kecewa berat, karena beliau dilahirkan sebagai wanita. Dia kecewa karena merasa terlahir tidak memenuhi harapan ayahandanya, yang senantiasa terlahir anak laki-laki, dengan harapan kelak dapat menggantikan tahta dari ayahnya. Ibu Ratu Sri Kencana Wati ini lahir dari istri raja sebagai permaisuri yang bukan Dewi Nawang Wulan.
Atas kekecewaan dan dianggap sangat mengecewakan ayahnya itulah dia lalu bersumpah akan menjalani tapa tidur sampai mati didalam Goa Suci Rahayu, dengan ditunggui oleh Ibu Suri atau Ibu Suci Rahayu. Sampai sekarang petilasnya dapat diketemukan berupa sebuah batu besar yang bentuknya mirip orang dalam posisi tidur terlentang membujur kearah utara yang terletak didalam Goa Suci Rahayu.

DI PERTAPAAN ADA APANYA ;
Kebanyakan bagi yang sudah pernah berziarah ataupun laku lainya di pertapaan-pertapaan atau petilasan-petilasan, didalam batin mereka ada semacam pertanyaan seperti tertulis pada sub judul diatas. Pertanyaan tersebut sebetulnya wajib deberi jawaban, kalau bisa dengan jawaban yang masuk akal dan jelas apabila tidak bisa paling tidak harus ada keterangan yang mendekati penalaran yang mapan.

Sebab apabila mengikuti kegiatan wisata spiritual, hanya sekedar ikut-ikutan saja, menurut saja dan sekedar mengekor kepada yang sudah pernah kesana atau kepada juru kunci, diawali dengan serta merta saja hanya sekedar tertarik karena cerita orang atau sekedar terpengaruh ajakan teman, kenalan atau famili yang konon sudah berhasil memperoleh ketenangan hidup, itu semua rasanya kurang afdol.

Padahal pertapaan biasanya tempatnya jauh dari tempat tinggal masing-masing maka sudah barang tentu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan menghabiskan waktu serta tenaga. Maka ditengah proses ritual, mengorbankan uang, waktu dan tenaga serta menimbulkan kantuk.
Menurut pengalaman penulis, pertapan, petilasan dan tempat peziarahan lain yang dianggap keramat, biasanya mempunyai nilai lebih, berupa:
Tempatnya Asri
Terkesan agak sepi, udaranya segar mengenakkan dan layak dipergunakan untuk wisata alam maupun budaya. Karena pemandangan alamnya biasanya indah dan alami. Keadaan yang seperti itu biasanya menenangkan hati dan menentramkan batin.
Padahal setiap orang membutuhkan hiburan yang menimbulkan rasa senang, damai dan tentram, agar hilang rasa keruwetan-keruwetan yang melelahkan dalam kegiatan sehari-hari yang membosankan yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan pikiran.
Maka diharapkan setelah melakukan wisata, apalagi wisata spiritual, minimal beban pikiran menjadi lebih ringan. Apabila beban pikiran sudah terasa ringan, pada giliranya dapat memulai segala rencana dan melangkah pada pelbagai kegiatan yang menuntut prakarsa, tenaga dan kesiapan batin, agar dapat membuat prestasi yang selama ini belum bisa diraih, beserta kewajiban yang akan disandang, semua itu harus dilaksanakan dengan penuh semangat dan percaya diri.
Keramah Tamahan
Orang-orang yang mengadakan lelaku dan para peziarah lainya, sikapnya pada sesama peziarah, sepertinya ada semacam pengikat kebersamaan yang erat, yang memberi kesan rasa menyatu didalam laku prihatin, satu didalam niat dan derita hati. Diantara mereka dapat berkomunikasi dengan penuh keakraban bagaikan kenalan yang sudah lama bergaul. Tak segan-segan diantara mereka memberikan petunjuk dan sumbang saran untuk mengatasi kesulitan hidup. Komunikasi dan pembicaraan berlangsung dengan keramah-tamahan yang akrab. Malah didalam kegiatan pertapaan atau semacamnya tidak menutup kemungkinan dapat bertemu kenalan yang dapat memberikan petunjuk mengatasi permasalahan-permasalahan kita ataupun sebaliknya.
Kebanyakan dari orang-orang yang sering merambah pertapaan, jarang ada yang memiliki sikap yang terkesan sangar dan angker. Sebaliknya sikap malah selalu akrab dan bersahabat, sopan, murah senyum, mudah memberikan pertolongan dengan penuh rasa asah, asih dan asuh. Dari rasa asah dapat diperoleh hasil dari tukar pengalaman dan wawasan. Dari rasa asih dpat membuka kodrat kesucian manusia yang cenderung saling mengasihi. Dan dari rasa asuh sama-sama bisa memberi dan menerima rasa aman dan mengamankan sesamanya.

Kesan Sakral dan Spiritual
Kesan sakral dan spiritual selalu dirasakan dan dialami ditempat peziarahan, karena memang kesanya terasa angker dan menakutkan. Dengan demikian cara melakukan kegiatan spiritual sudah barang tentu diperlukan pemaksaan diri dengan khusuk dan hening yang sungguh-sungguh. Sebab sepertinya sudah menjadi kodrat atau kesan psikologis, manakala seseorang dirundung rasa takut dan ngeri, orang tersebut akan patuh dan bersungguh-sungguh dalam menjalani suatu perintah atau tuntunan tertentu.
Dengan kesan sakral dan spiritual pada akhirnya yang dirasakan dihayati hanyalah keberadaan Tuhanlah tempat meminta pertolongan. Suasana demikian itu apabila ditambah dengan keadaan yang sepi dan menentramkan seperti dikatakan diatas, rasa perasaan ini sepertinya selalu dekat dengan Tuhan. Dan dapatlah dipedomani bahwasanya mendekat dan “melihat” keberadaan Tuhan seharusnyalah dengan ketenngan hati yang jauh dari dengki.
Mengurangi Kebiasaan
Dipertapaan tidak seperti di tempat tinggalnya sendiri. bagi yang biasanya dirumah selalu dilayani, dipertapaan terpaksa harus mengurus diri-sendiri. yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berkecukupan, dipertapan fasilitasnya serba terbatas. Yang biasanya selalu ingin cepat dan terburu-buru disitu terpaksa tidak dapat bertindak egois, karena harus menghormati peziarah lain, misalnya diwarung, pelayanan mandi, cuci dan kakus harus antri dan sebagainya. Dengan keadaan demikian diharapkan akan menimbulkan kesadaran bahwasanya manusia sama derajatnya dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kesucian pikiran, perkataan dan perbuatannya kepada Tuhan, sesama dan alam sekitarnya.
Ada Daya Lebih
Daya lebih yang dimaksud apabila disebut dengan bahasa sekarang adalah daya yang berasal dari gelombang getaran elektromagnet dari badan seseorang atau gampangnya dinamakan bio elektrisitet. Getaran gelombang ini timbul karena laku dari para tokoh legenda dimasa lalu, ketika melakukan tapa, samadi dan melakukan ritual lainya, yang menggunakan daya hening cipta tingkat tinggi, hingga mampu mengeluarkan energi gelombang kekuatan prana, dengan menggunakan daya alam beserta daya pribadinya yang saling mengisi, maka terbentuklah kekuatan supranatural yang bersirkulasi secara simultan antara manusia, alam dan gaibnya Tuhan.
Dari proses ini menimbulkan daya berupa getaran energi yang karena proses sirkulasi tadi, kemudian energi tersebut menempel pada tempat dimana kegiatan ritual itu dilakukan. Dan penempelan daya itu tidak akan hilang selamanya, berdasarkan hukum alam bahwasanya zat dan energi tidak dapat dimusnahkan, biasanya hanya bersirkulasi melalui proses sikel dan daur ulang.
Berdasarkan keterangan diatas maka antara pertapaan dan petilasan, kiranya yang banyak mengandung tilas daya lebih adalah petilasan. Namun secara efek psikologis, lebih baik yang berupa makam, karena terkesan disanalah bersemayam jasad dari tokoh legenda. Dari itulah petilasan yang sebenarnya bukanlah suatu makam atas jasad tokoh tertentu, lalu direka-reka sepertinya makam sungguhan. Seperti halnya tokoh Syekh Maulana Maghribi yang makamnya ada dimana-mana.
Pada akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang dapat mengajarkan pembudidayaan getaran rasa sejati berupa perguruan ilmu kontak persilatan tenaga dalam, senam tenaga batin dan sebagainya. Walaupun bobot dan kualitasnya belum tentu dapat menyamai dengan daya yang dihasilkan oleh para tokoh tempo dulu, namun kiranya hal itu dapat dijadikan bukti bahwa getaran rasa sejati dapat dibudidayakan oleh siapa saja yang mau, terlepas untuk apa hal tersebut dimanfaatkan.

Tata Cara Ziarah Ke Makam……………..
Di depan pintu pertapan:

Bismillaahir rohmanir rokhim…..atau …“Hong amit tabik sekalian pasang keparengo marak sowan ing ngarsanipun………….”
Meletakkan sarana (bunga dsb.):

“Keparengo putro caos bekti, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”
Dupa/kemenyan:

Bismillaahir rohmanir rokhim……..atau……..“Hong wilahing jatimas tumono sidam sekaring bawono langgeng prapenku selo petak dupoku dupo mulyo guyuhno kamulyan ingsun, tak jaluk rilamu siro sun obong kukusmu mumbul ngawiyat ing ngarsaning GUSTI INGKANG MOHO SUCI tumurun dumateng……………”

Bakar dupa/kemenyan (sebelum akan dibakar):
Bismillaahir rohmanir rokhim ….atau ….“Hong hagni suci sucekno kamulyan ingsun, mulyakno kasucen ingsun, urupno uriping kawicaksanan ingsun.”

Ngesti:
Bismillaahir rohmanir rokhim………atau…….“Hong sumujud ngarso dalem Gusti Ingkang Moho Suci, sumungkem ngarso dalem……………… Sembah sedoyo panelongso dalah panjangka ingsun nyuwun tambahing berkah pengayoman. Sedoyo panelongso nyuwun usodho, sedoyo panjongko nyuwun sembodo. Berkah nyuwun limintuning rejeki ingkang agung rahayu, pengayoman nyuwun slamet sak rakyat sak bandane. Kerso saking kuasane:”



KUNCI
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito nyuwun wicaksono nyuwun panguwoso kangge tumindake Satrio Sejati. Kulo nyuwun kangge hanyirna’ake tumindak ingkang luput.”

PAWELING
“Siji-siji Loro-loro Telu-telonono,
Siji sekti loro dadi telu pandito,
Siji wahayu loro gat’rahino telu rejeki .”

SINGKIR
“Gusti Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito hananiro hananingsun wujudiro wujudingsun, siro………………(reruwet rubedo) sirno mati dening Satrio/Wanito Sejati ketiban iduku putih sirno layu dening……………(Asma Sejati)”

MIJIL
“………..(Asma Sejati) jeneng siro mijilo, panjenengan ingsun kagungan karso arso…………….(niat pribadi).”

Ngalap berkah:
“Gusti Hyang keparengo putro ngalap berkah (*kangge mberkahi) ngukup pengayoman (*kangge ngayomi).”

*.Tambahan untuk yang telah Hasamun Pinandito
Ngukup dupa:

“Purbaning Gusti wasesaning Sari”
“Purbaning Sari wasesaning Gusti”
“Purbo wasesaning Satrio/Wanito Sejati”

Lalu bacalah kalimah di bawah ini sebagai penutupnya ;


Palungguh :
 (Asma Sejati) lungguho ingka prayugo. Ragane arso tentrem. Sun sangoni basuki. Kalis ing sambikolo. Kanti teguh rahayu selamet.”…..3.x….


Pamit:
“Gusti Hyang cekap atur kawulo berkah kulo tampi pengayoman kulo suwun. Keparengo madal pasilan paduko, nyuwun tansah tinuntun, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”

-ooo-

Tidak ada komentar: